“Walaupun kau belum terbiasa, makanlah sedikit demi sedikit dengan diselingi lemon agar tidak mual.” Suara Tytan membawa pikiran Leticia kembali ke meja makan. Setelah mengingat kembali pembicaraan dengan Diego, Leticia tidak bisa mengangkat wajahnya untuk sekedar menatap Tytan. Ia pun tidak bisa memastikan bagaimana perasaannya yang telah mencapai tahap apa. Apa benar ia telah mencintai pria ini hingga tidak bisa menolak semua yang telah dilakukan olehnya? Tidak, Leticia tanpa sadar menggelengkan kepalanya bersama penyangkalan tersebut terlintas. Ia yang terlalu lembut tidak akan tega menolak Tytan yang telah bekerja keras untuknya. Karena itulah dirinya tetap berakhir di sini. “Leticia?” panggil Tytan yang menyebabkan gadis itu tersentak. “Kenapa tidak makan?” tanyanya. Leticia mulai menyentuh alat makannya untuk menyendok sup di mangkuknya. “Aku akan makan,” jawabnya singkat. Leticia tidak mengatakan apapun lagi selain fokus pada makanannya. Ia bahkan tidak memikirkan apa yan
“Aku tidak peduli lagi dengan keluargaku, aku tidak peduli jika bisnis keluargaku hancur tanpa bantuanmu akibat imbas dari keputusan ini. Dan jika kau benar-benar mencintaiku, kau tidak akan peduli dengan kerugianmu. Jadi, kabulkan perminataanku, Tytan.” Leticia sudah tidak peduli jika keputusan ini adalah keputusan yang egois, tetapi sudah terlalu banyak ia berkorban untuk hal yang sama sekali tidak menguntungkannya. Bahkan hingga mati dengan menyedihkan tanpa seorang pun. “Ti-tidak!” Tytan menggeleng kuat. Ia dengan tegas sekali lagi menolak. Tentu saja Tytan menolak keras permintaan perpisahan tersebut karena hanya inilah hubungan yang mengikat mereka. “Kenapa? Kau tidak ingin merugi? Atau kau tidak benar-benar mencintaiku?” tantang Leticia semakin mendorong Tytan. Sekali lagi Tytan menggelengkan kepalanya kuat. Ia bahkan tidak memikirkan untung rugi atau apapun itu. “Bukan begitu, Leticia.” Selain karena tidak ingin satu-satunya hubungan ia dan Leticia terputus, yang menjad
“Aku membencimu karena Leticia.” Begitulah kira-kira kalimat yang secara tidak langsung dikatakan oleh Tytan. Fakta bahwa Tytan yang telah membencinya sudah cukup menyakitkan dan membuat nyali Sofia menciut. Namun, karena ini semua disebabkan oleh Leticia yang membuat Sofia justru semakin membenci kakak tirinya itu. Tidak ada satupun alasan yang membuat ia tidak membenci Leticia. Sejak dahulu, sejak mereka bahkan masih kanak-kanak. Meski ia sudah merebut apa yang semua kakak tirinya miliki. Leticia selalu memiliki apa yang diinginkan olehnya, bahkan kini termasuk seorang suami tampan, kaya raya, dan juga mencintainya. Hal itu melukai harga dirinya. Ia tidak ingin kalah darinya dan akan merebut satu-satunya pria yang dimilikinya ini. Seorang Castellano terlalu baik untuk diberikan pada Leticia. Itulah kenapa Sofia tidak menyerah. “Tuan Castellano, saya memiliki sesuatu untuk dikatakan.” Sofia lagi-lagi mencegah Tytan yang kembali hendak meninggalkannya. Ekspresi wajah itu, Sofia t
“I-itu …” Gabriella tidak bisa melanjutkan apa yang hendak dikatakannya. Kalimatnya hanya sampai di kerongkongan. Peringatan Tytan di hari pernikahan Leticia dengannya terlintas. Ia yang paling mengetahui bagaimana perangai putrinya, tidak bisa memberitahukan siapa Tytan sebenarnya dan siapa di belakangnya yang membuat ia berbahaya. Atau Massimo akan sangat marah dan bisnis mereka gagal, atau bahkan lebih perah ia dan Sofia bisa mati. “Apa Ibu mendukung Leticia bukannya aku?” tanya Sofia kembali yang membuat Gabriella secara alami menggeleng. “Bukan begitu, putriku.” Helaan napas keluar dari mulutnya. Ia mengusap dahinya yang pusing karena memikirkan ini semua. Menghadapi Sofia berbeda dengan menghadapi Leticia. Jelas karena cara membesarkan keduanya berbeda. Ia ingin Sofia menurutinya seperti Leticia, tetapi sadar ia tidak ingin putri kandungnya kekurangan apapun. “Sebaiknya kita duduk dan makan malam lebih dulu, aku juga baru saja pulang. Bagaimana dengan kuliahmu dan teman-tema
“Selamat pagi,” sapa Tytan pada Leticia seperti yang biasa ia lakukan. “Iya, selamat pagi.” Leticia duduk berhadapan dengan Tytan yang tengah mengoleskan slai pada roti lalu menyimpannya di atas piring miliknya. Ia mengambil gelas berisi air lemon yang juga telah tersedia di samping piring. Hari ini, setelah pembicaraan mereka yang serius tentang permintaan yang saling mereka inginkan, Leticia tidak bersikap defensif lagi seperti biasanya. Ia lebih tenang dan menerima semua yang dilakukan oleh Tytan. Seperti janjinya untuk memberikan waktu padanya satu bulan. Karena hanya satu bulan, Leticia memilih bertahan sebab hanya itu waktu yang akan diberikan. Ia telah membulatkan tekad dengan pertaruhan nyawanya bahwa ia akan meninggalkan Tytan setelah satu bulan. Mungkin dengan alasan sikapnya inilah mengapa Tytan lebih tampak ceria dari biasanya hari ini. Entah suaminya itu memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi sehingga berpikir bahwa hubungan mereka perlahan akan kembali. “Tytan.
“Selamat pagi.” “Eugh … Selamat pagi, Tytan.” Leticia membalas sapaan pagi Tytan dengan suara yang kering dan serak. Ia baru saja mengerjap-ngerjapkan matanya dan belum banyak mengumpulkan nyawa sepenuhnya. Karena setiap pagi ia selalu mendengar sapaan tersebut, Leticia tidak merasakan kejanggalan apapun. Ketika kedua matanya yang masih berat menutup kembali dan Leticia berencana kembali tertidur, saat itulah ia menyadari keanehan di pagi ini. Ia membuka matanya kembali dan pemandangan yang dilihat bukanlah seperti yang biasa dilihat. Tak heran jika selimut tebal yang ia gunakan, lebih hangat dari biasanya. Ada tangan seseorang yang memeluknya erat di dalam. Siapa lagi pelakunya jika bukan pria yang juga masih memejamkan matanya di samping Leticia. “Tytan …” panggil Leticia. “Hm?” Suara Tytan tak kalah serak dan beratnya dengan Leticia khas seseorang yang baru bangun. Itu mengartikan jika Tytan bukan baru saja datang. “Kenapa bisa kau tidur di kamarku?” tanya Leticia pelan, ber
“Hai, apa kabarmu, Sofia?” Leticia tersenyum dan menyapa singkat adik tirinya tersebut. Ia memperhatikan senyum yang sekilas terbentuk itu kini luntur kembali. Merasa bahwa harapan yang diinginkannya tidak tercapai. Apa dia pikir kakaknya ini akan gemetar ketakutan dan bahkan tidak bisa menatap mata adiknya? Tidak ada lagi Leticia seperti di masa lalu. Ia sudah terlalu banyak menderita sehingga orang semacam Sofia bukanlah sebuah masalah besar lagi baginya. “Aku baik-baik saja, Kak. Bagaimana denganmu?” tanyanya kembali setelah mengatur ekspresinya lagi. ‘Aku menderita, sangat menderita bahkan setelah menikah. Menikah dengan orang yang sama seperti yang kalian rencanakan yang menyebabkan aku mati. Kini aku akan bercerai darinya setelah satu bulan, sesuai dengan apa yang kau inginkan. Merebut priaku juga.' Tampaknya ini adalah jawaban yang diinginkan oleh Sofia, atau reaksi yang menunjukkannya. "Tytan memperlakukanku dengan baik, bagaimana bisa aku tidak baik-baik saja bersama ka
Keduanya menoleh ke belakang dan Leticia melihat seorang pria yang tampak berusia tak jauh berbeda dengan Tytan. Anehnya, ia merasa tidak asing dengan wajah pria tersebut. Leticia mencoba mengingat-ngingat wajahnya, tetapi bersamaan dengan itu ia merasakan genggaman tangan Tytan mengerat lebih keras. "Tytan ... kau terlalu keras menggenggamku," protes Leticia mencoba melepaskan tangan Tytan. "Ohh, maafkan aku, Leticia." Tytan melihat ke bawah, tepatnya tangan istrinya. Mengusap-ngusapnya lembut, menggantikan rasa sakit tadi. "Hei, kau sengaja pulang lebih malam bahkan membawa istrimu ke kantor agar tidak bertemu denganku, ya? Kau sebenarnya sudah tahu kedatanganku, 'kan?" Orang di belakang mereka kembali bersua, ikut berbicara di antara keduanya. Kesan pertama Leticia padanya adalah bahwa ia cukup banyak berbicara, seperti Diego. Leticia meneliti lebih detail wajahnya, ekspresi yang ia pasang, dan bagaimana penampilannya yang terasa familiar. Sekuat apapun Leticia mencoba mengingat