“Aw …” Leticia mengerang begitu kesadarannya telah kembali.Dahinya yang menyerngit menandakan ada rasa sakit tidak nyaman di kepalanya. Ia lantas memegangi kepalanya, berharap rasa sakit itu akan berkurang. Perlahan-lahan, Leticia mencoba untuk bangun dan mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Tidak hanya kepala, tetapi perutnya terasa mual. Sehingga satu tangan yang lain meremas kecil perut rampingnya tersebut.“Ini fase yang tidak aku sukai,” gumamnya pelan dengan suara serak.Ingatannya telah melayang pada peristiwa semalam yang samar-samar diingat. Satu hal yang jelas dan pasti adalah semua kondisi ini disebabkan oleh alkohol. Kenyamanan dan kelegaan itu harus dibayar dengan kondisi kacaunya saat ini. Mungkin karena tidak terbiasa, Leticia merasa dalam kondisi mood yang tidak baik.Setelah mengumpulkan tenaga, gadis itu beranjak dari ranjang. Memakai sandalnya dan berjalan keluar kamar. Seperti rutinitas hari-harinya yang dimulai dengan air putih.“Selamat pagi, Nyonya.” Kali in
“So-sofia …” Suara Leticia tercekat ketika memanggil nama saudara tirinya ini. Diego yang berdiri tepat di belakang Leticia, untungnya segera menyadari keadaan buruk sang majikan. Ia menghampirinya dan melihat wajah Leticia dari dekat dengan raut kekhawatiran. “Nyonya, Anda baik-baik saja?” Nada suara dan pertanyaan yang sama dari Diego lagi-lagi menyadarkan Leticia. Meski begitu, ia sama sekali belum bisa mengumpulkan keberanian yang lebih banyak untuk sekedar membalas tatapan Sofia. Kepalanya terlalu dibanjiri oleh kenangan buruk bersama adik tirinya. Rasa takutnya sama dengan kepada Gabriella. Sofia melangkah semakin mendekati Leticia yang gemetar. Dengan nada mencemooh bertanya, “Leticia, kau baik-baik saja? Apa kau tidak ingin memeluk adikmu ini setelah lama tidak bertemu?” “Berhenti! Jangan mendekati Nyonya!” sentak Diego menghentikan Sofia yang tidak kalah terkejut. “Di-diego, aku baik-baik saja.” Barulah ada respon dari Leticia, ia menengahi pertengkaran yang mungkin bisa
“Ella, Sayang …” Suara yang sama terdengar kembali di telinga Leticia yang masih berdiri di depan pintu kamar. Ia yang masih memegang knop pintu, semakin mencengkram erat pegangannya. ‘Ayah, apa cinta Ayah sudah selesai untuk Ibu?’ geram Leticia dalam batin. Seseorang tampak berjalan tergesa dari sudut belokan menuju kemari. Leticia bisa menebak dari pakaian yang dikenakan. Dia adalah salah satu pelayan yang ada di rumah ini, meski ia tidak terlalu ingat siapa namanya. “Hei, dimana butler?” tanya Leticia begitu wanita berpakaian pelayan itu tiba di depan pintu kamar sang ayah. Wanita itu terlihat baru menyadari keberadaan Leticia yang tak jauh darinya. Ekspresinya jelas menunjukkan keterkejutan, seolah tidak mengetahui keberadaannya di rumah ini. Jelas saja karena baik Gabriella, Sofia, bahkan sampai para pelayan tidak pernah menganggapnya. Jadi, tak aneh jika kedatangannya kemari tidak ada yang mengetahui sama sekali. Melihat raut wajahnya yang mulai kembali normal ketika meliha
“Ugh …” Diego terbatuk dan bernapas terengah-engah setelah erangan kesakitannya terdengar. Kepalanya jelas sangat pening karena menghantam stir mobil sekali, sebelum airbag mengembang. Belum lagi kaca di sampingnya yang keras turut mencederai kepala. Tangan kanannya menyentuh pelipis kanan yang telah basah dan bisa dipastikan adalah darah. Bunyi sealt bet yang dibuka terdengar, kemudian ia menoleh ke belakang. Ekspresi kesakitan yang terpasang di wajahnya berubah seketika, kala melihat kondisi Leticia yang terbaring di kursi belakang. Darah turut mengalir telah membasahi jok mobil. “Nyonya!” seru Diego panik sekaligus khawatir. Pria itu segera menuju ke kursi belakang untuk mengecek kondisi sang majikan. “Nyonya Leticia, apa Anda sadar?” Setelah mengecek jika nyawanya masih ada, Diego membenarkan posisi tubuhnya. Ia hendak memanggil bantuan, sebelum kesadaran Leticia tiba-tiba kembali di tengah itu. “Di-diego, kau baik-baik saja?” “Tidak perlu mengkhawatirkan saya, tolong khawatir
“Tu-tuan Muda?” Diego yang memegangi bahunya yang terus mengeluarkan darah, menatap terkejut mobil yang baru tiba itu. Tidak hanya dirinya, tetapi dari pihak musuh juga demikian. Tidak salah lagi, mobil yang tiba-tiba datang dan menabrak beberapa orang yang berada di dekat mobil Leticia adalah mobil Tytan. Diego merasa bisa sedikit tenang, meski yang datang hanyalah bosnya seorang. Namun, di sisi lain, ia menjadi khawatir karena identitas Tytan tidak boleh terungkap. Sementara incaran mereka adalah Tytan. “Kau!” Seseorang yang berdiri di samping bosnya, pria yang tadi baru saja datang dan menyerahkan sebuah informasi, berteriak kencang. Ia tanpa pikir panjang berlari mendekat pada Tytan yang baru saja keluar dari mobil. Semua orang secara alami bergeming di tempat mereka masing-masing, menyaksikan bagaimana pria tersebut mendapat pukulan telak dari Tytan di rahangnya. Hal itu menyebabkan dia jatuh tersungkur dalam sekali hajar, tetapi tetap tidak menjatuhkan semangatnya yang berkoba
“Orang-orang tersebut sudah kami bereskan semua, Tuan Muda. Kami tidak bisa memastikan identitasnya sekarang karena tidak ada yang selamat, tetapi kami akan tetap menyelidikinya.” Ketika Tytan dengan setia menunggu Leticia sadar, Gaspar tiba. Dia masuk ke dalam ruang rawat inap Leticia dan melaporkan hasil pekerjaannya. Bisa Tytan rasakan bagaimana tatapan pria itu di belakang punggungnya. Saat ini ia menunggui Leticia sambil memegang tangannya selalu. Dengan wajah yang penuh harap bercampur kecemasan yang kentara. Bawahan setianya itu tidak akan terlalu bodoh untuk tidak menyadari perbedaan jelas tersebut. Namun, Tytan tidak peduli lagi dengan pendapat atau tentangan Gaspar. Ia sudah menyadari bagaimana perasaannya pada Leticia. Semua kekhawatiran akan masa depan atau masalah merembet yang selalu dipikirkan mengenai hubungannya dengan Leticia, ia kesampingkan lebih dulu. Sekarang Tytan hanya menginginkan kesembuhan Leticia. "Pastikan untuk segera mengetahuinya lalu jangan sampai in
“Kenapa? Apa yang kau rasakan? Apapun katakan padaku.” Dalam hitungan detik, sisi menyeramkan itu lenyap dan berganti dengan kekhawatiran. Tytan menangkap tangan Leticia dan kembali digenggamnya. “Aku sudah baik-baik saja,” jawab Leticia menenangkan. “Aku hanya ingin kau menggenggam tanganku terus.” “Tetapi sepertinya kau memiliki banyak pekerjaan untuk dikerjakan,” lanjutnya setelah melirik sekilas meja yang tak jauh dari ranjang gadis itu. Tiba-tiba genggaman tangan mereka mengerat. Suhunya menjadi semakin hangat, apalagi telapak tangan Leticia menyentuh pipi Tytan. Perbuatannya membuat pipi Leticia secara alami tersipu malu. Ia yakin wajahnya yang pucat menampakkan dengan jelas bagaimana rona merah tersebut menghiasi. “Kau adalah prioritasku, Leticia.” Seperti biasa, walau nada bicaranya yang khas dingin, tetapi selalu berhasil membuat Leticia melayang dengan perut yang dipenuhi kupu-kupu. Ia menjadi sedikit penasaran, apakah Tytan pernah berkencan sebelumnya meskipun dengan sik
Satu minggu kemudian Perawatan Leticia menjadi lebih lama dari yang seharusnya. Semua disebabkan oleh kondisi mentalnya yang tidak bagus sehingga menurunkan kondisi fisiknya. Sejak pembicaraan terakhir dengan Tytan, wanita itu menangis dan bersedih. Ditambah dengan penyakit sebelumnya yang belum sembuh, memperparah kesulitan pemulihannya. Semua juga memperparah rasa bersalah Tytan yang tidak bisa melakukan apapun. Dugaannya tepat, daripada membencinya, Leticia tampak lebih ketakutan. Setiap kali Tytan berniat mendekatinya, gadis itu akan selalu memintanya keluar dengan dingin, tanpa sedikitpun melihatnya. "Julius, lakukan tugasmu dengan baik." Hanya Julius yang menjadi harapan lain bagi Tytan, sementara Diego masih beristirahat. "Baik, Tuan Muda," jawabnya tegas. Pria itu menunduk lantas masuk ke dalam ruangan Leticia dimana gadis itu tengah membereskan pakaiannya. Genap 10 hari ia di rumah sakit, kini dokter telah memperbolehkannya pulang. Jadi, Tytan dan yang lainnya tidak lagi