“Selamat pagi,” sapa Tytan pada Leticia seperti yang biasa ia lakukan. “Iya, selamat pagi.” Leticia duduk berhadapan dengan Tytan yang tengah mengoleskan slai pada roti lalu menyimpannya di atas piring miliknya. Ia mengambil gelas berisi air lemon yang juga telah tersedia di samping piring. Hari ini, setelah pembicaraan mereka yang serius tentang permintaan yang saling mereka inginkan, Leticia tidak bersikap defensif lagi seperti biasanya. Ia lebih tenang dan menerima semua yang dilakukan oleh Tytan. Seperti janjinya untuk memberikan waktu padanya satu bulan. Karena hanya satu bulan, Leticia memilih bertahan sebab hanya itu waktu yang akan diberikan. Ia telah membulatkan tekad dengan pertaruhan nyawanya bahwa ia akan meninggalkan Tytan setelah satu bulan. Mungkin dengan alasan sikapnya inilah mengapa Tytan lebih tampak ceria dari biasanya hari ini. Entah suaminya itu memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi sehingga berpikir bahwa hubungan mereka perlahan akan kembali. “Tytan.
“Selamat pagi.” “Eugh … Selamat pagi, Tytan.” Leticia membalas sapaan pagi Tytan dengan suara yang kering dan serak. Ia baru saja mengerjap-ngerjapkan matanya dan belum banyak mengumpulkan nyawa sepenuhnya. Karena setiap pagi ia selalu mendengar sapaan tersebut, Leticia tidak merasakan kejanggalan apapun. Ketika kedua matanya yang masih berat menutup kembali dan Leticia berencana kembali tertidur, saat itulah ia menyadari keanehan di pagi ini. Ia membuka matanya kembali dan pemandangan yang dilihat bukanlah seperti yang biasa dilihat. Tak heran jika selimut tebal yang ia gunakan, lebih hangat dari biasanya. Ada tangan seseorang yang memeluknya erat di dalam. Siapa lagi pelakunya jika bukan pria yang juga masih memejamkan matanya di samping Leticia. “Tytan …” panggil Leticia. “Hm?” Suara Tytan tak kalah serak dan beratnya dengan Leticia khas seseorang yang baru bangun. Itu mengartikan jika Tytan bukan baru saja datang. “Kenapa bisa kau tidur di kamarku?” tanya Leticia pelan, ber
“Hai, apa kabarmu, Sofia?” Leticia tersenyum dan menyapa singkat adik tirinya tersebut. Ia memperhatikan senyum yang sekilas terbentuk itu kini luntur kembali. Merasa bahwa harapan yang diinginkannya tidak tercapai. Apa dia pikir kakaknya ini akan gemetar ketakutan dan bahkan tidak bisa menatap mata adiknya? Tidak ada lagi Leticia seperti di masa lalu. Ia sudah terlalu banyak menderita sehingga orang semacam Sofia bukanlah sebuah masalah besar lagi baginya. “Aku baik-baik saja, Kak. Bagaimana denganmu?” tanyanya kembali setelah mengatur ekspresinya lagi. ‘Aku menderita, sangat menderita bahkan setelah menikah. Menikah dengan orang yang sama seperti yang kalian rencanakan yang menyebabkan aku mati. Kini aku akan bercerai darinya setelah satu bulan, sesuai dengan apa yang kau inginkan. Merebut priaku juga.' Tampaknya ini adalah jawaban yang diinginkan oleh Sofia, atau reaksi yang menunjukkannya. "Tytan memperlakukanku dengan baik, bagaimana bisa aku tidak baik-baik saja bersama ka
Keduanya menoleh ke belakang dan Leticia melihat seorang pria yang tampak berusia tak jauh berbeda dengan Tytan. Anehnya, ia merasa tidak asing dengan wajah pria tersebut. Leticia mencoba mengingat-ngingat wajahnya, tetapi bersamaan dengan itu ia merasakan genggaman tangan Tytan mengerat lebih keras. "Tytan ... kau terlalu keras menggenggamku," protes Leticia mencoba melepaskan tangan Tytan. "Ohh, maafkan aku, Leticia." Tytan melihat ke bawah, tepatnya tangan istrinya. Mengusap-ngusapnya lembut, menggantikan rasa sakit tadi. "Hei, kau sengaja pulang lebih malam bahkan membawa istrimu ke kantor agar tidak bertemu denganku, ya? Kau sebenarnya sudah tahu kedatanganku, 'kan?" Orang di belakang mereka kembali bersua, ikut berbicara di antara keduanya. Kesan pertama Leticia padanya adalah bahwa ia cukup banyak berbicara, seperti Diego. Leticia meneliti lebih detail wajahnya, ekspresi yang ia pasang, dan bagaimana penampilannya yang terasa familiar. Sekuat apapun Leticia mencoba mengingat
“Terima kasih, Julius.” Leticia mengambil nampan berisi menu makan malamnya setelah sampai di kamarnya. Julius menundukkan kepala sopan. “Saya ingin menyampaikan informasi kalau Diego akan kembali bertugas menggangtikan saya, Nyonya Muda.” Leticia merenung sebentar, sebelum tersenyum kembali pada bodyguard sementaranya yang telah menemaninya cukup lama selama Diego sakit. “Baiklah, terima kasih sudah menjagaku selama ini, Julius. Kau sudah bekerja keras.” “Saya juga berterima kasih, Nyonya Muda. Selamat beristirahat dan selamat malam.” Leticia hanya mengangguk dan Julius menutup pintu setelahnya. Langkah kaki membawa Leticia ke arah sofa yang menghadap jendela. Ia meletakkan nampan tersebut di atas meja dan mulai meminum lemon hangatnya. Selama beberapa detik berlalu, piring berisi makanan itu belum disentuhnya sama sekali. Pikirannya kembali pada D’angelo. Leticia sebenarnya tidak terlalu lapar, ia hanya ingin berbicara sebentar pada pria itu. Sambil berusaha mengingat-ngingat s
Leticia termenung di atas tempat tidurnya sekepergian Tytan dari kamarnya. Sikap dan bagaimana cara bicara suaminya itu, jelas menunjukkan bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Leticia tidak mengetahui apa yang disembunyikan, tetapi dari apa yang dikatakan, Tytan tampak akan pergi. Apa ia akan pergi jauh dan cukup lama seperti terakhir kali saat ia sakit? Waktu terlama Tytan pergi terakhir kali adalah hampir satu bulan. Jika Tytan pergi selama itu, maka waktu kebersamaan mereka akan habis. Lalu mereka akan berpisah seperti rencana awal. Ketika mengingatnya, tidak dapat dipungkiri bahwa sudut hati Leticia merasa sedih dan tak rela. ‘Tidak, ini adalah hal yang harus aku lakukan demi hidupku!’ tegas Leticia sembari menggelengkan kepala. Menolak perasaan tidak masuk akal yang mengganggu keputusannya berdasar logika. Setelah kembali meyakinkan dirinya sendiri, Leticia bangkit berdiri meninggalkan kasurnya. Ia berjalan ke arah pintu untuk menuju ke dapur. Rumah sangat sepi pagi ini, bahkan ia
"Ayo turun," ajak Tytan sembari melepas sabuk pengamannya. Leticia pun melepaskan sabuk pengamannya. Ia turun bersamaan dengan Tytan yang melangkah ke arahnya untuk berjalan bergandengan. Mereka masuk ke dalam rumah yang tidak tampak seperti sebuah rumah yang sedang berkabung. Pasalnya suasana lebih sepi untuk ukuran acara pemakaman dari seorang pebisnis. Nama keluarga Ramona dan RM Ent. mungkin tidak terlalu dikenal di negara, tetapi tetap kolega bisnis pasti ada. Meski bisnis mereka bahkan hampir saja gulung tikar jika tanpa Castellan Corp. Ketika masuk ke dalam dan mencapai ruang tamu, barulah suasana tampak seperti sebuah acara berkabung. Pelayan yang sibuk seluruhnya mengenakan seragam hitam dan beberapa menangis. Di ruangan yang sudah ditata sedemikian rupanya, di sanalah Gabriella dan Sofia duduk. Di samping peti mati berisi jasad Rafaelo yang telah rapi. "Selamat datang, Nona Leticia." Butler menyapa kedatangan Leticia saat menyadari kehadirannya. Ia melirik sebentar pada
Satu pun pelayan tidak ada yang berani datang ke hadapan kedua majikannya, setelah mengantar jus, berniat mendinginkan suasana. Namun, alih-alih dingin, pelayan tersebut mendapatkan pukulan bertubi dari Gabriella dan Sofia yang berada dalam luapan emosi. Semua tak lain disebabkan oleh Leticia. Gadis yang telah pergi dengan kekacauan yang ia bawa itu, kini digantikan oleh pelayan tak berdosa yang malang. "Ibu, bagaimana ini? Bagaimana jika dokter itu menemukan kebenarannya? Lalu Leticia datang lagi dengan bukti dan para polisi?” Kepala Gabriella yang telah pening dan hampir meledak, semakin bertambah rasa sakitnya. Ditambah mendengar sejak tadi putrinya yang mengoceh menanyakan ini dan itu kepadanya. Ia memijat pelipisnya berusaha mengurangi rasa sakit tersebut. "Ibu! Kenapa Ibu diam saja saat Leticia berniat melihat tubuh pria itu!" bentak Sofia untuk ke sekian kalinya menyalahkan Gabriella. "Sofia!" Kali ini Gabriella membalas bentakan putrinya tak kalah tinggi. Ia menatap tajam
"Ini ruangan dimana mendiang Tuan Ramona dan Nyonya Gabriella dulu bekerja, Nona Leticia." Tuan Armond, pria paruh baya yang kala itu datang ke rumah Leticia dan banyak membantunya, kini juga yang menolongnya. Hanya dia satu-satunya yang terpikirkan dalam benaknya setelah berdebat dengan Tytan. Leticia juga sudah melihat latar belakang Tuan Armond, sehingga ia cukup beruntung karena posisi tingginya yang dipastikan mengetahui lebih baik dari siapapun tentang perusahaan. Gabriella yang mengetahui Tytan dan kerja sama di antara kedua perusahaan, Leticia pasti menemukan sesuatu di kantor. "Maaf saya merepotkan Anda, Tuan. Saya masih memiliki banyak kekurangan, saya masih memerlukan bantuan Anda." Tuan Armon tertawa kecil, menunduk tak enak pada Leticia. "Anda tidak perlu sungkan, saya sebagai bawahan tentu saja akan menolong Anda." Semenjak pria ini datang ke rumahnya beberapa waktu lalu, Leticia bisa merasakan jika orang ini adalah tipe orang yang senang menjilat. Tidak heran jika dia
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu, Leticia. Sebagai besan, kami bahkan belum sempat bertemu satu sama lain." Massimo dengan cerdiknya mengatur ekspresi wajahnya dan membawa Leticia pada pembicaraan yang hangat dan normal. Seolah ia menghargai hubungan harmonis antara menantu dan mertua yang tengah dijalaninya. Leticia yang polos tanpa mengetahui apapun sudah terkelabui. Sementara Tytan dan D'angelo yang sulit menerima sikap tersebut dari Massimo tidak bisa turut mengikuti permainannya. Sehingga Leticia mau tak mau menaruh curiga bahwa hubungan ayah dan anak keduanya tidak terlalu baik. Bagaimana bisa mereka melakukannya sementara selama ini yang sudah mereka lihat adalah sisi terkejamnya? "Tidak apa, Ayah. Ayah pasti sangat sibuk dan Ayah saya juga sakit sehingga sulit untuk bepergian,” kata Leticia menenangkan. Massimo mengelus rambut Leticia dan menatapnya penuh kemalangan. "Jangan khawatir, Nak. Anggap saja aku ayah kandungmu sendiri. Aku selalu ingin memiliki se
"Le-leticia?" Baik Tytan maupun Leticia sama-sama membeku ketika melihat satu sama lain. Mereka juga sama-sama merasa malu, baik itu Tytan yang dilihat dan Leticia yang melihat. Brak! Leticia segera menutup pintu dengan sedikit keras, berusaha menutupi wajahnya yang memerah. Ia menyesali dirinya yang terlalu bersemangat, sehingga berakhir dengan melihat pemandangan tubuh Tytan yang setengah telanjang dan basah. Leticia menepuk-nepuk pipinya berulang kali untuk menetralkan rasa gugup. 'Tunggu, bukankah kami sudah melihat satu sama lain?' tanya Leticia dalam batin pada dirinya sendiri. Leticia mengangguk sekali, merasa jika ini adalah hal yang wajar bagi mereka berdua. Leticia kembali membuka pintu dan tidak melihat Tytan lagi. "Tytan?" panggil Leticia. "Aku sedang memakai baju, Sayang!" Jawaban Tytan bersamaan dengan tangan Leticia yang membuka knop pintu ruang ganti. Tytan tampak terburu-buru mengenakan kaos panjangnya. Namun, sayangnya itu terlambat karena apa yang ingin disem
Ekspresi Gabriella tampak kecewa ketika melihat Leticia yang duduk di balik kaca pengunjungnya. Begitu petugas sipir melepaskannya, langkah Gabriella bergegas datang ke arah Leticia. Dari ekspresi wajah yang terlihat, ia jelas menyimpan dendam yang teramat dalam. Tentu saja setelah semua yang terjadi dan Leticia lakukan. "Untuk apa lagi kau datang kemari, anak durhaka! Sudah puas kau menghancurkan diriku dan putriku?!" bentak Gabriella. Kali ini Leticia tidak memberikan respon. Ia tidak lagi takut, panik, dan cemas. Hari ini, ia melihat Gabriella tidak lebih dari seperti tikus yang mencicit karena terjepit. "Kurasa Ibu bukan orang yang religius. Aku tak menyangka sematan itu akan keluar dari mulutmu," kata Leticia tenang. "Kau jalang kecil yang seperti ibumu!" Gabriella memukul-mukul kaca tebal di antara mereka. "Tenanglah, Ibu. Atau kau akan mendapat pemotongan waktu dan aku tidak sempat mengatakan selamat tinggal," ucap Leticia yang justru semakin meningkatkan emosi Gabriella.
Gabriella tersenyum puas saat berhasil menghentikan Massimo, tetapi ia tidak bisa merasa lebih lega lagi karena takut pada apa yang dipikirkan oleh pria itu. Meskipun keputusan ini di luar prediksinya, Gabriella hanya menginginkan setidaknya kebebasan Sofia, jika ini memang adalah kehancurannya. "Be-benar, aku mengatakan yang sesungguhnya. Hanya kau, malam itu, pelanggan yang tidak aman saat berhubungan denganku. Aku tidak pernah mengalaminya dengan pelanggan manapun, Massimo. Sofia adalah putrimu, tolong setidaknya bebaskan dia. Demi masa depannya." Gabriella mengeluarkan air mata, menangis, memohon dengan putus asa di hadapan Massimo untuk belas kasihnya. Tidak peduli dengan orang itu yang tidak memiliki belas kasihan, Gabriella berusaha mengetuk pintu hatinya dengan fakta ini. Wajah yang datar itu kini terdistorsi. Ia kembali melangkah ke arah kursi dan duduk berhadapan dengannya sekali lagi. Gabriella tampak sangat lega karena sebuah harapan yang tampak diberikan. Namun, ia san
"Nyonya Gabriella, Anda memiliki kunjungan." Seorang petugas berseragam menghampiri sel tahanan dimana Gabriella menempati. Ketika mendengar hal tersebut, wanita yang dipanggil itu segera bangun. Gabriella menghampiri pintu besi yang memenjarakannya, lantas keluar setelah gembok dibuka. "Siapa yang mengunjungi saya? Pengacara saya sudah datang?" tanyanya penasaran di tengah langkah mereka. Petugas tidak menjawab. Namun, sesampainya di ruang kunjungan khusus, Gabriella mendapatkan jawabannya. Langkah kakinya terhenti ketika melihat siapa seseorang yang menunggunya. Ia membeku selama beberapa detik. "Waktu Anda hanya singkat, silahkan berbicara." Suara dari petugas tersebut mengintrupsi dirinya. Gabriella perlahan mendekat pada kursi yang berhadapan dengan lawan bicara, berhalangan kaca tebal. Ia duduk di sana dengan canggung, tetapi secara bersamaan berusaha tampak semenyedihkan mungkin. "Kau bahkan belum melalui sidang, tetapi tampangmu seakan telah hancur sepenuhnya." Tawa ejeka
“Kau baik-baik saja, ‘kan?” tanya Leticia kembali setelah lama tidak ada pembicaraan di antara mereka. Helaan napas terdengar dari seberang telpon yang dilakukan oleh Tytan. Kini Leticia merasa sangat bersalah, di samping rasa kekhawatirannya. Tytan mungkin menganggap kekhawatirannya berlebihan jika semua baik-baik saja. Atau yang terparah, Tytan akan menganggap bahwa dirinya memiliki sisi yang posesif. Mengingat hal tersebut membuat Leticia sangat malu hingga ingin menutup telpon. Namun, demi memuaskan rasa khawatirnya ini, ia tetap ingin memastikan bagaimana kondisi suaminya. “Kau mengingkari janjimu padaku, Tytan,” ucap Leticia saat tidak ada lagi di antara mereka yang berbicara. “Maafkan aku, Sayang. Pekerjaanku mengharuskan aku agar tetap di sini, beberapa kali juga aku harus pergi ke kantor selama pergantian sekretaris baru.” Kali ini giliran Leticia yang menghela napas lega. Setidaknya Tytan terdengar baik-baik saja. “Aku tidak bermaksud untuk mengganggumu, maaf. Sejak kemar
"Dasar gila!" ujar D'angelo setelah dipastikan hanya ada mereka bertiga di rumah ini, yang mana Gaspar jelas tak sadarkan diri. Seluruh wajah tanpa ekspresi itu luruh dan berganti dengan kernyitan di dahinya. Pertanda bahwaa ia sangat kesal dengan berdiri di posisinya kini. "Kenapa aku harus berada di sini?!" "Kenapa kau harus mengabaikan telponku? Darimana ide gila nan agresif itu, Tytan?!" Sekali lagi D'angelo menggerutu, tidak peduli dengan lawan bicaranya. Satu tak sadarkan diri dan yang lain tengah berjuang menahan rasa sakit mati-matian. "Simpan ocehanmu atau mengoceh lah sambil mengobati Gaspar!" seru Tytan setengah membentak dengan tidak sabar pada D'angelo. "Dia tidak tertembak! Dia tidak mati, dia hanya sekarat karena menjadi samsak tinju darinya!" balas D'angelo, yang kali ini menuruti perkataan Tytan. "Gaspar, kau bisa bangun? Bangunlah, aku harus mengurus bosmu yang terkena tembekan yang mana lukanya lebih darurat." Alih-alih memapahnya dan segera mengobati luka Gasp
“Semua akan baik-baik saja, percayalah. Kau sudah bekerja dengan keras.” Tytan mengelus punggung Leticia yang berada dalam pelukannya usai serangkaian pembicaraan yang telah istrinya lakukan bersama polisi. Setelah membawa para polisi ke kediaman Ramona untuk menangkap Gabriella, Leticia turut memberikan keterangannya. Butuh waktu cukup lama hingga langit berubah gelap untuk menyelesaikan pertanyaan dari mereka. “Terima kasih sudah selalu menemaniku. Kau pasti sebenarnya sangat sibuk, ‘kan? Bagaimana bisa kau menundanya dan lebih memilih di sini?” Ada rasa bersalah dari nada pertanyaan yang dilontarkan. “Sudah kukatakan kau adalah prioritasku,” jawab Tytan gemas seraya mencium rambutnya lembut. “Ayo kita pulang,” ajaknya kemudian. “Tidak, aku akan tinggal di rumah untuk saat ini.” Pernyataan dari Leticia mendapatkan tatapan protes dari Tytan. Ia jelas tidak menyukai opsi tersebut. “Aku hanya sedikit merindukan Ayah, dan lagi, aku juga harus mempersiapkan pemakaman yang layak unt