“Selamat pagi.” “Eugh … Selamat pagi, Tytan.” Leticia membalas sapaan pagi Tytan dengan suara yang kering dan serak. Ia baru saja mengerjap-ngerjapkan matanya dan belum banyak mengumpulkan nyawa sepenuhnya. Karena setiap pagi ia selalu mendengar sapaan tersebut, Leticia tidak merasakan kejanggalan apapun. Ketika kedua matanya yang masih berat menutup kembali dan Leticia berencana kembali tertidur, saat itulah ia menyadari keanehan di pagi ini. Ia membuka matanya kembali dan pemandangan yang dilihat bukanlah seperti yang biasa dilihat. Tak heran jika selimut tebal yang ia gunakan, lebih hangat dari biasanya. Ada tangan seseorang yang memeluknya erat di dalam. Siapa lagi pelakunya jika bukan pria yang juga masih memejamkan matanya di samping Leticia. “Tytan …” panggil Leticia. “Hm?” Suara Tytan tak kalah serak dan beratnya dengan Leticia khas seseorang yang baru bangun. Itu mengartikan jika Tytan bukan baru saja datang. “Kenapa bisa kau tidur di kamarku?” tanya Leticia pelan, ber
“Hai, apa kabarmu, Sofia?” Leticia tersenyum dan menyapa singkat adik tirinya tersebut. Ia memperhatikan senyum yang sekilas terbentuk itu kini luntur kembali. Merasa bahwa harapan yang diinginkannya tidak tercapai. Apa dia pikir kakaknya ini akan gemetar ketakutan dan bahkan tidak bisa menatap mata adiknya? Tidak ada lagi Leticia seperti di masa lalu. Ia sudah terlalu banyak menderita sehingga orang semacam Sofia bukanlah sebuah masalah besar lagi baginya. “Aku baik-baik saja, Kak. Bagaimana denganmu?” tanyanya kembali setelah mengatur ekspresinya lagi. ‘Aku menderita, sangat menderita bahkan setelah menikah. Menikah dengan orang yang sama seperti yang kalian rencanakan yang menyebabkan aku mati. Kini aku akan bercerai darinya setelah satu bulan, sesuai dengan apa yang kau inginkan. Merebut priaku juga.' Tampaknya ini adalah jawaban yang diinginkan oleh Sofia, atau reaksi yang menunjukkannya. "Tytan memperlakukanku dengan baik, bagaimana bisa aku tidak baik-baik saja bersama ka
Keduanya menoleh ke belakang dan Leticia melihat seorang pria yang tampak berusia tak jauh berbeda dengan Tytan. Anehnya, ia merasa tidak asing dengan wajah pria tersebut. Leticia mencoba mengingat-ngingat wajahnya, tetapi bersamaan dengan itu ia merasakan genggaman tangan Tytan mengerat lebih keras. "Tytan ... kau terlalu keras menggenggamku," protes Leticia mencoba melepaskan tangan Tytan. "Ohh, maafkan aku, Leticia." Tytan melihat ke bawah, tepatnya tangan istrinya. Mengusap-ngusapnya lembut, menggantikan rasa sakit tadi. "Hei, kau sengaja pulang lebih malam bahkan membawa istrimu ke kantor agar tidak bertemu denganku, ya? Kau sebenarnya sudah tahu kedatanganku, 'kan?" Orang di belakang mereka kembali bersua, ikut berbicara di antara keduanya. Kesan pertama Leticia padanya adalah bahwa ia cukup banyak berbicara, seperti Diego. Leticia meneliti lebih detail wajahnya, ekspresi yang ia pasang, dan bagaimana penampilannya yang terasa familiar. Sekuat apapun Leticia mencoba mengingat
“Terima kasih, Julius.” Leticia mengambil nampan berisi menu makan malamnya setelah sampai di kamarnya. Julius menundukkan kepala sopan. “Saya ingin menyampaikan informasi kalau Diego akan kembali bertugas menggangtikan saya, Nyonya Muda.” Leticia merenung sebentar, sebelum tersenyum kembali pada bodyguard sementaranya yang telah menemaninya cukup lama selama Diego sakit. “Baiklah, terima kasih sudah menjagaku selama ini, Julius. Kau sudah bekerja keras.” “Saya juga berterima kasih, Nyonya Muda. Selamat beristirahat dan selamat malam.” Leticia hanya mengangguk dan Julius menutup pintu setelahnya. Langkah kaki membawa Leticia ke arah sofa yang menghadap jendela. Ia meletakkan nampan tersebut di atas meja dan mulai meminum lemon hangatnya. Selama beberapa detik berlalu, piring berisi makanan itu belum disentuhnya sama sekali. Pikirannya kembali pada D’angelo. Leticia sebenarnya tidak terlalu lapar, ia hanya ingin berbicara sebentar pada pria itu. Sambil berusaha mengingat-ngingat s
Leticia termenung di atas tempat tidurnya sekepergian Tytan dari kamarnya. Sikap dan bagaimana cara bicara suaminya itu, jelas menunjukkan bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Leticia tidak mengetahui apa yang disembunyikan, tetapi dari apa yang dikatakan, Tytan tampak akan pergi. Apa ia akan pergi jauh dan cukup lama seperti terakhir kali saat ia sakit? Waktu terlama Tytan pergi terakhir kali adalah hampir satu bulan. Jika Tytan pergi selama itu, maka waktu kebersamaan mereka akan habis. Lalu mereka akan berpisah seperti rencana awal. Ketika mengingatnya, tidak dapat dipungkiri bahwa sudut hati Leticia merasa sedih dan tak rela. ‘Tidak, ini adalah hal yang harus aku lakukan demi hidupku!’ tegas Leticia sembari menggelengkan kepala. Menolak perasaan tidak masuk akal yang mengganggu keputusannya berdasar logika. Setelah kembali meyakinkan dirinya sendiri, Leticia bangkit berdiri meninggalkan kasurnya. Ia berjalan ke arah pintu untuk menuju ke dapur. Rumah sangat sepi pagi ini, bahkan ia
"Ayo turun," ajak Tytan sembari melepas sabuk pengamannya. Leticia pun melepaskan sabuk pengamannya. Ia turun bersamaan dengan Tytan yang melangkah ke arahnya untuk berjalan bergandengan. Mereka masuk ke dalam rumah yang tidak tampak seperti sebuah rumah yang sedang berkabung. Pasalnya suasana lebih sepi untuk ukuran acara pemakaman dari seorang pebisnis. Nama keluarga Ramona dan RM Ent. mungkin tidak terlalu dikenal di negara, tetapi tetap kolega bisnis pasti ada. Meski bisnis mereka bahkan hampir saja gulung tikar jika tanpa Castellan Corp. Ketika masuk ke dalam dan mencapai ruang tamu, barulah suasana tampak seperti sebuah acara berkabung. Pelayan yang sibuk seluruhnya mengenakan seragam hitam dan beberapa menangis. Di ruangan yang sudah ditata sedemikian rupanya, di sanalah Gabriella dan Sofia duduk. Di samping peti mati berisi jasad Rafaelo yang telah rapi. "Selamat datang, Nona Leticia." Butler menyapa kedatangan Leticia saat menyadari kehadirannya. Ia melirik sebentar pada
Satu pun pelayan tidak ada yang berani datang ke hadapan kedua majikannya, setelah mengantar jus, berniat mendinginkan suasana. Namun, alih-alih dingin, pelayan tersebut mendapatkan pukulan bertubi dari Gabriella dan Sofia yang berada dalam luapan emosi. Semua tak lain disebabkan oleh Leticia. Gadis yang telah pergi dengan kekacauan yang ia bawa itu, kini digantikan oleh pelayan tak berdosa yang malang. "Ibu, bagaimana ini? Bagaimana jika dokter itu menemukan kebenarannya? Lalu Leticia datang lagi dengan bukti dan para polisi?” Kepala Gabriella yang telah pening dan hampir meledak, semakin bertambah rasa sakitnya. Ditambah mendengar sejak tadi putrinya yang mengoceh menanyakan ini dan itu kepadanya. Ia memijat pelipisnya berusaha mengurangi rasa sakit tersebut. "Ibu! Kenapa Ibu diam saja saat Leticia berniat melihat tubuh pria itu!" bentak Sofia untuk ke sekian kalinya menyalahkan Gabriella. "Sofia!" Kali ini Gabriella membalas bentakan putrinya tak kalah tinggi. Ia menatap tajam
Helaan napas berat keluar dari mulut Leticia selepas masuk ke dalam kamarnya. Ia akhirnya menyendiri tanpa mendengar suara apapun. Kamar yang ia tinggalkan sejak pagi cukup gelap kini di malam hari. Ia berjalan ke arah saklar lampu dan menekan tombolnya. Seketika itu juga kamar menjadi terang benderang. Leticia melangkah kembali, masuk ke dalam pintu dimana kamar mandi berada. Ia menanggalkan seluruh pakaiannya sebelum mengguyur tubuhnya di bawah shower yang hangat. Saat melamun di tengah mandinya, ingatan masa-masa bersama ayahnya ketika ibunya masih ada terlintas. "Hiks ..." Isakan tangis perlahan terdengar darinya, bercampur dengan air shower. "Ayah... Ibu... " Barulah saat itu Leticia merasakan rasa sakit akibat kepergian dari ayahnya sekaligus kerinduan terhadap sang ibu. Leticia melupakan seluruh kebencian dan rasa sakit yang ia alami yang disebabkan oleh ayahnya. Yang ia rasakan kini adalah sebuah kerinduan dan kesepian yang sama ketika ibunya meninggal. Juga sebuah penyesal