"Apa kau mengerti dengan apa yang kukatakan, Leticia? Kau tidak memiliki pilihan selain menikah dengan Tuan Castellano atau hidup ayahmu akan berakhir!"
Rasa sakit menjalari rahangnya yang berada dalam cengkraman kuat seseorang. Kuku-kuku panjang miliknya yang menyentuh pipi gadis cantik itu terasa seakan menusuk kulit mulusnya. Namun, tidak sedikitpun gadis bernama Leticia ini menunjukkan ekspresi kesakitan. Alih-alih meringis, Leticia menatap wanita berlipstik merah merona tersebut dengan tatapan terkejut.'Gabriella?' ucapnya dalam batin, setengah tidak percaya pada apa yang kini dilihatnya.Wanita bernama Gabriella itu melepaskan cengkramannya pada rahang Leticia dengan kasar, membuat wajahnya menoleh ke samping. Leticia merenung dan memikirkan semua kejadian ini. Belum lama, tetapi suara Gabriella kembali terdengar."Kau dan dia hanya akan menikah secara hukum, jadi tidak ada pengucapan sumpah di altar." Kalimat yang diucapkan oleh Gabriella sama persis seperti yang ada di ingatannya.Leticia semakin terkejut dan kembali menatap sang ibu tiri. Tatapannya mengundang netra Gabriella untuk kembali mengalihkan atensi padanya. Dahi Gabriella berkerut tidak suka, melihat anak tirinya ini yang bengong dan tampak tidak mendengarkan ucapannya."Apa kau mendengarkanku, Leticia?!" bentaknya keras."I-ibu?" Tanpa sadar Leticia memanggil ibu tirinya dengan gumaman kecil nyaris berbisik.Plak!"Haruskah aku memukulmu untuk mengajarimu lagi?" desis Gabriella dengan nada dingin.Sorot mata Gabriella menyalang tajam pada Leticia. Tangannya kembali terangkat seakan hendak menamparnya kembali, tetapi ia mengurungkan niatnya, dan menghela napas dalam. Gabriella berusaha menetralkan emosinya yang sempat naik pitam, mendengar panggilan ibu dari orang yang bukan darah dagingnya."Perbaiki make up-nya sampai bekas kemerahan itu tertutupi," perintah Gabriella pada dua orang perias yang juga berada di ruang tunggu pengantin wanita. Sebelum akhirnya ia keluar menutup pintu dengan kencang.Dua perias tersebut yang semula berdiam kaku di dekat cermin tanpa berani mengintervensi, segera bergegas mendekat pada Leticia. Mereka melakukan tugasnya dengan baik tanpa banyak berbicara.Sementara Leticia masih terpaku diam menatap lurus ke depan dengan segala keterkejutan yang masih melekat. Kejadian terakhir kali dalam hidupnya bukanlah di tempat ini. Ia sangat yakin jika dirinya telah mati dalam kecelakaan mobil malam itu. Lantas, kenapa ia sekarang berada pada waktu akan menikah lagi dengan suaminya?'Apa ini semacam mimpi atau kilas balik kehidupan sebelum menuju akhirat?' tanya Leticia yang lagi-lagi dilontarkan pada dirinya sendiri.Jika ini hanya sebuah mimpi atau kilas balik, rasa sakit bekas tamparan itu tidak akan senyata ini. Orang-orang di sekitarnya, perkataan mereka, dan semua kejadian ini sangat runtut seolah terulang kembali. Jika benar semua ini terulang kembali, apa mungkin di dunia nyata ada kekuatan untuk mengulang waktu?"Kapan pernikahan akan dilangsungkan? Dan dimana ini?" tanya Leticia pada dua orang yang sibuk di depannya, untuk memastikan.Mereka yang semula menyerngit bingung, salah satunya tetap menjawab, "Pukul 9 pagi, Nona. Anda akan menikah di gereja ini, Valencia Cathedral."Benar, menurut ingatannya pun ia menikah pukul 9, di gereja ini yang berada di Kota Valencia. Ia hanya menikah secara hukum, tanpa pengucapan ikrar sumpah pernikahan. Setelah itu ia akan pergi ke mansion milik suaminya di Kota Madrid. Lalu mendekam di sana layaknya seorang tahanan. Kesepian seorang diri, tanpa mengenal dan mengetahui sedikitpun wajah dari pria yang dinikahinya selama satu tahun. Dan kecelakaan yang merenggut nyawanya pun terjadi."Anda sudah selesai, mari berdiri untuk merapikan gaunnya." Perkataan perias tersebut menyadarkan Leticia dari lamunan singkatnya. Ia berdiri mengikuti intruksi sambil kembali merenung."Emm, permisi," ucap Leticia tiba-tiba secara spontan.Dua perias tersebut yang sibuk mengatur gaun panjang nan mewah Leticia, mengalihkan atensi mereka padanya. Ia menatap keduanya bergantian dengan keringat dingin yang mulai keluar dari punggungnya."A-aku butuh ke toilet sebentar untuk sedikit menenangkan diri." Leticia sangat gugup bahkan hanya untuk sekedar meminta izin pergi ke toilet. "Aku tidak akan lama, a-aku berjanji," lanjutnya kembali meyakinkan."15 menit lagi Anda harus keluar," jawab salah satu dari mereka akhirnya membiarkan Leticia, setelah melihat sebentar rekannya."Baiklah." Setelah mendapat izin, Leticia bergegas berjalan ke arah pintu kamar mandi di ruangan ini.Leticia mengunci rapat-rapat pintunya dan memastikan jika pintu tersebut tidak bisa terbuka. Ia menjauh dari pintu dengan langkah gemetar dan menyentuh kepalanya yang tiba-tiba pening. Tubuhnya bersandar pada wastafel yang sengaja ia nyalakan untuk meredam suara."Tidak mungkin," gumamnya dengan mata melotot tidak percaya."Tidak mungkin, 'kan? Apa ini mimpi atau hanya kilas balik atau ...?" Leticia menggelengkan kepalanya. Perlahan air mata keluar membasahi wajah yang sudah terpoles make up itu. Tangan yang semula memegang kepalanya, berpindah menutupi wajahnya yang menangis.Setelah beberapa lama, Leticia menoleh ke belakang dan mendapati bayangan dirinya di dalam cermin. Saat itulah Leticia menerima dan menyadari sebuah fakta yang sangat mustahil ini. Sosok yang sangat cantik sekaligus menyedihkan itu adalah dirinya. Dirinya satu tahun lalu sebelum menikah dengan pria dari keluarga kaya raya Castellano. Sekarang Leticia kembali pada waktu ini dan akan mengulang semuanya.Sekelebat bayangan-bayangan menyedihkan kehidupannya dulu terbesit satu persatu. Semua hari terasa sangat menyakitkan dan sepi. Bahkan ayahnya yang sangat diharapkan oleh Leticia, mendorongnya ke dalam neraka pernikahan ini."Tidak, aku tidak mau hidup seperti itu dan mati muda lagi." Leticia berusaha menghentikan tangisnya dan sekali lagi melihat ke arah cermin. Wajahnya sudah kacau berantakan, seperti kehidupannya yang akan terjadi jika dirinya tetap mengikuti skenario takdir di masa lalu. "Aku harus melarikan diri dari sini."Leticia melepaskan gaun berbahan brokat yang panjang tersebut, menyisakan dalaman gaunnya yang tipis. Ia lalu melepas sepatunya dan meneliti sekitar ruang kecil ini."Nona!" Gendoran pintu dari luar menyentak Leticia.Gadis itu menoleh sebentar pada pintu, tanpa berniat menjawab mereka. Lalu tatapannya beralih pada sebuah jendela kecil di atas toilet. Ia naik ke atas toilet dan berusaha memanjat ke atas."Ada apa ini? Dimana Leticia?" Tiba-tiba suara Gabriella di luar kamar mandi membuat Leticia semakin gelisah."Nona sedang di kamar mandi, Nyonya." Suara perias tadi terdengar menjawab."Apa?! Apa kalian bodoh membiarkannya kabur?!" Suara bentakan Gabriella terdengar memarahi mereka berdua. Lalu gedoran pintu kamar mandi menyusul terdengar.Leticia semakin panik dan berusaha melompat-lompat ke arah jendela. Ia mulai mendengar Gabriella memanggil para pengawalnya dan mereka pasti akan mendobrak pintu. Sebelum para bodyguard itu datang dan mendobrak pintu, gadis itu telah berhasil memanjat, dan tanpa pikir panjang melompat turun ke bawah.Bertepatan dengan itu, para bodyguard yang dipanggil Gabriella telah berhasil mendobrak pintu kamar mandi. Tentu saja yang mereka lihat hanyalah gaun pengantin mewah bersama sepatu mahalnya. Sementara Leticia telah melarikan diri melalui jendela di atas toilet.Dua perias yang juga melihat hal tersebut mulai gemetar ketakutan. Sebab merekalah yang mengizinkan Leticia dan menjadi penyebab utama dia kabur."Tolong ampuni kami, Nyonya!" seru mereka serempak berlutut di bawah kaki Gabriella. Meminta belas kasih pengampunannya dengan isak tangis."Dasar jalang tidak berguna!" teriak Gabriella dipenuhi amarah sambil menendang mereka berdua."Cepat cari gadis itu dan bawa dia kembali!" perintahnya kemudian pada dua bodyguard tersebut yang telah menunggu perintah sang majikan."Baik, Nyonya."***Sementara itu, Leticia yang telah keluar dari ruang pengantin melalui toilet, tidak memiliki situasi yang lebih baik. Jendela itu cukup tinggi sehingga kakinya bengkak karena terkilir saat melompat turun. Ia tidak bisa diam dan beristirahat karena dirinya masih ada di dalam gereja. Bodyguard Gabriella pasti sudah mengejarnya."Ahh ..." ringisnya pelan sambil menahan sakit pada kaki yang terus ia paksakan berlari.Air mata kesakitan sekaligus rasa putus asa telah membasahi wajahnya. Ia telah berlari entah kemana dan ada dimana dirinya sekarang. Rasa frustasi mulai menghinggapi kala pintu keluar tak kunjung ditemukan."Nona Ramona, berhenti!" Suara itu membuat Leticia menoleh ke belakang.Tampak dua pria bertubuh besar itu berlari ke arahnya dari ujung lorong. Leticia melotot terkejut dan kembali memaksakan diri mempercepat langkahnya. Jantungnya berdegup kencang, berharap akan sebuah keajaiban lain yang bisa menolongnya. Mustahil bisa menghindari mereka bahkan dalam keadaan normal sekalipun.Bruk!"Aww ..." Leticia kembali meringis saat tubuhnya menabrak sesuatu yang keras hingga ia terjatuh.Ia memegangi kakinya yang berdenyut kesakitan. Pandangannya lantas tertuju pada sepasang sepatu di hadapannya. Sebelum Leticia mendongak, sebuah tangan lebih dulu terulur ke arahnya."Kau baik-baik saja, Nona?" tanya suara tersebut.Saat itulah Leticia mendongak dan melihat sepasang netra obsidian gelap sekelam malam dari wajah tampan di hadapannya. Untuk beberapa detik tatapan Leticia seakan terkunci di dalam netra obsidian tersebut.---To be continued"Nona Ramona!" Suara besar dari dua pria di belakangnya kembali terdengar, menyadarkan Leticia. Leticia menunduk kembali tanpa berani menoleh ke belakang, mengetahui orang-orang itu sudah menangkapnya. Sekang riwayat dan takdirnya sudah tidak bisa berubah. Ia akan menikah dan menjalani kehidupan menyedihkan tersebut sekali lagi dan mati. "Nona?" Di tengah degup jantung Leticia yang putus asa, suara bariton khas milik pria di depannya sekali lagi terdengar. Tangan miliknya masih terulur begitu juga ekspresi wajah dan tatapannya yang tidak berubah. Perlahan, Leticia menerima uluran tersebut dan pria itu membantunya berdiri. Ia bahkan menahan tubuhnya yang tak seimbang karena luka di kakinya. "Nona Ramona, Nyonya sudah menunggu Anda dan sebentar lagi pernikahan akan dilangsungkan," ucap salah satu bodyguard Gabriella. "A-aku ..." gumam Leticia pelan setengah berbisik. "Leticia!" seru Gabriella dari kejauhan di ujung lorong. Suara wanita itu membuat jantung Leticia mencelos, sebelu
"Apa kau ... serius?" tanya Leticia setengah tidak percaya pada apa yang baru dikatakan oleh Tytan. Tytan mengangguk sekali tanpa keraguan yang justru membuat Leticia semakin ragu. Saat sebuah keajaiban itu datang lagi, Leticia bertanya-tanya dan meragukannya. "Tytan, kau ..." ucapnya tanpa meneruskan perkataannya. Leticia berkali-kali menelan apa yang ingin ditanyakannya. Ia mempertimbangkan karena merasa pertanyaan tersebut agak kurang ajar untuk seseorang yang sudah menolongnya. Namun, ia tidak bisa menyingkirkan perasaan waspada ini begitu saja sebab semua terasa terlalu mudah. "Ada apa, Leticia?" tanya kembali Tytan yang masih memperhatikan gadis itu yang tampak ingin mengatakan sesuatu. "Tidak apa, aku, aku hanya terkejut dan tidak percaya. Kau tahu, kalau penawaran ini tidak ada untungnya bagimu," jawabnya dengan gugup karena berusaha menyembunyikan keingintahuannya. "Sekarang mungkin ya, tetapi tidak dengan nanti. Anggap saja jika aku sedang berinvestasi padamu." Leticia
'Sepertinya aku kurang memperingatkannya,' gumam Tytan dalam batin dengan kesal. Pria itu tidak menyembunyikan tatapan tajamnya pada Gabriella. Meski auranya mengintimidasi, ketika melihat keberadaan Tytan, rasanya Leticia telah selamat dari sesuatu yang lebih berbahaya. Ia baru saja hendak berdiri dan menghampiri, tetapi dia lebih dulu bergegas mendekatinya. Berbeda dengan Leticia yang lega, ekspresi Gabriella kembali menegang ketakutan. Dia segera menyingkir tanpa berpikir dua kali, dan tanpa mengatakan apapun pergi keluar begitu saja. Setelah sebelumnya menatap tajam ke arah Leticia. Sudah Leticia duga jika wanita itu sama sekali tidak tulus. "Apa kau masih tidak mengerti cara kerja gelangnya?" tanya Tytan setelah ia mengalihkan semua atensi pada gadis itu. Leticia menatap gelang tersebut sebentar sebelum kembali mendongak pada Tytan. Ia memberikan senyuman sebelum menjawab, "Aku paham, tetapi tidak ada yang membahayakan. Dia tidak melakukan apapun karena kau datang." Tytan ti
"Saya nyatakan kalian sebagai pasangan suami istri yang baru, selamat!" Begitu pernyataan dari sang pendeta diumumkan, Leticia segera membuka matanya dan menjauhkan wajah mereka yang sangat dekat. Suara tepuk tangan yang cukup riuh dari bangku tamu terdengar. Entah sejak kapan mereka—para bodyguard Tytan—mengisi bangku-bangku kosong itu. Pipi Leticia yang telah memanas karena malu, semakin mengeluarkan rona merah alami. Tytan tidak mengindahkan apa yang ia katakan tadi, entah dia tidak mendengarnya. Leticia kini sama sekali tidak bisa mengangkat wajahnya, bahkan bingung harus menatap kemana. "Silahkan tanda tangani buku nikahnya untuk dilaporkan pada pemerintah agar pernikahan kalian sah secara hukum." Suara pendeta membuat atensi Leticia beralih. Dengan tangan gemetar ia membubuhkan tanda tangannya, lalu kemudian Tytan. Setelah semua proses pernikahan selesai, pendeta itupun pergi. Barulah Leticia dan Tytan menoleh dan berbalik ke belakang. Saat itulah Leticia begitu terkejut, men
"Pria gila itu entah sedang membunuh siapa sekarang disaat anjing pemburunya menikah!" gerutu Gabriella, setelah satu kali percobaan telpon orang yang ditujunya tidak mengangkat. Memilih menyerah karena dugaan di dalam pikirannya, wanita itu menghembuskan napas panjang. Membenarkan kembali penampilannya sekilas sebelum melangkah keluar. Saat kaki jenjangnya baru menginjak lantai luar gereja, getaran ponsel di tangannya menghentikan langkah. Ia melihat sekilas nama di layar ponsel pintar miliknya sebelum menggesernya. "Akhirnya kau mengangkatku, Massimo," sapa Gabriella penuh penekanan akan sindiran. Semua umpatan dan kemarahan yang akan dilontarkan wanita itu tertahan karena telinganya menangkap sebuah suara bising di sebrang telpon. Seperti suara jeritan tertahan dan tembakan senjata api. Napas pria di seberang telpon juga terdengar terengah-engah. "Ka-kau sibuk?" tanya Gabriella pelan, menurunkan nada suaranya hingga sangat lembut. "Aku baru selesai dengan pekerjaanku, seperti
“Leticia …” “Leticia!” Ingin sekali Leticia membuka kedua matanya dan melihat siapa gerangan yang memanggil, tetapi tidak bisa. Rasanya terlalu berat dan sulit, seperti tubuhnya yang sudah sangat kaku. Suara asing yang memanggil itu bisa dipastikan milik seorang pria. Dari nada suaranya, ia terdengar sangat mencemaskan dirinya. Tidak ada sosok pria yang dikenalnya dengan baik selain ayahnya. Namun sayang, suara tersebut bukanlah milik sang ayah. "Leticia." "Leticia, kau baik-baik saja?" Sebuah tepukan pelan terasa di pipinya. Leticia sekali lagi berusaha untuk membuka mata perlahan meski rasa kantuk masih terasa. Tubuhnya kali ini tidak kaku ataupun kesakitan seperti sebelumnya. Pandangan buram miliknya perlahan semakin jelas memperlihatkan siluet wajah seorang pria tampan. "Leticia, kau baik-baik saja? Kau sudah bangun?" tanya suara tersebut terdengar kembali. Rasa pening menghantam kepala Leticia. Ia mengingat sebuah kilas balik masa lalu dimana dirinya sekarat tadi. Kini ia
‘Aku baru menyadari jika rumah ini ternyata dikelilingi pohon yang rimbun,” komentar Leticia ketika ia keluar dari kamarnya, menelusuri lorong sambil mencari kamar Tytan. Setelah mandi dan mengganti pakaian, Leticia memutuskan untuk menemui Tytan. Tidak dipungkiri jika ia memang lelah, tetapi setelah tubuhnya terkena air, rasa lelah itu tidak terlalu terasa. Sambil melihat-lihat rumah pria itu yang ternyata lebih indah jika diperhatikan lagi. Meski kesan gelap dan suram sangat kuat karena pemilihan warna cat dan furniturenya. Ditambah lokasi dari rumah ini sendiri menambah auranya. Alasan Leticia cukup berani untuk mencari kamar Tytan adalah karena ukuran rumah ini tidak terlalu besar. Hanya dua lantai, dimana lantai satu tidak ada kamar lagi. Bisa terlihat dari lantai dua jika hanya ada ruang tamu yang luas, dapur dan meja makan, juga satu kamar mandi. Ia bisa menebak jika Tytan ada di salah satu dari dua ruangan tersisa di lantai dua ini. Sebelum sampai di ruangan pertama, Leticia
"Eugh ..." Lenguhan keluar dari mulut Leticia, merasakan sinar matahari yang rasanya begitu menyengat. Tanpa mengubah posisi, tangan Leticia berusaha menghalau sinar tersebut. Namun, tak ayal tetap terasa silaunya yang mau tak mau membuat gadis itu terbangun. Kali ini ia berguling ke samping, menghindari tempat dimana sinar matahari menyorot. Ini adalah pagi pertama di rumah Tytan. Tidak ada suara hiruk pikuk khas kota metropolitan. Yang ada adalah suara kicauan burung dan tetesan-tetesan air embun. Terdengar sangat menyenangkan, tinggal di rumah yang dikelilingi pohon rimbun seperti hutan. Sangat asri. "Jam berapa ini?" gumam Leticia sembari membuka matanya sedikit, melirik ke arah jam digital di atas nakas. Seperti kebiasaannya yang sudah terbentuk, tepat pukul 7.30 pagi gadis itu sudah bangun. Tidak peduli selarut atau secepat apapun ia tertidur, pada pukul itulah dirinya terbangun. Karena tidak bisa lagi kembali tertidur, Leticia mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Mengump
"Ini ruangan dimana mendiang Tuan Ramona dan Nyonya Gabriella dulu bekerja, Nona Leticia." Tuan Armond, pria paruh baya yang kala itu datang ke rumah Leticia dan banyak membantunya, kini juga yang menolongnya. Hanya dia satu-satunya yang terpikirkan dalam benaknya setelah berdebat dengan Tytan. Leticia juga sudah melihat latar belakang Tuan Armond, sehingga ia cukup beruntung karena posisi tingginya yang dipastikan mengetahui lebih baik dari siapapun tentang perusahaan. Gabriella yang mengetahui Tytan dan kerja sama di antara kedua perusahaan, Leticia pasti menemukan sesuatu di kantor. "Maaf saya merepotkan Anda, Tuan. Saya masih memiliki banyak kekurangan, saya masih memerlukan bantuan Anda." Tuan Armon tertawa kecil, menunduk tak enak pada Leticia. "Anda tidak perlu sungkan, saya sebagai bawahan tentu saja akan menolong Anda." Semenjak pria ini datang ke rumahnya beberapa waktu lalu, Leticia bisa merasakan jika orang ini adalah tipe orang yang senang menjilat. Tidak heran jika dia
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu, Leticia. Sebagai besan, kami bahkan belum sempat bertemu satu sama lain." Massimo dengan cerdiknya mengatur ekspresi wajahnya dan membawa Leticia pada pembicaraan yang hangat dan normal. Seolah ia menghargai hubungan harmonis antara menantu dan mertua yang tengah dijalaninya. Leticia yang polos tanpa mengetahui apapun sudah terkelabui. Sementara Tytan dan D'angelo yang sulit menerima sikap tersebut dari Massimo tidak bisa turut mengikuti permainannya. Sehingga Leticia mau tak mau menaruh curiga bahwa hubungan ayah dan anak keduanya tidak terlalu baik. Bagaimana bisa mereka melakukannya sementara selama ini yang sudah mereka lihat adalah sisi terkejamnya? "Tidak apa, Ayah. Ayah pasti sangat sibuk dan Ayah saya juga sakit sehingga sulit untuk bepergian,” kata Leticia menenangkan. Massimo mengelus rambut Leticia dan menatapnya penuh kemalangan. "Jangan khawatir, Nak. Anggap saja aku ayah kandungmu sendiri. Aku selalu ingin memiliki se
"Le-leticia?" Baik Tytan maupun Leticia sama-sama membeku ketika melihat satu sama lain. Mereka juga sama-sama merasa malu, baik itu Tytan yang dilihat dan Leticia yang melihat. Brak! Leticia segera menutup pintu dengan sedikit keras, berusaha menutupi wajahnya yang memerah. Ia menyesali dirinya yang terlalu bersemangat, sehingga berakhir dengan melihat pemandangan tubuh Tytan yang setengah telanjang dan basah. Leticia menepuk-nepuk pipinya berulang kali untuk menetralkan rasa gugup. 'Tunggu, bukankah kami sudah melihat satu sama lain?' tanya Leticia dalam batin pada dirinya sendiri. Leticia mengangguk sekali, merasa jika ini adalah hal yang wajar bagi mereka berdua. Leticia kembali membuka pintu dan tidak melihat Tytan lagi. "Tytan?" panggil Leticia. "Aku sedang memakai baju, Sayang!" Jawaban Tytan bersamaan dengan tangan Leticia yang membuka knop pintu ruang ganti. Tytan tampak terburu-buru mengenakan kaos panjangnya. Namun, sayangnya itu terlambat karena apa yang ingin disem
Ekspresi Gabriella tampak kecewa ketika melihat Leticia yang duduk di balik kaca pengunjungnya. Begitu petugas sipir melepaskannya, langkah Gabriella bergegas datang ke arah Leticia. Dari ekspresi wajah yang terlihat, ia jelas menyimpan dendam yang teramat dalam. Tentu saja setelah semua yang terjadi dan Leticia lakukan. "Untuk apa lagi kau datang kemari, anak durhaka! Sudah puas kau menghancurkan diriku dan putriku?!" bentak Gabriella. Kali ini Leticia tidak memberikan respon. Ia tidak lagi takut, panik, dan cemas. Hari ini, ia melihat Gabriella tidak lebih dari seperti tikus yang mencicit karena terjepit. "Kurasa Ibu bukan orang yang religius. Aku tak menyangka sematan itu akan keluar dari mulutmu," kata Leticia tenang. "Kau jalang kecil yang seperti ibumu!" Gabriella memukul-mukul kaca tebal di antara mereka. "Tenanglah, Ibu. Atau kau akan mendapat pemotongan waktu dan aku tidak sempat mengatakan selamat tinggal," ucap Leticia yang justru semakin meningkatkan emosi Gabriella.
Gabriella tersenyum puas saat berhasil menghentikan Massimo, tetapi ia tidak bisa merasa lebih lega lagi karena takut pada apa yang dipikirkan oleh pria itu. Meskipun keputusan ini di luar prediksinya, Gabriella hanya menginginkan setidaknya kebebasan Sofia, jika ini memang adalah kehancurannya. "Be-benar, aku mengatakan yang sesungguhnya. Hanya kau, malam itu, pelanggan yang tidak aman saat berhubungan denganku. Aku tidak pernah mengalaminya dengan pelanggan manapun, Massimo. Sofia adalah putrimu, tolong setidaknya bebaskan dia. Demi masa depannya." Gabriella mengeluarkan air mata, menangis, memohon dengan putus asa di hadapan Massimo untuk belas kasihnya. Tidak peduli dengan orang itu yang tidak memiliki belas kasihan, Gabriella berusaha mengetuk pintu hatinya dengan fakta ini. Wajah yang datar itu kini terdistorsi. Ia kembali melangkah ke arah kursi dan duduk berhadapan dengannya sekali lagi. Gabriella tampak sangat lega karena sebuah harapan yang tampak diberikan. Namun, ia san
"Nyonya Gabriella, Anda memiliki kunjungan." Seorang petugas berseragam menghampiri sel tahanan dimana Gabriella menempati. Ketika mendengar hal tersebut, wanita yang dipanggil itu segera bangun. Gabriella menghampiri pintu besi yang memenjarakannya, lantas keluar setelah gembok dibuka. "Siapa yang mengunjungi saya? Pengacara saya sudah datang?" tanyanya penasaran di tengah langkah mereka. Petugas tidak menjawab. Namun, sesampainya di ruang kunjungan khusus, Gabriella mendapatkan jawabannya. Langkah kakinya terhenti ketika melihat siapa seseorang yang menunggunya. Ia membeku selama beberapa detik. "Waktu Anda hanya singkat, silahkan berbicara." Suara dari petugas tersebut mengintrupsi dirinya. Gabriella perlahan mendekat pada kursi yang berhadapan dengan lawan bicara, berhalangan kaca tebal. Ia duduk di sana dengan canggung, tetapi secara bersamaan berusaha tampak semenyedihkan mungkin. "Kau bahkan belum melalui sidang, tetapi tampangmu seakan telah hancur sepenuhnya." Tawa ejeka
“Kau baik-baik saja, ‘kan?” tanya Leticia kembali setelah lama tidak ada pembicaraan di antara mereka. Helaan napas terdengar dari seberang telpon yang dilakukan oleh Tytan. Kini Leticia merasa sangat bersalah, di samping rasa kekhawatirannya. Tytan mungkin menganggap kekhawatirannya berlebihan jika semua baik-baik saja. Atau yang terparah, Tytan akan menganggap bahwa dirinya memiliki sisi yang posesif. Mengingat hal tersebut membuat Leticia sangat malu hingga ingin menutup telpon. Namun, demi memuaskan rasa khawatirnya ini, ia tetap ingin memastikan bagaimana kondisi suaminya. “Kau mengingkari janjimu padaku, Tytan,” ucap Leticia saat tidak ada lagi di antara mereka yang berbicara. “Maafkan aku, Sayang. Pekerjaanku mengharuskan aku agar tetap di sini, beberapa kali juga aku harus pergi ke kantor selama pergantian sekretaris baru.” Kali ini giliran Leticia yang menghela napas lega. Setidaknya Tytan terdengar baik-baik saja. “Aku tidak bermaksud untuk mengganggumu, maaf. Sejak kemar
"Dasar gila!" ujar D'angelo setelah dipastikan hanya ada mereka bertiga di rumah ini, yang mana Gaspar jelas tak sadarkan diri. Seluruh wajah tanpa ekspresi itu luruh dan berganti dengan kernyitan di dahinya. Pertanda bahwaa ia sangat kesal dengan berdiri di posisinya kini. "Kenapa aku harus berada di sini?!" "Kenapa kau harus mengabaikan telponku? Darimana ide gila nan agresif itu, Tytan?!" Sekali lagi D'angelo menggerutu, tidak peduli dengan lawan bicaranya. Satu tak sadarkan diri dan yang lain tengah berjuang menahan rasa sakit mati-matian. "Simpan ocehanmu atau mengoceh lah sambil mengobati Gaspar!" seru Tytan setengah membentak dengan tidak sabar pada D'angelo. "Dia tidak tertembak! Dia tidak mati, dia hanya sekarat karena menjadi samsak tinju darinya!" balas D'angelo, yang kali ini menuruti perkataan Tytan. "Gaspar, kau bisa bangun? Bangunlah, aku harus mengurus bosmu yang terkena tembekan yang mana lukanya lebih darurat." Alih-alih memapahnya dan segera mengobati luka Gasp
“Semua akan baik-baik saja, percayalah. Kau sudah bekerja dengan keras.” Tytan mengelus punggung Leticia yang berada dalam pelukannya usai serangkaian pembicaraan yang telah istrinya lakukan bersama polisi. Setelah membawa para polisi ke kediaman Ramona untuk menangkap Gabriella, Leticia turut memberikan keterangannya. Butuh waktu cukup lama hingga langit berubah gelap untuk menyelesaikan pertanyaan dari mereka. “Terima kasih sudah selalu menemaniku. Kau pasti sebenarnya sangat sibuk, ‘kan? Bagaimana bisa kau menundanya dan lebih memilih di sini?” Ada rasa bersalah dari nada pertanyaan yang dilontarkan. “Sudah kukatakan kau adalah prioritasku,” jawab Tytan gemas seraya mencium rambutnya lembut. “Ayo kita pulang,” ajaknya kemudian. “Tidak, aku akan tinggal di rumah untuk saat ini.” Pernyataan dari Leticia mendapatkan tatapan protes dari Tytan. Ia jelas tidak menyukai opsi tersebut. “Aku hanya sedikit merindukan Ayah, dan lagi, aku juga harus mempersiapkan pemakaman yang layak unt