Keduanya menoleh ke belakang dan Leticia melihat seorang pria yang tampak berusia tak jauh berbeda dengan Tytan. Anehnya, ia merasa tidak asing dengan wajah pria tersebut. Leticia mencoba mengingat-ngingat wajahnya, tetapi bersamaan dengan itu ia merasakan genggaman tangan Tytan mengerat lebih keras. "Tytan ... kau terlalu keras menggenggamku," protes Leticia mencoba melepaskan tangan Tytan. "Ohh, maafkan aku, Leticia." Tytan melihat ke bawah, tepatnya tangan istrinya. Mengusap-ngusapnya lembut, menggantikan rasa sakit tadi. "Hei, kau sengaja pulang lebih malam bahkan membawa istrimu ke kantor agar tidak bertemu denganku, ya? Kau sebenarnya sudah tahu kedatanganku, 'kan?" Orang di belakang mereka kembali bersua, ikut berbicara di antara keduanya. Kesan pertama Leticia padanya adalah bahwa ia cukup banyak berbicara, seperti Diego. Leticia meneliti lebih detail wajahnya, ekspresi yang ia pasang, dan bagaimana penampilannya yang terasa familiar. Sekuat apapun Leticia mencoba mengingat
“Terima kasih, Julius.” Leticia mengambil nampan berisi menu makan malamnya setelah sampai di kamarnya. Julius menundukkan kepala sopan. “Saya ingin menyampaikan informasi kalau Diego akan kembali bertugas menggangtikan saya, Nyonya Muda.” Leticia merenung sebentar, sebelum tersenyum kembali pada bodyguard sementaranya yang telah menemaninya cukup lama selama Diego sakit. “Baiklah, terima kasih sudah menjagaku selama ini, Julius. Kau sudah bekerja keras.” “Saya juga berterima kasih, Nyonya Muda. Selamat beristirahat dan selamat malam.” Leticia hanya mengangguk dan Julius menutup pintu setelahnya. Langkah kaki membawa Leticia ke arah sofa yang menghadap jendela. Ia meletakkan nampan tersebut di atas meja dan mulai meminum lemon hangatnya. Selama beberapa detik berlalu, piring berisi makanan itu belum disentuhnya sama sekali. Pikirannya kembali pada D’angelo. Leticia sebenarnya tidak terlalu lapar, ia hanya ingin berbicara sebentar pada pria itu. Sambil berusaha mengingat-ngingat s
Leticia termenung di atas tempat tidurnya sekepergian Tytan dari kamarnya. Sikap dan bagaimana cara bicara suaminya itu, jelas menunjukkan bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Leticia tidak mengetahui apa yang disembunyikan, tetapi dari apa yang dikatakan, Tytan tampak akan pergi. Apa ia akan pergi jauh dan cukup lama seperti terakhir kali saat ia sakit? Waktu terlama Tytan pergi terakhir kali adalah hampir satu bulan. Jika Tytan pergi selama itu, maka waktu kebersamaan mereka akan habis. Lalu mereka akan berpisah seperti rencana awal. Ketika mengingatnya, tidak dapat dipungkiri bahwa sudut hati Leticia merasa sedih dan tak rela. ‘Tidak, ini adalah hal yang harus aku lakukan demi hidupku!’ tegas Leticia sembari menggelengkan kepala. Menolak perasaan tidak masuk akal yang mengganggu keputusannya berdasar logika. Setelah kembali meyakinkan dirinya sendiri, Leticia bangkit berdiri meninggalkan kasurnya. Ia berjalan ke arah pintu untuk menuju ke dapur. Rumah sangat sepi pagi ini, bahkan ia
"Ayo turun," ajak Tytan sembari melepas sabuk pengamannya. Leticia pun melepaskan sabuk pengamannya. Ia turun bersamaan dengan Tytan yang melangkah ke arahnya untuk berjalan bergandengan. Mereka masuk ke dalam rumah yang tidak tampak seperti sebuah rumah yang sedang berkabung. Pasalnya suasana lebih sepi untuk ukuran acara pemakaman dari seorang pebisnis. Nama keluarga Ramona dan RM Ent. mungkin tidak terlalu dikenal di negara, tetapi tetap kolega bisnis pasti ada. Meski bisnis mereka bahkan hampir saja gulung tikar jika tanpa Castellan Corp. Ketika masuk ke dalam dan mencapai ruang tamu, barulah suasana tampak seperti sebuah acara berkabung. Pelayan yang sibuk seluruhnya mengenakan seragam hitam dan beberapa menangis. Di ruangan yang sudah ditata sedemikian rupanya, di sanalah Gabriella dan Sofia duduk. Di samping peti mati berisi jasad Rafaelo yang telah rapi. "Selamat datang, Nona Leticia." Butler menyapa kedatangan Leticia saat menyadari kehadirannya. Ia melirik sebentar pada
Satu pun pelayan tidak ada yang berani datang ke hadapan kedua majikannya, setelah mengantar jus, berniat mendinginkan suasana. Namun, alih-alih dingin, pelayan tersebut mendapatkan pukulan bertubi dari Gabriella dan Sofia yang berada dalam luapan emosi. Semua tak lain disebabkan oleh Leticia. Gadis yang telah pergi dengan kekacauan yang ia bawa itu, kini digantikan oleh pelayan tak berdosa yang malang. "Ibu, bagaimana ini? Bagaimana jika dokter itu menemukan kebenarannya? Lalu Leticia datang lagi dengan bukti dan para polisi?” Kepala Gabriella yang telah pening dan hampir meledak, semakin bertambah rasa sakitnya. Ditambah mendengar sejak tadi putrinya yang mengoceh menanyakan ini dan itu kepadanya. Ia memijat pelipisnya berusaha mengurangi rasa sakit tersebut. "Ibu! Kenapa Ibu diam saja saat Leticia berniat melihat tubuh pria itu!" bentak Sofia untuk ke sekian kalinya menyalahkan Gabriella. "Sofia!" Kali ini Gabriella membalas bentakan putrinya tak kalah tinggi. Ia menatap tajam
Helaan napas berat keluar dari mulut Leticia selepas masuk ke dalam kamarnya. Ia akhirnya menyendiri tanpa mendengar suara apapun. Kamar yang ia tinggalkan sejak pagi cukup gelap kini di malam hari. Ia berjalan ke arah saklar lampu dan menekan tombolnya. Seketika itu juga kamar menjadi terang benderang. Leticia melangkah kembali, masuk ke dalam pintu dimana kamar mandi berada. Ia menanggalkan seluruh pakaiannya sebelum mengguyur tubuhnya di bawah shower yang hangat. Saat melamun di tengah mandinya, ingatan masa-masa bersama ayahnya ketika ibunya masih ada terlintas. "Hiks ..." Isakan tangis perlahan terdengar darinya, bercampur dengan air shower. "Ayah... Ibu... " Barulah saat itu Leticia merasakan rasa sakit akibat kepergian dari ayahnya sekaligus kerinduan terhadap sang ibu. Leticia melupakan seluruh kebencian dan rasa sakit yang ia alami yang disebabkan oleh ayahnya. Yang ia rasakan kini adalah sebuah kerinduan dan kesepian yang sama ketika ibunya meninggal. Juga sebuah penyesal
"Ini gila." Leticia memandangi tubuhnya yang setengah telanjang di depan cermin besar di dalam ruang gantinya. Ia lantas menyeret kakinya untuk duduk di meja rias. Ia bahkan tidak sanggup untuk berdiri lebih lama lagi karena pegal. Tidak hanya kakinya, tetapi sekujur tubuhnya. Terutama organ reproduksinya yang masih terasa perih. "Tytan!" Leticia lagi-lagi menggeram ketika melihat pahanya yang penuh dengan tanda kemerahan akibat ulah suaminya. Sepanjang lengannya juga lehernya tak luput dari kebrutalan pria itu. "Leticia …" Suara serak nan lirih terdengar dari luar ruang ganti, di kamarnya. Suara tersebut menandakan jika sang pelaku penyebab kekesalan Leticia pagi ini telah bangun. "Sayang?" Suara Tytan semakin jelas, kemudian derap langkah menyusul terdengar, lalu ketukan pintu pada akhirnya. "Leticia?" "Ja-jangan masuk kemari!” cegah Leticia saat melihat knop pintu berputar yang lupa ia kunci, tetapi sayangnya terlambat. Kepala suaminya telah menyembul ke dalam, kemudian seluru
Satu minggu kemudian "Tuan Muda, bukankah sebaiknya Anda mengangkat telpon dari Tuan D'angelo?" tanya Gaspar dengan raut cemas. "Seberapa sering dia menelpon?" Alih-alih ikut merasa cemas, Tytan tetap membalas pertanyaan Gaspar dengan santai. "Cukup banyak hingga mungkin mengartikan sebagai keadaan darurat. Ini sudah satu minggu dari sejak Anda seharusnya pergi ke Sisilia." Tytan tahu apa yang hendak dikatakan oleh Gaspar. Ia memperingatkannya. Alih-alih pergi ke Sisilia atau setidaknya mengangkat telpon D'angelo untuk mendengar kabar Massimo, Tytan melakukan semua tanpa perintah siapapun. Bahkan dengan beraninya menyeret Gabriella yang memegang peranan penting terhadap rencana Massimo. Tidak aneh jika Tytan berada dalam bahaya. Namun, pria itu sama sekali tak bergeming. "Bagaimana dengan kabar rumah sakit? Kau tidak datang hanya untuk memberitahuku itu saja, 'kan?" tanya Tytan mengalihkan pembicaraan. Gaspar yang semakin cemas setiap harinya hanya bisa menghela napas. "Dokter f