Danina ingin menangis. Ibunya terlalu kejam pada gadis yang selama ini dianggapnya seperti anak sendiri. Danina ingat betul bagaimana ibunya sangat menyayangi Loretta. Danina ingat, saat dirinya dan Loretta berumur sepuluh tahun, mereka hampir tenggelam di sungai. Ibunya menjerit histeris saat tau Loretta tidak bernapas. Ibunya bahkan menangis bahagia saat Sitaf memantrai Loretta agar bisa bernapas lagi. Memori itu terasa begitu segar dikepalanya.
Tapi saat ini, memori itu membuatnya semakin terluka. Saat ini, orang-orang seperti menutupi sesuatu dan menyalahkan Loretta. Tidak. Mereka memang menyalahkan Loretta atas hal yang Danina tidak ketahui.
Hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi dari dirinya.
"Pulanglah, Dan. Ibu tidak ingin kau berkeliaran mencari Loretta."
Danina menepis tangan ibunya. Kata-kata ibunya melukai dirinya semakin dalam. Apakah ibunya sangat benci dengan Loretta? Apakah selama ini semua orang hanya berpura-pura menyayangi Loretta?
Tenggorokannya tercekat. Dia menahan seluruh kekecewaannya dengan sekuat tenaga. Tapi melihat ekspresi benci pada wajah ibunya, membuat Danina tak mampu menyimpan kekecewaannya lebih lama. "Apa kalian membenci Loretta?" bisiknya—berharap ibunya tidak mendengar pertanyaannya.
Tapi Danina mendengar ibunya menghela napas dengan gusar. "Tidak, Dan." Jawabnya kemudian. "Kami tidak membencinya. Dia memilih untuk meninggalkan kita. Untuk meninggalkan orang-orang yang menyelamatkan dan menjaganya."
"Tapi ini terlalu kejam, ibu." Danina terisak. Matanya perih karena menahan air mata yang pada akhirnya keluar. Dengan cepat dia menyeka air matanya. "Kalian membencinya. Aku bisa merasakan itu."
Ovena berbalik. Wanita itu memegang kedua bahu Danina. "Tidak, sayangku. Tidak ada yang membenci Loretta. Aku berani bersumpah." Ujarnya. "Aku hanya ingin kau berhenti. Karena sesuatu yang begitu kau percayai akan membunuhmu dengan kekecewaan, Danina."
"Ibu," bujuknya kembali.
Ovena menggeleng. "Tidak, Dan." Ibunya mendesah lelah. "Jangan berharap pada orang yang meninggalkanmu, sayangku." Ujarnya lagi. Ovena menggeleng. Memberikan banyak pemahaman pada Danina—putrinya satu-satunya—yang belum mampu menerima perginya Loretta tanpa kata-kata. "Jangan terluka karenanya, Dan. Bahkan Nareef dan Sitaf tak mampu mencegah keinginannya pergi dari hutan Camsart."
Danina ingin berhenti menangis, tapi semakin dia mendengar ibunya berkata, semakin banyak air matanya yang keluar. "Apa Loretta benar-benar pergi ke Gerian?" tanyanya ragu.
"Aku tidak tahu." Jawabnya. "Aku hanya berharap dia tersesat di hutan dan kembali pulang. Tapi tak ada yang tahu, Danina. Bisa saja dia sudah berada di Gerian."
Danina mengangguk. Ada rasa kecewa di hatinya. Bukan karena seluruh orang membenci Loretta. Tapi karena kini dia sadar, Loretta benar-benar pergi meninggalkannya.
"Atau mungkin sedang membawa kematian untuk kita semua." Lanjut ibunya pelan, yang membuat Danina tak mampu berkata-kata.
••
Danina mengunci dirinya di kamar. Atap kamarnya yang berwarna kayu membuatnya kembali teringat masa-masa menyenangkannya di hutan bersama Loretta. Gadis itu mengajarkan banyak hal padanya, termasuk memanah. Loretta gadis yang pintar. Yang paling pintar diantara gadis di Camsart dan Effrayante—walaupun Danina tak tahu pasti berapa rentang umur para elf untuk dikategorikan sebagai gadis.
Sekarang, meskipun pikirannya telah berhenti berusaha mencari kepergian Loretta, Danina tak bisa menahan batinnya berhenti berbisik. Setiap detiknya, bisikan didalam batinnya berteriak keras, mengganggu kewarasannya.
Tempat dimana Loretta menyembunyikannya. Berpikirlah Dan! Bisik batinnya. Danina menggeleng pelan. Ibunya sudah membuka pikirannya. Penyangkalannya selama beberapa hari ini membuatnya tak mampu berpikir jernih.
Loretta meninggalkannya.
Gadis itu meninggalkan dirinya!
Kau akan tahu kebenarannya, Dan. Bisik batinnya lagi. Danina duduk, kedua lututnya menempel di dada. Dipeluknya lutut itu dengan erat. Danina memejamkan matanya, berusaha untuk mengenyahkan suara batinnya. Tapi semakin dirinya menyangkal, semakin jelas suara itu.
Dia tidak akan pergi tanpa alasan!
Mengapa kau hanya berdiam diri, Dan?! Cari petunjuk itu!
Batinnya berteriak keras, membuat dadanya sakit. Danina menggelengkan kepalanya keras-keras. Dia tak ingin berharap lebih pada Loretta, gadis yang telah meninggalkannya tanpa sepatah katapun.
Tapi di satu sisi, dirinya ingin mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi pada gadis itu. Disudut hatinya, Danina yakin Loretta akan membutuhkan pertolongannya.
Berhentilah berpikiran buruk dan carilah, Dan!
Danina menghela napasnya keras. Dadanya terasa sakit. Sesuatu menusuknya—dalam dan terus-menerus. Batinnya meronta untuk mencari petunjuk yang bahkan Danina sendiri tak yakin keberadaannya. Akal sehatnya menginginkan dirinya berhenti berharap pada sahabat yang telah meninggalkannya untuk sesuatu yang akan membahayakan klan mereka.
Lama Danina terdiam, mendengarkan batinnya yang menyumpahinya dan pikiran yang membelanya. Akhirnya, Danina bangkit berdiri. Dia membuka jendela kamarnya yang terkunci rapat untuk mendapatkan udara segar dan menghentikan sejenak pergulatan batinnya. Tapi jendela itu macet, sehingga Danina harus menyentaknya dengan keras.
Jendela itu terbuka setelah empat kali sentakan keras, disusul dengan sesuatu yang terpelanting ke lantai. Danina mencari benda itu, yang ternyata bersembunyi didekat kaki ranjangnya.
Sejenak dirinya ragu, melihat benda itu terbungkus didalam kantung kulit. Pada akhirnya, Danina menunduk, mengambil benda itu. Sejenak menimbang berat benda didalamnya. Kemudian dengan ragu dia membuka bungkus itu.
Danina kagum pada benda kecil yang hanya sebesar kuku jempol tangannya. Benda tercantik yang pernah dirinya lihat selama dirinya hidup. Dan benda paling berkilau yang pernah dirinya lihat.
Tapi siapa yang memberikan benda itu padanya?
Ibunya? Ayahnya? Tapi hari ini bukan peringatan ulang tahunnya. Orang tuanya tidak pernah memberikan benda berkilau padanya.
Danina mengintip isi kantung itu. Dan dia melihat kertas yang terlipat kecil, bersembunyi disudut kantung.
Danina mengeluarkannya. Lalu membuka lipatan kertas itu.
Ambil kembali tempat yang terenggut
Tempatmu bukan disini, Danina.
Danina meremas kertas kecil itu. Dia melihat bergantian pada surat dan benda berkilau itu. Hatinya sakit, kepalanya sakit. Dadanya terasa sesak, membuatnya terhuyung dan terduduk di lantai. Petunjuk yang sejak kemarin dia ingin temukan ternyata ada didalam kamarnya. Ditempat dia memikirkan beribu skenario Loretta menyimpan petunjuk.
Tapi anehnya, setelah dia mengetahui ini, hatinya semakin gelisah.
Kini bukan kepergian Loretta yang membuatnya sedih.
Danina… sedih pada dirinya sendiri.
Pagi ini Ilvy terbangun karena suara gedoran kuat dari pintu kamarnya. Dirinya menggeliat, turun dari tubuh telanjang yang memeluk pinggangnya dengan erat. Dia menepuk pelan pipi Qeen, membangunkan makhluk dengan mata berwarna hitam itu. "Kau masih ingin tidur?" tanyanya pada Qeen yang hanya dibalas dengan anggukan kecil. "Tapi melihatmu telanjang membuatku merindukan malam, Qeen." Ujarnya kemudian."Aku bisa membuat malam datang lebih cepat, jika kau mau." Gumamnya.Ilvy tertawa—tawa tulus yang hanya diketahui oleh Qeen. Gadis itu kini keluar dari ranjang, memakai jubahnya semalam, kemudian membuka pintu.Suasana hatinya yang bagus pagi ini membuatnya ingin membuat kehebohan yang menyenangkan. Dirinya sadar, Qeen tak akan siap menerima makian dan pekikan pagi ini. Tapi Ilvy ingin sebuah hiburan.Didepan pintu, ibunya menatapnya dengan sorot terkejut. Penampilan putrinya itu seperti pelacur jalanan. Rambut berantakan, leher penuh dengan jejak merah,
"Berhentilah merajuk, Danina!" teriak Odvarr disusul gelak tawa. Disebelahnya, Xenon menyikut keras rusuknya, membuatnya mengaduh kesakitan. "Aww!""Jangan pedulikan dia, Danina!" teriak Xenon tak kalah kuat. "Xenon si altruistik!" dengusnya penuh ejekan. "Hei Dan! Sudah setengah hari kau berada didalam sungai. Ikan-ikan akan menganggapmu bagian dari koloninya!" lagi, tawa Odvarr beradu dengan derasnya air sungai.Danina hanya memutar matanya. Membalas Odvarr hanya akan memperpanjang perdebatan. Laki-laki itu sangat suka membuat orang lain kesal. Dan dirinya tak ingin menjadi korban Odvarr.Danina masih sibuk menangkap ikan. Dia ingin membuat pesta besar malam ini. Bukan pesta sungguhan, hanya acara yang sama di setiap malam. Jika malam-malam sebelumnya para anggota klan saling berbagi, malam ini akan dibuatnya setiap Camsarian dan Effrayante kekenyangan.Alasan lainnya: Danina ingin menyibukkan dirinya agar pikirannya tidak kembali para Lor
Sudah sembilan hari, dan Ilvy belum melihat tanda-tanda kehadiran Qeen. Pria itu pergi ke Rhauven. Seharusnya sudah pulang dua hari yang lalu, membawa wanita itu—Ississia. Seharusnya mereka sudah membawa wanita itu ke tempat aman. Di tempat yang tak akan bisa dijangkau oleh siapun, bahkan ibunya.Tapi kemana perginya pria itu? Apa yang sedang terjadi?Bahkan merpati pos juga tidak datang membawa surat dari Qeen!“Putri, perlukah aku mengganti teh Anda dengan yang baru?”Ilvy bergerak. Matanya mengerjap dua kali, kemudian menoleh. Pelayannya berdiri disebelahnya. Pelayan yang sudah mengurusnya sejak bayi. Orang yang lebih memahaminya daripada ibunya sendiri.Ilvy mengangguk. Cangkir teh diganti dengan yang baru. Ilvy bisa melihat uap berputar di atasnya. “Tammy,” panggilnya.“Ya, Yang Mulia!”“Bisakah kau mencarikan informasi untukku?”Tidak Ilvy, jangan gegabah! Bat
Ini hampir jam sebelas malam, dan suara tumit sepatunya bergema disepanjang lorong istana. Liam masih berada di ruang kerjanya bersama Xavi. Orang yang lebih Liam percayai ketimbang dirinya. Lorelai tak mengharapkan banyak hal, tapi ketidakpedulian Liam padanya adalah hal yang paling membuatnya sengsara.Sejenak Lorelai menatap pintu besar didepannya itu dengan tatapan was-was. Sejujurnya dia takut menghadapi Liam. Pria itu tidak seperti sebelum menjadi Raja. Lorelai bahkan tidak lagi mengenal suaminya dengan baik.Dua orang penjaga di depan pintu itu menahannya. Menolak mentah-mentah kunjungan malamnya yang mendadak. Tapi secepat penolakan yang diterima Lorelai, secepat itu pula pintu besar didepannya dia buka.Persetan dengan kemurkaan Liam. Dirinya tidak peduli.Didalam, Lorelai bisa melihat Liam yang sedang berbicara dengan Xavi terdiam sejenak. Kertas yang dipegangnya diletakkan di meja. “Ini sudah malam, Ratu.” Nada suara Liam terd
Loretta hampir gila!Dia sudah empat hari berputar-putar di hutan Camsart, dan tak ada satupun jalan keluar dari hutan sialan ini. Sekeras apapun usahanya mempelajari mantra para Effrayante, tidak akan berhasil sebelum mendapat berkat.Sitaf hanya memberikan berkat perlindungan padanya—kepada semua Camsart. Tapi dirinya tidak mendapatkan berkat kemampuan merapal mantra.Lorelai kembali melewati pohon yang sudah dia lewati Ratusan kali selama empat hari ini. Dia ingin menjerit dengan keras. Tapi jeritan itu hanya ditelannya bulat-bulat, digantikan dengan dengusan jengkel.Apa gunanya dia memberontak pada para alfa jika akhirnya dia akan pulang? Ini memalukan! Mulutnya terlalu lancang saat itu—menyumpahi dua pria itu dengan penuh cacian. Loretta tidak akan menjilat ludahnya sendiri!Dia mengambil beberapa ranting pohon, mengumpulkannya untuk dijadikan anak panah. Persediaan makanan asapnya sudah habis tadi pagi, dan dia harus kembal
Qeen kembali ke Istana, membawa seseorang yang tidak Ilvy sangka.Seorang gadis, lebih tua darinya, memakai pakaian bangsawan, berdiri tepat disebelah Qeen. Gadis itu berdiri dengan santai—bahkan terkesan tidak peduli dengannya.Ilvy hanya menaikkan sebelah alisnya pada Qeen, lalu pria itu berkata: “Camsarian. Namanya Loretta.”Ilvy bertepuk tangan dengan pelan namun cukup antusias. Wajahnya terlihat berseri. Sebelah tangannya terulur kepada gadis bernama Loretta itu, yang dibalas setelah menggantung cukup lama. “Ilvy Channest.” Ilvy merasakan genggaman tangan yang kuat.“Loretta,” jawabnya singkat. “Ambrose.” Lanjutnya.Ilvy duduk dengan anggun. Dia yakin gadis bernama Loretta itu sedang memperhatikan dan menilai dirinya. Ilvy menatap sekilas Loretta yang masih berdiri, mempersilahkan gadis itu duduk di depannya. “Kau sangat cocok dengan pakaian itu.” Pujinya dengan baik. Tang
Tak ada yang lebih mencurigakan dari berubahnya sikap Danina. Gadis itu terlihat murung selama menghilangnya Loretta. Namun pagi ini, gadis itu menyapa semua orang yang lewat didepannya. Memeluk Shilba dan Ness yang duduk di sebelahnya. Dan mencium Xenon di depan ibunya. Membuat wanita itu melotot dan meninggalkan dua orang itu secepat kilat.Gadis itu bahkan membantu Nareef dan Xanfrey memperbaiki atap rumah. Hal yang berbanding terbalik dengan sikap Danina semalam. Selesai memperbaiki atap rumah, Danina mengikuti Xenon ke sungai. Gadis itu bahkan memeluk Xenon di depan Ovena, membuat wanita itu mendelik pada Xenon.“Ayo!” ajak Danina dengan tangannya yang menggenggam tangan Xenon. “Kita harus mengambil banyak ikan dan mengasapinya untuk persiapan puncak musim dingin.”Xenon tak menjawab ajakan Danina. Pria itu hanya mengikuti Danina kemanapun kaki gadis itu melangkah.Sepanjang perjalanan ke sungai, beberapa orang melihat mereka&
SATU HARI YANG LALUDanina masih menggenggam erat perhiasan itu. Benda berkilau yang seharusnya tak bisa dimiliki Loretta—karena gadis itu tak pernah keluar hutan dan jelas tidak memiliki uang untuk membelinya.Bahkan saat malam datang dan semua orang mulai berkumpul di lapangan, Danina tetap menyimpan benda itu di kantong celananya.Sekali ini saja, Dan. Cari petunjuk di rumah Lo. Bisik batinnya, sebelum dia berangkat ke lapangan. Danina bahkan sudah mengabaikan hatinya yang memohon untuk mencari yang Loretta berikan untuk terakhir kalinya. Tapi baik hatinya yang tak mau memahami akal sehatnya, dan juga rasa penasarannya yang kurang ajar, akhirnya Danina kembali ke rumah Loretta.Gadis itu menyuruh ibunya untuk pergi ke lapangan terlebih dahulu. Beralasan ada sesuatu yang harus dia kerjakan sebelum ke lapangan dan tak akan memakan waktu lama. Danina keluar rumah dengan berjingkat—takut jika ibunya masih
Ia menyibak selimutnya, turun dari ranjang dan membuka jendela yang berada tak jauh darinya. Langit masih gelap, udara masih terasa begitu dingin. Dengan cepat ia menarik jubahnya yang tersampir di kepala ranjang dan mengenakannya—menghalau dinginnya udara menjelang pagi yang masuk dengan mudah melewati jendela yang ia buka. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding di bawah jendela itu. Kedua tangannya menumpu di kusen jendela, dengan kepala yang terbaring di atas kedua tangan. Matanya menatap ke halaman samping rumahnya yang masih gelap gulita, ditemani bunyi kepak burung hantu yang terdengar jelas di dahan pohon yang berdiri tak jauh dari batas halamannya. Samar, ia mencium bau bunga lavender yang mekar di halaman. Bercampur dengan bau bunga mawar dan bunga-bunga lainnya yang ia tak ketahui namanya. Meskipun pelayannya menjelaskan hingga mulut berbusa tentang nama-nama bunga, ia tetap tidak bisa mengingat nama-nama itu. Satu kunang-kunang mendekat kearahnya. Tak l
Ilvy tak pernah merasa sesedih dan sebahagia ini. Baginya, ini pertama kalinya ia merasakan perasaan campur aduk seperti itu. Ia bisa tertawa dan menangis bersamaan. Disudut hatinya, batinnya merasa terkoyak sekaligus lega. Luka di tubuhnya terasa seperti sebuah kekalahan dan kemenangan. Singgasana yang ia duduki terasa begitu menakjubkan tetapi menakutkan. Sempat terbersit dihatinya untuk melepaskan segalanya. Hidup bahagia dengan makhluk yang mencintainya—tapi saat ini, pada momen seperti ini—iblis didalam hatinya membutuhkan sebuah kepuasan yang berbeda. Kepuasaan saat dirinya melenyapkan pemilik sah takhta terakhir. Ilvy melihat dua pedang yang dipegang kedua tangannya. Satu miliknya, satu lagi milik sepupunya. Ia melemparkan pedang itu hingga bunyi besi yang beradu dengan lantai terdengar nyaring di ruangan itu. Ruangan yang meskipun diisi banyak manusia tetapi terasa sunyi dan menyedihkan. Toh karena semua manusia disana telah menjadi mayat. Bahkan dia
“Bantu Jenderal Otto di pintu masuk timur. Aku akan masuk bersama Danina!” Qeen menggeleng cepat. Mata kelam itu menatapnya dengan skeptis. “Aku tidak akan terluka.” Ujarnya tanpa menunggu. Ilvy tidak membutuhkan persetujuan Qeen. Itu perintah untuk sang Effrayante dan harus dituruti. Dia membawa sepertiga pasukan ke gerbang depan istana, menyerang secara terbuka. Menyongsong jebakan yang mungkin saja telah dipasang oleh ayahnya. “Masih ada waktu untuk mundur, Dan.” Teriaknya di atas kuda kepada sepupunya. Danina tidak menatapnya. Gadis itu menatap lurus ke depan dengan mata yang berkilat penuh dengan tekad. Ilvy tahu gadis itu sedang menjangkau penyebab dirinya yatim piatu. Dan gadis itu tidak akan mundur meskipun pasukan Gerian jauh lebih banyak dari pasukan yang mereka bawa saat ini. “Kau bisa mundur jika terlalu sedih melihat kematian kedua orang tuamu.” Ilvy memutar matanya, dia kembali menatap ke depan. “Tidak.” Ilvy tidak akan pernah mundur. Mere
Istana jauh lebih megah dari bayangannya. Awalnya dia hanya membayangkan bahwa istana Gerian hanya sebesar lapangan kumpul dikalikan sepuluh. Tapi dia salah. Istana itu jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Ada banyak bangunan yang terpisah di istana dibawah sana, dengan kubah-kubah kecil di setiap bangunan itu. Tetapi kubah-kubah itu tidak sebesar bangunan yang berdiri di bagian tengah lingkungan Istana Gerian. Kubah besar terlihat berkilau dari tempatnya berdiri di dalam hutan—membuatnya bertanya-tanya mengapa Ilvy ingin menghancurkan posisi ayahnya yang tinggal di tempat yang pantas disebut surga itu, membuat posisi gadis itu juga ikut terancam.Tembok tinggi yang menjulang membuat batasan dengan jalanan yang melingkari istana Gerian dan juga tempat-tempat mewah lainnya di luar tembok. Danina mengasumsikan jika tempat-tempat cantik itu adalah rumah-rumah bangsawan yang menyebut dirinya sebagai Brosnean.Kuda di belakangnya meringkik, bersahut-sahutan. Kuda
Ilvy membuka kamar Danina dengan perlahan, mendapati gadis itu sedang memeluk ibunya yang menangis tersedu. Dia tahu, wanita itu tengah melepaskan putrinya untuk pergi ke medan perang, dengan kemungkinan tidak pulang untuk selamanya. Tapi baik Ilvy maupun dua orang yang sedang berpelukan itu menyadari, bahwa apapun konsekuensinya, kudeta ini tetap harus dilaksanakan.Pulang dengan nyawa, atau pulang tanpa nyawa—tak ada jalan untuk kembali.Melihat Danina yang memeluk ibunya dengan erat membuat hatinya terasa nyeri. Dia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari ibu kandungnya sendiri—penuh kasih sayang dan cinta. Kegilaan ibunya membuat dirinya hanya mendapat perhatian dari pengasuhnya—yang hanya memeluknya karena takut kepala terpisah dari badan.Ilvy mengetuk pintu kamar itu perlahan, membuat dua orang yang sedang menangis itu terdiam untuk beberapa saat, lalu menoleh menatapnya. “Sudah saatnya.” Bisik Ilvy kemudian. Dani
Cinta hanya akan menyakiti. Sekuat apapun dia memuja gadis itu, tetap saja pada akhirnya dia akan terluka. Awalnya hanya luka memar, berganti menjadi luka gores. Luka itu terus disentuh dengan tangan-tangan halus tetapi menyakitkan, menjadikan luka gores itu berganti menjadi luka sayatan yang menganga. Lama luka itu dibiarkan saja, tidak dipedulikan dan hanya dianggap angin lalu. Luka itu mulai membusuk dan bernanah. Tak lama, area luka itu mulai membesar, menjangkau seluruh tempat hingga tak ada yang tersisa.Luka itu berada di hatinya. Membuat hatinya membusuk dan berbau bangkai. Kini hatinya telah hilang karena luka itu. Menjadikannya manusia yang penuh dengan kebencian, dendam, dan kemarahan. Tak ada yang bisa menyembuhkan luka hatinya hingga membuatnya menjadi monster.Di kepalanya, ada beribu bisikan yang terus terdengar hingga membuat telinganya berdenging sepanjang hari. Dia kadang-kadang tidak bisa membedakan suara bisikan di kepalanya dengan suara orang yang
Ilvy terus memperhatikan drama di depannya dalam diam. Menurutnya malam ini adalah malam yang paling menarik selama dia menghabiskan banyak waktu di tengah hutan Camsart ini. Malam dimana semua orang murka karena kehilangan dua orang yang menjadi tonggak berdirinya klan Camsart.Nareef dan Nefsnan.Ayahnya begitu pintar melenyapkan dua orang yang perkataannya selalu dituruti oleh anggota Camsart lainnya.Raja Liam mendapatkan dua tangkapan pada satu umpan yang dipasangnya.Ilvy mengulum senyumnya ketika melihat betapa keruhnya situasi saat ini. Kudeta yang kini berada di depan mata, goyahnya klan Camsart karena kematian sang Alfa dan penasehatnya, dan kini dirinya melihat kebencian anggota Camsart kepada Effrayante, kaum yang selama ini melindungi mereka.Atau… kaum yang selama ini memelihara para Camsarian.Teriakan di depannya tidak pernah terputus. Bahkan, intensitasnya semakin menjadi. Ilvy bahkan harus mundur hingga ke tepi lapan
Dagan berusaha membuka jari-jari Danina yang mencengkeram erat rambut Loretta tetapi dengan cepat ditepisnya tangan pria itu. Tubuhnya bergetar karena marah. Racauan Loretta membuat kepalanya panas. Dirinya bahkan membayangkan betapa takut ayahnya dan Nareef saat Raja Liam memenggal kepala mereka. “Lepaskan dia, Dan!” pinta Dagan setengah memohon. Suara Dagan yang berbisik terdengar menusuk telinganya. Siapa yang akan memaafkan seseorang yang mengantarkan nyawa orang lain ke penjagalan? Danina bukan orang suci. Dia tak sudi memaafkan Loretta. Gadis itu memang biang masalah! Benar kata ibunya, seharusnya dia tidak terlalu dekat dengan Loretta. Dagan mencekal lengannya ketika Danina menarik Loretta ke lantai. Dengan cepat dia mendorong bahu pria itu hingga mundur beberapa langkah. Tidak membuang kesempatan, ia membuka pintu kamar Loretta dan menemukan tiga orang yang sedang berbincang di tengah ruangan di depan pintu. Seketika pembicaraan terhen
Elliot Harridan telah menunjukkan kepada mereka letak pangkalan militer pribadinya. Tepat di atas kastil, mendekati puncak bukit tertinggi di perbukitan Piroz, dibalik lebatnya hutan dan banyaknya cerita mistis tentang bukit itu—Elliot membangun sebuah kekuatan besar yang bisa meluluhlantakkan Gerian. Semua orang berdecak kagum, termasuk dirinya. Pria tanpa satu lengan yang duduk di sebelahnya ini adalah singa tidur yang bersiap untuk kembali mengaum.Tak menunggu basa-basi, Danina langsung berpamitan dengan seluruh orang disana, yang secara terang-terangan masih menginginkan keberadaannya disana. Juga kepada paman yang baru pertama kali ditemuinya selama ini—Danina tidak memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk tinggal.Danina memacu kudanya sekencang mungkin, meninggalkan kastil setelah pelukan canggung dari Raja Uther. Masih ada hal yang ingin diselesaikannya di hutan Camsart, sementara waktu untuk menyerang semakin dekat.Di sebelahnya, I