Share

II

Penulis: Ruby
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-16 16:54:34

Ini adalah musim dingin. Pertengahan musim dingin lebih tepatnya. Sulit untuk menemukan hewan buruan saat ini. Tapi bagi Effrayante, musim dingin adalah masa dimana makanan berlimpah.

Para Alfa akan memantrai daerah teritori untuk tetap hangat, agar hewan-hewan dari luar masuk kedalam daerah yang dimantrai. Memudahkan mereka untuk mendapatkan hewan buruan. Ini juga masa dimana para gadis muda berlatih untuk memanah.

Seperti Danina. Sejak pagi, dia sudah keluar dari rumah, berjalan ke utara, menuju kaki gunung. Bersemangat untuk belajar membidik sasaran. Dan sudah hampir setengah hari dia berdiri dibalik semak, bersembunyi. Mencari arah angin berhembus, mengambil anak panah, membidik, dan target yang di bidik meleset. Meleset sangat jauh.

Rusa itu berlari menuju selatan, hilang dibalik rimbunan pakis-pakisan. Sementara dibelakangnya, seseorang terkikik geli. Dia tak ingin berbalik dan mendapati Loretta yang berdiri dibelakangnya menatap penuh hina. Tapi tubuhnya tidak mau berkompromi dengan hati. Ditatapnya wajah yang semakin merah karena tawa keras. Terhibur akan kebodohan Danina.

"Serius?" geramnya kesal. Rasanya dia ingin melemparkan busur pada Loretta karena tawa mengejek dirinya. Tapi masalahnya, hanya Loretta satu-satunya orang yang tidak menyerah mengajarinya memanah.

Kembali diambilnya daun kering dibawah kakinya, menyebarnya ke udara dan mencari arah angin. "Ayo, kita harus kembali sebelum matahari tenggelam." Suara Loretta keras. Membuat hewan-hewan semakin waspada.

"Ssst." Cegahnya cepat sebelum suara Loretta semakin menakuti target. Meringankan tubuh, mencari celah diantara pohon besar yang berada di kirinya, Danina kembali siap untuk memanah buruannya. Dia menatap ke dahan pohon, menemukan seekor burung yang baru saja bertengger.

Dia siap untuk memanah.

"Tarik napasmu dan hembuskan dengan perlahan. Tangan dibawah dagu—sudut, sudut!"

"Diam, Lo!" bentaknya dalam bisikan, terganggu dengan ocehan Loretta. Tapi akhirnya Danina tetap melakukan apa yang dikatakannya. Loretta dengan cepat memperbaiki posisi tangannya hingga siku membentuk sudut sempurna.

"Kuharap kau berhasil, Dan." Bisik Loretta bersemangat—penuh ejekan.

Setelah yakin dengan posisi, Danina melesatkan anak panah.

Dia berharap bidikannya tak meleset. Namun, lagi-lagi harapannya mengambang di udara. Bidikannya hanya mengenai dahan pohon, menancap tepat dibawah kaki burung, membuatnya terkejut dan terbang.

Dibelakangnya, kembali terdengar tawa geli Loretta. "Ayo, Danina. Semua orang menunggu kita. Dan tak ada yang suka dengan itu." Ajaknya disela-sela tawa.

"Kupikir Sitaf pernah mengutukku."

"Jika Sitaf melakukannya, maka kau sudah berubah menjadi rusa. Dan aku sudah memanahmu sepuluh tahun yang lalu."

Dia meringis kesal. "Terimakasih banyak, Loretta." Sungutnya sambil mengekori Loretta.

••

Mereka bergabung kedalam rombongan setelah kayu bakar ditambahkan kedalam api unggun. Artinya, mereka terlambat hampir dua jam. Orang-orang sudah selesai makan malam, berkumpul, berbicara sesuatu secara serius. Namun setelah kedua gadis itu benar-benar berkumpul dengan kelompok itu, topik pembicaraan berubah. "Jadi," suara mengejek Xan terdengar diantara bunyi keretak kayu bakar. "pemburu sudah selesai berburu."

"Aku melihat Danina menyeret kepala beruang." Seseorang mengejek gadis itu, disusul tawa kecil dari semua orang. Ya, Danina menyeret sesuatu, tapi bukan kepala beruang. Dia hanya menyeret sarung panah yang telah kosong.

Danina tentu saja merasakan suasana canggung, namun tampaknya tidak dengan Loretta. Gadis itu menyantap makanannya dengan santai, sambil mendengkus lucu. "Dia menakuti singa karena kebodohannya dalam memanah."

"Singa?"

"Yap. Para singa takut Danina akan melukai dirinya sendiri."

"Trims, Lo." Ujarnya sarkas pada kalimat Loretta.

"Tidak mendapatkan apapun?" itu suara Ovena—ibu Danina. Wanita itu terdengar bingung. Dan itu membuat Danina terlihat lebih bodoh. Disampingnya, Loretta terbahak—membuat dirinya hampir tersedak. "Bagaimana bisa?"

Danina mendengkus. Heran dengan ketidak tahuan ibunya akan dirinya yang bodoh dalam memanah. "Karena jika aku bisa memanah, aku akan menjadi gadis paling sempurna dihutan ini." Jelasnya cepat.

"Hutan, adalah tempat teraman di Gerian, anakku." Nareef terkekeh pelan dibelakang Danina. Tangannya menepuk-nepuk pundaknya dengan pelan.

Nareef mengambil tempat. Duduk disebelah Sitaf. Mereka saling mengangguk, memberikan hormat. Nareef menghembuskan napas keras, kaki kanannya mendorong kayu bakar yang menyeruak untuk masuk kedalam perapian.

"Jadi," suara berat dan formal Nareef membuat mereka langsung menyudahi obrolan yang dilakukan satu sama lain. Ini bukanlah hal yang akan mereka sukai jika Ketua Klan mengeluarkan nada seperti itu. Ovena dengan cepat memeluk bahu Danina, memberikan kedamaian pada gadis itu. "Gaia dan Murali menemukan beberapa orang berusaha masuk kedalam hutan Camsart. Dengan persiapan penuh."

Terdengar terkesiap dari seluruh orang yang berada disana. Loretta mendengkus kesal, sementara Danina menatap Ovena dengan ekspresi khawatir. "Beruntung Murali bersama Gaia saat itu. Dengan beberapa mantra, kita tetap aman."

"Tetapi," suara Sitaf mengambil alih. "Kita mendapatkan surat. Surat yang dengan sengaja ditinggalkan oleh mereka." Sitaf melihat anggota kumpul satu persatu. Meyakinkan dirinya sebelum dia membacakan surat itu. "Surat yang dikirim dari Kerajaan Gerian." Sitaf mengeluarkan gulungan dari dalam pakaiannya. Mengedarkan untuk dibaca oleh masing-masing orang.

Untuk seluruh Camsarian dan Elf yang bersembunyi. Pengkhianatan yang dilakukan delapan belas tahun yang lalu masih menimbulkan luka mendalam. Akan tetapi, selama delapan belas tahun ini, kita menyadari bahwa kita membutuhkan satu sama lain. Anggota kerajaan dan Brosnean memutuskan, bahwa setiap anggota Camsart dan Effrayante yang tersisa, tidak ikut serta dalam pengkhianatan yang dilakukan delapan belas tahun yang lalu. Raja menyambut Camsarian dan Elf yang keluar dari hutan Camsart dan memutuskan untuk tinggal di Gerian.

-Raja-

Hening cukup lama. Orang pertama yang mengeluarkan suara adalah Dagan. Dia mendengkus kemudian melemparkan lembar surat itu ke Raquel yang duduk disebelahnya. "Kau yakin mendapatkan surat ini dari mereka, Murali? Bukan kau yang menulis ini?"

"Tidak lucu, Dagan!" sergah Loretta, membuat bulu kuduk Danina meremang. Gadis itu benar-benar bersembunyi didalam pelukan Ovena.

"Mustahil—mereka pasti sedang menunggu di tepi hutan. Menunggu kita untuk keluar." Bisik Raquel ditengah keheningan.

"Mereka memaafkan kita," sanggah Loretta cepat. Dia menatap seluruh orang di lingkaran api unggun. Tak ada yang menjawabnya, bahkan ekspresipun tidak, sehingga Loretta tak tahu apa yang sedang orang pikirkan. "Kita harus bergabung, untuk mendapatkan kehidupan yang layak."

Xanfrey menggeleng tak setuju. "Aku hidup dengan baik disini, Lo." Sebelah tangannya digenggam erat Sophia. Kecemasan wanita itu membuat genggaman itu mengetat erat. "Tidak ada kehidupan yang layak kecuali disini."

Dagan mengangkat bahu, "Aku masih ingat dengan jelas ketika mereka membunuh kedua orang tuaku, Loretta. Mereka memenggalnya!" Dagan menatap Loretta sengit. Wajahnya mengeras, telunjuknya mengarah pada Sophia yang duduk diseberangnya. "Tanya kepada Sophia apa yang terjadi. Dia dan suaminya sedang bermain dengan Xanfrey ketika mereka datang dan memanah Hon!"

"Itu masa lalu, dan kau harus terus melangkah maju." Danina menarik tangan Loretta, mencegah apapun yang ingin dikatakan gadis itu. Orang-orang tak setuju dengan ide gadis itu. Tapi Loretta tetap bersikeras, "Mereka menerima kita dengan baik sekarang. Jadi kenapa harus terus ketakutan dengan masa lalu?"

"Ini bukan tentang ketakutan, Loretta." Jawab Dagan dengan cepat. "Ini tentang mereka yang menuduh kaum kita membunuh Raja terdahulu. Fitnah yang dilakukan Raja saat ini pada kita. Dan dia berpura-pura mengampuni kita, yang tidak pernah melakukan apapun. Tidakkah kau berpikir apa yang akan dilakukannya saat kita muncul?"

"Membunuh Camsart dan Effrayante yang tersisa." Bisik seseorang.

Dagan mengangguk setuju. "Dan mengubur fakta bahwa Raja saat ini membunuh Raja terdahulu."

Loretta mendengkus. Semua orang bisa melihat wajah gadis itu memerah karena marah. "Loretta," suara Nareef memecah kecanggungan didalam lingkaran itu. Danina menepuk pelan kaki gadis itu, membuatnya sadar bahwa saat ini seluruh mata sedang menatapnya dan Nareef bergantian.

"Aku tahu keinginanmu itu—dan itu juga keinginan seluruh anggota Camsart dan Effrayante yang tersisa. Tapi jauh sebelum surat ini datang dan membuat gempar anggota kecil ini, aku dan Sitaf sudah membuat kesepakatan untuk tetap berada di hutan ini, melindungi satu-satunya tempat suci di Gerian."

"Nareef—" Loretta berhenti, menunggu orang-orang akan menyela dirinya. Namun setelah hampir satu menit berlalu dan suasana tetap sunyi, dia melanjutkan. "aku sendirian disini. Tidak ada orang tua, tidak ada saudara. Kalian menyelamatkanku dari pembantaian." Kembali jeda beberapa saat. "Tapi aku tidak ingin terus ketakutan. Aku ingin mencoba. Dan ini kesempatan kita."

Bunyi keretak api unggun terdengar nyaring diiringi bunyi binatang malam. Sedangkan seluruh manusia dan kaum Elf masih menatap Loretta dengan pandangan tak percaya, termasuk Danina. "Ini bunuh diri, Lo." Suara Dagan terdengar dalam, penuh penekanan dan marah. "Bahkan jika kau tak bisa mengingat perjuangan Nareef yang menyelamatkanmu, ingat bagaimana rasanya kehilangan orang tua."

"Dagan—"

"Jangan sela aku, Ovena!" matanya berlari kepada wanita itu, yang memeluk lengan Danina. "Loretta harus sadar. Tidak ada pilihan terbaik kecuali tetap disini."

Loretta mengangkat bahunya lemah. Diantara seluruh anggota yang berkumpul, gadis itu sadar tidak hanya dia seorang yang tidak memiliki orang tua. Hampir seluruh Camsart yang tersisa adalah orang yang kehilangan orang tua, beberapa kehilangan pasangan, dan anggota keluarga lainnya.

"Aku tidak tahu, Dagan." Lirih Loretta. Matanya sembab karena air mata yang ia sendiri tak tahu untuk apa. "Aku masih bayi saat Raja digulingkan. Tidak ada kenangan orang tua. Bukan berarti kalian tidak memiliki andil besar dalam hidupku. Tapi aku sudah dewasa, dan aku memiliki kebebasan untuk memilih."

"Lo," Danina lagi-lagi memegang lengan gadis itu, mencoba untuk mencegah apapun yang akan keluar dari mulutnya.

Surat itu membuat api dalam sekam. Membakar siapa saja yang merasa terkurung didalam hutan. Mungkin sebagian orang merasa begitu, atau mungkin hanya Loretta seorang.

"Loretta, anakku." Nareef menatap sekeliling. "Aku dan Sitaf akan mendiskusikan beberapa hal. Akan menyenangkan jika kau ingin bergabung dengan kami. Besok pagi, Sophia akan menjemputmu. Tapi sebelum itu, aku ingin kau tetap berada didalam rumah bersama si kembar Glapyra."

•••

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pagi itu. Semua orang, termasuk Danina yang sedang berlatih pedang dengan Ness sedang menunggu keputusan dari Sitaf dan Nareef. Danina melihat Loretta masuk kedalam rumah Nareef hampir tiga jam yang lalu, dan hingga sekarang tidak ada satu orangpun yang keluar dari rumah itu.

"Kau yakin tidak tahu apapun, Ness?" Danina mengulang pertanyaan untuk kesekian kalinya. Dan untuk kesekian kalinya juga dia ditusuk pedang kayu yang Ness pegang.

Ness kembali berhasil memukul betis kiri gadis itu dengan cepat, sebelum kembali ke posisi semula. "Bahkan Hersiria dan Saga diusir sebelum matahari terbit, Dan." Ujarnya. "Dan berhentilah bertanya! Kau kehilangan fokusmu!" sergahnya.

Danina menaikkan sebelah alisnya. "Ini hari keberuntunganmu, kau tahu?" balasnya tak kalah sengit. Ness mendengkus kesal. Dia mengambil kuda-kuda, kemudian menyerang Danina dengan penuh semangat. "Aku takut Loretta akan diusir dari sini."

"Tidak ada yang mengusir Loretta, kau tahu. Jumlah kita kurang dari lima puluh orang. Berhenti berpikir yang tidak-tidak." Danina memukul perut bagian kanan Ness, membuat gadis itu mundur dua langkah untuk menghindar serangan kedua. "Aku lebih khawatir gadis itu pergi dengan kehendaknya sendiri."

"Tidak mungkin!"

Ness mendengkus—lagi. Sebelah tangannya mencoba mencekal lengan Danina, sementara tangannya yang memegang tongkat pedang berusaha memukul mundur gadis itu. "Tidak ada yang tidak mungkin, Dan. Kepala Loretta sekeras baja. Apapun yang diinginkan gadis itu akan selalu dia capai. Aku lebih khawatir dia pergi dengan keinginannya sendiri daripada diusir oleh Sitaf dan ayahku."

Satu jam kemudian, Bran dan Dagan ikut bergabung dengan mereka berlatih pedang. Semua orang tahu, Danina adalah yang terbaik saat menggunakan pedang. Gadis itu begitu lincah. Tidak ada orang yang pernah mengalahkannya.

Kecuali saat ini, saat dia begitu cemas dengan keberadaan sahabat terbaiknya didalam rumah sang Alfa.

Lengan dan perutnya berkali-kali terkena pedang kayu dari tiga orang yang menyerang dirinya. Meskipun bukan pedang sungguhan, rasa terbakar karena antusiasme dari tiga orang yang menyerangnya membuat tiap pukulan dan tusukan terasa dengan kuat. Danina harus menyerah saat kedua lengannya terasa ngilu. Memberikan pedang kayunya pada Bran, gadis itu pergi untuk duduk ditepi lapangan latihan.

Ljudmila memberikan segelas air padanya, yang langsung dihabiskan dalam empat tegukan. "Apa yang terjadi?" tanya gadis itu saat Danina menghabiskan tegukan terakhir minumannya. "Ini pertama kalinya kau mengalah saat latihan."

Danina memutar matanya, ditaruhnya gelas itu didekat kakinya, "Tidak ada yang benar-benar serius. Aku hanya ingin melihat mereka senang." Ujarnya menyembunyikan rasa khawatirnya pada orang-orang yang masih berada didalam rumah sang Alfa. "Apa yang kau lakukan hari ini?" tanyanya mengalihkan perhatian.

"Aias dan Frey mengajakku ke sungai. Mereka akan mulai memantrai sungai."

"Sudah mulai?"

Ljudmila mengedikkan bahunya. "Mungkin. Air sungai semakin dingin. Kita tidak ingin membuat ikan kedinginan dan bermigrasi ke selatan selama musim dingin ini. Jadi mereka akan memulai memantrai sungai."

"Oh."

"Dan, apa kau ingin ikut dengan kami?" Ljudmila melirik gadis itu sekali sebelum kembali melihat tiga orang yang masih berlatih pedang di lapangan. "Kau terlihat sangat resah sejak tadi."

Danina mendengkus, ingin menyangkal Ljudmila yang duduk disebelahnya. "Dia adalah bagian dari kita." Jawabnya pelan.

"Ya, benar. Tapi hanya kau satu-satunya yang tahan dengan perilakunya." Ljudmila terkekeh pelan, lengannya yang bersentuhan dengan Danina berguncang pelan.

Danina memutar matanya, kemudian ikut tertawa pelan. "Dia sedang mencari jati dirinya. Aku sering melihatnya menangis."

"Dan aku sering melihat Raquel menangis karena dirinya."

Danina mendengkus. "Aku yakin sepenuhnya dengan itu." Diam sejenak, mereka mendengarkan suara-suara disekitar mereka. Danina kembali bersuara,  "Tapi percayalah, Loretta tidak sekeras itu. Meskipun aku berani bertaruh kepalanya benar-benar sekeras batu."

Ljudmila mengangguk setuju. Kemudian dia menarik Danina untuk berbaring di tanah. Merasakan angin semilir yang terasa hangat, meskipun diluar hutan, musim dingin sudah datang. Danina memejamkan mata, menajamkan telinga, mendengar semua yang berdengung disekitarnya.

Dia masih mendengar suara pedang kayu di lapangan latihan; suara anak-anak bermain—yang pasti itu hanya suara Hersiria dan Saga; suara para wanita yang sibuk memintal benang untuk membuat pakaian; dan suara beberapa Effrayante yang—mungkin sedang berlatih membaca mantra.

Tapi dia tidak bisa mendengar suara Loretta, atau Nareef, atau Sitaf, yang sedang berada didalam rumah sang Alfa, meskipun rumah itu hanya berjarak dua puluh langkah dari keberadaannya saat ini.

Dan itu membuatnya cemas setiap menitnya.

Bab terkait

  • Kekuasaan (Ascendant)    III

    Tak ada yang tahu apa yang ada didalam pikiran Putri Gerian. Semua orang takut padanya; pelayan, bangsawan, menteri, bahkan kedua orang tuanya. Gadis itu baru berusia enam belas tahun. Debutante yang dilakukannya setahun yang lalu membuat wajahnya yang rupawan menjadi standar kecantikan anak laki-laki dikalangan Brosnean—begitu para bangsawan menyebut diri mereka. Tapi, seperti kecantikannya yang membuat seluruh pria bertekuk lutut padanya, tak ada bandingannya dengan sisi misterius dirinya.Dirinya yang begitu tidak bisa digapai dan dipahami oleh siapapun.Ilvy sedang membaca buku di perpustakaan. Dia mencintai ketenangan didalam sini. Tidak ada dengungan yang memenuhi telinganya, tidak ada suara ibunya yang kekanak-kanakan, juga tidak ada suara ayahnya yang selalu merongrongnya untuk memilih salah satu pangeran dari Kerajaan yang beraliansi dengan Gerian.Gaunnya yang berwarna marun bergerak begitu lembut ketika dia menggoyangkan tubuhnya saat mengubah p

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-16
  • Kekuasaan (Ascendant)    IV

    Danina tidak pernah melihat Loretta semenjak pertemuan rahasia itu. Tak ada yang tahu kemana gadis itu menghilang—atau lebih tepatnya pergi. Nareef dan Sitaf tak ingin menjawab pertanyaan darinya. Dan itu membuatnya semakin frustasi.Tak ada yang paham Loretta sebaik Danina. Gadis itu pasti sedang murka dan hatinya terluka. Danina tahu apa yang dirasakan sahabatnya itu. Yatim piatu, tak memiliki siapapun. Meskipun hampir seluruh anggota Camsart yang tersisa menjadi yatim piatu, tapi tidak ada yang benar-benar mengenaskan seperti dirinya.Bahkan Dagan masih mempunyai sepupunya, Odvarr.Dan Danina yang memiliki kedua orang tua.Tapi tidak dengan Loretta. Tidak ada siapa-siapa yang tersisa darinya.Matahari belum muncul dan kunang-kunang masih menerangi tempat tinggal para Camsart. Tapi Danina sudah berada di luar rumah. Hanya ada beberapa orang yang sudah keluar rumah termasuk dirinya. Beberapa bertugas untuk menangkap ikan, beberapa lagi menge

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-16
  • Kekuasaan (Ascendant)    V

    Gadis itu menyusuri tanah becek yang selama beberapa tahun ini sering dia lewati. Meskipun hanya sekali atau dua kali dalam satu bulan, tapi tempat ini adalah salah satu dari tiga tempat yang membuatnya bisa menjadi orang lain. Tidak dikenali. Tidak diagung-agungkan.Menyelinap bukan perkara sulit baginya. Tidak ada tempat berbahaya baginya—selama dia bersama dengan makhluk yang kini berjarak dua langkah dibelakangnya. Ilvy akan pergi kemana saja, kapan saja, dengan orang kepercayaannya.Diluar, orang-orang memanggilnya Ississia. Nama yang pernah didengarnya tanpa sengaja dari mulut ibunya. Nama yang membuat ibunya ketakutan setengah mati. Nama, yang langsung dia sukai, yang dia harap akan menjadi hantu untuk ibunya selama wanita itu menjadi Ratu dengan cara merampas hak Ratu sebelumnya.Ilvy berbelok ke kanan. Melewati kedai makanan kumuh yang dipadati orang-orang mabuk. Pemiliknya adalah seorang janda yang memiliki anak gadis yang cantik. Orang-orang dat

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-16
  • Kekuasaan (Ascendant)    VI

    Danina ingin menangis. Ibunya terlalu kejam pada gadis yang selama ini dianggapnya seperti anak sendiri. Danina ingat betul bagaimana ibunya sangat menyayangi Loretta. Danina ingat, saat dirinya dan Loretta berumur sepuluh tahun, mereka hampir tenggelam di sungai. Ibunya menjerit histeris saat tau Loretta tidak bernapas. Ibunya bahkan menangis bahagia saat Sitaf memantrai Loretta agar bisa bernapas lagi. Memori itu terasa begitu segar dikepalanya.Tapi saat ini, memori itu membuatnya semakin terluka. Saat ini, orang-orang seperti menutupi sesuatu dan menyalahkan Loretta. Tidak. Mereka memang menyalahkan Loretta atas hal yang Danina tidak ketahui.Hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi dari dirinya."Pulanglah, Dan. Ibu tidak ingin kau berkeliaran mencari Loretta."Danina menepis tangan ibunya. Kata-kata ibunya melukai dirinya semakin dalam. Apakah ibunya sangat benci dengan Loretta? Apakah selama ini semua orang hanya berpura-pura menyayangi Loretta?

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-09
  • Kekuasaan (Ascendant)    VII

    Pagi ini Ilvy terbangun karena suara gedoran kuat dari pintu kamarnya. Dirinya menggeliat, turun dari tubuh telanjang yang memeluk pinggangnya dengan erat. Dia menepuk pelan pipi Qeen, membangunkan makhluk dengan mata berwarna hitam itu. "Kau masih ingin tidur?" tanyanya pada Qeen yang hanya dibalas dengan anggukan kecil. "Tapi melihatmu telanjang membuatku merindukan malam, Qeen." Ujarnya kemudian."Aku bisa membuat malam datang lebih cepat, jika kau mau." Gumamnya.Ilvy tertawa—tawa tulus yang hanya diketahui oleh Qeen. Gadis itu kini keluar dari ranjang, memakai jubahnya semalam, kemudian membuka pintu.Suasana hatinya yang bagus pagi ini membuatnya ingin membuat kehebohan yang menyenangkan. Dirinya sadar, Qeen tak akan siap menerima makian dan pekikan pagi ini. Tapi Ilvy ingin sebuah hiburan.Didepan pintu, ibunya menatapnya dengan sorot terkejut. Penampilan putrinya itu seperti pelacur jalanan. Rambut berantakan, leher penuh dengan jejak merah,

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Kekuasaan (Ascendant)    VIII

    "Berhentilah merajuk, Danina!" teriak Odvarr disusul gelak tawa. Disebelahnya, Xenon menyikut keras rusuknya, membuatnya mengaduh kesakitan. "Aww!""Jangan pedulikan dia, Danina!" teriak Xenon tak kalah kuat. "Xenon si altruistik!" dengusnya penuh ejekan. "Hei Dan! Sudah setengah hari kau berada didalam sungai. Ikan-ikan akan menganggapmu bagian dari koloninya!" lagi, tawa Odvarr beradu dengan derasnya air sungai.Danina hanya memutar matanya. Membalas Odvarr hanya akan memperpanjang perdebatan. Laki-laki itu sangat suka membuat orang lain kesal. Dan dirinya tak ingin menjadi korban Odvarr.Danina masih sibuk menangkap ikan. Dia ingin membuat pesta besar malam ini. Bukan pesta sungguhan, hanya acara yang sama di setiap malam. Jika malam-malam sebelumnya para anggota klan saling berbagi, malam ini akan dibuatnya setiap Camsarian dan Effrayante kekenyangan.Alasan lainnya: Danina ingin menyibukkan dirinya agar pikirannya tidak kembali para Lor

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-23
  • Kekuasaan (Ascendant)    IX

    Sudah sembilan hari, dan Ilvy belum melihat tanda-tanda kehadiran Qeen. Pria itu pergi ke Rhauven. Seharusnya sudah pulang dua hari yang lalu, membawa wanita itu—Ississia. Seharusnya mereka sudah membawa wanita itu ke tempat aman. Di tempat yang tak akan bisa dijangkau oleh siapun, bahkan ibunya.Tapi kemana perginya pria itu? Apa yang sedang terjadi?Bahkan merpati pos juga tidak datang membawa surat dari Qeen!“Putri, perlukah aku mengganti teh Anda dengan yang baru?”Ilvy bergerak. Matanya mengerjap dua kali, kemudian menoleh. Pelayannya berdiri disebelahnya. Pelayan yang sudah mengurusnya sejak bayi. Orang yang lebih memahaminya daripada ibunya sendiri.Ilvy mengangguk. Cangkir teh diganti dengan yang baru. Ilvy bisa melihat uap berputar di atasnya. “Tammy,” panggilnya.“Ya, Yang Mulia!”“Bisakah kau mencarikan informasi untukku?”Tidak Ilvy, jangan gegabah! Bat

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-30
  • Kekuasaan (Ascendant)    X

    Ini hampir jam sebelas malam, dan suara tumit sepatunya bergema disepanjang lorong istana. Liam masih berada di ruang kerjanya bersama Xavi. Orang yang lebih Liam percayai ketimbang dirinya. Lorelai tak mengharapkan banyak hal, tapi ketidakpedulian Liam padanya adalah hal yang paling membuatnya sengsara.Sejenak Lorelai menatap pintu besar didepannya itu dengan tatapan was-was. Sejujurnya dia takut menghadapi Liam. Pria itu tidak seperti sebelum menjadi Raja. Lorelai bahkan tidak lagi mengenal suaminya dengan baik.Dua orang penjaga di depan pintu itu menahannya. Menolak mentah-mentah kunjungan malamnya yang mendadak. Tapi secepat penolakan yang diterima Lorelai, secepat itu pula pintu besar didepannya dia buka.Persetan dengan kemurkaan Liam. Dirinya tidak peduli.Didalam, Lorelai bisa melihat Liam yang sedang berbicara dengan Xavi terdiam sejenak. Kertas yang dipegangnya diletakkan di meja. “Ini sudah malam, Ratu.” Nada suara Liam terd

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-06

Bab terbaru

  • Kekuasaan (Ascendant)    EPILOG

    Ia menyibak selimutnya, turun dari ranjang dan membuka jendela yang berada tak jauh darinya. Langit masih gelap, udara masih terasa begitu dingin. Dengan cepat ia menarik jubahnya yang tersampir di kepala ranjang dan mengenakannya—menghalau dinginnya udara menjelang pagi yang masuk dengan mudah melewati jendela yang ia buka. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding di bawah jendela itu. Kedua tangannya menumpu di kusen jendela, dengan kepala yang terbaring di atas kedua tangan. Matanya menatap ke halaman samping rumahnya yang masih gelap gulita, ditemani bunyi kepak burung hantu yang terdengar jelas di dahan pohon yang berdiri tak jauh dari batas halamannya. Samar, ia mencium bau bunga lavender yang mekar di halaman. Bercampur dengan bau bunga mawar dan bunga-bunga lainnya yang ia tak ketahui namanya. Meskipun pelayannya menjelaskan hingga mulut berbusa tentang nama-nama bunga, ia tetap tidak bisa mengingat nama-nama itu. Satu kunang-kunang mendekat kearahnya. Tak l

  • Kekuasaan (Ascendant)    XLI

    Ilvy tak pernah merasa sesedih dan sebahagia ini. Baginya, ini pertama kalinya ia merasakan perasaan campur aduk seperti itu. Ia bisa tertawa dan menangis bersamaan. Disudut hatinya, batinnya merasa terkoyak sekaligus lega. Luka di tubuhnya terasa seperti sebuah kekalahan dan kemenangan. Singgasana yang ia duduki terasa begitu menakjubkan tetapi menakutkan. Sempat terbersit dihatinya untuk melepaskan segalanya. Hidup bahagia dengan makhluk yang mencintainya—tapi saat ini, pada momen seperti ini—iblis didalam hatinya membutuhkan sebuah kepuasan yang berbeda. Kepuasaan saat dirinya melenyapkan pemilik sah takhta terakhir. Ilvy melihat dua pedang yang dipegang kedua tangannya. Satu miliknya, satu lagi milik sepupunya. Ia melemparkan pedang itu hingga bunyi besi yang beradu dengan lantai terdengar nyaring di ruangan itu. Ruangan yang meskipun diisi banyak manusia tetapi terasa sunyi dan menyedihkan. Toh karena semua manusia disana telah menjadi mayat. Bahkan dia

  • Kekuasaan (Ascendant)    XL (Bagian 2)

    “Bantu Jenderal Otto di pintu masuk timur. Aku akan masuk bersama Danina!” Qeen menggeleng cepat. Mata kelam itu menatapnya dengan skeptis. “Aku tidak akan terluka.” Ujarnya tanpa menunggu. Ilvy tidak membutuhkan persetujuan Qeen. Itu perintah untuk sang Effrayante dan harus dituruti. Dia membawa sepertiga pasukan ke gerbang depan istana, menyerang secara terbuka. Menyongsong jebakan yang mungkin saja telah dipasang oleh ayahnya. “Masih ada waktu untuk mundur, Dan.” Teriaknya di atas kuda kepada sepupunya. Danina tidak menatapnya. Gadis itu menatap lurus ke depan dengan mata yang berkilat penuh dengan tekad. Ilvy tahu gadis itu sedang menjangkau penyebab dirinya yatim piatu. Dan gadis itu tidak akan mundur meskipun pasukan Gerian jauh lebih banyak dari pasukan yang mereka bawa saat ini. “Kau bisa mundur jika terlalu sedih melihat kematian kedua orang tuamu.” Ilvy memutar matanya, dia kembali menatap ke depan. “Tidak.” Ilvy tidak akan pernah mundur. Mere

  • Kekuasaan (Ascendant)    XL (Bagian 1)

    Istana jauh lebih megah dari bayangannya. Awalnya dia hanya membayangkan bahwa istana Gerian hanya sebesar lapangan kumpul dikalikan sepuluh. Tapi dia salah. Istana itu jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Ada banyak bangunan yang terpisah di istana dibawah sana, dengan kubah-kubah kecil di setiap bangunan itu. Tetapi kubah-kubah itu tidak sebesar bangunan yang berdiri di bagian tengah lingkungan Istana Gerian. Kubah besar terlihat berkilau dari tempatnya berdiri di dalam hutan—membuatnya bertanya-tanya mengapa Ilvy ingin menghancurkan posisi ayahnya yang tinggal di tempat yang pantas disebut surga itu, membuat posisi gadis itu juga ikut terancam.Tembok tinggi yang menjulang membuat batasan dengan jalanan yang melingkari istana Gerian dan juga tempat-tempat mewah lainnya di luar tembok. Danina mengasumsikan jika tempat-tempat cantik itu adalah rumah-rumah bangsawan yang menyebut dirinya sebagai Brosnean.Kuda di belakangnya meringkik, bersahut-sahutan. Kuda

  • Kekuasaan (Ascendant)    XXXIX

    Ilvy membuka kamar Danina dengan perlahan, mendapati gadis itu sedang memeluk ibunya yang menangis tersedu. Dia tahu, wanita itu tengah melepaskan putrinya untuk pergi ke medan perang, dengan kemungkinan tidak pulang untuk selamanya. Tapi baik Ilvy maupun dua orang yang sedang berpelukan itu menyadari, bahwa apapun konsekuensinya, kudeta ini tetap harus dilaksanakan.Pulang dengan nyawa, atau pulang tanpa nyawa—tak ada jalan untuk kembali.Melihat Danina yang memeluk ibunya dengan erat membuat hatinya terasa nyeri. Dia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari ibu kandungnya sendiri—penuh kasih sayang dan cinta. Kegilaan ibunya membuat dirinya hanya mendapat perhatian dari pengasuhnya—yang hanya memeluknya karena takut kepala terpisah dari badan.Ilvy mengetuk pintu kamar itu perlahan, membuat dua orang yang sedang menangis itu terdiam untuk beberapa saat, lalu menoleh menatapnya. “Sudah saatnya.” Bisik Ilvy kemudian. Dani

  • Kekuasaan (Ascendant)    XXXVIII

    Cinta hanya akan menyakiti. Sekuat apapun dia memuja gadis itu, tetap saja pada akhirnya dia akan terluka. Awalnya hanya luka memar, berganti menjadi luka gores. Luka itu terus disentuh dengan tangan-tangan halus tetapi menyakitkan, menjadikan luka gores itu berganti menjadi luka sayatan yang menganga. Lama luka itu dibiarkan saja, tidak dipedulikan dan hanya dianggap angin lalu. Luka itu mulai membusuk dan bernanah. Tak lama, area luka itu mulai membesar, menjangkau seluruh tempat hingga tak ada yang tersisa.Luka itu berada di hatinya. Membuat hatinya membusuk dan berbau bangkai. Kini hatinya telah hilang karena luka itu. Menjadikannya manusia yang penuh dengan kebencian, dendam, dan kemarahan. Tak ada yang bisa menyembuhkan luka hatinya hingga membuatnya menjadi monster.Di kepalanya, ada beribu bisikan yang terus terdengar hingga membuat telinganya berdenging sepanjang hari. Dia kadang-kadang tidak bisa membedakan suara bisikan di kepalanya dengan suara orang yang

  • Kekuasaan (Ascendant)    XXXVII

    Ilvy terus memperhatikan drama di depannya dalam diam. Menurutnya malam ini adalah malam yang paling menarik selama dia menghabiskan banyak waktu di tengah hutan Camsart ini. Malam dimana semua orang murka karena kehilangan dua orang yang menjadi tonggak berdirinya klan Camsart.Nareef dan Nefsnan.Ayahnya begitu pintar melenyapkan dua orang yang perkataannya selalu dituruti oleh anggota Camsart lainnya.Raja Liam mendapatkan dua tangkapan pada satu umpan yang dipasangnya.Ilvy mengulum senyumnya ketika melihat betapa keruhnya situasi saat ini. Kudeta yang kini berada di depan mata, goyahnya klan Camsart karena kematian sang Alfa dan penasehatnya, dan kini dirinya melihat kebencian anggota Camsart kepada Effrayante, kaum yang selama ini melindungi mereka.Atau… kaum yang selama ini memelihara para Camsarian.Teriakan di depannya tidak pernah terputus. Bahkan, intensitasnya semakin menjadi. Ilvy bahkan harus mundur hingga ke tepi lapan

  • Kekuasaan (Ascendant)    XXXVI

    Dagan berusaha membuka jari-jari Danina yang mencengkeram erat rambut Loretta tetapi dengan cepat ditepisnya tangan pria itu. Tubuhnya bergetar karena marah. Racauan Loretta membuat kepalanya panas. Dirinya bahkan membayangkan betapa takut ayahnya dan Nareef saat Raja Liam memenggal kepala mereka. “Lepaskan dia, Dan!” pinta Dagan setengah memohon. Suara Dagan yang berbisik terdengar menusuk telinganya. Siapa yang akan memaafkan seseorang yang mengantarkan nyawa orang lain ke penjagalan? Danina bukan orang suci. Dia tak sudi memaafkan Loretta. Gadis itu memang biang masalah! Benar kata ibunya, seharusnya dia tidak terlalu dekat dengan Loretta. Dagan mencekal lengannya ketika Danina menarik Loretta ke lantai. Dengan cepat dia mendorong bahu pria itu hingga mundur beberapa langkah. Tidak membuang kesempatan, ia membuka pintu kamar Loretta dan menemukan tiga orang yang sedang berbincang di tengah ruangan di depan pintu. Seketika pembicaraan terhen

  • Kekuasaan (Ascendant)    XXXV

    Elliot Harridan telah menunjukkan kepada mereka letak pangkalan militer pribadinya. Tepat di atas kastil, mendekati puncak bukit tertinggi di perbukitan Piroz, dibalik lebatnya hutan dan banyaknya cerita mistis tentang bukit itu—Elliot membangun sebuah kekuatan besar yang bisa meluluhlantakkan Gerian. Semua orang berdecak kagum, termasuk dirinya. Pria tanpa satu lengan yang duduk di sebelahnya ini adalah singa tidur yang bersiap untuk kembali mengaum.Tak menunggu basa-basi, Danina langsung berpamitan dengan seluruh orang disana, yang secara terang-terangan masih menginginkan keberadaannya disana. Juga kepada paman yang baru pertama kali ditemuinya selama ini—Danina tidak memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk tinggal.Danina memacu kudanya sekencang mungkin, meninggalkan kastil setelah pelukan canggung dari Raja Uther. Masih ada hal yang ingin diselesaikannya di hutan Camsart, sementara waktu untuk menyerang semakin dekat.Di sebelahnya, I

DMCA.com Protection Status