Delapan Belas Tahun Yang Lalu
Levi mengurut pelipisnya. Dia tak senang, suasana hatinya sedang buruk. Laporan dari Menteri Pertahanan mengenai bandit dari Rhauven membuat kepalanya semakin sakit. Sudah dua hari Levi tidak tidur. Pernikahan adiknya, Liam, dengan anak perempuan dari Raja Vessia menyita hampir separuh pikirannya. Kerajaan Vessia meminta banyak hal, termasuk membuatkan istana kecil untuk Putri Lorelai Orivaris. Dengan alasan Lorelai ingin kedamaian setelah menikah nanti.
"Yang Mulia, bagaimana dengan bandit yang sudah ditangkap?" Menteri Pertahanan—Elliot Harridan—setengah mendesak Raja. Pikirannya juga sedang semrawut karena banyaknya kejadian yang menguras banyak tenaganya. Daerah perbatasan sedang kacau, karena tentara Rhauven salah menyerang tentaranya yang sedang menyamar untuk menangkap bandit yang berkeliaran di Gerian.
"Kita tetap menghukum para bandit. Meskipun mereka dari Rhauven, hukum tetap dilaksanakan," titah Levi setelah terdiam beberapa menit.
Alis Elliot mengerut secara otomatis. "Tapi, keadaan akan semakin buruk jika kita melakukannya, Yang Mulia. Perbatasan akan semakin panas."
Levi kembali mengurut pelipisnya. "Jenderal Rennin sedang dalam perjalanan menuju Rhauven. Tidak apa-apa, Menteri, semua akan baik-baik saja,"
Elliot Harridan terlihat masih ragu. Raja selalu mengambil keputusan yang membuatnya sesak napas. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya jika orang yang duduk di singgasana itu memberi perintah. Elliot mengangguk, memberi hormat pada Raja, kemudian bergegas pergi.
Kepergian Elliot bersamaan dengan langkah terburu dari Saevel Sylkaryn, tangan kanan Raja. Dia menunduk memberi hormat dengan napas yang masih tersengal, "Yang Mulia! Putri Vessia datang secara tiba-tiba."
Levi secara refleks mencondongkan tubuhnya kedepan karena terkejut. Dia menghela napas kesal. "Dimana Ratu?"
"Sedang dalam perjalanan kemari, Yang Mulia."
•••
Langkah Phoebe tergesa. Gaunnya yang besar dan berat tak membuat langkahnya melambat. Dia bisa berlari, hanya saja, seorang Ratu tidak boleh berlari jika keadaan tidak darurat. Dibelakangnya, dua pelayan juga ikut berjalan dengan tergesa sambil memegang ujung-ujung gaun sang Ratu.
Kedatangan Putri dari Vessia membuat dirinya yang sedang membaca buku di perpustakaan langsung bergegas ke aula istana. Phoebe tak suka dengan hal ini. Dia sudah kesal dengan perilaku Putri dari Vessia, dan semakin kesal dengan kedatangan mendadaknya.
Kehadiran dirinya membuat Levi bernapas lega. Didepannya, Saevel ikut terlihat lega. Phoebe mendengkus geli. Langkah tergesanya melambat. Dia menghadap Raja, memberi hormat, lalu duduk di singgasana disebelah Raja.
"Aku tidak suka hal ini." Bisik Phoebe ketika Saevel—ikut mengambil tempat—melangkah berdiri disamping kanan Raja. "Putri Lorelai sungguh tak sopan!" dia menatap Raja yang kini ekspresi wajahnya juga terlihat kesal.
"Suasana hatiku semakin memburuk, kau tahu. Penikahannya tinggal dua minggu lagi. Apa yang dilakukannya saat ini? Seharusnya dia kemari seminggu lagi!"
"Dimana Liam?" tanya Phoebe kemudian. Dia baru teringat dengan adik Levi. Seharusnya pria itu kini ikut menyambut calon istrinya yang datang secara mendadak.
Levi mengangkat bahunya dengan cepat. "Dia pergi dua hari yang lalu. Berburu dengan klan Camsart."
Mendengar penjelasan Levi membuatnya otomatis memutar mata. "Aku tak tahu harus berkata apa!"
Sang Raja terkekeh pelan. Tangannya dengan cepat meraih jemari Phoebe, mengusapnya pelan. "Setidaknya Camsart selalu ramah pada orang diluar klannya." Hiburnya.
Pintu aula terbuka. Langkah kaki Putri Vessia menggema. Dibelakangnya, ada berlusin-lusin pelayan yang ikut masuk. Membawa barang-barang yang kemudian diletakkan dibelakangnya.
Gadis itu memberi hormat, "Maafkan kedatanganku yang tiba-tiba, Yang Mulia." Senyum Lorelai terlihat dibuat-buat. "Pernikahan kami yang akan dilangsungkan dua minggu lagi, membuatku memutuskan untuk datang lebih cepat." Jelasnya. Putri Lorelai jelas terlihat begitu percaya diri. Dia bahkan melemparkan senyum pongah pada dua orang penguasa Gerian itu.
"Kami tidak bisa menyambutmu dengan layak saat ini, Putri Lorelai. Kau datang tanpa pemberitahuan." Setelah mengatakannya, Phoebe ingin rasanya menampar mulutnya sendiri. Kekesalannya membuat kalimat yang hanya ingin dia simpan dalam hati keluar dengan mulus.
Lorelai ingin mendengkus kesal. Ini sebabnya dia mati-matian meminta dibuatkan istana sendiri. Dia tak ingin tinggal ditempat yang sama dengan Ratu. "Pesta penyambutan bisa tetap dilaksanakan sesuai rencana, Yang Mulia. Kedatangan ini adalah rasa terburu-buru yang tak bisa kutahan. Maafkan aku." Lorelai menunduk meminta maaf. Dalam hati mengutuk Phoebe yang duduk di singgasana.
Levi berdeham, mengusir kecanggungan yang datang setelahnya. Dia menugaskan Saevel untuk mengantar Lorelai menuju ruangannya.
Perintah Raja disambut kekesalan oleh Lorelai. Dia ingin berada ditempatnya sendiri, dimana dia tak akan diatur oleh Ratu. Tapi dengan sekuat hati dia menahan diri untuk tidak merutuki situasi saat ini. Dia harus bersabar. Gadis itu tersenyum, memberikan hormat sebelum pergi dari aula istana, mengikuti Saevel menuju kamarnya.
Liam menjanjikan hal yang selalu diinginkannya.
Dan dia harus mendapatkannya.
••
Suara ketukan sebanyak dua kali dipintu kamar Lorelai membuatnya dengan cepat berjalan untuk membuka pintu. Mendapati Liam berdiri disana dengan penuh waspada, Lorelai dengan cepat menarik tangan lelaki itu untuk masuk kedalam kamar.
Lorelai menatap para pelayannya. Secara tanggap enam pelayan yang sedang menyiapkan pakaian tidurnya pergi keluar. Lorelai tak takut ketahuan, karena para pelayan Vessia lebih memilih menggigit lidah mereka sendiri hingga mati daripada membongkar rahasia.
Setelah pintu besar itu tertutup sempurna, Liam mendekap tubuh Lorelai dengan erat. "Kita harus bergegas, Liam." Tuntut Lorelai yang berada dalam pelukan lelaki itu.
Lorelai menunggu jawaban Liam selama satu menit. Akan tetapi, lelaki itu lebih memilih melepas rindunya pada gadis yang membuatnya menginginkan sesuatu. Sesuatu yang tak mungkin dimilikinya jika Levi masih hidup.
"Liam, kau dengar aku?"
Kedua tangan Liam dengan cepat menangkup wajah gadis itu, ketika pelukannya berusaha dilepas. "Bersabarlah, Lorelai. Aku sedang menunggu waktu yang tepat."
Lorelai memutar matanya. Dia ingin meneriaki lelaki didepannya yang memberikan banyak janji hingga membuatnya berharap. Menikahi Liam, adalah sebuah usahanya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Mendapatkan keinginan terbesarnya.
"Aku tidak ingin menunggu terlalu lama." Suara Lorelai berupa bisikan. "Aku tak ingin lagi ditekan, Liam. Hidupku begitu menakutkan!" setetes air mata Lorelai membuat Liam dengan cepat merengkuh gadis itu kedalam dekapannya kembali.
Lorelai menangis, dan itu menghancurkan hati Liam. Hati yang selama ini mencintai Lorelai seorang. Dan Liam akan memberikan segalanya pada Lorelai. Karena gadis itu pantas mendapatkan apa saja yang diinginkannya. "Sebentar lagi, Lorelai. Sebentar lagi." Bisik Liam dengan pasti. "Kau akan duduk di singgasana itu. Kujanjikan itu padamu."
Didalam pelukan Liam, wajah Lorelai yang sedih berubah dengan cepat. Senyum mengembang dibibirnya.
Pria bodoh yang sedang memeluknya saat ini akan memberikan apapun yang diinginkannya.
••
Linaba baru saja hendak kembali ke kamarnya saat melihat Liam mengendap-endap di dalam istana. Apa yang sedang dilakukannya? Seharusnya Liam tak berada disini. Dua hari yang lalu, saudaranya itu mengatakan pada dirinya akan pergi ke hutan Camsart untuk pergi berburu dengan penghuni hutan itu. Tak mungkin pria itu kini berada di istana, sedangkan waktu untuk menempuhnya hampir dua hari.
Linaba ingin menyapa Liam, namun melihat perilaku saudaranya itu membuatnya mengurungkan niat. Mengikuti tanpa suara, Linaba sebisa mungkin menjaga jarak yang cukup jauh dari Liam.
Beberapa kali dia melihat Liam bersembunyi saat pelayan atau penjaga lewat. Membuat hati Linaba semakin penasaran dengan tingkah saudaranya itu. Liam berbelok ke kanan, memasuki kamar para tamu agung. Kemudian, di salah satu pintu, lelaki itu mengetuk dengan pelan sebanyak dua kali. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka, memperlihatkan Lorelai yang dengan cepat menarik Liam masuk kedalam kamar.
Apa yang akan dilakukan dua orang yang akan menikah itu sekarang?
Linaba hendak berbalik, menemui Phoebe untuk menceritakan semua yang dilihatnya saat dia mendengar pintu kamar Lorelai kembali terbuka. Enam pelayan keluar dengan terburu-buru, kemudian menutup pintu kamar itu serapat mungkin. Enam orang pelayan itu berjalan ke berbagai arah, menatap ke sekeliling, lalu kembali berkumpul. Mereka saling mengangguk—memahami sesuatu yang semakin membuat Linaba penasaran.
Saat para pelayan Vessia berjalan menuju ruang khusus para pelayan, Linaba dengan cepat bersembunyi dalam kegelapan. Mendengar bisik-bisik percakapan para pelayan itu saat melewati tempatnya bersembunyi.
Linaba mematung. Keraguan dihatinya bercampur ketakutan.
Apa yang harus dia lakukan saat ini?
••
Maya berjalan mondar-mandir di dalam kamar mewah itu. Dia ingin mengatakan semua yang diketahuinya. Namun darah yang mengalir didalam tubuhnya membuat dirinya tak bisa berkhianat. Orang-orang Vessia lebih baik mati daripada melakukan dosa besar itu.
Tapi apa yang harus dia lakukan?
Hatinya bimbang.
Tugas utamanya masuk kedalam Gerian adalah mengetahui kelemahan terbesar Raja. Setelah hampir dua tahun di istana, dia mengetahui bahwa hatinya menolak untuk menusuk Levi dari belakang. Kebaikan Levi, Phoebe, bahkan anak mereka yang baru berumur setahun itu, selalu menganggapnya bagian dari keluarga. Dia ingin melindungi majikan yang menyayanginya, tapi dia juga tak bisa berkhianat.
Ketukan pelan dipintu kamar itu membuat Maya berhenti melangkah. Ketukan pelan itu hanya sebanyak dua kali, tetapi membuat tubuhnya seketika dingin. Maya melirik ranjang besar didekatnya, mendapati Putri Raja Gerian sedang tertidur dengan nyenyak. Melangkahkan kaki dengan berjingkat, Maya membuka pintu besar itu dengan perlahan.
Dia mendapati seseorang memunggunginya. Wanita itu menggunakan baju pelayan Vessia. Saat pelayan itu berbalik, Maya terkesiap. Secara refleks dia menurunkan pandangan, kemudian memberi hormat. "Yang Mulia," sapanya dalam bisikan.
"Sudah kukatakan untuk selalu memberiku pesan! Apa kau tuli?" suara Lorelai berupa desisan pelan, tapi Maya tahu bahwa Putri Vessia kini sangat marah padanya. "Kau pelayan setiaku, Issisia! Jangan membuatku mengotori tanganku dengan darahmu!"
Lorelai tak menunggu jawaban dari pelayan setianya, yang secara pribadi dia utus dua tahun yang lalu. Dia berlalu pergi, dengan kemarahan yang tersimpan didalam hati. Semakin menumpuk, dan semakin membara.
Kini, Lorelai tak yakin dengan pelayan setianya. Dia harus segera memutuskan. Menyingkirkan, atau tetap mempertahankan pelayan kesayangannya yang mulai goyah.
••
Ruang perjamuan sedang sibuk. Puluhan pelayan sedang menghias ruangan itu yang akan menjadi tempat pesta nanti malam. Sejak pagi Phoebe sudah berada disana, memilih berbagai bunga, dan hiasan yang akan dipajang. Namun ada yang mengganggu hati Phoebe pagi ini. Meskipun pesta diadakan, tapi kegundahan pada hatinya semakin besar. Dia merasa tak nyaman dan gelisah, meskipun tak tahu kenapa.
Beberapa kali pelayan harus menanyakan pertanyaan berulang-ulang, karena pikiran Phoebe sedang melayang. Dia menggeleng beberapa kali, mencoba memokuskan dirinya. Perasaan yang sedang mengganjal hatinya berusaha dia tepiskan saat ini. Agar pesta nanti malam berjalan dengan baik.
Phoebe sedang memutuskan warna bunga yang digunakan untuk hiasan ruang, ketika dia melihat adik Levi, Linaba, memasukan ruang jamuan dengan langkah lebar. Dia bisa melihat kegelisahan pada gadis muda itu. Bahkan hingga Linaba menunduk memberi hormat, dan duduk disampingnya, gadis itu masih terlihat gelisah.
Phoebe menunjuk bunga mawar putih untuk menjadi hiasan ruang, kemudian pelayan yang sejak tadi berdiri didepannya mengangguk sebelum berlalu. Dengan cepat dia menoleh, menatap Linaba yang meremas gaunnya yang berwarna jingga itu.
"Ada sesuatu yang mengganjal dihatimu, Linaba?" suaranya terdengar pelan—setengah berbisik. Namun Linaba membalas dengan tubuh tersentak terkejut.
Gadis disebelahnya itu gugup—terbukti dengan remasan pada gaunnya yang semakin erat. Lama Linaba berusaha memperbaiki ekspresi terkejutnya. Membuat Phoebe bertanya dalam hati, kejadian seperti apa yang sedang dialami adik bungsu suaminya itu.
Linaba tersenyum kikuk, lalu menggeleng. "Sesuatu membuat hatiku khawatir, Yang Mulia." Ujarnya perlahan—membuat Phoebe tak tahu apakah gadis disebelahnya itu sedang berbohong atau tidak. "Hanya hal sepele," kembali senyum Linaba menghiasi bibirnya, namun kali ini diakhiri dengan getaran kecil disudut bibir seakan-akan menahan tangis.
Phoebe menahan napas. Entah mengapa, jawaban Linaba membuat hatinya ragu. "Kau bisa menceritakannya padaku jika sudah siap, adikku." Ucapnya setengah membujuk.
Linaba menatap Phoebe sejenak, sorot matanya begitu runyam, penuh kekhawatiran. Namun akhirnya gadis itu hanya mengangguk, dengan ekspresi sedih. Membuat Phoebe tak mampu mengorek apa yang sedang terjadi dengan gadis itu. Yang juga membuat perasaannya semakin resah.
••
Lorelai menyaksikan semuanya. Obrolan singkat dan rahasia yang dilakukan Ratu dan Putri Gerian, ditengah keramaian para pelayan di ruang perjamuan. Dia melihat saat Linaba yang duduk disebelah Ratu terlihat hampir menangis. Gadis itu terlihat ingin mengatakan sesuatu, tepat sesaat sebelum dia mendongak dan bertemu pandangan dengan Lorelai. Senyum dibibir Lorelai membuat gadis itu terlihat takut. Membuat Putri Vessia semakin penasaran dengan Linaba. Apa yang akan dikatakan gadis penakut itu pada Ratu, hingga dia mengurungkan niatnya ketika melihat Lorelai.
Lorelai yang diikuti dua orang pelayannya masuk kedalam ruangan itu. Memberi hormat pada Ratu dan Putri Vessia, dan bergabung dengan dua orang itu. "Maafkan ketidaksopanan diriku, Yang Mulia. Seharusnya aku datang lebih awal ke ruang perjamuan."
Phoebe menatapnya sejenak, tak lama senyum formalnya muncul. Dia mengangguk, mempersilahkan Putri Vessia untuk duduk. "Duduklah, Putri Vessia. Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu."
Lorelai mengangguk, menempatkan dirinya disebelah Phoebe. Sebelum duduk, dia tersenyum pada Putri Gerian, yang dibalas dengan senyuman canggung.
"Mengenai syarat pernikahan," Phoebe menggantungkan kalimatnya, membuat Putri Vessia yang mendengar pembahasan itu menjadi bersemangat. "kami akan menyelesaikannya dalam enam bulan kedepan."
Phoebe tak menatap gadis itu, namun dia sadar bahwa antusiasme dalam diri Lorelai langsung surut. Gadis itu pasti tak senang dengan kabar yang baru diperolehnya. "Kenapa?" tanyanya tak terima.
Seorang pelayan kembali memberi salam pada Phoebe, menyerahkan kotak kecil pada dirinya. "Beberapa material harus diperoleh dari tempatmu." Phoebe kembali menggantungkan kalimatnya. Diremasnya pelan kotak yang kini berada dalam genggamannya. "Seperti ranjang yang bahan pembuatannya sama persis dengan ranjangmu di Vessia."
Phoebe menoleh, menatap Putri Vessia yang menatapnya dengan sorot tersinggung. Namun sedetik kemudian, sorot itu berubah menjadi tak terbaca. "Aku tidak ingin dicap sebagai Putri Kerajaan yang rewel, Yang Mulia." Protesnya terang-terangan.
Phoebe tahu kearah mana pembicaraan ini. Dia bahkan merasakan Linaba yang duduk disebelahnya semakin tak tenang. "Kami selalu mengedepankan kenyamanan, Lorelai. Meskipun rasanya agak lucu kau meminta syarat yang berlebihan seperti itu."
Linaba meraih tangan Phoebe dengan cepat. Mengharapkan dirinya tak melanjutkan kalimat yang ingin diutarakannya. "Yang Mulia," bisiknya. Phoebe meremas tangan Linaba. Keresahan dalam suara gadis itu menular padanya. Tetapi, sebagai Ratu Gerian, dia berhak mengatakan hal ini.
"Setidaknya aku tidak meminta untuk menjadi Ratu Gerian, Yang Mulia." Lorelai menatap dua orang itu sengit. Salah satu sudut bibirnya tertarik keatas, membentuk senyum miring. "Sebuah istana kecil bukan hal yang sulit untuk dikabulkan oleh Gerian, bukan?"
Phoebe tersenyum, membalas ucapan menyinggung dari Putri Vessia yang kini nampak begitu kesal. "Terdengar seperti usaha untuk melakukan kudeta, Lorelai." Bisik Phoebe. Dia membalas tatapan Lorelai tak kalah sengit. "Kau menginginkan posisi itu?"
Pertanyaan itu membuat Lorelai menyadari kesalahannya. Dia menunduk, tangannya meremas gaunnya dengan keras. Mati-matian ditahannya kemarahan didalam dirinya.
Melihat itu, Phoebe tersenyum hambar. Dia tahu keinginan terbesar Lorelai. Hal yang membuat dirinya resah sejak kedatangan Putri Vessia, terjawab sudah. "Hadiah," ujarnya mengalihkan pembicaraan. Kotak kecil yang sejak tadi digenggamnya dengan penuh keraguan, dia ulurkan pada Lorelai. "dari Gerian, untuk dirimu."
Hampir satu menit tangan Phoebe terulur. Menunggu Putri Vessia mengambilnya. Akhirnya, Lorelai mengerjap, memperbaiki ekspresi wajahnya. Diambilnya hadiah itu, kemudian dibukanya. Begitu melihat isinya, Lorelai seketika itu juga ingin mencekik Phoebe.
"Kalung untukmu, Putri Vessia." Lanjut Phoebe. Dia tahu benar bentuk kalung itu, berbentuk jam pasir, yang ditepiannya diukir begitu rumit dengan empat rubi disetiap sisinya. "Kuharap kau mengenakannya di acara malam ini."
Kalung itu, bukti dari penolakan Ratu. Bukti dirinya diasingkan secara kekeluargaan oleh Ratu, meskipun dia menikahi Pangeran Gerian.
••
Linaba meremas gaunnya. Orang-orang akan mengira gaun itu tak pernah diganti, melihat betapa kusutnya gaun itu saat ini. Tapi dia sedang tak memperdulikan penampilannya. Kepergian Lorelai dengan kemarahan yang kentara pada Phoebe, membuat dirinya ketakutan. Ratu masih duduk disebelahnya, memperhatikan para pelayan menghias ruang. Namun dia sadar, bahwa Ratu juga sedang ketakutan.
"Apa sesuatu yang membuatmu resah adalah hal yang kupikirkan juga, Lina?" bisikan Phoebe terdengar samar, namun Linaba jelas mendengar nada khawatir disana.
Linaba menoleh, mendapati Phoebe menatapnya dengan sorot cemas. "Aku tahu ketamakannya, tapi aku tak menyangka dia benar-benar menginginkan kedudukanku." Suara Phoebe mengambang diakhir kalimat. "Bagaimana nasib Raja nanti, Linaba?"
"Aku melihat Liam tadi malam, Phoe." Ujarnya dengan jujur. Suaranya tercekik, terdengar setengah menghilang, namun Phoebe dengan pasti memahami apa yang dikatakan Linaba. "Liam berbohong perihal kepergiannya ke hutan Camsart."
"Dia membawa rombongannya beberapa hari yang lalu." Bisik Phoebe tak percaya. "Dia bahkan menemuiku sebelum pergi."
"Tapi kemarin malam aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, Yang Mulia." Linaba terdiam sejenak. Kerongkongannya perih. Rasanya seperti menelan ribuan jarum hingga dia sulit untuk bersuara. Namun dengan penguatan diri yang dilakukannya sejak tadi, Linaba akhirnya kembali bersuara. "Dan para pelayan Vessia. Aku mendengar sesuatu yang… mengerikan."
Phoebe menoleh. Pikiran buruknya menari-nari didalam kepalanya. Tangannya yang sejak tadi saling menggenggam terasa basah. "Apa yang kau dengar, Lina?"
Gadis itu menatap Phoebe dengan pandangan putus asa. "Dia ingin menjadi Raja, Phoe." Bisiknya dengan menahan tangis. "Dia ingin membunuhmu dan Raja. Aku mendengarnya dari bisik-bisik pelayan Vessia."
"Jadi Liam benar-benar akan melakukan kudeta? Untuk Putri Vessia yang tamak itu?" Linaba menatap wanita untuk beberapa saat. Dia bisa melihat perubahan sorot cemas dimata Phoebe berganti menjadi benci. "Dia berjanji padaku untuk tidak melakukannya lagi,"
"Lagi?" tanya Linaba bingung. Kedua alisnya berkerut dalam. "Apa dia pernah melakukan ini sebelumnya?"
Phoebe terdiam, menyimpan sesuatu darinya. Linaba mengetahui itu dari melihat dirinya yang merapatkan bibir dalam-dalam. "Dulu, setelah pernikahanku dengan Levi, sebelum saudaramu diangkat menjadi Raja." Kembali suara Phoebe menghilang. Ditatapnya Linaba selama beberapa saat, kemudian kembali berkata: "Dia berusaha membunuh Levi."
Linaba melarikan sebelah tangannya yang bebas menutup mulutnya karena terkejut. Akalnya menolak memahami informasi itu. Namun hati Linaba yang sejak semalam merasa cemas, memahami bahwa mungkin saja Liam berusaha untuk membunuh Raja. "Mengapa kau baru mengatakannya padaku?"
Phoebe membalas tatapan Linaba. Bagi Linaba, tatapan wanita itu masih menyimpan banyak rahasia yang dengan sengaja disimpan rapat-rapat agar dirinya tidak tahu. "Apa hanya sekali itu, Liam berusaha membunuh Levi?" tanyanya kembali.
Phoebe terdiam selama beberapa saat. Linaba bisa melihat bahwa Ratu sedang berperang dengan dirinya sendiri.
Namun, setelah beberapa saat, Phoebe menggeleng pelan. "Aku sering melihatnya berusaha melakukan kejahatan pada Levi. Namun aku tidak punya bukti fisik."
"Kau hanya perlu mengatakannya pada Raja, Yang Mulia!" sergahnya, tangannya yang tergenggam dilepas dengan paksa, berlari menuju lengan Phoebe dan mencekal dengan keras.
"Tidak semudah itu, Putri Gerian." Balas Phoebe cepat. Dia menatap gadis itu dengan sorot terluka. "Kau tahu kelemahan terbesar Levi adalah keluarganya. Dia menyayangi kalian berdua lebih dari nyawanya."
"Tapi ini kudeta, Yang Mulia."
"Pelankan suaramu, Putri Gerian!"
Linaba seketika terdiam, sementara Phoebe mendesah dengan berat. "Liam berjanji padaku, dengan darahnya diatas pasir suci. Dia tak akan melanggarnya. Tidak mungkin melakukan dosa besar itu." Ujarnya meyakinkan. Namun Linaba dengan jelas mendengar keraguan dalam kalimat itu.
"Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia?"
Phoebe terdiam, tak menjawab pertanyaan Linaba.
••
Pesta itu amat meriah. Seluruh rakyat ikut merayakan pesta peringatan pernikahan Raja dan Ratu Gerian. Semua orang bersuka cita, memberikan banyak doa untuk dua orang yang memiliki kedudukan paling tinggi di Gerian. Uther, calon Raja Lamira hadir paling awal. Memberi ucapan selamat pada sang adik; Phoebe, yang sangat terkejut dengan kedatangannya. Kehadiran Pangeran Lamira disusul oleh kedatangan Raja muda dari Rhauven.
Levi menyambut keduanya dengan baik. Menerima ucapan selamat dengan bahagia. Sesekali dia melirik Phoebe yang berdiri disampingnya yang sejak tadi berdiri dengan resah. "Jadi, Putri Gerian akan diperkenalkan malam ini?" selidik Uther. Senyum diwajahnya terlihat begitu menggoda Phoebe. Namun, wanita itu hanya bisa membalas dengan anggukan ragu.
Uther tersenyum kaku, merasakan resah dihati Ratu Gerian. "Perayaan ini sangat meriah, Levi. Kuharap aku akan membuat pesta seperti ini saat menjadi raja kelak."
Levi mengangguk bersemangat. Menepuk-nepuk pundak Uther diiringi gelak tawa. "Tentu, tentu. Kau harus membuat yang lebih meriah dari ini."
Tak ada yang bisa Phoebe lakukan kecuali tersenyum kaku saat melihat dua orang yang berdiri didekatnya saling tertawa. Mereka tak tahu apa-apa. Bahkan, dirinya juga tak tahu apa-apa. Kebenaran yang sesungguhnya belum terkuak, dan Phoebe tak ingin melihat kebenaran yang menyakitkan terjadi.
Ruang perjamuan mulai penuh. Phoebe dan Levi mengambil tempat mereka, berdiri di undakan paling tinggi, tempat pemimpin berdiri. Saevel ikut berdiri didekat Levi, memperhatikan orang-orang yang datang dan memberi selamat. Entah mengapa, hatinya malam ini terasa berat. Terlebih dia melihat ekspresi Phoebe yang menahan tangis.
Levi berdehem, memanggil satu-satunya orang yang paling dia percaya disepanjang hidupnya setelah istrinya. Dengan cepat pria itu menjangkau tiga anak tangga dalam sekali langkah, berdiri dibelakang Raja dengan rapat. "Aku melihat beberapa orang tak dikenal." Bisiknya. Disamping Raja, Phoebe terkesiap. Membuat dua orang itu menoleh secara bersamaan. "Pastikan tidak ada hal buruk terjadi kepada para tamu." Bisiknya cepat.
"Levi!" Phoebe menarik lengannya dengan kuat. Satu ayunan pedang hampir mengenai bahu kanannya jika Phoebe terlambat menarik dirinya.
Semua orang menjerit. Levi yang baru saja diserang terkesiap tak percaya. Bibirnya belum kering saat memberi perintah, dan penyerangan itu sudah terjadi.
Saevel mundur selangkah, kemudian dengan cepat menarik pedangnya dan memunggungi Raja. "Pergilah, Tuanku." Ujarnya cepat.
Derap langkah dari luar aula menambah teriakan. Phoebe bisa mendengar dengan jelas suara bising pedang beradu disekelilingnya. Dia tak ingin melihat sekitar. Tidak. Dia tak ingin ketakutannya menjadi kenyataan.
Semua ini terlalu mengerikan!
Semua ini terlalu cepat!
Kedua bahu Phoebe diguncang, mengembalikan kesadaran wanita itu. Rasanya Phoebe belum mengedipkan mata, tapi tiba-tiba saja wajah Levi penuh dengan percikan darah.
"Phoe, pergi! Pergilah dengan Saevel. Selamatkan putri kita!" titah Levi. Namun telinga Phoebe berdenging, membuat suara itu bergulung-gulung didalam telinganya. "Phoe!"
Mengerjap, Phoebe mencengkeram lengan Sang Raja setelah kembali sadar. "Pergi!" ulang Levi.
"Yang Mulia!" lengan Phoebe kembali ditarik menjauh. Kembali ayunan pedang mendekati mereka. Memisahkan dirinya dan Levi beberapa langkah. "Ayo, Yang Mulia." Bisik Saevel. Dia menarik Phoebe keluar melewati pintu samping. Dengan cekatan dia berhasil menebas pengkhianat yang berusaha membunuh dirinya dan Ratu. "Anda bisa berlari, Yang Mulia?"
Phoebe ingin bersuara, namun tenggorokannya tercekik. Dia hanya mengangguk cepat. "Aku akan melindungimu dari belakang." Phoebe mengangguk paham. Kali ini dia harus berlari, meskipun gaun yang dikenakannya dua kali lebih berat dari gaun biasanya. Dia harus berlari, menyelamatkan satu-satunya pewaris yang akan mengambil kembali hak yang dirampas malam ini. Dia harus berlari, meskipun suami yang sedang berada di ruang perjamuan bertaruh nyawa.
Phoebe tak sekalipun menoleh kebelakang. Jarak antara ruang perjamuan dan kamar putrinya cukup jauh. Dia harus memutari sebagian area samping Istana untuk mencapai kamar putrinya. "Merunduk, Yang Mulia!" suara teriakan Saevel dibelakangnya membuat dirinya secara refleks menunduk, menghindari apapun yang akan menghampirinya.
Suara gemerisik halus melewati atas kepalanya, yang dia sadari bahwa itu suara lesatan anak panah. Saevel menarik tangannya dengan cepat. Membuat dirinya berhenti secara tiba-tiba. "Kuharap Anda bisa berlari lebih kencang dari ini, Yang Mulia."
"Ya."
"Bisakah Anda melepaskan sepatu tumit itu, Yang Mulia? Kita harus berlari dengan cepat. Dan sebisa mungkin tak bersuara."
Phoebe kembali mengangguk. "Ya." Ujarnya kembali, sementara kedua kakinya melepaskan sepatu secara bergantian. "Aku bisa melakukannya, Saevel."
"Aku tepat dibelakang. Jangan berhenti. Apapun yang terjadi, jangan berhenti. Jika aku mati, Anda harus menyelamatkan diri dan Putri." Pria itu menatap sekeliling dengan cepat. Sebelah tangannya mengambil sesuatu dari belakang. "Ini. Anda harus melindungi diri sendiri." Lanjutnya, saat menyerahkan sebuah pisau dan sebotol cairan. "Cairan asam. Lemparkan pada wajah lawan, dan mereka akan melelehkan apapun."
Phoebe kembali mengangguk. "Ya, aku mengerti!"
Phoebe mengambil kedua benda itu. Menyelipkan pada gaunnya, kemudian mengangguk lagi. Saevel mengambil napas dalam-dalam. Memberikan aba-aba pada Ratu yang kemungkinan besar akan mati malam ini, kemudian berlari.
•••
Maya mendekap bayi yang sedang terlelap itu dengan erat. Suara gaduh diluar membuatnya memahami satu hal; kudeta telah dimulai. Meskipun dia tak mendapatkan informasi dari para pelayan Vessia tentang ini, dia tahu dengan pasti apa yang terjadi diluar. Dan mungkin saja sang majikan yang merasa dikhianati olehnya akan membunuh dirinya juga malam ini.
Bayi dalam gendongannya menggeliat terbangun. Dengan cepat sebelah tangannya menutup mulut bayi itu, menghindarkan suara tangisan yang akan terdengar hingga luar. Dia tak ingin penerus satu-satunya kerajaan Gerian meregang nyawa hanya karena tangisan. Dia tak ingin pengkhianatannya berakhir sia-sia.
Suara derit pelan lemari membuat Maya berjengit. Dirinya bahkan terpaku beberapa detik saat melihat Ratu Gerian keluar dari dalam lemari pakaian. Dia baru tahu bahwa lemari itu memiliki pintu rahasia yang terhubung entah kemana. "Blyana!" wanita itu menghambur kearahnya. Mengambil bayi yang baru terbangun beberapa saat yang lalu, menciumi wajah bayi itu dengan tangisan tertahan.
"Yang Mulia, Anda perlu berganti pakaian." Bisik Maya. Dengan cepat dirinya mengambil pakaian miliknya yang selalu dia sembunyikan didalam lemari pakaian Putri Gerian.
"Aku tahu siapa dirimu, Maya." Bisik Phoebe langsung. Dirinya tak menuduh wanita itu ikut terlibat dalam kudeta yang terjadi. Dia hanya ingin memastikan bahwa wanita itu akan melindungi putrinya, apapun yang terjadi.
"Yang Mulia—"
"Bisakah kau melindunginya, Maya? Aku mohon padamu." Phoebe menelan ludah, menahan tangis dan menurunkan harga dirinya. Toh saat ini harga dirinya bukanlah hal penting selain keselamatan anaknya. "Selamatkan Blyana, apapun yang terjadi."
"Kita akan keluar dari sini, Ratuku. Akan kulakukan apapun yang terbaik untukmu—untuk Putri Blyana." Janjinya.
Ini adalah musim dingin. Pertengahan musim dingin lebih tepatnya. Sulit untuk menemukan hewan buruan saat ini. Tapi bagi Effrayante, musim dingin adalah masa dimana makanan berlimpah.Para Alfa akan memantrai daerah teritori untuk tetap hangat, agar hewan-hewan dari luar masuk kedalam daerah yang dimantrai. Memudahkan mereka untuk mendapatkan hewan buruan. Ini juga masa dimana para gadis muda berlatih untuk memanah.Seperti Danina. Sejak pagi, dia sudah keluar dari rumah, berjalan ke utara, menuju kaki gunung. Bersemangat untuk belajar membidik sasaran. Dan sudah hampir setengah hari dia berdiri dibalik semak, bersembunyi. Mencari arah angin berhembus, mengambil anak panah, membidik, dan target yang di bidik meleset. Meleset sangat jauh.Rusa itu berlari menuju selatan, hilang dibalik rimbunan pakis-pakisan. Sementara dibelakangnya, seseorang terkikik geli. Dia tak ingin berbalik dan mendapati Loretta yang berdiri dibelakangnya menatap penuh hina. Tapi tubuhnya
Tak ada yang tahu apa yang ada didalam pikiran Putri Gerian. Semua orang takut padanya; pelayan, bangsawan, menteri, bahkan kedua orang tuanya. Gadis itu baru berusia enam belas tahun. Debutante yang dilakukannya setahun yang lalu membuat wajahnya yang rupawan menjadi standar kecantikan anak laki-laki dikalangan Brosnean—begitu para bangsawan menyebut diri mereka. Tapi, seperti kecantikannya yang membuat seluruh pria bertekuk lutut padanya, tak ada bandingannya dengan sisi misterius dirinya.Dirinya yang begitu tidak bisa digapai dan dipahami oleh siapapun.Ilvy sedang membaca buku di perpustakaan. Dia mencintai ketenangan didalam sini. Tidak ada dengungan yang memenuhi telinganya, tidak ada suara ibunya yang kekanak-kanakan, juga tidak ada suara ayahnya yang selalu merongrongnya untuk memilih salah satu pangeran dari Kerajaan yang beraliansi dengan Gerian.Gaunnya yang berwarna marun bergerak begitu lembut ketika dia menggoyangkan tubuhnya saat mengubah p
Danina tidak pernah melihat Loretta semenjak pertemuan rahasia itu. Tak ada yang tahu kemana gadis itu menghilang—atau lebih tepatnya pergi. Nareef dan Sitaf tak ingin menjawab pertanyaan darinya. Dan itu membuatnya semakin frustasi.Tak ada yang paham Loretta sebaik Danina. Gadis itu pasti sedang murka dan hatinya terluka. Danina tahu apa yang dirasakan sahabatnya itu. Yatim piatu, tak memiliki siapapun. Meskipun hampir seluruh anggota Camsart yang tersisa menjadi yatim piatu, tapi tidak ada yang benar-benar mengenaskan seperti dirinya.Bahkan Dagan masih mempunyai sepupunya, Odvarr.Dan Danina yang memiliki kedua orang tua.Tapi tidak dengan Loretta. Tidak ada siapa-siapa yang tersisa darinya.Matahari belum muncul dan kunang-kunang masih menerangi tempat tinggal para Camsart. Tapi Danina sudah berada di luar rumah. Hanya ada beberapa orang yang sudah keluar rumah termasuk dirinya. Beberapa bertugas untuk menangkap ikan, beberapa lagi menge
Gadis itu menyusuri tanah becek yang selama beberapa tahun ini sering dia lewati. Meskipun hanya sekali atau dua kali dalam satu bulan, tapi tempat ini adalah salah satu dari tiga tempat yang membuatnya bisa menjadi orang lain. Tidak dikenali. Tidak diagung-agungkan.Menyelinap bukan perkara sulit baginya. Tidak ada tempat berbahaya baginya—selama dia bersama dengan makhluk yang kini berjarak dua langkah dibelakangnya. Ilvy akan pergi kemana saja, kapan saja, dengan orang kepercayaannya.Diluar, orang-orang memanggilnya Ississia. Nama yang pernah didengarnya tanpa sengaja dari mulut ibunya. Nama yang membuat ibunya ketakutan setengah mati. Nama, yang langsung dia sukai, yang dia harap akan menjadi hantu untuk ibunya selama wanita itu menjadi Ratu dengan cara merampas hak Ratu sebelumnya.Ilvy berbelok ke kanan. Melewati kedai makanan kumuh yang dipadati orang-orang mabuk. Pemiliknya adalah seorang janda yang memiliki anak gadis yang cantik. Orang-orang dat
Danina ingin menangis. Ibunya terlalu kejam pada gadis yang selama ini dianggapnya seperti anak sendiri. Danina ingat betul bagaimana ibunya sangat menyayangi Loretta. Danina ingat, saat dirinya dan Loretta berumur sepuluh tahun, mereka hampir tenggelam di sungai. Ibunya menjerit histeris saat tau Loretta tidak bernapas. Ibunya bahkan menangis bahagia saat Sitaf memantrai Loretta agar bisa bernapas lagi. Memori itu terasa begitu segar dikepalanya.Tapi saat ini, memori itu membuatnya semakin terluka. Saat ini, orang-orang seperti menutupi sesuatu dan menyalahkan Loretta. Tidak. Mereka memang menyalahkan Loretta atas hal yang Danina tidak ketahui.Hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi dari dirinya."Pulanglah, Dan. Ibu tidak ingin kau berkeliaran mencari Loretta."Danina menepis tangan ibunya. Kata-kata ibunya melukai dirinya semakin dalam. Apakah ibunya sangat benci dengan Loretta? Apakah selama ini semua orang hanya berpura-pura menyayangi Loretta?
Pagi ini Ilvy terbangun karena suara gedoran kuat dari pintu kamarnya. Dirinya menggeliat, turun dari tubuh telanjang yang memeluk pinggangnya dengan erat. Dia menepuk pelan pipi Qeen, membangunkan makhluk dengan mata berwarna hitam itu. "Kau masih ingin tidur?" tanyanya pada Qeen yang hanya dibalas dengan anggukan kecil. "Tapi melihatmu telanjang membuatku merindukan malam, Qeen." Ujarnya kemudian."Aku bisa membuat malam datang lebih cepat, jika kau mau." Gumamnya.Ilvy tertawa—tawa tulus yang hanya diketahui oleh Qeen. Gadis itu kini keluar dari ranjang, memakai jubahnya semalam, kemudian membuka pintu.Suasana hatinya yang bagus pagi ini membuatnya ingin membuat kehebohan yang menyenangkan. Dirinya sadar, Qeen tak akan siap menerima makian dan pekikan pagi ini. Tapi Ilvy ingin sebuah hiburan.Didepan pintu, ibunya menatapnya dengan sorot terkejut. Penampilan putrinya itu seperti pelacur jalanan. Rambut berantakan, leher penuh dengan jejak merah,
"Berhentilah merajuk, Danina!" teriak Odvarr disusul gelak tawa. Disebelahnya, Xenon menyikut keras rusuknya, membuatnya mengaduh kesakitan. "Aww!""Jangan pedulikan dia, Danina!" teriak Xenon tak kalah kuat. "Xenon si altruistik!" dengusnya penuh ejekan. "Hei Dan! Sudah setengah hari kau berada didalam sungai. Ikan-ikan akan menganggapmu bagian dari koloninya!" lagi, tawa Odvarr beradu dengan derasnya air sungai.Danina hanya memutar matanya. Membalas Odvarr hanya akan memperpanjang perdebatan. Laki-laki itu sangat suka membuat orang lain kesal. Dan dirinya tak ingin menjadi korban Odvarr.Danina masih sibuk menangkap ikan. Dia ingin membuat pesta besar malam ini. Bukan pesta sungguhan, hanya acara yang sama di setiap malam. Jika malam-malam sebelumnya para anggota klan saling berbagi, malam ini akan dibuatnya setiap Camsarian dan Effrayante kekenyangan.Alasan lainnya: Danina ingin menyibukkan dirinya agar pikirannya tidak kembali para Lor
Sudah sembilan hari, dan Ilvy belum melihat tanda-tanda kehadiran Qeen. Pria itu pergi ke Rhauven. Seharusnya sudah pulang dua hari yang lalu, membawa wanita itu—Ississia. Seharusnya mereka sudah membawa wanita itu ke tempat aman. Di tempat yang tak akan bisa dijangkau oleh siapun, bahkan ibunya.Tapi kemana perginya pria itu? Apa yang sedang terjadi?Bahkan merpati pos juga tidak datang membawa surat dari Qeen!“Putri, perlukah aku mengganti teh Anda dengan yang baru?”Ilvy bergerak. Matanya mengerjap dua kali, kemudian menoleh. Pelayannya berdiri disebelahnya. Pelayan yang sudah mengurusnya sejak bayi. Orang yang lebih memahaminya daripada ibunya sendiri.Ilvy mengangguk. Cangkir teh diganti dengan yang baru. Ilvy bisa melihat uap berputar di atasnya. “Tammy,” panggilnya.“Ya, Yang Mulia!”“Bisakah kau mencarikan informasi untukku?”Tidak Ilvy, jangan gegabah! Bat
Ia menyibak selimutnya, turun dari ranjang dan membuka jendela yang berada tak jauh darinya. Langit masih gelap, udara masih terasa begitu dingin. Dengan cepat ia menarik jubahnya yang tersampir di kepala ranjang dan mengenakannya—menghalau dinginnya udara menjelang pagi yang masuk dengan mudah melewati jendela yang ia buka. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding di bawah jendela itu. Kedua tangannya menumpu di kusen jendela, dengan kepala yang terbaring di atas kedua tangan. Matanya menatap ke halaman samping rumahnya yang masih gelap gulita, ditemani bunyi kepak burung hantu yang terdengar jelas di dahan pohon yang berdiri tak jauh dari batas halamannya. Samar, ia mencium bau bunga lavender yang mekar di halaman. Bercampur dengan bau bunga mawar dan bunga-bunga lainnya yang ia tak ketahui namanya. Meskipun pelayannya menjelaskan hingga mulut berbusa tentang nama-nama bunga, ia tetap tidak bisa mengingat nama-nama itu. Satu kunang-kunang mendekat kearahnya. Tak l
Ilvy tak pernah merasa sesedih dan sebahagia ini. Baginya, ini pertama kalinya ia merasakan perasaan campur aduk seperti itu. Ia bisa tertawa dan menangis bersamaan. Disudut hatinya, batinnya merasa terkoyak sekaligus lega. Luka di tubuhnya terasa seperti sebuah kekalahan dan kemenangan. Singgasana yang ia duduki terasa begitu menakjubkan tetapi menakutkan. Sempat terbersit dihatinya untuk melepaskan segalanya. Hidup bahagia dengan makhluk yang mencintainya—tapi saat ini, pada momen seperti ini—iblis didalam hatinya membutuhkan sebuah kepuasan yang berbeda. Kepuasaan saat dirinya melenyapkan pemilik sah takhta terakhir. Ilvy melihat dua pedang yang dipegang kedua tangannya. Satu miliknya, satu lagi milik sepupunya. Ia melemparkan pedang itu hingga bunyi besi yang beradu dengan lantai terdengar nyaring di ruangan itu. Ruangan yang meskipun diisi banyak manusia tetapi terasa sunyi dan menyedihkan. Toh karena semua manusia disana telah menjadi mayat. Bahkan dia
“Bantu Jenderal Otto di pintu masuk timur. Aku akan masuk bersama Danina!” Qeen menggeleng cepat. Mata kelam itu menatapnya dengan skeptis. “Aku tidak akan terluka.” Ujarnya tanpa menunggu. Ilvy tidak membutuhkan persetujuan Qeen. Itu perintah untuk sang Effrayante dan harus dituruti. Dia membawa sepertiga pasukan ke gerbang depan istana, menyerang secara terbuka. Menyongsong jebakan yang mungkin saja telah dipasang oleh ayahnya. “Masih ada waktu untuk mundur, Dan.” Teriaknya di atas kuda kepada sepupunya. Danina tidak menatapnya. Gadis itu menatap lurus ke depan dengan mata yang berkilat penuh dengan tekad. Ilvy tahu gadis itu sedang menjangkau penyebab dirinya yatim piatu. Dan gadis itu tidak akan mundur meskipun pasukan Gerian jauh lebih banyak dari pasukan yang mereka bawa saat ini. “Kau bisa mundur jika terlalu sedih melihat kematian kedua orang tuamu.” Ilvy memutar matanya, dia kembali menatap ke depan. “Tidak.” Ilvy tidak akan pernah mundur. Mere
Istana jauh lebih megah dari bayangannya. Awalnya dia hanya membayangkan bahwa istana Gerian hanya sebesar lapangan kumpul dikalikan sepuluh. Tapi dia salah. Istana itu jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Ada banyak bangunan yang terpisah di istana dibawah sana, dengan kubah-kubah kecil di setiap bangunan itu. Tetapi kubah-kubah itu tidak sebesar bangunan yang berdiri di bagian tengah lingkungan Istana Gerian. Kubah besar terlihat berkilau dari tempatnya berdiri di dalam hutan—membuatnya bertanya-tanya mengapa Ilvy ingin menghancurkan posisi ayahnya yang tinggal di tempat yang pantas disebut surga itu, membuat posisi gadis itu juga ikut terancam.Tembok tinggi yang menjulang membuat batasan dengan jalanan yang melingkari istana Gerian dan juga tempat-tempat mewah lainnya di luar tembok. Danina mengasumsikan jika tempat-tempat cantik itu adalah rumah-rumah bangsawan yang menyebut dirinya sebagai Brosnean.Kuda di belakangnya meringkik, bersahut-sahutan. Kuda
Ilvy membuka kamar Danina dengan perlahan, mendapati gadis itu sedang memeluk ibunya yang menangis tersedu. Dia tahu, wanita itu tengah melepaskan putrinya untuk pergi ke medan perang, dengan kemungkinan tidak pulang untuk selamanya. Tapi baik Ilvy maupun dua orang yang sedang berpelukan itu menyadari, bahwa apapun konsekuensinya, kudeta ini tetap harus dilaksanakan.Pulang dengan nyawa, atau pulang tanpa nyawa—tak ada jalan untuk kembali.Melihat Danina yang memeluk ibunya dengan erat membuat hatinya terasa nyeri. Dia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari ibu kandungnya sendiri—penuh kasih sayang dan cinta. Kegilaan ibunya membuat dirinya hanya mendapat perhatian dari pengasuhnya—yang hanya memeluknya karena takut kepala terpisah dari badan.Ilvy mengetuk pintu kamar itu perlahan, membuat dua orang yang sedang menangis itu terdiam untuk beberapa saat, lalu menoleh menatapnya. “Sudah saatnya.” Bisik Ilvy kemudian. Dani
Cinta hanya akan menyakiti. Sekuat apapun dia memuja gadis itu, tetap saja pada akhirnya dia akan terluka. Awalnya hanya luka memar, berganti menjadi luka gores. Luka itu terus disentuh dengan tangan-tangan halus tetapi menyakitkan, menjadikan luka gores itu berganti menjadi luka sayatan yang menganga. Lama luka itu dibiarkan saja, tidak dipedulikan dan hanya dianggap angin lalu. Luka itu mulai membusuk dan bernanah. Tak lama, area luka itu mulai membesar, menjangkau seluruh tempat hingga tak ada yang tersisa.Luka itu berada di hatinya. Membuat hatinya membusuk dan berbau bangkai. Kini hatinya telah hilang karena luka itu. Menjadikannya manusia yang penuh dengan kebencian, dendam, dan kemarahan. Tak ada yang bisa menyembuhkan luka hatinya hingga membuatnya menjadi monster.Di kepalanya, ada beribu bisikan yang terus terdengar hingga membuat telinganya berdenging sepanjang hari. Dia kadang-kadang tidak bisa membedakan suara bisikan di kepalanya dengan suara orang yang
Ilvy terus memperhatikan drama di depannya dalam diam. Menurutnya malam ini adalah malam yang paling menarik selama dia menghabiskan banyak waktu di tengah hutan Camsart ini. Malam dimana semua orang murka karena kehilangan dua orang yang menjadi tonggak berdirinya klan Camsart.Nareef dan Nefsnan.Ayahnya begitu pintar melenyapkan dua orang yang perkataannya selalu dituruti oleh anggota Camsart lainnya.Raja Liam mendapatkan dua tangkapan pada satu umpan yang dipasangnya.Ilvy mengulum senyumnya ketika melihat betapa keruhnya situasi saat ini. Kudeta yang kini berada di depan mata, goyahnya klan Camsart karena kematian sang Alfa dan penasehatnya, dan kini dirinya melihat kebencian anggota Camsart kepada Effrayante, kaum yang selama ini melindungi mereka.Atau… kaum yang selama ini memelihara para Camsarian.Teriakan di depannya tidak pernah terputus. Bahkan, intensitasnya semakin menjadi. Ilvy bahkan harus mundur hingga ke tepi lapan
Dagan berusaha membuka jari-jari Danina yang mencengkeram erat rambut Loretta tetapi dengan cepat ditepisnya tangan pria itu. Tubuhnya bergetar karena marah. Racauan Loretta membuat kepalanya panas. Dirinya bahkan membayangkan betapa takut ayahnya dan Nareef saat Raja Liam memenggal kepala mereka. “Lepaskan dia, Dan!” pinta Dagan setengah memohon. Suara Dagan yang berbisik terdengar menusuk telinganya. Siapa yang akan memaafkan seseorang yang mengantarkan nyawa orang lain ke penjagalan? Danina bukan orang suci. Dia tak sudi memaafkan Loretta. Gadis itu memang biang masalah! Benar kata ibunya, seharusnya dia tidak terlalu dekat dengan Loretta. Dagan mencekal lengannya ketika Danina menarik Loretta ke lantai. Dengan cepat dia mendorong bahu pria itu hingga mundur beberapa langkah. Tidak membuang kesempatan, ia membuka pintu kamar Loretta dan menemukan tiga orang yang sedang berbincang di tengah ruangan di depan pintu. Seketika pembicaraan terhen
Elliot Harridan telah menunjukkan kepada mereka letak pangkalan militer pribadinya. Tepat di atas kastil, mendekati puncak bukit tertinggi di perbukitan Piroz, dibalik lebatnya hutan dan banyaknya cerita mistis tentang bukit itu—Elliot membangun sebuah kekuatan besar yang bisa meluluhlantakkan Gerian. Semua orang berdecak kagum, termasuk dirinya. Pria tanpa satu lengan yang duduk di sebelahnya ini adalah singa tidur yang bersiap untuk kembali mengaum.Tak menunggu basa-basi, Danina langsung berpamitan dengan seluruh orang disana, yang secara terang-terangan masih menginginkan keberadaannya disana. Juga kepada paman yang baru pertama kali ditemuinya selama ini—Danina tidak memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk tinggal.Danina memacu kudanya sekencang mungkin, meninggalkan kastil setelah pelukan canggung dari Raja Uther. Masih ada hal yang ingin diselesaikannya di hutan Camsart, sementara waktu untuk menyerang semakin dekat.Di sebelahnya, I