“Ugh …” Diego terbatuk dan bernapas terengah-engah setelah erangan kesakitannya terdengar. Kepalanya jelas sangat pening karena menghantam stir mobil sekali, sebelum airbag mengembang. Belum lagi kaca di sampingnya yang keras turut mencederai kepala. Tangan kanannya menyentuh pelipis kanan yang telah basah dan bisa dipastikan adalah darah. Bunyi sealt bet yang dibuka terdengar, kemudian ia menoleh ke belakang. Ekspresi kesakitan yang terpasang di wajahnya berubah seketika, kala melihat kondisi Leticia yang terbaring di kursi belakang. Darah turut mengalir telah membasahi jok mobil. “Nyonya!” seru Diego panik sekaligus khawatir. Pria itu segera menuju ke kursi belakang untuk mengecek kondisi sang majikan. “Nyonya Leticia, apa Anda sadar?” Setelah mengecek jika nyawanya masih ada, Diego membenarkan posisi tubuhnya. Ia hendak memanggil bantuan, sebelum kesadaran Leticia tiba-tiba kembali di tengah itu. “Di-diego, kau baik-baik saja?” “Tidak perlu mengkhawatirkan saya, tolong khawatir
“Tu-tuan Muda?” Diego yang memegangi bahunya yang terus mengeluarkan darah, menatap terkejut mobil yang baru tiba itu. Tidak hanya dirinya, tetapi dari pihak musuh juga demikian. Tidak salah lagi, mobil yang tiba-tiba datang dan menabrak beberapa orang yang berada di dekat mobil Leticia adalah mobil Tytan. Diego merasa bisa sedikit tenang, meski yang datang hanyalah bosnya seorang. Namun, di sisi lain, ia menjadi khawatir karena identitas Tytan tidak boleh terungkap. Sementara incaran mereka adalah Tytan. “Kau!” Seseorang yang berdiri di samping bosnya, pria yang tadi baru saja datang dan menyerahkan sebuah informasi, berteriak kencang. Ia tanpa pikir panjang berlari mendekat pada Tytan yang baru saja keluar dari mobil. Semua orang secara alami bergeming di tempat mereka masing-masing, menyaksikan bagaimana pria tersebut mendapat pukulan telak dari Tytan di rahangnya. Hal itu menyebabkan dia jatuh tersungkur dalam sekali hajar, tetapi tetap tidak menjatuhkan semangatnya yang berkoba
“Orang-orang tersebut sudah kami bereskan semua, Tuan Muda. Kami tidak bisa memastikan identitasnya sekarang karena tidak ada yang selamat, tetapi kami akan tetap menyelidikinya.” Ketika Tytan dengan setia menunggu Leticia sadar, Gaspar tiba. Dia masuk ke dalam ruang rawat inap Leticia dan melaporkan hasil pekerjaannya. Bisa Tytan rasakan bagaimana tatapan pria itu di belakang punggungnya. Saat ini ia menunggui Leticia sambil memegang tangannya selalu. Dengan wajah yang penuh harap bercampur kecemasan yang kentara. Bawahan setianya itu tidak akan terlalu bodoh untuk tidak menyadari perbedaan jelas tersebut. Namun, Tytan tidak peduli lagi dengan pendapat atau tentangan Gaspar. Ia sudah menyadari bagaimana perasaannya pada Leticia. Semua kekhawatiran akan masa depan atau masalah merembet yang selalu dipikirkan mengenai hubungannya dengan Leticia, ia kesampingkan lebih dulu. Sekarang Tytan hanya menginginkan kesembuhan Leticia. "Pastikan untuk segera mengetahuinya lalu jangan sampai in
“Kenapa? Apa yang kau rasakan? Apapun katakan padaku.” Dalam hitungan detik, sisi menyeramkan itu lenyap dan berganti dengan kekhawatiran. Tytan menangkap tangan Leticia dan kembali digenggamnya. “Aku sudah baik-baik saja,” jawab Leticia menenangkan. “Aku hanya ingin kau menggenggam tanganku terus.” “Tetapi sepertinya kau memiliki banyak pekerjaan untuk dikerjakan,” lanjutnya setelah melirik sekilas meja yang tak jauh dari ranjang gadis itu. Tiba-tiba genggaman tangan mereka mengerat. Suhunya menjadi semakin hangat, apalagi telapak tangan Leticia menyentuh pipi Tytan. Perbuatannya membuat pipi Leticia secara alami tersipu malu. Ia yakin wajahnya yang pucat menampakkan dengan jelas bagaimana rona merah tersebut menghiasi. “Kau adalah prioritasku, Leticia.” Seperti biasa, walau nada bicaranya yang khas dingin, tetapi selalu berhasil membuat Leticia melayang dengan perut yang dipenuhi kupu-kupu. Ia menjadi sedikit penasaran, apakah Tytan pernah berkencan sebelumnya meskipun dengan sik
Satu minggu kemudian Perawatan Leticia menjadi lebih lama dari yang seharusnya. Semua disebabkan oleh kondisi mentalnya yang tidak bagus sehingga menurunkan kondisi fisiknya. Sejak pembicaraan terakhir dengan Tytan, wanita itu menangis dan bersedih. Ditambah dengan penyakit sebelumnya yang belum sembuh, memperparah kesulitan pemulihannya. Semua juga memperparah rasa bersalah Tytan yang tidak bisa melakukan apapun. Dugaannya tepat, daripada membencinya, Leticia tampak lebih ketakutan. Setiap kali Tytan berniat mendekatinya, gadis itu akan selalu memintanya keluar dengan dingin, tanpa sedikitpun melihatnya. "Julius, lakukan tugasmu dengan baik." Hanya Julius yang menjadi harapan lain bagi Tytan, sementara Diego masih beristirahat. "Baik, Tuan Muda," jawabnya tegas. Pria itu menunduk lantas masuk ke dalam ruangan Leticia dimana gadis itu tengah membereskan pakaiannya. Genap 10 hari ia di rumah sakit, kini dokter telah memperbolehkannya pulang. Jadi, Tytan dan yang lainnya tidak lagi
“Sebagai teman sekaligus bawahan Anda, saya hanya bisa meminta maaf karena tidak mengatakan apapun pada Anda.” Ingin rasanya Leticia marah ketika situasi seperti ini datang seperti di dalam bayangannya, layaknya ia meluapkan amarah pada Tytan hari itu. Namun, ia tidak bisa terlalu menyalahkan Diego sebab posisi yang tidak membuat dirinya bisa mengatakan hal tersebut. “Aku mengerti,” sahut Leticia singkat setelah helaan napas berat keluar dari mulutnya. “Terima kasih karena Anda sudah memahami saya,” jawab Diego lagi yang tersenyum seolah senang dengan pengampunan yang ia berikan. Leticia tidak lagi memikirkan hal tersebut, ia beralih meneliti bagaimana penampilan Diego. Terlebih luka terparah yang dialami bahu kirinya. Tampaknya luka yang diderita oleh Diego dan miliknya jauh lebih parah pria itu, tetapi dia bahkan keluar lebih cepat. “Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau tampaknya masih belum benar-benar boleh keluar, tetapi sudah ada di rumah sekarang.” Dengan pertanyaan tersebut,
“Walaupun kau belum terbiasa, makanlah sedikit demi sedikit dengan diselingi lemon agar tidak mual.” Suara Tytan membawa pikiran Leticia kembali ke meja makan. Setelah mengingat kembali pembicaraan dengan Diego, Leticia tidak bisa mengangkat wajahnya untuk sekedar menatap Tytan. Ia pun tidak bisa memastikan bagaimana perasaannya yang telah mencapai tahap apa. Apa benar ia telah mencintai pria ini hingga tidak bisa menolak semua yang telah dilakukan olehnya? Tidak, Leticia tanpa sadar menggelengkan kepalanya bersama penyangkalan tersebut terlintas. Ia yang terlalu lembut tidak akan tega menolak Tytan yang telah bekerja keras untuknya. Karena itulah dirinya tetap berakhir di sini. “Leticia?” panggil Tytan yang menyebabkan gadis itu tersentak. “Kenapa tidak makan?” tanyanya. Leticia mulai menyentuh alat makannya untuk menyendok sup di mangkuknya. “Aku akan makan,” jawabnya singkat. Leticia tidak mengatakan apapun lagi selain fokus pada makanannya. Ia bahkan tidak memikirkan apa yan
“Aku tidak peduli lagi dengan keluargaku, aku tidak peduli jika bisnis keluargaku hancur tanpa bantuanmu akibat imbas dari keputusan ini. Dan jika kau benar-benar mencintaiku, kau tidak akan peduli dengan kerugianmu. Jadi, kabulkan perminataanku, Tytan.” Leticia sudah tidak peduli jika keputusan ini adalah keputusan yang egois, tetapi sudah terlalu banyak ia berkorban untuk hal yang sama sekali tidak menguntungkannya. Bahkan hingga mati dengan menyedihkan tanpa seorang pun. “Ti-tidak!” Tytan menggeleng kuat. Ia dengan tegas sekali lagi menolak. Tentu saja Tytan menolak keras permintaan perpisahan tersebut karena hanya inilah hubungan yang mengikat mereka. “Kenapa? Kau tidak ingin merugi? Atau kau tidak benar-benar mencintaiku?” tantang Leticia semakin mendorong Tytan. Sekali lagi Tytan menggelengkan kepalanya kuat. Ia bahkan tidak memikirkan untung rugi atau apapun itu. “Bukan begitu, Leticia.” Selain karena tidak ingin satu-satunya hubungan ia dan Leticia terputus, yang menjad
"Ini ruangan dimana mendiang Tuan Ramona dan Nyonya Gabriella dulu bekerja, Nona Leticia." Tuan Armond, pria paruh baya yang kala itu datang ke rumah Leticia dan banyak membantunya, kini juga yang menolongnya. Hanya dia satu-satunya yang terpikirkan dalam benaknya setelah berdebat dengan Tytan. Leticia juga sudah melihat latar belakang Tuan Armond, sehingga ia cukup beruntung karena posisi tingginya yang dipastikan mengetahui lebih baik dari siapapun tentang perusahaan. Gabriella yang mengetahui Tytan dan kerja sama di antara kedua perusahaan, Leticia pasti menemukan sesuatu di kantor. "Maaf saya merepotkan Anda, Tuan. Saya masih memiliki banyak kekurangan, saya masih memerlukan bantuan Anda." Tuan Armon tertawa kecil, menunduk tak enak pada Leticia. "Anda tidak perlu sungkan, saya sebagai bawahan tentu saja akan menolong Anda." Semenjak pria ini datang ke rumahnya beberapa waktu lalu, Leticia bisa merasakan jika orang ini adalah tipe orang yang senang menjilat. Tidak heran jika dia
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu, Leticia. Sebagai besan, kami bahkan belum sempat bertemu satu sama lain." Massimo dengan cerdiknya mengatur ekspresi wajahnya dan membawa Leticia pada pembicaraan yang hangat dan normal. Seolah ia menghargai hubungan harmonis antara menantu dan mertua yang tengah dijalaninya. Leticia yang polos tanpa mengetahui apapun sudah terkelabui. Sementara Tytan dan D'angelo yang sulit menerima sikap tersebut dari Massimo tidak bisa turut mengikuti permainannya. Sehingga Leticia mau tak mau menaruh curiga bahwa hubungan ayah dan anak keduanya tidak terlalu baik. Bagaimana bisa mereka melakukannya sementara selama ini yang sudah mereka lihat adalah sisi terkejamnya? "Tidak apa, Ayah. Ayah pasti sangat sibuk dan Ayah saya juga sakit sehingga sulit untuk bepergian,” kata Leticia menenangkan. Massimo mengelus rambut Leticia dan menatapnya penuh kemalangan. "Jangan khawatir, Nak. Anggap saja aku ayah kandungmu sendiri. Aku selalu ingin memiliki se
"Le-leticia?" Baik Tytan maupun Leticia sama-sama membeku ketika melihat satu sama lain. Mereka juga sama-sama merasa malu, baik itu Tytan yang dilihat dan Leticia yang melihat. Brak! Leticia segera menutup pintu dengan sedikit keras, berusaha menutupi wajahnya yang memerah. Ia menyesali dirinya yang terlalu bersemangat, sehingga berakhir dengan melihat pemandangan tubuh Tytan yang setengah telanjang dan basah. Leticia menepuk-nepuk pipinya berulang kali untuk menetralkan rasa gugup. 'Tunggu, bukankah kami sudah melihat satu sama lain?' tanya Leticia dalam batin pada dirinya sendiri. Leticia mengangguk sekali, merasa jika ini adalah hal yang wajar bagi mereka berdua. Leticia kembali membuka pintu dan tidak melihat Tytan lagi. "Tytan?" panggil Leticia. "Aku sedang memakai baju, Sayang!" Jawaban Tytan bersamaan dengan tangan Leticia yang membuka knop pintu ruang ganti. Tytan tampak terburu-buru mengenakan kaos panjangnya. Namun, sayangnya itu terlambat karena apa yang ingin disem
Ekspresi Gabriella tampak kecewa ketika melihat Leticia yang duduk di balik kaca pengunjungnya. Begitu petugas sipir melepaskannya, langkah Gabriella bergegas datang ke arah Leticia. Dari ekspresi wajah yang terlihat, ia jelas menyimpan dendam yang teramat dalam. Tentu saja setelah semua yang terjadi dan Leticia lakukan. "Untuk apa lagi kau datang kemari, anak durhaka! Sudah puas kau menghancurkan diriku dan putriku?!" bentak Gabriella. Kali ini Leticia tidak memberikan respon. Ia tidak lagi takut, panik, dan cemas. Hari ini, ia melihat Gabriella tidak lebih dari seperti tikus yang mencicit karena terjepit. "Kurasa Ibu bukan orang yang religius. Aku tak menyangka sematan itu akan keluar dari mulutmu," kata Leticia tenang. "Kau jalang kecil yang seperti ibumu!" Gabriella memukul-mukul kaca tebal di antara mereka. "Tenanglah, Ibu. Atau kau akan mendapat pemotongan waktu dan aku tidak sempat mengatakan selamat tinggal," ucap Leticia yang justru semakin meningkatkan emosi Gabriella.
Gabriella tersenyum puas saat berhasil menghentikan Massimo, tetapi ia tidak bisa merasa lebih lega lagi karena takut pada apa yang dipikirkan oleh pria itu. Meskipun keputusan ini di luar prediksinya, Gabriella hanya menginginkan setidaknya kebebasan Sofia, jika ini memang adalah kehancurannya. "Be-benar, aku mengatakan yang sesungguhnya. Hanya kau, malam itu, pelanggan yang tidak aman saat berhubungan denganku. Aku tidak pernah mengalaminya dengan pelanggan manapun, Massimo. Sofia adalah putrimu, tolong setidaknya bebaskan dia. Demi masa depannya." Gabriella mengeluarkan air mata, menangis, memohon dengan putus asa di hadapan Massimo untuk belas kasihnya. Tidak peduli dengan orang itu yang tidak memiliki belas kasihan, Gabriella berusaha mengetuk pintu hatinya dengan fakta ini. Wajah yang datar itu kini terdistorsi. Ia kembali melangkah ke arah kursi dan duduk berhadapan dengannya sekali lagi. Gabriella tampak sangat lega karena sebuah harapan yang tampak diberikan. Namun, ia san
"Nyonya Gabriella, Anda memiliki kunjungan." Seorang petugas berseragam menghampiri sel tahanan dimana Gabriella menempati. Ketika mendengar hal tersebut, wanita yang dipanggil itu segera bangun. Gabriella menghampiri pintu besi yang memenjarakannya, lantas keluar setelah gembok dibuka. "Siapa yang mengunjungi saya? Pengacara saya sudah datang?" tanyanya penasaran di tengah langkah mereka. Petugas tidak menjawab. Namun, sesampainya di ruang kunjungan khusus, Gabriella mendapatkan jawabannya. Langkah kakinya terhenti ketika melihat siapa seseorang yang menunggunya. Ia membeku selama beberapa detik. "Waktu Anda hanya singkat, silahkan berbicara." Suara dari petugas tersebut mengintrupsi dirinya. Gabriella perlahan mendekat pada kursi yang berhadapan dengan lawan bicara, berhalangan kaca tebal. Ia duduk di sana dengan canggung, tetapi secara bersamaan berusaha tampak semenyedihkan mungkin. "Kau bahkan belum melalui sidang, tetapi tampangmu seakan telah hancur sepenuhnya." Tawa ejeka
“Kau baik-baik saja, ‘kan?” tanya Leticia kembali setelah lama tidak ada pembicaraan di antara mereka. Helaan napas terdengar dari seberang telpon yang dilakukan oleh Tytan. Kini Leticia merasa sangat bersalah, di samping rasa kekhawatirannya. Tytan mungkin menganggap kekhawatirannya berlebihan jika semua baik-baik saja. Atau yang terparah, Tytan akan menganggap bahwa dirinya memiliki sisi yang posesif. Mengingat hal tersebut membuat Leticia sangat malu hingga ingin menutup telpon. Namun, demi memuaskan rasa khawatirnya ini, ia tetap ingin memastikan bagaimana kondisi suaminya. “Kau mengingkari janjimu padaku, Tytan,” ucap Leticia saat tidak ada lagi di antara mereka yang berbicara. “Maafkan aku, Sayang. Pekerjaanku mengharuskan aku agar tetap di sini, beberapa kali juga aku harus pergi ke kantor selama pergantian sekretaris baru.” Kali ini giliran Leticia yang menghela napas lega. Setidaknya Tytan terdengar baik-baik saja. “Aku tidak bermaksud untuk mengganggumu, maaf. Sejak kemar
"Dasar gila!" ujar D'angelo setelah dipastikan hanya ada mereka bertiga di rumah ini, yang mana Gaspar jelas tak sadarkan diri. Seluruh wajah tanpa ekspresi itu luruh dan berganti dengan kernyitan di dahinya. Pertanda bahwaa ia sangat kesal dengan berdiri di posisinya kini. "Kenapa aku harus berada di sini?!" "Kenapa kau harus mengabaikan telponku? Darimana ide gila nan agresif itu, Tytan?!" Sekali lagi D'angelo menggerutu, tidak peduli dengan lawan bicaranya. Satu tak sadarkan diri dan yang lain tengah berjuang menahan rasa sakit mati-matian. "Simpan ocehanmu atau mengoceh lah sambil mengobati Gaspar!" seru Tytan setengah membentak dengan tidak sabar pada D'angelo. "Dia tidak tertembak! Dia tidak mati, dia hanya sekarat karena menjadi samsak tinju darinya!" balas D'angelo, yang kali ini menuruti perkataan Tytan. "Gaspar, kau bisa bangun? Bangunlah, aku harus mengurus bosmu yang terkena tembekan yang mana lukanya lebih darurat." Alih-alih memapahnya dan segera mengobati luka Gasp
“Semua akan baik-baik saja, percayalah. Kau sudah bekerja dengan keras.” Tytan mengelus punggung Leticia yang berada dalam pelukannya usai serangkaian pembicaraan yang telah istrinya lakukan bersama polisi. Setelah membawa para polisi ke kediaman Ramona untuk menangkap Gabriella, Leticia turut memberikan keterangannya. Butuh waktu cukup lama hingga langit berubah gelap untuk menyelesaikan pertanyaan dari mereka. “Terima kasih sudah selalu menemaniku. Kau pasti sebenarnya sangat sibuk, ‘kan? Bagaimana bisa kau menundanya dan lebih memilih di sini?” Ada rasa bersalah dari nada pertanyaan yang dilontarkan. “Sudah kukatakan kau adalah prioritasku,” jawab Tytan gemas seraya mencium rambutnya lembut. “Ayo kita pulang,” ajaknya kemudian. “Tidak, aku akan tinggal di rumah untuk saat ini.” Pernyataan dari Leticia mendapatkan tatapan protes dari Tytan. Ia jelas tidak menyukai opsi tersebut. “Aku hanya sedikit merindukan Ayah, dan lagi, aku juga harus mempersiapkan pemakaman yang layak unt