Gadis itu menyusuri tanah becek yang selama beberapa tahun ini sering dia lewati. Meskipun hanya sekali atau dua kali dalam satu bulan, tapi tempat ini adalah salah satu dari tiga tempat yang membuatnya bisa menjadi orang lain. Tidak dikenali. Tidak diagung-agungkan.
Menyelinap bukan perkara sulit baginya. Tidak ada tempat berbahaya baginya—selama dia bersama dengan makhluk yang kini berjarak dua langkah dibelakangnya. Ilvy akan pergi kemana saja, kapan saja, dengan orang kepercayaannya.
Diluar, orang-orang memanggilnya Ississia. Nama yang pernah didengarnya tanpa sengaja dari mulut ibunya. Nama yang membuat ibunya ketakutan setengah mati. Nama, yang langsung dia sukai, yang dia harap akan menjadi hantu untuk ibunya selama wanita itu menjadi Ratu dengan cara merampas hak Ratu sebelumnya.
Ilvy berbelok ke kanan. Melewati kedai makanan kumuh yang dipadati orang-orang mabuk. Pemiliknya adalah seorang janda yang memiliki anak gadis yang cantik. Orang-orang datang bukan karena makannya yang enak—Ilvy pernah mencobanya dan dia langsung memuntahkan makanan itu di suapan pertama—tapi anak gadisnya yang dipanggil Ratu.
Ratu di lingkungan kumuh yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari kerajaan.
Berjalan melewati kedai itu, Ilvy akan terus melangkahkan kaki melewati rumah-rumah yang atapnya setengah terbuka tapi masih dihuni, kemudian berbelok ke kiri. Sedikit masuk kedalam hutan, dan mereka menemukan bar yang cukup bagus disana.
Orang-orang mabuk yang duduk dan makan di kedai Ratu adalah orang-orang yang baru saja keluar dari dalam bar ini. Tempat dimana sumber informasi yang dicari. Tempat dimana orang-orang bisa membayar mereka untuk melakukan apapun yang mereka mau.
Dua orang berbadan besar berdiri mengapit pintu, memeriksa setiap orang yang ingin masuk kedalam bar. Begitu melihat Ilvy, mereka menyeringai senang. "Selamat datang!" sapa mereka ramah. Ilvy mendengkus. Dengan cepat dia melemparkan lima koin perak pada mereka, dan pintu itu terbuka.
Ilvy bisa mencium bau alkohol dan seks didalam bar. Memangnya apa yang harapkan? Manusia yang bercakap-cakap dengan gelas di tangan dan musik di sudut ruangan?
Ilvy bahkan bisa mendengar desahan di sudut ruangan. Di tengah bar ada panggung kecil dengan wanita telanjang yang menyanyi dan menari. Orang-orang melemparkan uang padanya. Semakin liar wanita itu menari, semakin banyak uang yang akan dia dapatkan.
"Lady! Aku melihat kau kembali berkunjung." Suara sengau seorang pria bertubuh kurus membuatnya berhenti. Ilvy menelengkan kepalanya, sudut bibirnya tertarik ke atas, menyeringai sinis. "Satu-satunya pengunjung wanita di bar ini."
Pria itu memegang bahu Ilvy, yang langsung ditepis oleh seseorang yang selalu mengikuti dirinya. "Wanita itu, dimana dia?" tanya Ilvy tanpa basa-basi.
"Siapa yang kau maksud, nona?"
"Aku bisa meminta orang dibelakangku untuk memotong lehermu sekarang." Ujarnya dengan senyuman ramah.
"Begitukah?"
"Butuh bukti?" tantang Ilvy. "Meski aku tak mendapatkan jawaban setelah kepalamu terpisah dari badanmu yang tak berguna itu, aku bisa mencarinya dengan cara lain."
Pria itu mundur satu langkah. Memperhatikan Ilvy dari ujung kepala hingga ujung kaki, kemudian tertawa terbahak-bahak. Tapi tawa itu hanya sesaat, sebelum rambutnya dijambak hingga kepalanya menengadah dan pisau menempel di lehernya.
Lagu masih berputar, penyanyi bar masih menghibur pengunjung dengan tubuh setengah telanjang. Orang-orang di bar terlalu mabuk untuk memahami apa akan terjadi.
"Dia ada di belakang, dengan para penjaga. Aku akan mengantarmu." Ujarnya cepat.
"Qeen,"
"Bayar aku dua kali lipat, karena kau mengancamku dengan pisau." Gerutunya.
Ilvy tertawa. "Aku membayarmu dengan ampunan yang aku berikan." Ujarnya penuh dengan nada ceria.
Ilvy menoleh, menatap wajah Qeen yang sepenuhnya tersembunyi oleh tudung jubahnya. Tangan yang memegang pergelangan tangannya terasa dingin, yang anehnya tak pernah Ilvy sadari sebelumnya. "Haruskah, Nona?"
Senyumnya kembali berkembang. Dengan cepat ditepuknya pundak Qeen dengan sebelah tangannya yang bebas. "Kau tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Tidak ada yang tahu kecuali aku." Jawabnya dengan nada muram, berbanding terbalik dengan senyum di wajahnya.
"Putri—"
"Jangan!" sergahnya cepat.
Qeen mundur satu langkah. Tangannya melepaskan tangan hangat itu. Ilvy buru-buru berbalik, mengikuti pria sengau yang berjalan semakin menjauh.
Pintu menuju belakang bar berderit pelan saat pria itu mendorongnya. Ilvy bisa mencium bau apak dan alkohol disana. Di sebelah kanan ada ruangan dipenuhi tong-tong bir. Dua orang wanita sedang mengisi gelas-gelas bir, mereka menoleh sekilas kemudian tersenyum mengejek padanya.
Berbelok ke kanan, mereka berjalan di lorong sempit sepanjang dua puluh meter. Pintu di depan mereka berwarna kuning. Warna yang begitu kontras dengan suasana bar yang suram. Pria itu berbalik, menyandarkan punggungnya di pintu. "Kau yakin, Nona?" tanyanya dengan nada mengejek.
Ilvy tak menyawab. Dia hanya menatap pria itu tepat di manik mata.
Ilvy harus melihatnya sendiri. Pencariannya selama ini harus membuahkan hasil. Wanita yang menghilang itu, harus dia temukan. Agar pria yang selama ini selalu berada dibayang-bayang kehidupannya keluar untuk memperlihatkan dirinya.
"Baiklah, baiklah." Jawabnya ketika Ilvy tak memberikan jawaban apapun padanya. Dia mengeluarkan kunci dari dalam sakunya, kembali menatap Ilvy sebelum membuka pintu berwarna kuning itu.
••
Ilvy tak pernah menduga dirinya akan segugup ini. Jantungnya berdegup kencang, tangannya berkeringat, bahkan tenggorokannya terasa tercekat. Sensasi yang tak pernah dia rasakan selama enam belas tahun hidupnya, dan itu mengganggunya.
Dibalik pintu kuning itu adalah sebuah ruangan bernuansa tenang. Sebuah kursi dengan ornamen yang cukup bagus terletak di tengah ruangan. Dengan meja senada yang menampung banyak kertas-kertas—berbanding terbalik dengan bar yang penuh dengan hiruk-pikuk manusia dan tidak teratur.
Di sudut ruangan, Ilvy bisa melihat kotak jeruji tempat anjing-anjing berburu ditempatkan. Bedanya, kandang anjing itu dua kali lebih besar dari kandang anjing biasanya, dan ada seorang wanita disana. Tangannya terikat ke belakang, kedua kakinya di rantai.
"Kau pikir dia akan keluar dari tempat itu hingga kau mengikat tangan dan kakinya?" tanya Ilvy kesal. "Qeen." Perintahnya sedetik kemudian.
Ilvy mengambil tempat di meja kerja si pria sengau. Duduk sambil memperhatika Qeen yang membuka pintu kandang yang di kunci dengan tangan kosong.
"Apa yang kau lakukan?" teriak pria itu menatap Ilvy dan Qeen bergantian.
Pintu kandang terbuka setelah teriakan itu terdengar. Qeen melepas rantai di kaki wanita itu dengan mudah, kemudian dia menarik wanita itu keluar, membawanya tepat kehadapan Ilvy.
"Siapa namamu?" tanya Ilvy tenang, mengabaikan pria sengau yang kini wajahnya memerah karena marah.
Wanita itu menatap Ilvy tanpa rasa takut. Wajahnya tenang, tapi tidak dengan sorot matanya. Ilvy bisa melihat sikap defensif dari sorot wanita itu. "Apa yang kau inginkan dariku?" jawabnya dengan sebuah pertanyaan.
Ilvy memejamkan mata beberapa saat. Suara wanita itu, terdengar asing sekaligus familier di telinganya.
"Nama." Balas Ilvy kemudian. "Aku ingin tahu namamu dan keberadaan seseorang. Kau tahu pasti apa yang aku maksud."
Wanita itu mengerutkan keningnya. "Zarefa." Ilvy membuka matanya, menatap langsung ke manik mata wanita itu. "Namaku Zarefa."
Ada senyum sinis yang tersungging di bibir Ilvy. Dia tidak suka kebohongan ini. Wanita itu akan menyulitkan dirinya sendiri saat mengucapkan kebohongan dengan mudahnya pada seorang Putri Gerian.
"Aku bisa membawamu langsung kepada Lorelai, jika kau mau." Gumam Ilvy yang cukup didengar dengan jelas oleh seluruh orang di ruangan itu. Bahkan si pria sengau itu langsung terdiam begitu nama wanita tertinggi di Gerian disebut. "Aku hanya ingin tahu namamu, dan keberadaan seseorang."
"Siapa kau?"
Ilvy tertawa keras. Kedua tangannya menangkup mulutnya untuk meredam tawa itu. "Aku?" tanyanya menunjuk dirinya sendiri. "Aku adalah Ilvy Channest. Tidakkah kau mengetahui nama itu?"
Wanita itu menunduk dalam, memberi hormat padanya. Si pria sengau bersimpuh di tempatnya, memberi penghormatan pada Ilvy.
"Siapa namamu sebenarnya?"
"Maya Crema, Yang Mulia." Jawabnya cepat. "Maya Ississia Crema, Yang Mulia."
"Bagus." Puji Ilvy. "Ikutlah denganku. Kita harus menemukan seseorang yang menghilang delapan belas tahun yang lalu."
"Baik, Putri." Suara wanita itu terdengar gugup—entah karena mengetahui siapa dirinya atau mengetahui tujuannya yang akan mencari pewaris takhta yang hilang.
Ilvy tersenyum puas. "Dan Qeen, tugas terakhirmu hari ini." Perintahnya.
••
Para pelayan sedang mengeringkan rambut Putri Gerian ketika pintu kamarnya terbuka lebar. Ibunya, Ratu Gerian, berdiri diambang pintu. Wajahnya memerah, senada dengan gaun yang dikenakannya saat ini. Ilvy hanya menatap ibunya sesaat, sebelum kembali menatap cermin di depannya. "Apa ibu berlari?" sindirnya.
Lorelai mengibaskan tangannya sekali, membuat seluruh pelayan keluar dari kamar Ilvy tanpa sepatah katapun, kecuali Qeen. "Apa yang kau lakukan? Aku menyuruhmu keluar dari sini." Teriak Lorelai murka.
Tapi Qeen bergeming. Matanya menatap jauh, mengabaikan sepenuhnya teriakan wanita tertinggi di Gerian. "Keluar atau aku penggal kepalamu!"
Ilvy mendengkus geli. "Dia memilih kepalanya dipenggal, ibu." Jawabnya. "Qeen tidak akan mendengar dan melihat apapun yang terjadi disini."
"Dengan apa kau menjaminnya?"
Ilvy merenung sejenak. Telunjuknya berlari ke bibirnya yang mulai menahan tawa geli. Dia tidak pernah mempertaruhkan apapun selama hidupnya. Dia tidak mendapat untung dari mempertaruhkan sesuatu, dan dia tak akan merugikan dirinya sendiri. "Raja, mungkin?" ejeknya.
Lorelai menyentak bahu Ilvy dengan kasar, membuat dirinya berbalik menatap ibunya yang sedang marah. "Aku tidak akan bermain denganmu, Ilvy. Akan kuhancurkan siapapun yang tidak memihakku."
"Bahkan putrimu sendiri?" tanya Ilvy cepat. Tawanya pecah, bahunya berguncang keras. Bahkan dia memegang perutnya dengan sebelah tangannya. "Ibu, aku tidak pernah memihak siapapun, kau tahu?" tanyanya kemudian. "Apa yang membuatmu begitu risau, Ibu?" suaranya terdengar begitu lembut. Tapi Lorelai tahu pasti bahwa Ilvy hanya mempermainkannya.
Lorelai menghembuskan napas gusar. "Surat itu," Lorelai berhenti sejenak, mencoba menebak ekspresi Ilvy yang kini terlihat menunggu, "apa kau yang menulisnya?"
"Surat apa yang ibu maksud?" tanyanya cepat.
Matanya menatap Lorelai dengan pandangan bingung. Tapi Lorelai bisa melihat sudut bibir Ilvy berkedut menahan senyum. "Jangan berbohong padaku, Ilvy!"
Ilvy tertawa cepat, sebelum sebelah tangannya menutup cepat mulutnya. Gadis itu berdiri, berjalan menuju Qeen, kemudian berbalik. "Bisakah kau mengikat rambutku, Qeen?" pintanya cepat.
"Aku mendengar desas-desus. Bahwa seseorang menulis surat untuk Camsarian dan para Elf." Ilvy tersenyum, matanya terlihat berbinar saat menatap ibunya. Seakan-akan ini adalah obrolan menyenangkan diantara keduanya. "Tapi aku bahkan bertanya-tanya, siapa yang menulis surat itu."
"Orang-orang melihat kau mengirimkan surat pada seseorang." Lorelai mendekati Ilvy. Kedua tangannya memegang bahu Ilvy dengan kuat. "Ilvy, demi Tuhan! Jangan bertindak bodoh."
Ilvy menggeleng cepat. "Ibu, apa kau mencurigaiku? Aku menulis surat undangan pesta minum the kepada gadis Brosnean. Kami akan melakukannya minggu depan. Kau harus hadir dan melihatnya sendiri. Dan mengapa kau menanyakan hal kejam itu padaku?" suaranya bergetar, bahkan mata Ilvy memerah menahan tangis. Membuat Lorelai melepaskan cengkeramannya pada bahu Ilvy.
"Aku tidak akan mentolerir tindakan bodoh, Ilvy." Ujarnya sebelum pergi dari sana.
Ilvy melihat punggung ibunya menjauh, kemudian pintu kamarnya tertutup. Dan sunyi menguasai.
Untuk sejenak, Ilvy mempertahankan air matanya yang membasahi pipi.
Tapi kemudian, dengan cepat dia menghapusnya. Tawa yang dia tahan keluar dengan rendah dan pelan. Qeen sudah selesai mengikat rambutnya, menyampirkan rambut itu di bahu kiri Ilvy. "Ini menyenangkan, Qeen." Bisiknya.
Ilvy berbalik, menatap wajah pria yang lebih sering tertutup tudung jubah itu. Tangannya melingkari pinggang pria itu, dan senyum tulusnya muncul. Hanya untuk pria yang sedang dipeluknya. "Apakah ini akan baik-baik saja?" gumamnya.
Qeen melarikan jarinya yang dingin ke wajah Ilvy. Menelusuri setiap inci dari wajah cantik yang selalu berganti ekspresi itu. "Haruskah kita melanjutkannya? Atau kita sudahi saja?" tanya Ilvy lagi. Gadis itu berjinjit, mencium pria itu.
Ilvy merasakan gairah mulai menguasainya. Ciuman lambat itu berubah menjadi penuh dengan tekanan. Qeen menjelajahi bibirnya, menghisap kuat, menggigitnya, bahkan kini bibir pria itu berpindah pada lehernya. "Kunci pintunya," bisik Ilvy dalam desahan.
Qeen hanya perlu menjentikkan jarinya, dan pintu kamar itu terkunci. Tangannya kini berpindah pada tali jubah Ilvy, menarik cepat simpul tali itu, lalu melepas satu-satunya pembungkus tubuh gadis itu. "Jangan berhenti hingga pagi menjelang, Qeen." Bisiknya lagi.
Qeen mengangkat tubuh itu, membawanya ke ranjang besar yang hanya beberapa langkah dari mereka. "Sesuai perintahmu, Yang Mulia." Jawabnya sebelum bibir mereka kembali bertaut.
Danina ingin menangis. Ibunya terlalu kejam pada gadis yang selama ini dianggapnya seperti anak sendiri. Danina ingat betul bagaimana ibunya sangat menyayangi Loretta. Danina ingat, saat dirinya dan Loretta berumur sepuluh tahun, mereka hampir tenggelam di sungai. Ibunya menjerit histeris saat tau Loretta tidak bernapas. Ibunya bahkan menangis bahagia saat Sitaf memantrai Loretta agar bisa bernapas lagi. Memori itu terasa begitu segar dikepalanya.Tapi saat ini, memori itu membuatnya semakin terluka. Saat ini, orang-orang seperti menutupi sesuatu dan menyalahkan Loretta. Tidak. Mereka memang menyalahkan Loretta atas hal yang Danina tidak ketahui.Hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi dari dirinya."Pulanglah, Dan. Ibu tidak ingin kau berkeliaran mencari Loretta."Danina menepis tangan ibunya. Kata-kata ibunya melukai dirinya semakin dalam. Apakah ibunya sangat benci dengan Loretta? Apakah selama ini semua orang hanya berpura-pura menyayangi Loretta?
Pagi ini Ilvy terbangun karena suara gedoran kuat dari pintu kamarnya. Dirinya menggeliat, turun dari tubuh telanjang yang memeluk pinggangnya dengan erat. Dia menepuk pelan pipi Qeen, membangunkan makhluk dengan mata berwarna hitam itu. "Kau masih ingin tidur?" tanyanya pada Qeen yang hanya dibalas dengan anggukan kecil. "Tapi melihatmu telanjang membuatku merindukan malam, Qeen." Ujarnya kemudian."Aku bisa membuat malam datang lebih cepat, jika kau mau." Gumamnya.Ilvy tertawa—tawa tulus yang hanya diketahui oleh Qeen. Gadis itu kini keluar dari ranjang, memakai jubahnya semalam, kemudian membuka pintu.Suasana hatinya yang bagus pagi ini membuatnya ingin membuat kehebohan yang menyenangkan. Dirinya sadar, Qeen tak akan siap menerima makian dan pekikan pagi ini. Tapi Ilvy ingin sebuah hiburan.Didepan pintu, ibunya menatapnya dengan sorot terkejut. Penampilan putrinya itu seperti pelacur jalanan. Rambut berantakan, leher penuh dengan jejak merah,
"Berhentilah merajuk, Danina!" teriak Odvarr disusul gelak tawa. Disebelahnya, Xenon menyikut keras rusuknya, membuatnya mengaduh kesakitan. "Aww!""Jangan pedulikan dia, Danina!" teriak Xenon tak kalah kuat. "Xenon si altruistik!" dengusnya penuh ejekan. "Hei Dan! Sudah setengah hari kau berada didalam sungai. Ikan-ikan akan menganggapmu bagian dari koloninya!" lagi, tawa Odvarr beradu dengan derasnya air sungai.Danina hanya memutar matanya. Membalas Odvarr hanya akan memperpanjang perdebatan. Laki-laki itu sangat suka membuat orang lain kesal. Dan dirinya tak ingin menjadi korban Odvarr.Danina masih sibuk menangkap ikan. Dia ingin membuat pesta besar malam ini. Bukan pesta sungguhan, hanya acara yang sama di setiap malam. Jika malam-malam sebelumnya para anggota klan saling berbagi, malam ini akan dibuatnya setiap Camsarian dan Effrayante kekenyangan.Alasan lainnya: Danina ingin menyibukkan dirinya agar pikirannya tidak kembali para Lor
Sudah sembilan hari, dan Ilvy belum melihat tanda-tanda kehadiran Qeen. Pria itu pergi ke Rhauven. Seharusnya sudah pulang dua hari yang lalu, membawa wanita itu—Ississia. Seharusnya mereka sudah membawa wanita itu ke tempat aman. Di tempat yang tak akan bisa dijangkau oleh siapun, bahkan ibunya.Tapi kemana perginya pria itu? Apa yang sedang terjadi?Bahkan merpati pos juga tidak datang membawa surat dari Qeen!“Putri, perlukah aku mengganti teh Anda dengan yang baru?”Ilvy bergerak. Matanya mengerjap dua kali, kemudian menoleh. Pelayannya berdiri disebelahnya. Pelayan yang sudah mengurusnya sejak bayi. Orang yang lebih memahaminya daripada ibunya sendiri.Ilvy mengangguk. Cangkir teh diganti dengan yang baru. Ilvy bisa melihat uap berputar di atasnya. “Tammy,” panggilnya.“Ya, Yang Mulia!”“Bisakah kau mencarikan informasi untukku?”Tidak Ilvy, jangan gegabah! Bat
Ini hampir jam sebelas malam, dan suara tumit sepatunya bergema disepanjang lorong istana. Liam masih berada di ruang kerjanya bersama Xavi. Orang yang lebih Liam percayai ketimbang dirinya. Lorelai tak mengharapkan banyak hal, tapi ketidakpedulian Liam padanya adalah hal yang paling membuatnya sengsara.Sejenak Lorelai menatap pintu besar didepannya itu dengan tatapan was-was. Sejujurnya dia takut menghadapi Liam. Pria itu tidak seperti sebelum menjadi Raja. Lorelai bahkan tidak lagi mengenal suaminya dengan baik.Dua orang penjaga di depan pintu itu menahannya. Menolak mentah-mentah kunjungan malamnya yang mendadak. Tapi secepat penolakan yang diterima Lorelai, secepat itu pula pintu besar didepannya dia buka.Persetan dengan kemurkaan Liam. Dirinya tidak peduli.Didalam, Lorelai bisa melihat Liam yang sedang berbicara dengan Xavi terdiam sejenak. Kertas yang dipegangnya diletakkan di meja. “Ini sudah malam, Ratu.” Nada suara Liam terd
Loretta hampir gila!Dia sudah empat hari berputar-putar di hutan Camsart, dan tak ada satupun jalan keluar dari hutan sialan ini. Sekeras apapun usahanya mempelajari mantra para Effrayante, tidak akan berhasil sebelum mendapat berkat.Sitaf hanya memberikan berkat perlindungan padanya—kepada semua Camsart. Tapi dirinya tidak mendapatkan berkat kemampuan merapal mantra.Lorelai kembali melewati pohon yang sudah dia lewati Ratusan kali selama empat hari ini. Dia ingin menjerit dengan keras. Tapi jeritan itu hanya ditelannya bulat-bulat, digantikan dengan dengusan jengkel.Apa gunanya dia memberontak pada para alfa jika akhirnya dia akan pulang? Ini memalukan! Mulutnya terlalu lancang saat itu—menyumpahi dua pria itu dengan penuh cacian. Loretta tidak akan menjilat ludahnya sendiri!Dia mengambil beberapa ranting pohon, mengumpulkannya untuk dijadikan anak panah. Persediaan makanan asapnya sudah habis tadi pagi, dan dia harus kembal
Qeen kembali ke Istana, membawa seseorang yang tidak Ilvy sangka.Seorang gadis, lebih tua darinya, memakai pakaian bangsawan, berdiri tepat disebelah Qeen. Gadis itu berdiri dengan santai—bahkan terkesan tidak peduli dengannya.Ilvy hanya menaikkan sebelah alisnya pada Qeen, lalu pria itu berkata: “Camsarian. Namanya Loretta.”Ilvy bertepuk tangan dengan pelan namun cukup antusias. Wajahnya terlihat berseri. Sebelah tangannya terulur kepada gadis bernama Loretta itu, yang dibalas setelah menggantung cukup lama. “Ilvy Channest.” Ilvy merasakan genggaman tangan yang kuat.“Loretta,” jawabnya singkat. “Ambrose.” Lanjutnya.Ilvy duduk dengan anggun. Dia yakin gadis bernama Loretta itu sedang memperhatikan dan menilai dirinya. Ilvy menatap sekilas Loretta yang masih berdiri, mempersilahkan gadis itu duduk di depannya. “Kau sangat cocok dengan pakaian itu.” Pujinya dengan baik. Tang
Tak ada yang lebih mencurigakan dari berubahnya sikap Danina. Gadis itu terlihat murung selama menghilangnya Loretta. Namun pagi ini, gadis itu menyapa semua orang yang lewat didepannya. Memeluk Shilba dan Ness yang duduk di sebelahnya. Dan mencium Xenon di depan ibunya. Membuat wanita itu melotot dan meninggalkan dua orang itu secepat kilat.Gadis itu bahkan membantu Nareef dan Xanfrey memperbaiki atap rumah. Hal yang berbanding terbalik dengan sikap Danina semalam. Selesai memperbaiki atap rumah, Danina mengikuti Xenon ke sungai. Gadis itu bahkan memeluk Xenon di depan Ovena, membuat wanita itu mendelik pada Xenon.“Ayo!” ajak Danina dengan tangannya yang menggenggam tangan Xenon. “Kita harus mengambil banyak ikan dan mengasapinya untuk persiapan puncak musim dingin.”Xenon tak menjawab ajakan Danina. Pria itu hanya mengikuti Danina kemanapun kaki gadis itu melangkah.Sepanjang perjalanan ke sungai, beberapa orang melihat mereka&
Ia menyibak selimutnya, turun dari ranjang dan membuka jendela yang berada tak jauh darinya. Langit masih gelap, udara masih terasa begitu dingin. Dengan cepat ia menarik jubahnya yang tersampir di kepala ranjang dan mengenakannya—menghalau dinginnya udara menjelang pagi yang masuk dengan mudah melewati jendela yang ia buka. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding di bawah jendela itu. Kedua tangannya menumpu di kusen jendela, dengan kepala yang terbaring di atas kedua tangan. Matanya menatap ke halaman samping rumahnya yang masih gelap gulita, ditemani bunyi kepak burung hantu yang terdengar jelas di dahan pohon yang berdiri tak jauh dari batas halamannya. Samar, ia mencium bau bunga lavender yang mekar di halaman. Bercampur dengan bau bunga mawar dan bunga-bunga lainnya yang ia tak ketahui namanya. Meskipun pelayannya menjelaskan hingga mulut berbusa tentang nama-nama bunga, ia tetap tidak bisa mengingat nama-nama itu. Satu kunang-kunang mendekat kearahnya. Tak l
Ilvy tak pernah merasa sesedih dan sebahagia ini. Baginya, ini pertama kalinya ia merasakan perasaan campur aduk seperti itu. Ia bisa tertawa dan menangis bersamaan. Disudut hatinya, batinnya merasa terkoyak sekaligus lega. Luka di tubuhnya terasa seperti sebuah kekalahan dan kemenangan. Singgasana yang ia duduki terasa begitu menakjubkan tetapi menakutkan. Sempat terbersit dihatinya untuk melepaskan segalanya. Hidup bahagia dengan makhluk yang mencintainya—tapi saat ini, pada momen seperti ini—iblis didalam hatinya membutuhkan sebuah kepuasan yang berbeda. Kepuasaan saat dirinya melenyapkan pemilik sah takhta terakhir. Ilvy melihat dua pedang yang dipegang kedua tangannya. Satu miliknya, satu lagi milik sepupunya. Ia melemparkan pedang itu hingga bunyi besi yang beradu dengan lantai terdengar nyaring di ruangan itu. Ruangan yang meskipun diisi banyak manusia tetapi terasa sunyi dan menyedihkan. Toh karena semua manusia disana telah menjadi mayat. Bahkan dia
“Bantu Jenderal Otto di pintu masuk timur. Aku akan masuk bersama Danina!” Qeen menggeleng cepat. Mata kelam itu menatapnya dengan skeptis. “Aku tidak akan terluka.” Ujarnya tanpa menunggu. Ilvy tidak membutuhkan persetujuan Qeen. Itu perintah untuk sang Effrayante dan harus dituruti. Dia membawa sepertiga pasukan ke gerbang depan istana, menyerang secara terbuka. Menyongsong jebakan yang mungkin saja telah dipasang oleh ayahnya. “Masih ada waktu untuk mundur, Dan.” Teriaknya di atas kuda kepada sepupunya. Danina tidak menatapnya. Gadis itu menatap lurus ke depan dengan mata yang berkilat penuh dengan tekad. Ilvy tahu gadis itu sedang menjangkau penyebab dirinya yatim piatu. Dan gadis itu tidak akan mundur meskipun pasukan Gerian jauh lebih banyak dari pasukan yang mereka bawa saat ini. “Kau bisa mundur jika terlalu sedih melihat kematian kedua orang tuamu.” Ilvy memutar matanya, dia kembali menatap ke depan. “Tidak.” Ilvy tidak akan pernah mundur. Mere
Istana jauh lebih megah dari bayangannya. Awalnya dia hanya membayangkan bahwa istana Gerian hanya sebesar lapangan kumpul dikalikan sepuluh. Tapi dia salah. Istana itu jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Ada banyak bangunan yang terpisah di istana dibawah sana, dengan kubah-kubah kecil di setiap bangunan itu. Tetapi kubah-kubah itu tidak sebesar bangunan yang berdiri di bagian tengah lingkungan Istana Gerian. Kubah besar terlihat berkilau dari tempatnya berdiri di dalam hutan—membuatnya bertanya-tanya mengapa Ilvy ingin menghancurkan posisi ayahnya yang tinggal di tempat yang pantas disebut surga itu, membuat posisi gadis itu juga ikut terancam.Tembok tinggi yang menjulang membuat batasan dengan jalanan yang melingkari istana Gerian dan juga tempat-tempat mewah lainnya di luar tembok. Danina mengasumsikan jika tempat-tempat cantik itu adalah rumah-rumah bangsawan yang menyebut dirinya sebagai Brosnean.Kuda di belakangnya meringkik, bersahut-sahutan. Kuda
Ilvy membuka kamar Danina dengan perlahan, mendapati gadis itu sedang memeluk ibunya yang menangis tersedu. Dia tahu, wanita itu tengah melepaskan putrinya untuk pergi ke medan perang, dengan kemungkinan tidak pulang untuk selamanya. Tapi baik Ilvy maupun dua orang yang sedang berpelukan itu menyadari, bahwa apapun konsekuensinya, kudeta ini tetap harus dilaksanakan.Pulang dengan nyawa, atau pulang tanpa nyawa—tak ada jalan untuk kembali.Melihat Danina yang memeluk ibunya dengan erat membuat hatinya terasa nyeri. Dia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari ibu kandungnya sendiri—penuh kasih sayang dan cinta. Kegilaan ibunya membuat dirinya hanya mendapat perhatian dari pengasuhnya—yang hanya memeluknya karena takut kepala terpisah dari badan.Ilvy mengetuk pintu kamar itu perlahan, membuat dua orang yang sedang menangis itu terdiam untuk beberapa saat, lalu menoleh menatapnya. “Sudah saatnya.” Bisik Ilvy kemudian. Dani
Cinta hanya akan menyakiti. Sekuat apapun dia memuja gadis itu, tetap saja pada akhirnya dia akan terluka. Awalnya hanya luka memar, berganti menjadi luka gores. Luka itu terus disentuh dengan tangan-tangan halus tetapi menyakitkan, menjadikan luka gores itu berganti menjadi luka sayatan yang menganga. Lama luka itu dibiarkan saja, tidak dipedulikan dan hanya dianggap angin lalu. Luka itu mulai membusuk dan bernanah. Tak lama, area luka itu mulai membesar, menjangkau seluruh tempat hingga tak ada yang tersisa.Luka itu berada di hatinya. Membuat hatinya membusuk dan berbau bangkai. Kini hatinya telah hilang karena luka itu. Menjadikannya manusia yang penuh dengan kebencian, dendam, dan kemarahan. Tak ada yang bisa menyembuhkan luka hatinya hingga membuatnya menjadi monster.Di kepalanya, ada beribu bisikan yang terus terdengar hingga membuat telinganya berdenging sepanjang hari. Dia kadang-kadang tidak bisa membedakan suara bisikan di kepalanya dengan suara orang yang
Ilvy terus memperhatikan drama di depannya dalam diam. Menurutnya malam ini adalah malam yang paling menarik selama dia menghabiskan banyak waktu di tengah hutan Camsart ini. Malam dimana semua orang murka karena kehilangan dua orang yang menjadi tonggak berdirinya klan Camsart.Nareef dan Nefsnan.Ayahnya begitu pintar melenyapkan dua orang yang perkataannya selalu dituruti oleh anggota Camsart lainnya.Raja Liam mendapatkan dua tangkapan pada satu umpan yang dipasangnya.Ilvy mengulum senyumnya ketika melihat betapa keruhnya situasi saat ini. Kudeta yang kini berada di depan mata, goyahnya klan Camsart karena kematian sang Alfa dan penasehatnya, dan kini dirinya melihat kebencian anggota Camsart kepada Effrayante, kaum yang selama ini melindungi mereka.Atau… kaum yang selama ini memelihara para Camsarian.Teriakan di depannya tidak pernah terputus. Bahkan, intensitasnya semakin menjadi. Ilvy bahkan harus mundur hingga ke tepi lapan
Dagan berusaha membuka jari-jari Danina yang mencengkeram erat rambut Loretta tetapi dengan cepat ditepisnya tangan pria itu. Tubuhnya bergetar karena marah. Racauan Loretta membuat kepalanya panas. Dirinya bahkan membayangkan betapa takut ayahnya dan Nareef saat Raja Liam memenggal kepala mereka. “Lepaskan dia, Dan!” pinta Dagan setengah memohon. Suara Dagan yang berbisik terdengar menusuk telinganya. Siapa yang akan memaafkan seseorang yang mengantarkan nyawa orang lain ke penjagalan? Danina bukan orang suci. Dia tak sudi memaafkan Loretta. Gadis itu memang biang masalah! Benar kata ibunya, seharusnya dia tidak terlalu dekat dengan Loretta. Dagan mencekal lengannya ketika Danina menarik Loretta ke lantai. Dengan cepat dia mendorong bahu pria itu hingga mundur beberapa langkah. Tidak membuang kesempatan, ia membuka pintu kamar Loretta dan menemukan tiga orang yang sedang berbincang di tengah ruangan di depan pintu. Seketika pembicaraan terhen
Elliot Harridan telah menunjukkan kepada mereka letak pangkalan militer pribadinya. Tepat di atas kastil, mendekati puncak bukit tertinggi di perbukitan Piroz, dibalik lebatnya hutan dan banyaknya cerita mistis tentang bukit itu—Elliot membangun sebuah kekuatan besar yang bisa meluluhlantakkan Gerian. Semua orang berdecak kagum, termasuk dirinya. Pria tanpa satu lengan yang duduk di sebelahnya ini adalah singa tidur yang bersiap untuk kembali mengaum.Tak menunggu basa-basi, Danina langsung berpamitan dengan seluruh orang disana, yang secara terang-terangan masih menginginkan keberadaannya disana. Juga kepada paman yang baru pertama kali ditemuinya selama ini—Danina tidak memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk tinggal.Danina memacu kudanya sekencang mungkin, meninggalkan kastil setelah pelukan canggung dari Raja Uther. Masih ada hal yang ingin diselesaikannya di hutan Camsart, sementara waktu untuk menyerang semakin dekat.Di sebelahnya, I