Danina tidak pernah melihat Loretta semenjak pertemuan rahasia itu. Tak ada yang tahu kemana gadis itu menghilang—atau lebih tepatnya pergi. Nareef dan Sitaf tak ingin menjawab pertanyaan darinya. Dan itu membuatnya semakin frustasi.
Tak ada yang paham Loretta sebaik Danina. Gadis itu pasti sedang murka dan hatinya terluka. Danina tahu apa yang dirasakan sahabatnya itu. Yatim piatu, tak memiliki siapapun. Meskipun hampir seluruh anggota Camsart yang tersisa menjadi yatim piatu, tapi tidak ada yang benar-benar mengenaskan seperti dirinya.
Bahkan Dagan masih mempunyai sepupunya, Odvarr.
Dan Danina yang memiliki kedua orang tua.
Tapi tidak dengan Loretta. Tidak ada siapa-siapa yang tersisa darinya.
Matahari belum muncul dan kunang-kunang masih menerangi tempat tinggal para Camsart. Tapi Danina sudah berada di luar rumah. Hanya ada beberapa orang yang sudah keluar rumah termasuk dirinya. Beberapa bertugas untuk menangkap ikan, beberapa lagi mengerjakan pekerjaan pribadi. Dan dirinya yang mengerjakan urusan pentingnya.
Danina melangkahkan kakinya menuju rumah sang Alfa. Meneror pria itu selama empat hari berturut-turut. Hari ini tepat empat hari Loretta menghilang. Sejujurnya, dia juga ingin pergi ke tempat Sitaf berada, tapi gadis itu tidak tahu tempat tinggalnya. Ya, tidak ada yang tahu dimana para Effrayante tinggal. Meskipun Camsart dan Effrayante hidup berdampingan, tidak ada satupun Camsart yang mengetahui tempat tinggal mereka.
Pintu itu diketuk sebanyak tiga kali. Kemudian jeda selama beberapa saat. Kembali diketuk dan diberi jeda, dan akhirnya pintu itu terbuka, dengan derit nyaring yang membuat Danina mundur dua langkah. "Danina!" Suara Saga—anak bungsu Nareef—terdengar serak karena bangun tidur dan bercampur dengan kesal. Wajah mengantuk yang awalnya terlihat bingung dan melas kini berangsur kesal. Bocah sepuluh tahun itu mengucek matanya perlahan, lalu menguap. "Ayahku sudah pergi pagi-pagi sekali dengan Sitaf." Jelasnya tanpa ditanya dengan setengah menggerutu.
Danina menyipitkan matanya—ragu dengan penjelasan bocah yang baru bangun tidur itu. Tapi hatinya menolak untuk curiga, karena Saga adalah bocah paling baik dan jujur yang pernah dia temui.
Toh karena Saga satu-satunya bocah di klan Camsart yang tersisa.
"Aku bersumpah demi ibuku!" ujarnya lagi dengan dengusan kesal. "Dan berhentilah mengetuk rumah sebelum matahari keluar, Dan. Loretta menghilang, dan tak ada yang tahu dimana dia."
"Nareef tahu dimana dia berada." Ujarnya cepat tak mau mengalah. Kemudian Danina dengan cepat mengatupkan mulutnya, menahan protes yang akan dia keluarkan pada bocah didepannya itu.
Memangnya apa yang diketahui Saga yang masih berumur sepuluh tahun?
"Danina?" Suara wanita dibelakang punggungnya membuatnya membalikkan badan. Dia mendengar Saga mendesah lega, dan kembali masuk kedalam rumah dengan cepat. "Nareef pergi bersama Sitaf, jika kau ingin tahu." Jelasnya dengan senyuman di wajahnya.
"Gaia—"
"Sayangku, aku tidak tahu dimana Loretta berada. Dia keluar dari rumah ini saat tengah malam. Setelah berdebat selama seharian, dan dia pergi tanya mengucapkan apapun padaku. Dan aku tidak pernah melihatnya setelah itu."
Danina mendesah pilu. Rasa khawatir yang menggerogoti dirinya semakin menjadi di setiap harinya. Dia hanya ingin tahu dimana Loretta berada. Dia cemas dengan keputusan yang akan dipilih Loretta. Dia takut jika Loretta akan mencelakai dirinya sendiri, atau mencelakai Camsart yang tersisa.
"Apa dia pergi karena surat itu?" tanya Danina tiba-tiba, membuat Gaia terdiam untuk beberapa saat.
Danina menangkap ekspresi marah pada wajah Gaia selama beberapa detik, sebelum ekspresi itu tergantikan dengan ekspresi cemas. Gaia menggeleng, "Aku tidak tahu, anakku. Mungkin dia sedang menenangkan diri di suatu tempat." Jawabnya, "Tapi aku tidak ingin berpikir dia keluar dari hutan ini. Tidak disaat seperti ini."
Perkataan Gaia membuat Danina terdiam. Gadis itu menyetujui apa yang dikatakan wanita paruh baya yang berdiri didepannya. Meskipun hati kecilnya masih ingin mencari keberadaan Loretta, tapi nalarnya kini mulai berpikir secara rasional.
Semua orang menyayangi Loretta termasuk dirinya. Semuanya pasti mencemaskan keberadaan gadis keras kepala itu, meskipun mereka lebih lihai menyembunyikan rasa khawatir daripada dirinya. Atau mungkin saja orang-orang Camsart tidak terlalu khawatir dengan menghilangnya Loretta karena mereka tahu gadis itu akan kembali sebentar lagi.
Benar. Loretta tak akan bertindak gegabah seperti ini, batinnya mencoba meyakinkan akal sehatnya, meskipun disatu sisi hatinya menolak kemungkinan itu.
Loretta mungkin saja melakukan itu melihat betapa kompulsifnya dia, sisi lain batinnya membisikkan keraguan kepadanya.
Gaia menepuk pelan pundak Danina. Senyum wanita itu terlihat tipis, tapi Danina tahu dengan pasti ada sebuah kasih sayang besar dibalik senyum itu. "Loretta akan baik-baik saja, dimanapun dia berada, dia akan baik-baik saja." Ujarnya menenangkan sebelum masuk kedalam rumah, dan pintu dibelakang Danina berderit menutup.
••
Tiga belas hari dirinya tidak melihat Loretta. Tidak ada yang menanyakan absennya gadis itu pada malam-malam perkumpulan, atau saat tugas yang seharusnya dilakukannya tidak dikerjakan. Orang-orang bertindak seperti tidak pernah mengenal Loretta.
Danina berusaha menahan diri selama sebelas hari. Tidak menanyakan gadis itu pada siapapun, kecuali kedua orang tuanya, Sitaf dan Nareef. Dia bahkan menelusuri setiap tempat yang pernah disinggahi Loretta di dalam hutan ini.
Tapi tak ada jejak-jejak Loretta tinggal disana.
Siang ini, setelah dirinya selesai berlatih memanah sendirian, Danina pulang kerumah. Dia mendapati separuh anggota Camsart pergi berburu, beberapa orang sibuk ke sungai. Hanya tersisa Shilba dan Bran yang sedang membuat perangkap untuk berburu. Dan mungkin mereka akan ikut pergi berburu.
Danina hanya memberi senyum singkat, sebelum dia berbelok ke kanan, menuju rumahnya. Tapi kemudian sebuah ide muncul didalam kepalanya.
Selama tiga belas hari ini, dia tidak pernah mencari jejak Loretta didalam rumahnya. Secara impulsif, Danina kembali berputar arah. Dia akan kerumah Loretta. Dan dirinya berharap hari ini adalah hari keberuntungannya.
Danina melangkahkan kaki keluar dari jalan setapak menuju rumahnya, berbelok kembali ke kiri. Dia melewati rumah Nareef, mengambil jalan memutar agar jika orang-orang tak sengaja bertemu dengannya, mereka tidak akan curiga. Danina kembali berbelok ke kiri, sebelum berbelok ke kanan dan sampai tepat disamping rumah yang ditinggali Loretta bersama si kembar Glapyra.
Danina berdiri menempel di dekat dinding rumah yang terbuat dari kayu itu. Mendengar dengan seksama suara dari dalam rumah. Saat dirinya yakin tidak mendengar suara apapun, dia melangkahkan kaki menuju pintu belakang rumah. Danina mengetuk dua kali, kemudian kembali menunggu. Setelah tak mendapat jawaban dari ketukan yang dilakukannya, Danina menggeser pintu itu dengan cepat.
Pintu itu tidak berderit, pintu itu terbuka dengan mulus dan pelan. Bersyukur karena pintu itu baru diganti dengan yang baru beberapa bulan yang lalu karena rusak terkena badai.
Danina memeriksa sejenak, meyakinkan dirinya bahwa didalam rumah itu tidak ada siapa-siapa. Tak ingin membuang kesempatan, dia memasuki rumah itu dengan langkah seringan bulu. Didalam hati dia berterima kasih kepada ibunya yang mengajarinya meringankan tubuh saat berburu binatang. Dia bisa menggunakannya saat ini.
Rumah yang ditinggali Loretta dan si kembar Glapyra adalah rumah tua. Rumah itu dulunya ditinggali oleh kedua orang tua kembar Glapyra. Seluruh lantai rumah itu akan berderit pelan saat diinjak. Langkah ringan Danina adalah pengecualian. Dia mampu melangkah dengan baik, tanpa menimbulkan bunyi.
Danina sangat hapal dengan lokasi rumah itu. Karena dirinya masuk melalui pintu belakang, maka kamar Loretta berada di sebelah kanannya. Dia harus menaiki tangga panjat untuk menuju kamarnya, karena kamar itu berada di loteng rumah.
Sesampainya didalam kamar Loretta, dia tidak melihat hal yang aneh. Loretta pecinta kerapian. Dan kamarnya rapi seperti baru saja dibersihkan. Atau dia membersihkannya sebelum pergi entah kemana.
Disamping ranjang kayunya ada dua kotak penyimpanan. Satu untuk menyimpan pakaiannya, dan satu lagi untuk menyimpan barang-barang. Danina membuka kedua kotak itu, dan tidak menemukan apapun yang bisa menjadi petunjuk menghilangnya Loretta.
Sebuah tempat yang tak akan ditemukan siapapun, Danina! Bisik batinnya keras.
Tangannya terus mencari, pada setiap tumpukan pakaian yang tidak dibawanya. Pada setiap barang-barang yang ditinggalkannya. Dia bahkan membalik alas tidur tipis milik Loretta, dan tak menemukan apapun.
Tidak ada petunjuk.
Tidak ada apapun.
Tempat dimana Loretta akan menyimpannya, Dan! Teriak batinnya.
Ya, Danina tahu benar Loretta tak akan menyimpan atau meninggalkan sesuatu di tempat yang mudah diketahui orang lain. Tapi Danina pun tak tahu dimana tempat itu. Dan Danina mulai meragukan dirinya yang menganggap mengenal Loretta dengan baik.
Danina kembali menyapu seluruh ruangan itu untuk terakhir kalinya sebelum keluar dari rumah si kembar Glapyra. Instingnya yakin bahwa Loretta tidak meninggalkan apapun di ruangan itu.
••
Danina kembali mengambil rute awal saat dia ke rumah si kembar Glapyra. Orang-orang pasti sudah mulai kembali dari berburu, atau dari kegiatan berkelompok mereka. Dan ia tak ingin mengambil resiko ketahuan oleh siapapun. Sebelum dia melewati rumah Nareef dan menuju lapangan kumpul, dia berbelok ke arah hutan, menuju rumah pohon. Mengingat dirinya dan Loretta selalu berada disana saat kabur dari tugas bersama, atau dari hal-hal menyebalkan lainnya, mungkin saja ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.
Meskipun dia tak yakin.
Danina memanjat dengan mudah, kemudian mendorong sedikit pintu rumah pohon. Keinginannya untuk menggeledah rumah itu surut saat suara seseorang yang dia sangat kenal memanggil namanya.
"Danina?" suara itu terdengar terkejut. Danina hanya mampu menyapu ruangan itu sekilas, sebelum dia turun satu langkah, dan pintu rumah pohon menutup diatas kepalanya. Dia menunduk, melihat ke bawah dan menemukan Ovena membawa busur dan anak panah, serta rusa yang cukup besar di tas berburunya. "Apa yang kau lakukan disana?"
Dengan buru-buru Danina turun. Dia bahkan melompat dan mendarat tepat disebelah Ovena. "Kabur untuk kegiatan berkelompok." Dustanya, yang dia harap terdengar seperti jawaban jujur yang spontan.
Alis Ovena berkerut tak senang. Tapi wanita itu hanya menggeleng sebagai jawaban tak suka. "Kau seharusnya berhenti, sayang. Gadis itu tak akan kembali."
Kali ini alis Danina yang berkerut—bingung. Dia terlalu sering mendengar pernyataan seperti itu. Seakan-akan semua orang tahu Loretta tak akan pernah kembali. Seakan-akan mereka tahu kemana sahabatnya pergi.
Bahkan Gaia yang mengatakan Loretta akan kembali terdengar seperti sebuah kebohongan di telinganya.
"Dia hanya memiliki kita sebagai keluarganya." Tepis gadis itu kemudian.
Lagi, Ovena menggeleng. Tangannya menepuk bahu Danina menenangkan. "Dia membuang kepercayaannya untuk sesuatu yang belum pasti, Danina."
"Ibu!" Kalimat itu terdengar menyakitkan dihati Danina. Untuk pertama kalinya dia merasa ibunya bersikap kejam.
Danina kembali ingin mempercayai apa yang dia pikirkan tiga belas hari yang lalu. Ia ingin meyakini bahwa Loretta hanya pergi ke suatu tempat dan akan kembali bersama anggota Camsart lainnya.
Tapi kini ia mulai meragukan semuanya.
Ovena tidak mengatakan apapun setelahnya. Wanita itu hanya menarik tangan Danina dan setengah menyeretnya untuk kembali ke rumah. Tempat dimana gadis itu bisa diawasi. Tempat dimana Danina tidak akan mencari temannya yang menghilang tanpa jejak.
Gadis itu menyusuri tanah becek yang selama beberapa tahun ini sering dia lewati. Meskipun hanya sekali atau dua kali dalam satu bulan, tapi tempat ini adalah salah satu dari tiga tempat yang membuatnya bisa menjadi orang lain. Tidak dikenali. Tidak diagung-agungkan.Menyelinap bukan perkara sulit baginya. Tidak ada tempat berbahaya baginya—selama dia bersama dengan makhluk yang kini berjarak dua langkah dibelakangnya. Ilvy akan pergi kemana saja, kapan saja, dengan orang kepercayaannya.Diluar, orang-orang memanggilnya Ississia. Nama yang pernah didengarnya tanpa sengaja dari mulut ibunya. Nama yang membuat ibunya ketakutan setengah mati. Nama, yang langsung dia sukai, yang dia harap akan menjadi hantu untuk ibunya selama wanita itu menjadi Ratu dengan cara merampas hak Ratu sebelumnya.Ilvy berbelok ke kanan. Melewati kedai makanan kumuh yang dipadati orang-orang mabuk. Pemiliknya adalah seorang janda yang memiliki anak gadis yang cantik. Orang-orang dat
Danina ingin menangis. Ibunya terlalu kejam pada gadis yang selama ini dianggapnya seperti anak sendiri. Danina ingat betul bagaimana ibunya sangat menyayangi Loretta. Danina ingat, saat dirinya dan Loretta berumur sepuluh tahun, mereka hampir tenggelam di sungai. Ibunya menjerit histeris saat tau Loretta tidak bernapas. Ibunya bahkan menangis bahagia saat Sitaf memantrai Loretta agar bisa bernapas lagi. Memori itu terasa begitu segar dikepalanya.Tapi saat ini, memori itu membuatnya semakin terluka. Saat ini, orang-orang seperti menutupi sesuatu dan menyalahkan Loretta. Tidak. Mereka memang menyalahkan Loretta atas hal yang Danina tidak ketahui.Hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi dari dirinya."Pulanglah, Dan. Ibu tidak ingin kau berkeliaran mencari Loretta."Danina menepis tangan ibunya. Kata-kata ibunya melukai dirinya semakin dalam. Apakah ibunya sangat benci dengan Loretta? Apakah selama ini semua orang hanya berpura-pura menyayangi Loretta?
Pagi ini Ilvy terbangun karena suara gedoran kuat dari pintu kamarnya. Dirinya menggeliat, turun dari tubuh telanjang yang memeluk pinggangnya dengan erat. Dia menepuk pelan pipi Qeen, membangunkan makhluk dengan mata berwarna hitam itu. "Kau masih ingin tidur?" tanyanya pada Qeen yang hanya dibalas dengan anggukan kecil. "Tapi melihatmu telanjang membuatku merindukan malam, Qeen." Ujarnya kemudian."Aku bisa membuat malam datang lebih cepat, jika kau mau." Gumamnya.Ilvy tertawa—tawa tulus yang hanya diketahui oleh Qeen. Gadis itu kini keluar dari ranjang, memakai jubahnya semalam, kemudian membuka pintu.Suasana hatinya yang bagus pagi ini membuatnya ingin membuat kehebohan yang menyenangkan. Dirinya sadar, Qeen tak akan siap menerima makian dan pekikan pagi ini. Tapi Ilvy ingin sebuah hiburan.Didepan pintu, ibunya menatapnya dengan sorot terkejut. Penampilan putrinya itu seperti pelacur jalanan. Rambut berantakan, leher penuh dengan jejak merah,
"Berhentilah merajuk, Danina!" teriak Odvarr disusul gelak tawa. Disebelahnya, Xenon menyikut keras rusuknya, membuatnya mengaduh kesakitan. "Aww!""Jangan pedulikan dia, Danina!" teriak Xenon tak kalah kuat. "Xenon si altruistik!" dengusnya penuh ejekan. "Hei Dan! Sudah setengah hari kau berada didalam sungai. Ikan-ikan akan menganggapmu bagian dari koloninya!" lagi, tawa Odvarr beradu dengan derasnya air sungai.Danina hanya memutar matanya. Membalas Odvarr hanya akan memperpanjang perdebatan. Laki-laki itu sangat suka membuat orang lain kesal. Dan dirinya tak ingin menjadi korban Odvarr.Danina masih sibuk menangkap ikan. Dia ingin membuat pesta besar malam ini. Bukan pesta sungguhan, hanya acara yang sama di setiap malam. Jika malam-malam sebelumnya para anggota klan saling berbagi, malam ini akan dibuatnya setiap Camsarian dan Effrayante kekenyangan.Alasan lainnya: Danina ingin menyibukkan dirinya agar pikirannya tidak kembali para Lor
Sudah sembilan hari, dan Ilvy belum melihat tanda-tanda kehadiran Qeen. Pria itu pergi ke Rhauven. Seharusnya sudah pulang dua hari yang lalu, membawa wanita itu—Ississia. Seharusnya mereka sudah membawa wanita itu ke tempat aman. Di tempat yang tak akan bisa dijangkau oleh siapun, bahkan ibunya.Tapi kemana perginya pria itu? Apa yang sedang terjadi?Bahkan merpati pos juga tidak datang membawa surat dari Qeen!“Putri, perlukah aku mengganti teh Anda dengan yang baru?”Ilvy bergerak. Matanya mengerjap dua kali, kemudian menoleh. Pelayannya berdiri disebelahnya. Pelayan yang sudah mengurusnya sejak bayi. Orang yang lebih memahaminya daripada ibunya sendiri.Ilvy mengangguk. Cangkir teh diganti dengan yang baru. Ilvy bisa melihat uap berputar di atasnya. “Tammy,” panggilnya.“Ya, Yang Mulia!”“Bisakah kau mencarikan informasi untukku?”Tidak Ilvy, jangan gegabah! Bat
Ini hampir jam sebelas malam, dan suara tumit sepatunya bergema disepanjang lorong istana. Liam masih berada di ruang kerjanya bersama Xavi. Orang yang lebih Liam percayai ketimbang dirinya. Lorelai tak mengharapkan banyak hal, tapi ketidakpedulian Liam padanya adalah hal yang paling membuatnya sengsara.Sejenak Lorelai menatap pintu besar didepannya itu dengan tatapan was-was. Sejujurnya dia takut menghadapi Liam. Pria itu tidak seperti sebelum menjadi Raja. Lorelai bahkan tidak lagi mengenal suaminya dengan baik.Dua orang penjaga di depan pintu itu menahannya. Menolak mentah-mentah kunjungan malamnya yang mendadak. Tapi secepat penolakan yang diterima Lorelai, secepat itu pula pintu besar didepannya dia buka.Persetan dengan kemurkaan Liam. Dirinya tidak peduli.Didalam, Lorelai bisa melihat Liam yang sedang berbicara dengan Xavi terdiam sejenak. Kertas yang dipegangnya diletakkan di meja. “Ini sudah malam, Ratu.” Nada suara Liam terd
Loretta hampir gila!Dia sudah empat hari berputar-putar di hutan Camsart, dan tak ada satupun jalan keluar dari hutan sialan ini. Sekeras apapun usahanya mempelajari mantra para Effrayante, tidak akan berhasil sebelum mendapat berkat.Sitaf hanya memberikan berkat perlindungan padanya—kepada semua Camsart. Tapi dirinya tidak mendapatkan berkat kemampuan merapal mantra.Lorelai kembali melewati pohon yang sudah dia lewati Ratusan kali selama empat hari ini. Dia ingin menjerit dengan keras. Tapi jeritan itu hanya ditelannya bulat-bulat, digantikan dengan dengusan jengkel.Apa gunanya dia memberontak pada para alfa jika akhirnya dia akan pulang? Ini memalukan! Mulutnya terlalu lancang saat itu—menyumpahi dua pria itu dengan penuh cacian. Loretta tidak akan menjilat ludahnya sendiri!Dia mengambil beberapa ranting pohon, mengumpulkannya untuk dijadikan anak panah. Persediaan makanan asapnya sudah habis tadi pagi, dan dia harus kembal
Qeen kembali ke Istana, membawa seseorang yang tidak Ilvy sangka.Seorang gadis, lebih tua darinya, memakai pakaian bangsawan, berdiri tepat disebelah Qeen. Gadis itu berdiri dengan santai—bahkan terkesan tidak peduli dengannya.Ilvy hanya menaikkan sebelah alisnya pada Qeen, lalu pria itu berkata: “Camsarian. Namanya Loretta.”Ilvy bertepuk tangan dengan pelan namun cukup antusias. Wajahnya terlihat berseri. Sebelah tangannya terulur kepada gadis bernama Loretta itu, yang dibalas setelah menggantung cukup lama. “Ilvy Channest.” Ilvy merasakan genggaman tangan yang kuat.“Loretta,” jawabnya singkat. “Ambrose.” Lanjutnya.Ilvy duduk dengan anggun. Dia yakin gadis bernama Loretta itu sedang memperhatikan dan menilai dirinya. Ilvy menatap sekilas Loretta yang masih berdiri, mempersilahkan gadis itu duduk di depannya. “Kau sangat cocok dengan pakaian itu.” Pujinya dengan baik. Tang
Ia menyibak selimutnya, turun dari ranjang dan membuka jendela yang berada tak jauh darinya. Langit masih gelap, udara masih terasa begitu dingin. Dengan cepat ia menarik jubahnya yang tersampir di kepala ranjang dan mengenakannya—menghalau dinginnya udara menjelang pagi yang masuk dengan mudah melewati jendela yang ia buka. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding di bawah jendela itu. Kedua tangannya menumpu di kusen jendela, dengan kepala yang terbaring di atas kedua tangan. Matanya menatap ke halaman samping rumahnya yang masih gelap gulita, ditemani bunyi kepak burung hantu yang terdengar jelas di dahan pohon yang berdiri tak jauh dari batas halamannya. Samar, ia mencium bau bunga lavender yang mekar di halaman. Bercampur dengan bau bunga mawar dan bunga-bunga lainnya yang ia tak ketahui namanya. Meskipun pelayannya menjelaskan hingga mulut berbusa tentang nama-nama bunga, ia tetap tidak bisa mengingat nama-nama itu. Satu kunang-kunang mendekat kearahnya. Tak l
Ilvy tak pernah merasa sesedih dan sebahagia ini. Baginya, ini pertama kalinya ia merasakan perasaan campur aduk seperti itu. Ia bisa tertawa dan menangis bersamaan. Disudut hatinya, batinnya merasa terkoyak sekaligus lega. Luka di tubuhnya terasa seperti sebuah kekalahan dan kemenangan. Singgasana yang ia duduki terasa begitu menakjubkan tetapi menakutkan. Sempat terbersit dihatinya untuk melepaskan segalanya. Hidup bahagia dengan makhluk yang mencintainya—tapi saat ini, pada momen seperti ini—iblis didalam hatinya membutuhkan sebuah kepuasan yang berbeda. Kepuasaan saat dirinya melenyapkan pemilik sah takhta terakhir. Ilvy melihat dua pedang yang dipegang kedua tangannya. Satu miliknya, satu lagi milik sepupunya. Ia melemparkan pedang itu hingga bunyi besi yang beradu dengan lantai terdengar nyaring di ruangan itu. Ruangan yang meskipun diisi banyak manusia tetapi terasa sunyi dan menyedihkan. Toh karena semua manusia disana telah menjadi mayat. Bahkan dia
“Bantu Jenderal Otto di pintu masuk timur. Aku akan masuk bersama Danina!” Qeen menggeleng cepat. Mata kelam itu menatapnya dengan skeptis. “Aku tidak akan terluka.” Ujarnya tanpa menunggu. Ilvy tidak membutuhkan persetujuan Qeen. Itu perintah untuk sang Effrayante dan harus dituruti. Dia membawa sepertiga pasukan ke gerbang depan istana, menyerang secara terbuka. Menyongsong jebakan yang mungkin saja telah dipasang oleh ayahnya. “Masih ada waktu untuk mundur, Dan.” Teriaknya di atas kuda kepada sepupunya. Danina tidak menatapnya. Gadis itu menatap lurus ke depan dengan mata yang berkilat penuh dengan tekad. Ilvy tahu gadis itu sedang menjangkau penyebab dirinya yatim piatu. Dan gadis itu tidak akan mundur meskipun pasukan Gerian jauh lebih banyak dari pasukan yang mereka bawa saat ini. “Kau bisa mundur jika terlalu sedih melihat kematian kedua orang tuamu.” Ilvy memutar matanya, dia kembali menatap ke depan. “Tidak.” Ilvy tidak akan pernah mundur. Mere
Istana jauh lebih megah dari bayangannya. Awalnya dia hanya membayangkan bahwa istana Gerian hanya sebesar lapangan kumpul dikalikan sepuluh. Tapi dia salah. Istana itu jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Ada banyak bangunan yang terpisah di istana dibawah sana, dengan kubah-kubah kecil di setiap bangunan itu. Tetapi kubah-kubah itu tidak sebesar bangunan yang berdiri di bagian tengah lingkungan Istana Gerian. Kubah besar terlihat berkilau dari tempatnya berdiri di dalam hutan—membuatnya bertanya-tanya mengapa Ilvy ingin menghancurkan posisi ayahnya yang tinggal di tempat yang pantas disebut surga itu, membuat posisi gadis itu juga ikut terancam.Tembok tinggi yang menjulang membuat batasan dengan jalanan yang melingkari istana Gerian dan juga tempat-tempat mewah lainnya di luar tembok. Danina mengasumsikan jika tempat-tempat cantik itu adalah rumah-rumah bangsawan yang menyebut dirinya sebagai Brosnean.Kuda di belakangnya meringkik, bersahut-sahutan. Kuda
Ilvy membuka kamar Danina dengan perlahan, mendapati gadis itu sedang memeluk ibunya yang menangis tersedu. Dia tahu, wanita itu tengah melepaskan putrinya untuk pergi ke medan perang, dengan kemungkinan tidak pulang untuk selamanya. Tapi baik Ilvy maupun dua orang yang sedang berpelukan itu menyadari, bahwa apapun konsekuensinya, kudeta ini tetap harus dilaksanakan.Pulang dengan nyawa, atau pulang tanpa nyawa—tak ada jalan untuk kembali.Melihat Danina yang memeluk ibunya dengan erat membuat hatinya terasa nyeri. Dia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari ibu kandungnya sendiri—penuh kasih sayang dan cinta. Kegilaan ibunya membuat dirinya hanya mendapat perhatian dari pengasuhnya—yang hanya memeluknya karena takut kepala terpisah dari badan.Ilvy mengetuk pintu kamar itu perlahan, membuat dua orang yang sedang menangis itu terdiam untuk beberapa saat, lalu menoleh menatapnya. “Sudah saatnya.” Bisik Ilvy kemudian. Dani
Cinta hanya akan menyakiti. Sekuat apapun dia memuja gadis itu, tetap saja pada akhirnya dia akan terluka. Awalnya hanya luka memar, berganti menjadi luka gores. Luka itu terus disentuh dengan tangan-tangan halus tetapi menyakitkan, menjadikan luka gores itu berganti menjadi luka sayatan yang menganga. Lama luka itu dibiarkan saja, tidak dipedulikan dan hanya dianggap angin lalu. Luka itu mulai membusuk dan bernanah. Tak lama, area luka itu mulai membesar, menjangkau seluruh tempat hingga tak ada yang tersisa.Luka itu berada di hatinya. Membuat hatinya membusuk dan berbau bangkai. Kini hatinya telah hilang karena luka itu. Menjadikannya manusia yang penuh dengan kebencian, dendam, dan kemarahan. Tak ada yang bisa menyembuhkan luka hatinya hingga membuatnya menjadi monster.Di kepalanya, ada beribu bisikan yang terus terdengar hingga membuat telinganya berdenging sepanjang hari. Dia kadang-kadang tidak bisa membedakan suara bisikan di kepalanya dengan suara orang yang
Ilvy terus memperhatikan drama di depannya dalam diam. Menurutnya malam ini adalah malam yang paling menarik selama dia menghabiskan banyak waktu di tengah hutan Camsart ini. Malam dimana semua orang murka karena kehilangan dua orang yang menjadi tonggak berdirinya klan Camsart.Nareef dan Nefsnan.Ayahnya begitu pintar melenyapkan dua orang yang perkataannya selalu dituruti oleh anggota Camsart lainnya.Raja Liam mendapatkan dua tangkapan pada satu umpan yang dipasangnya.Ilvy mengulum senyumnya ketika melihat betapa keruhnya situasi saat ini. Kudeta yang kini berada di depan mata, goyahnya klan Camsart karena kematian sang Alfa dan penasehatnya, dan kini dirinya melihat kebencian anggota Camsart kepada Effrayante, kaum yang selama ini melindungi mereka.Atau… kaum yang selama ini memelihara para Camsarian.Teriakan di depannya tidak pernah terputus. Bahkan, intensitasnya semakin menjadi. Ilvy bahkan harus mundur hingga ke tepi lapan
Dagan berusaha membuka jari-jari Danina yang mencengkeram erat rambut Loretta tetapi dengan cepat ditepisnya tangan pria itu. Tubuhnya bergetar karena marah. Racauan Loretta membuat kepalanya panas. Dirinya bahkan membayangkan betapa takut ayahnya dan Nareef saat Raja Liam memenggal kepala mereka. “Lepaskan dia, Dan!” pinta Dagan setengah memohon. Suara Dagan yang berbisik terdengar menusuk telinganya. Siapa yang akan memaafkan seseorang yang mengantarkan nyawa orang lain ke penjagalan? Danina bukan orang suci. Dia tak sudi memaafkan Loretta. Gadis itu memang biang masalah! Benar kata ibunya, seharusnya dia tidak terlalu dekat dengan Loretta. Dagan mencekal lengannya ketika Danina menarik Loretta ke lantai. Dengan cepat dia mendorong bahu pria itu hingga mundur beberapa langkah. Tidak membuang kesempatan, ia membuka pintu kamar Loretta dan menemukan tiga orang yang sedang berbincang di tengah ruangan di depan pintu. Seketika pembicaraan terhen
Elliot Harridan telah menunjukkan kepada mereka letak pangkalan militer pribadinya. Tepat di atas kastil, mendekati puncak bukit tertinggi di perbukitan Piroz, dibalik lebatnya hutan dan banyaknya cerita mistis tentang bukit itu—Elliot membangun sebuah kekuatan besar yang bisa meluluhlantakkan Gerian. Semua orang berdecak kagum, termasuk dirinya. Pria tanpa satu lengan yang duduk di sebelahnya ini adalah singa tidur yang bersiap untuk kembali mengaum.Tak menunggu basa-basi, Danina langsung berpamitan dengan seluruh orang disana, yang secara terang-terangan masih menginginkan keberadaannya disana. Juga kepada paman yang baru pertama kali ditemuinya selama ini—Danina tidak memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk tinggal.Danina memacu kudanya sekencang mungkin, meninggalkan kastil setelah pelukan canggung dari Raja Uther. Masih ada hal yang ingin diselesaikannya di hutan Camsart, sementara waktu untuk menyerang semakin dekat.Di sebelahnya, I