Helaan napas berat keluar dari mulut Leticia selepas masuk ke dalam kamarnya. Ia akhirnya menyendiri tanpa mendengar suara apapun. Kamar yang ia tinggalkan sejak pagi cukup gelap kini di malam hari. Ia berjalan ke arah saklar lampu dan menekan tombolnya. Seketika itu juga kamar menjadi terang benderang. Leticia melangkah kembali, masuk ke dalam pintu dimana kamar mandi berada. Ia menanggalkan seluruh pakaiannya sebelum mengguyur tubuhnya di bawah shower yang hangat. Saat melamun di tengah mandinya, ingatan masa-masa bersama ayahnya ketika ibunya masih ada terlintas. "Hiks ..." Isakan tangis perlahan terdengar darinya, bercampur dengan air shower. "Ayah... Ibu... " Barulah saat itu Leticia merasakan rasa sakit akibat kepergian dari ayahnya sekaligus kerinduan terhadap sang ibu. Leticia melupakan seluruh kebencian dan rasa sakit yang ia alami yang disebabkan oleh ayahnya. Yang ia rasakan kini adalah sebuah kerinduan dan kesepian yang sama ketika ibunya meninggal. Juga sebuah penyesal
"Ini gila." Leticia memandangi tubuhnya yang setengah telanjang di depan cermin besar di dalam ruang gantinya. Ia lantas menyeret kakinya untuk duduk di meja rias. Ia bahkan tidak sanggup untuk berdiri lebih lama lagi karena pegal. Tidak hanya kakinya, tetapi sekujur tubuhnya. Terutama organ reproduksinya yang masih terasa perih. "Tytan!" Leticia lagi-lagi menggeram ketika melihat pahanya yang penuh dengan tanda kemerahan akibat ulah suaminya. Sepanjang lengannya juga lehernya tak luput dari kebrutalan pria itu. "Leticia …" Suara serak nan lirih terdengar dari luar ruang ganti, di kamarnya. Suara tersebut menandakan jika sang pelaku penyebab kekesalan Leticia pagi ini telah bangun. "Sayang?" Suara Tytan semakin jelas, kemudian derap langkah menyusul terdengar, lalu ketukan pintu pada akhirnya. "Leticia?" "Ja-jangan masuk kemari!” cegah Leticia saat melihat knop pintu berputar yang lupa ia kunci, tetapi sayangnya terlambat. Kepala suaminya telah menyembul ke dalam, kemudian seluru
Satu minggu kemudian "Tuan Muda, bukankah sebaiknya Anda mengangkat telpon dari Tuan D'angelo?" tanya Gaspar dengan raut cemas. "Seberapa sering dia menelpon?" Alih-alih ikut merasa cemas, Tytan tetap membalas pertanyaan Gaspar dengan santai. "Cukup banyak hingga mungkin mengartikan sebagai keadaan darurat. Ini sudah satu minggu dari sejak Anda seharusnya pergi ke Sisilia." Tytan tahu apa yang hendak dikatakan oleh Gaspar. Ia memperingatkannya. Alih-alih pergi ke Sisilia atau setidaknya mengangkat telpon D'angelo untuk mendengar kabar Massimo, Tytan melakukan semua tanpa perintah siapapun. Bahkan dengan beraninya menyeret Gabriella yang memegang peranan penting terhadap rencana Massimo. Tidak aneh jika Tytan berada dalam bahaya. Namun, pria itu sama sekali tak bergeming. "Bagaimana dengan kabar rumah sakit? Kau tidak datang hanya untuk memberitahuku itu saja, 'kan?" tanya Tytan mengalihkan pembicaraan. Gaspar yang semakin cemas setiap harinya hanya bisa menghela napas. "Dokter f
“Semua akan baik-baik saja, percayalah. Kau sudah bekerja dengan keras.” Tytan mengelus punggung Leticia yang berada dalam pelukannya usai serangkaian pembicaraan yang telah istrinya lakukan bersama polisi. Setelah membawa para polisi ke kediaman Ramona untuk menangkap Gabriella, Leticia turut memberikan keterangannya. Butuh waktu cukup lama hingga langit berubah gelap untuk menyelesaikan pertanyaan dari mereka. “Terima kasih sudah selalu menemaniku. Kau pasti sebenarnya sangat sibuk, ‘kan? Bagaimana bisa kau menundanya dan lebih memilih di sini?” Ada rasa bersalah dari nada pertanyaan yang dilontarkan. “Sudah kukatakan kau adalah prioritasku,” jawab Tytan gemas seraya mencium rambutnya lembut. “Ayo kita pulang,” ajaknya kemudian. “Tidak, aku akan tinggal di rumah untuk saat ini.” Pernyataan dari Leticia mendapatkan tatapan protes dari Tytan. Ia jelas tidak menyukai opsi tersebut. “Aku hanya sedikit merindukan Ayah, dan lagi, aku juga harus mempersiapkan pemakaman yang layak unt
"Dasar gila!" ujar D'angelo setelah dipastikan hanya ada mereka bertiga di rumah ini, yang mana Gaspar jelas tak sadarkan diri. Seluruh wajah tanpa ekspresi itu luruh dan berganti dengan kernyitan di dahinya. Pertanda bahwaa ia sangat kesal dengan berdiri di posisinya kini. "Kenapa aku harus berada di sini?!" "Kenapa kau harus mengabaikan telponku? Darimana ide gila nan agresif itu, Tytan?!" Sekali lagi D'angelo menggerutu, tidak peduli dengan lawan bicaranya. Satu tak sadarkan diri dan yang lain tengah berjuang menahan rasa sakit mati-matian. "Simpan ocehanmu atau mengoceh lah sambil mengobati Gaspar!" seru Tytan setengah membentak dengan tidak sabar pada D'angelo. "Dia tidak tertembak! Dia tidak mati, dia hanya sekarat karena menjadi samsak tinju darinya!" balas D'angelo, yang kali ini menuruti perkataan Tytan. "Gaspar, kau bisa bangun? Bangunlah, aku harus mengurus bosmu yang terkena tembekan yang mana lukanya lebih darurat." Alih-alih memapahnya dan segera mengobati luka Gasp
“Kau baik-baik saja, ‘kan?” tanya Leticia kembali setelah lama tidak ada pembicaraan di antara mereka. Helaan napas terdengar dari seberang telpon yang dilakukan oleh Tytan. Kini Leticia merasa sangat bersalah, di samping rasa kekhawatirannya. Tytan mungkin menganggap kekhawatirannya berlebihan jika semua baik-baik saja. Atau yang terparah, Tytan akan menganggap bahwa dirinya memiliki sisi yang posesif. Mengingat hal tersebut membuat Leticia sangat malu hingga ingin menutup telpon. Namun, demi memuaskan rasa khawatirnya ini, ia tetap ingin memastikan bagaimana kondisi suaminya. “Kau mengingkari janjimu padaku, Tytan,” ucap Leticia saat tidak ada lagi di antara mereka yang berbicara. “Maafkan aku, Sayang. Pekerjaanku mengharuskan aku agar tetap di sini, beberapa kali juga aku harus pergi ke kantor selama pergantian sekretaris baru.” Kali ini giliran Leticia yang menghela napas lega. Setidaknya Tytan terdengar baik-baik saja. “Aku tidak bermaksud untuk mengganggumu, maaf. Sejak kemar
"Nyonya Gabriella, Anda memiliki kunjungan." Seorang petugas berseragam menghampiri sel tahanan dimana Gabriella menempati. Ketika mendengar hal tersebut, wanita yang dipanggil itu segera bangun. Gabriella menghampiri pintu besi yang memenjarakannya, lantas keluar setelah gembok dibuka. "Siapa yang mengunjungi saya? Pengacara saya sudah datang?" tanyanya penasaran di tengah langkah mereka. Petugas tidak menjawab. Namun, sesampainya di ruang kunjungan khusus, Gabriella mendapatkan jawabannya. Langkah kakinya terhenti ketika melihat siapa seseorang yang menunggunya. Ia membeku selama beberapa detik. "Waktu Anda hanya singkat, silahkan berbicara." Suara dari petugas tersebut mengintrupsi dirinya. Gabriella perlahan mendekat pada kursi yang berhadapan dengan lawan bicara, berhalangan kaca tebal. Ia duduk di sana dengan canggung, tetapi secara bersamaan berusaha tampak semenyedihkan mungkin. "Kau bahkan belum melalui sidang, tetapi tampangmu seakan telah hancur sepenuhnya." Tawa ejeka
Gabriella tersenyum puas saat berhasil menghentikan Massimo, tetapi ia tidak bisa merasa lebih lega lagi karena takut pada apa yang dipikirkan oleh pria itu. Meskipun keputusan ini di luar prediksinya, Gabriella hanya menginginkan setidaknya kebebasan Sofia, jika ini memang adalah kehancurannya. "Be-benar, aku mengatakan yang sesungguhnya. Hanya kau, malam itu, pelanggan yang tidak aman saat berhubungan denganku. Aku tidak pernah mengalaminya dengan pelanggan manapun, Massimo. Sofia adalah putrimu, tolong setidaknya bebaskan dia. Demi masa depannya." Gabriella mengeluarkan air mata, menangis, memohon dengan putus asa di hadapan Massimo untuk belas kasihnya. Tidak peduli dengan orang itu yang tidak memiliki belas kasihan, Gabriella berusaha mengetuk pintu hatinya dengan fakta ini. Wajah yang datar itu kini terdistorsi. Ia kembali melangkah ke arah kursi dan duduk berhadapan dengannya sekali lagi. Gabriella tampak sangat lega karena sebuah harapan yang tampak diberikan. Namun, ia san