Tenang saja, Bu. Mulai hari ini aku akan keluar dari rumah yang sudah menjadi rumahku sejak kecil. Aku berusaha mempertahankannya dengan merenovasinya, tapi ternyata bukan milikku. Aku harus ikhlas melepas rumah ini, sama seperti aku ikhlas melepaskan Kang Ikbal untuk Susi.Biarlah saja, wanita yang baik tentunya untuk laki-laki yang baik, demikian pula sebaliknya.[Alma, kenapa nggak dibalas? Padahal kami sudah membacanya. Tolonglah Alma. Selama ini Ibu sudah menjaga anak-anakmu dan suamimu kan?]Ibu kembali mengingatkanku akan jasanya. Aku tau dia sudah menjaga, tapi juga membuat mereka menderita. Anakku senang saat ku datang, karena mereka bebas dari penderitaan.Suami? Kurasa Ibu tak pernah menasehati Kang Ikbal dikala Kang Ikbal ingin menikahi Susi. Seharusnya Ibu bisa menasehatinya dan mengingatkan Kang Ikbal kalau ia masih terikat pernikahan denganku.[Terima kasih Ibu sudah menjaga mereka. Tapi aku tak bisa membalas semua pengorbanan Ibu. Maaf ya Bu.]Setelah itu mobil jemputa
Gegas aku mengambil ponsel dan mengambil posisi foto yang pas. Akan kuabadikan kedatangan laki-laki itu. Ia datang terburu-buru. Parkir mobil di badan jalan, walau di pinggir. Kemudian turun dan memasuki rumah Susi.Kusempatkan memoto dan merekam seadanya."Ma, ayo makan!" ajak Hanif."Yuk!" Aku mengikuti Hanif ke meja makan. Bi Ikah sudah menyiapkan makan untuk kami."Wah, terima kasih ya, Bi, sudah memberikan makan siang menjelang sore untuk kami.""Sama-sama Neng Alma. Semoga Neng Alma dan anak-anak bisa betah di sini." "Iya, Bi. Pasti itu."Seusai makan, anak-anak kembali ke kamarnya. Aku dan Bi Ikah ngobrol sama-sama."Neng Alma, tadi Bibi liat kalau Neng Susi ada di rumah depan. Memangnya Neng Susi rumahnya di situ?" tanya Bi Ikah."Iya, Bi. Susi memang tinggal di situ. Aku sengaja pindah ke sini, supaya deket sama dia. Dan taukah Bi, siapa suaminya?" Sengaja kulebarkan mata ini.Tau dong, Neng. Masa nggak tau sih?" katanya."Iya, Bi. Bibi benar waktu itu. Ia adalah Kang Ikbal,
"Yang penting ulet. Jika ada kerikil di jalan, jadikan tantangan, agar tantangan itu menjadi jalan untuk menjadi besar," katanya. Sungguh, kata-kata Kang Rahman begitu memotivasiku.Sepertinya aku cocok ngobrol bareng seperti ini dengannya. Namun ternyata sudah malam. "Kang, udah malem. Nggak kerasa ya ngobrol ngalor-ngidul, eh dah malem aja," ucapku."Iya, Teh Alma. Makasih banget ya, Akang udah dikasih kesempatan kenal lebih dekat keluargamu.""Sama-sama, Kang. Terima kasih juga silaturahimnya!" Aku mengantar sampai pintu saja. Ketika kulihat di rumah depan, motor sport Kang Ikbal datang. Mobil laki-laki tadi sudah tak ada, aku kecolongan. Tadinya mau memperhatikan kapan ia keluar dari rumah Susi, tapi tak terperhatikan."Aku pulang ya, Teh!""Iya, Kang. Hati-hati di jalan!" Kang Ikbal yang baru turun dari motor sportnya menengok ke belakang. Mungkin ia mendengar suaraku, jadi ia mencari sumber suara. Aku masuk ke dalam, bersembunyi di balik jendela. Terlihat Kang Ikbal keluar g
Dalam waktu singkat, Kang Rahman datang membawakan mobil untukku. Ia sendiri yang duduk di kemudi.Aku tau karena ketika mobilnya datang, aku sedang mengamati rumah depan. Kang Ikbal memang datang ke rumah itu dua hari ini. Itu berarti ia memang sering pulang ke sini, karena sejak ia ada di rumah pun dulu, sering pergi ke luar.Segera aku menyambut Kang Rahman di ruang tamu."Teh Alma, ini kunci mobilnya. Dicoba dulu aja, insya Allah masih baik semuanya, baik bodinya atau mesinnya," katanya."Alhamdulillah, terima kasih. Nanti aku bayar sesuai harga second di pasaran ya!""Iya, terserah Teh Alma saja. Oke saya duluan, masih ada yang harus saya kerjakan," katanya. Tanpa sadar, aku mengantarnya ke depan gerbang.Kang Rahman bersama ojeg, untuk membawanya pulang. Saat aku sedang melambaikan tangan pada Kang Rahman, Kang Ikbal dan Susi keluar dari rumahnya. Aku melihat mereka dari celah gerbang rumahnya.Buru-buru aku masuk, dan mengintip dari jendela kamarku. Kang Ikbal mengecup dahi Sus
"Halo, Alma! Pulang kamu! Dasar menantu tak punya adab! Pergi dari rumah nggak bilang-bilang, trus kamu bawa barang-barang bagus di rumah ini. Kamu juga mencuri perhiasan Ibu. Kembalikan Alma!"Dengan serta merta Ibu marah terhadapku. Ia seperti anaknya tadi pagi. Bisanya marah dan menyalahkanku tanpa berintrospeksi diri. Siapa yang memulai perang? Siapa yang memulai dzolim?"Maaf, Alma dan anak-anak tak bisa tinggal di rumah yang sudah dijadikan tebusan utang kalian. Aku tak mau membayar semuanya. Yang ada uangku habis buat menebus semua itu, kalian bisa saja kembali memperdayaku. Satu lagi, soal brankas. Aku tau itu uang anak-anakku yang kutransfer setiap bulan, Bu. Ibu sangat serakah, aku juga berikan jatah Ibu. Tapi Ibu malah mengambil jatah anak-anakku juga. Belum lagi Kang Ikbal yang ternyata sudah menikah lagi dengan Susi."Kubalas dengan jawaban yang panjang agar ia tau diri. Semua tak mungkin terjadi tanpa alasan. Aku melakukannya karena sudah tak tahan dengan perlakuan merek
Sepertinya aku tak mau langsung menerima tawarannya untuk pergi jalan-jalan. Tapi kalau Bi Ikah diajak juga, aku akan mempertimbangkannya."Kalau yang ikut kami berempat gimana? Boleh?" tanyaku memastikan."Siapa saja?""Aku, kedua anakku dan Bi Ikah. Gimana Kang?" tanyaku serius."Ya udah atuh, sok aja rame-rame. Lebih menyenangkan pastinya," jawabnya.Aku mengangguk tanda aku setuju. Anak-anak yang mendengar pembicaraan kami langsung berteriak senang. Mereka hampir tak pernah yang namanya jalan-jalan katanya kecuali ke sekolah saja."Bi, ikut ya. Kita makan di luar," kataku pada Bi Ikah."Bibi di rumah aja deh. Takutnya nanti ngeganggu Neng Alma sama anak-anak," katanya."Nggak, Bi. Bibi kan yang selalu bantuin aku. Jadi, sebagai rasa terima kasih, aku ingin ajak Bibi juga makan di luar," ucapku."Ya udah. Bibi ikut," jawabnya.Kami bersiap semua untuk ikut dengan Kang Rahman. Sebenarnya aku juga nggak mau terlihat jalan sama laki-laki lain, sementara statusku masih istrinya Kang I
"Wah, makan di sini. Aku pernah denger kalau Bapak pernah makan di restoran ini sama Bi Susi dan Nenek," kata Hanif."Oh iya, bener. Kita dengerin saat mereka bicara sama Nenek, Bu," timpal Hanifa."Jadi, kalian nggak diajak?""Nggak, kami disuruh berdua di rumah," katanya.Pantas saja dulu, aku minta mereka berikan ponsel pada Hanifa, mereka tak memberinya. Ternyata karena takut perbuatan mereka terungkap nanti."Nggak apa-apa, yang penting kalian sekarang bisa makan juga di sini. Nanti Ibu fotoin biar Ibu pasang di status Ibu nanti, tujuannya biar mereka tau kalau kalian juga bisa makan di restoran yang pernah mereka datangi," sahutku. Kasihan sekali anak-anak sampai tak diajak untuk makan-makan sementara mereka menghamburkan uang."Kata Bapak kalian di rumah aja, makan sama tempe. Kasihan nggak ada yang makan," adu Hanif."Benar itu?"Hanifa mengangguk dan menunduk."Ya sudah, tak usah sedih. Lupakan kesedihan kalian. Sekarang waktunya bahagia karena kalian bisa makan di sini, uca
Aku menghela napas saat melihat nama si penelepon. Dia adalah Kang Ikbal. Baru saja kami bertemu, eh ia sudah kangen aja. Mungkinkah ia marah saat melihatku bersama Kang Rahman?"Halo Kang Ikbal ada apa?""Kamu ngapain jalan sama laki-laki segala. Sampe bawa anak-anak segala dan kalian seperti suami istri aja. Kamu itu masih istriku, Neng!" Kang Ikbal mulai nyerocos membuat kupingku pengang."Kamu sendiri gimana, Kang? Kamu sudah menikahi Susi sejak aku pergi ke Arab Saudi. Sungguh, kamu yang tega telah mengkhianatiku. Padahal kamu yang minta aku pergi, katamu biarlah aku yang menjaga anak-anak. Kamu ikhlas aku pergi mencari penghasilan yang lebih baik.""Aku sama kamu berbeda. Kalau laki-laki itu sah-sah saja menikah lagi tanpa memberitahu istrinya. Jadi, kamu terima saja sekarang kenyataannya," ucap Kang Ikbal.Kepalaku pusing. Kurasa kali ini aku harus mengakhiri obrolan kami."Ya sudah, Kang. Dilanjut nanti saja. Anak-anak udah nungguin dari tadi di mobil," sahutku.Kang Ikbal tak
"Udah, ini sedang dijalan. Teh Alma mau pesen apa? Biar nanti saya bawakan?""Nggak usah.""Oh ... saya bawakan martabak aja ya. Oya teh, saya mau ngenalin teteh sama kedua anak saya. Kapan teteh kira-kira bisa?"Wah, ada apa ya Kang Rahman sampai nyari waktu buat ketemu anaknya."Mmm kapan ya? Memangnya pada di rumah?""Sedang libur pesantren. Ini juga mereka jalan-jalan sama anak-anak saya, Teh.""Masa?""Ya udah nanti aja pas pulang, tinggal turun. Kenalan sama saya," sahutku."Iya sih. Tapi pengennya ada makan siang di rumah saya, Teh. Teteh dan anak-anak datang ke rumah.""Oh gitu. Ya udah aku pikirkan dulu ya!""Baik, Teh."Kang Rahman jangan-jangan memang masih ingin memperistriku? Rasanya aku takut sekali kalau harus menikah lagi. Apalagi Kang Rahman punya dua anak. Kalau mereka nggak suka aku bagaimana? Kalau Pak RT memang masih bujangan, tapi aku belum sreg dengannya. Ah benar-benar memusingkan.Memang, perceraianku dengan Kang Ikbal sudah tiga bulanan. Tapi untuk menentukan
"Bu Alma, kenalkah denganku?" Ia membuka cadarnya sebentar. Aku langsung mengenalinya."Tini! Kamu Tini kan? Apa kabar?" Aku memeluk sahabat lamaku waktu jadi TKW di Arab Saudi."Iya, Alma. Aku Tini!" Kami saling berpelukan. "Kamu udah sukses sekarang, Al. Kalau aku belum bisa sesukses dirimu."Kamu mau buka kebab atau nasi uduk? Kenapa nggak menyapaku tadi?" "Malu aku, Al. Masa orang sepertiku menyapa pembicara. Mending kek gini aja, di balik layar. Hehe. Kamu hebat loh kemarin sempet terkenal, ada di televisi," kata Tini."Ah, iya. Padahal aku sedih banget majikanku meninggal. Beliau seperti ayah bagiku. Yang ngajarin aku bisnis itu siapa lagi kalau bukan majikanku," jawabku."Oh gitu. Pantas, pulang dari sana kamu malah pinter bisnis. Semoga akupun ketularan dengan membuka gerai kebab mini dan nasi uduk," ucapku."Eh, ngobrolnya di rumahku yuk! Kangen nih sama kamu," sahut Tini."Nggak bisa Tin, anakku masih pemulihan kemarin mereka sempat kecelakaan," jawabku."Ya Allah, dua-duan
Luar biasa semangat Kang Ikbal yang mau merubah nasib dengan terus berikhtiar untuk berbisnis.Hanif sudah baikan. Sedikit demi sedikit ia bisa mengingat kejadian sebelumnya. Kadang saat dia inget, langsung ia sebutkan saja."Oya Ibu, aku ingat dulu ibu pergi keluar negeri, trus aku nangis," katanya.Ya Allah, kenangan itu. Saat pertama kali aku akan berangkat ke Arab Saudi. Hanif dan Hanifa menangis terus, mereka bersama Bapaknya. Hanif dipangku oleh Kang Ikbal, sementara Hanifa, ia berdiri di sebelah bapaknya.Saat itu, aku akan menaiki mobil yang akan membawaku ke bandara. Sedih sekali harus meninggalkan suami dan kedua anakku."Ibuu!" teriak Hanif, ia turun dari gendongan bapaknya, lalu mengejar mobilku. Aku yang berada di dalam mobil, tak bisa berbuat apa-apa. Jika aku saat itu turun dan memeluk Hanif, mungkin aku takkan jadi berangkat ke Arab Saudi.Kulihat Hanifa hanya menangis sembari memegangi tangan bapaknya. Satu tangan lagi ia gunakan untuk mengusap wajahnya yang basah.Ak
Saat aku kembali ke ruangan, Hanif sedang dipegangi oleh Kang Rahman dan Pak RT. Infusan bergeser, sehingga ada darah yang naik di selang. Gegas Perawat membenarkan posisinya agar tidak ada darah yang tersedot di selang infus.Selain itu, perbannya sudah tercabik-cabik. Perawat membenarkan posisi perban juga. Aku hanya bisa memperhatikan yang dilakukan perawat."Sudah, Bu.""Sus, mengapa bisa demikian ya? Anak saya jadi tiba-tiba mengamuk tanpa sebab," sahutku."Memang ada beberapa kasus seperti anak ibu. Pasca operasi kepala, mereka tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Biasanya dibutuhkan waktu, sehingga harus sabar agar si pasien kembali sembuh," sahut Perawat itu."Ya Allah, terima kasih ya Sus atas keterangannya. Mudah-mudahan saya diberi kesabaran yang lebih," sahutku."Insya Allah, Bu. Buat yang merawat harus tetap semangat berjuang," katanya.Selepas Perawat keluar dari kamar Hanif, kuhampiri anakku. Ia memandangiku."Hanif, tadi kenapa?" Ia diam, mungkin tidak ingat
"Hanif masih sakit. Dia tak bisa pulang sekarang, Hani. Insya Allah nanti menyusul ya!" sahutku."Iya, Bu. Mudah-mudahan, aku kangen sama Hanif. Nanti siapa temen berantemku? Lagipula nanti aku di atas kesepian, kalau kamar Hanif kosong," katanya."Kalau kamu mau ditemenin Ibu atau Bi Ikah, bilang aja ya!""Iya, pengen banget, Bu. Aku nggak mau sendirian," sahut Hani.Kami pulang dan sampai di rumah setelah 30 menit berlalu."Eh, Neng Hani udah pulang," sapa Bi Ikah."Iya, Bi. Hani Alhamdulillah udah baikan dan diizinkan pulang.""Berarti aa Hanif belum boleh pulang ya?" tanya Bi Ikah."Iya, Bi. Bantu doa ya semoga bisa cepet pulang!" sahutku."Aamiiin."Hani kubawa langsung ke kamarnya agar ia bisa segera beristirahat. Setelah ia merebahkan diri, aku mengatur barang-barangnya. Tak lama Bi Ikah membawakan teh manis hangat untuk anakku."Diminum dulu Neng Hani dan Bu Alma," katanya."Eh, Bibi pake panggil Bu segala. Panggil nama aja kenapa sih?""Kan Ibu udah jadi pengusaha sukses, mas
Tangannya sudah menggenggam, tapi ia belum membuka matanya. Aku bertanya pada perawat, kapan Hanif akan sadar, katanya secepatnya Insya Allah.Aku menungguinya di sini, ya. Di ruangan dingin ini. Sesekali aku, Kang Rahman dan Kang Ikbal bergantian jaga.Hanif sadar pasca sehari dioperasi. Ia memutar matanya, melihat seluruh sudut ruangan tempatnya dirawat. Aku memperhatikan tingkah laku anakku.Alhamdulillah, Hanif udah buka mata. Mudah-mudahan kamu bisa segera keluar dari sini, ya, Nif!" Kuambil tangannya, lalu kucium punggung tangan anakku yang masih kebingungan saat tersadar."Ini dimana?" tanyanya."Di rumah sakit, Nif. Kamu bisa pulang sebentar lagi, ya!" hiburku.Hanif mengangguk, tapi sepertinya ia belum bisa menyerap apa yang terjadi padanya. Ia tertidur kembali, dan aku menjaga di sampingnya. Hingga akhirnya ia terbangun, tapi malah mengamuk."Anda siapa?" tanya Hanif."Aku ibumu. Kamu lupa?" Ia mengangguk. Apa benar ia lupa?"Ya sudah, nggak apa-apa. Ibu ke depan dulu, ya!"
"Aku di rumah Teteh nih. Katanya lagi ke rumah mantan mertua ya?""Iya, Kang. Tadi memang nengokin ibu. Tapi, terjadi kecelakaan motor Kang Ikbal yang membonceng anak-anak. Sekarang aku ada di rumah sakit Sejahtera, Kang.""Astaghfirullah, aku mau ke sana ya! Ditunggu saja. Pantesan Teteh nggak di rumah. Aku bilangin ke Bi Ikah ya, biar beliau nggak khawatir," ucapnya."Iya, aku lupa bilang, Kang."Kang Rahman sedang di perjalanan menuju rumah sakit ini. Aku masih menunggui Hanifa. Hani sadar, ia mencari adiknya. Hanif ada di ruangan berbeda dengan Hanifa."Bu, Adek Hanif gimana?" tanyanya."Hanif masih tidur. Kamu sabar ya! Kamu juga butuh istirahat yang cukup, Nak," sahutku."Iya, Bu. Mudah-mudahan Hanif juga nggak apa-apa. Tadi aku lihat Hanif kelempar jauh, aku jadi takut Hanif kenapa-napa," ucap Hani."Aamiin, insya Allah." Hanifa tertidur kembali. Mungkin ia masih pusing.Hasil scan sudah ada, katanya Hanif harus operasi secepatnya. Kang Ikbal menandatangani persetujuan operasi
Kemana perginya Kang Ikbal? Sampai kini ia masih belum kembali. Apa ia menculik anak-anak? Ah, tidak mungkin, ia kan sudah berubah lebih baik. Lagipula anak-anak sudah besar, tak mungkin diam saja saat diculik dan Kang Ikbal sendiri kan ayah dari mereka."Bu, Kang Ikbal lama sekali ya sampai jam segini belum ada kabar?" tanyaku.Ibu menggeleng. Sepertinya aku harus bertindak dan mencarinya."Assalamualaikum. Bu Odah!""Waalaikumsalam, silahkan masuk!" Kupersilahkan orang itu masuk karena mencari ibu. "Ada apa, Pak?" tanyaku lagi setelah ia masuk. Orang ini habis berlari, dan sekarang sedang mengatur napasnya terlebih dahulu. Aku menantikannya untuk bercerita."Itu, Kang Ikbal kan bawa dua anak ya. Trus, di ujung jalan sana, ia kecelakaan. Menghindari truk, dilempar ke kiri dan anak-anaknya luka-luka. Kang Ikbal tadi membawanya ke rumah sakit. Saya ikut mengantarkan ke sana, dan sekarang diminta memberitahukan ke sini," katanya."Astaghfirullah. Memangnya Kang Ikbal nggak bawa ponsel
"Ada apa Hanif?""Kapan jenguk Nenek?" tanyanya."Tadi sih rencana hari Minggu ini. Kalian bisa kan?" tanyaku pada Hanif."Aku bisa, Kak Hanifa nggak tau deh. Katanya sih ada kerja kelompok."Aku keluar kamarku untuk menanyai Hanifa."Memangnya kerja kelompok jam berapa?" tanyaku."Jam 9 sampai jam 12 paling, Bu.""Oh, gitu. Berarti kita jenguk Nenek jam satu siang aja ya!" "Oke siap.""Baiklah, Bapak akan siapkan makanan kesukaan kalian. Kalian suka bakso kan?" tanya Kang Ikbal."Iya, kami suka bakso, Pak. Makasih ya, Pak!" ucap Hanifa. "Aku kembali ke kamar ya! Soalnya mau belajar.""Oke anak Bapak yang paling cantik! Semoga kamu pintar selalu ya!""Iya, Pak. Makasih ya."Hanifa ke atas, disusul Hanif yang katanya pengen tiduran aja di kamarnya."Oke, Hanif ganteng. Nggak apa-apa. Bapak juga mau pulang sekarang," katanya."Iya, Kang. Hati-hati aja di jalan ya!""Oke, Neng."Kang Ikbal sekarang hanya memiliki motor bebek biasa. Katanya ia beli bekas. Harganya jauh dibawah motor spor