***"Will you marry me, Alnaira Jihan Mahendra?"Bersimpuh dengan tatapan penuh cinta, pertanyaan tersebut meluncur dengan sangat lancar dari mulut Gema. Tengah melamar sang pujaan hati, itulah yang malam ini dia lakukan setelah setahun menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih dengan Alnaira.Tak di restoran berbintang atau tempat ramai lain, Gema menjadikan taman hijau pinggir danau sebagai latar dan tentunya tak seorang diri, semua dia siapkan bersama kedua temannya yang kini sibuk mengabadikan momen.Tak ada keraguan sedikit pun, Gema benar-benar mantap melamar Alnaira, karena setelah menjalin hubungan yang cukup lama, dia pikir perempuan tersebut yang paling mengerti dirinya luar dan dalam.Bukan dua insan asing yang dipertemukan oleh keadaan, Gema dan Alnaira sendiri tumbuh bersama sejak kecil, karena memang ayah kandung keduanya yang sudah sangat lama bersahabat.Tak hanya sikap baik, Gema mau pun Alnaira sudah tahu sikap buruk masing-masing sehingga tanpa perlu bertahun-tahun berpacaran, Gema pikir satu tahun sudah sangat ideal untuknya mengajak sang kekasih maju ke jenjang yang lebih serius."Gem, ini kamu serius?"Ketika Gema nampak bersemangat dengan lamaran romantis yang dia buat sendiri, maka Alnaira sendiri masih diliputi keterkejutan. Tak menyangka akan dilamar malam ini oleh sang kekasih, gadis yang sering dipanggil Nana tersebut mendadak bingung. Namun, meskipun begitu dia tentunya bahagia."Ya seriuslah, masa bercanda?" tanya Gema. "Nih cincinnya udah terpampang nyata gini masa enggak serius.""Tapi ...." Tak melanjutkan ucapan, Alnaira menoleh ke arah dua pria yang kini sibuk dengan kamera. Beralih lagi pada Gema, dia bertanya, "Nyiapinnya dibantu mereka?""Yaps," kata Gema. "Karena Rakhsan sama Dhana hari ini libur, aku minta mereka buat siapin semuanya dan voila! Jadi deh semuanya.""Speechles ih. Kaget.""Tapi senang, kan?" tanya Gema—masih terus mengukir senyum, meskipun berjongkok dalam waktu yang lama membuat kedua kakinya pegal."Senanglah, masa enggak?""So, kalau senang, terima dong lamaranku," kata Gema. "Pegal nih jongkok terus kaya gini.""Eh iya," ucap Alnaira—kaget sendiri karena mengabaikan lamaran Gema. "Berdiri dulu deh, nanti kesemutan.""Aku berdiri, tapi kamu wajib nerima lamaranku.""Iya, Gema," ucap Alnaira setengah mendesah. "Ayo berdiri."Masih sambil memegang kotak cincin, Gema beranjak. Mengulang kembali lamaran, senyuman di bibirnya seketika mengembang setelah Alnaira mengiakan permintaan untuk menjadi istrinya, sehingga tanpa banyak ba bi bu, pemasangan cincin pun dilakukan.Tak sah rasanya jika tak berpelukan, setelah itu Gema meraih tubuh Alnaira ke dalam dekapannya hingga ketika seruan kedua sahabat Gema terdengar, pelukan terlepas.Tak langsung bubar, kegiatan selanjutnya adalah makan bersama dan tentunya tak sekadar menyantap makanan di meja, Alnaira mau pun Gema mengobrol."Kapan mau ngomong ke Mama sama Papa kamu?" tanya Gema—mengawali obrolan di tengah kegiatan menyantap steak."Kapan ya?" tanya Alnaira. "Aku rasanya pengen bikin acara makan malam gitu deh buat ungkap hubungan sama niat kita buat serius. Biar spesial gitu.""Makan malam bersama maksudnya?""Iya," kata Alnaira. "Keluarga aku sama kamu kita ajak buat makan malam sama-sama, terus habis itu kita bilang soal hubungan kita.""Ide bagus," kata Gema. "Kapan enaknya? Malam minggu ini gimana?""Boleh, tapi aku tanyain dulu ya nanti. Siapa tahu Papa malam minggu ini bagian jaga di rumah sakit.""Sip."Tak pernah terbuka perihal hubungan selama setahun ini, Alnaira dan Gema memang menjalani backstreet agar tak menimbulkan kesalahpahaman di tempat kerja mereka alias rumah sakit.Bukan pegawai kantoran, keduanya adalah dokter umum di sebuah rumah sakit, dan karena pekerjaan mereka mengharuskan sikap profesionalitas tinggi, Alnaira meminta Gema untuk tak pernah mengungkap hubungan mereka pada siapa pun termasuk orang tua mereka."Jadi enggak sabar pengen nikahin kamu," kata Gema di sela kegiatan makan."Mau secepat itu emang?" tanya Alnaira. "Pendidikan spesialis kita bahkan masih dua tahunan lagi.""Ya enggak apa-apa, kan justru seru kalau lanjutin pendidikan setelah nikah. Iya enggak?""Iya sih.""Lagian enggak baik juga pacaran lama-lama, dosa.""Dasar."Tiba di pinggir danau pukul tujuh malam, Alnaira dan Gema memutuskan untuk pulang sekitar pukul delapan. Tinggal di komplek perumahan yang sama, keduanya pulang menggunakan mobil Gema dan tentunya tak hanya malam ini, pulang pergi bersama rutin keduanya lakukan setiap hari sejak zaman kuliah."Sampai, Tuan puteri."Menempuh perjalanan selama empat puluh menit, mobil Gema tiba di depan rumah Alnaira—membuat gadis itu dengan segera melepas seatbelt.Tak banyak berbincang karena malam yang sudah larut, Alnaira bergegas masuk dan setibanya di ruang tamu, dia cukup terkejut ketika kedua orang tua bahkan saudara kembarnya duduk bersama di sofa."Cantiknya Papa udah pulang," sambut Regan—sang Papa yang seperti biasa menyambut dengan hangat. "Gimana pendidikannya sore ini? Aman?""Aman, Pa," kata Alnaira. "Oh ya kalian tumben banget ngumpul, lagi pada ngapain?""Ngobrol aja, Na," kata Elara—sang mama yang kini duduk di samping Aneska, saudara kembar Alnaira. "Seperti biasa Anes ceritain toko terus ya ... gitu deh.""Oh," ucap Alnaira singkat, hingga ucapan sang papa membuat atensi dia beralih."Na, malam minggu ada tugas jaga enggak? Kita rencananya mau ngadain makan malam sama keluarganya Gema.""Gema?" tanya Alnaira memastikan."Iya, Na, udah lama juga enggak ngumpul sama keluarganya Om Devon," kata Elara menjelaskan. "Free enggak? Kalau enggak bisa, makan malamnya kita undur sampai kamu sama Gema bisa.""Aman sih, Ma, Pa, sabtu nanti aku enggak ada kelas," kata Alnaira. "Cuman ada acara apa nih mendadak makan malam sama-sama gini? Apa ada yang mau dibicarainkah?""Hm, ada sih, tapi masih rahasia," kata Regan. "Kita lihat aja nanti ya pas makan malam. Intinya kamu sama Anes dandan yang cantik karena makan malamnya agak spesial.""Waw.""Aku mau beli dress besok, mau ikut enggak?" tanya Aneska pada Alnaira. "Kalau mau, sore setelah dari toko aku jemput kamu ke kampus. Biasanya selesai jam tujuh, kan?""Boleh," kata Alnaira. "Udah lama juga enggak jalan sama kakakku tercinta.""Oke deh."Tak terlalu lama di ruang tengah, selanjutnya Alnaira berpamitan pergi ke kamar untuk membersihkan badan. Berada di lantai dua, gadis dua puluh delapan tahun itu menaikki satu persatu undakan tangga hingga setibanya di kamar yang dia lakukan adalah mengirim pesan pada Gema.(Gem, malam minggu nanti katanya keluarga kita mau makan malam sama-sama. Mau sekalian cerita enggak?)Mengklik kirim pesan tersebut, Alnaira menunggu balasan untuk beberapa menit. Namun, karena Gema tak kunjung membalas, dia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi dengan tujuan; membersihkan badan.Selesai dalam lima belas menit, Alnaira keluar dengan piyama yang sudah melekat di tubuh. Hendak mengambil ponsel guna mengecek balasan dari Gema, atensi Alnaira beralih setelah suara sang saudara kembar, Aneska, terdengar dari luar."Nana, udah mandinya? Aku mau masuk dong.""Masuk aja, Nes, enggak dikunci.""Oh oke."Dalam hitungan detik, pintu kamar terbuka—menampilkan Aneska dengan senyuman yang terukir di bibir. Tak diam saja, gadis itu lantas menutup pintu sebelum akhirnya menghampiri Alnaira dan setibanya di dekat sang adik yang kini memegang sisir, dia buka suara."Serius enggak sibuk, kan, malam minggu nanti?" tanya Aneska—tiba-tiba bertanya demikian pada sang adik. "Kalau sibuk jangan maksain. Makan malamnya bisa minggu depan.""Enggak kok," kata Alnaira. "Lagian aku juga penasaran sama apa yang mau dibahas di makan malam. Kayanya penting kalau dengar ucapan Papa tadi.""Hm, aku sebenarnya udah tahu, tapi masih ragu juga buat ngomong karena takut enggak jadi."Mendengar ucapan Aneska, Alnaira seketika mengerutkan kening. Menghentikan kegiatannya menyisir kemudian memandang sang kakak penuh tanya, tanpa menunda dia buka suara."Apa emang?""Jangan ngomong sama siapa-siapa dulu tapi ya, apalagi sama Papa dan Mama karena seperti yang aku bilang barusan, aku takut enggak jadi," ucap Aneska. "Aku juga tahu setelah enggak sengaja dengar obrolan Mama sama Papa di kamar tadi sore.""Iya, aku enggak akan bilang sama siapa-siapa," kata Alnaira. "Aku jaga rahasia asalkan kamu bilang.""Hm."Alih-alih menjawab rasa penasaran Alnaira, Aneska justru bergumam—membuat sang adik dilanda penasaran."Nes.""Orang tua kita alias Mama sama Papa katanya mau jodohin aku sama Gema, Na," ucap Aneska—membuat tubuh Alnaira seketika menegang. "Enggak tahu serius apa enggak, tapi yang aku dengar tadi tuh, Papa sama Om Devon dulu punya rencana jodohin anak-anak mereka dan karena aku sama Gema anak tertua, kita yang rencananya mau dijodohin."Diam dengan perasaan shock yang kini melanda, itulah Alnaira setelah mendengar ucapan sang kakak. Detak jantung tak menentu pun ulu hati yang mendadak dilanda rasa sakit, itulah yang terjadi selanjutnya sehingga tak menimpali ucapan Aneska, dia membisu—membuat sang kakak bertanya dengan rasa penasaran."Na, kok diem? Kaget ya?""Iya," kata Alnaira. "Dadakan banget soalnya. Aku kaget.""Sama aku juga, tapi di sisi lain aku senang, Na," ucap Aneska—membuat sang adik sedikit mengerutkan kening. "Meskipun kaget, hati aku berbunga-bunga sekaligus enggak nyangka dan-""Senang?" tanya Alnaira—spontan memotong ucapan Aneska, dan pertanyaan darinya dijawab anggukan oleh sang kakak. "Kamu suka sama Gema emangnya?""Hm, iya," kata Aneska yang lagi-lagi membuat Alnaira terkejut. "Udah lama sebenarnya aku suka sama dia, cuman malu aja buat nunjukin.""Nes.""Kenapa, Na?" tanya Aneska. "Gema belum punya pacar, kan?"
***"Aku suka sama Gema sejak SMP sebenarnya, Na. Waktu itu sebagai kakak kelas, dia kan sering lindungin kita dari orang-orang yang suka ganggu. Nah, perlahan sikapnya itu bikin aku tertarik karena kesannya hebat aja gitu. Aku pikir perasaan ke Gema cuman kagum aja, tapi lama kelamaan ternyata makin dalam, Na, cuman aku enggak pernah berani confess karena aku takut Gema nolak aku. Jangankan bilang ke dia, cerita ke kamu, Mama, bahkan Papa aja enggak aku lakuin saking malunya aku."Berdiri di depan cermin wastafel kamar mandi, kedua mata Alnaira yang sudah memerah kembali mengeluarkan cairan bening yang kini menggenang di kedua pelupuk.Teringat kembali pada ucapan panjang lebar Aneska beberapa waktu lalu, Alnaira sakit karena ucapan tersebut membuat dirinya terpaksa merelakan hubungan dia bersama Gema.Mendapat informasi perihal rencana perjodohan Aneska dengan Gema, Alnaira kaget. Sempat punya niat mengungkap hubungannya dengan sang kekasih, dia seketika mundur setelah mendengar per
***"Enggak ada prank di sini, Gem, aku serius."Tak lagi menatap Gema, kedua mata Alnaira kini tertuju pada kedua kaki yang dibalut sepatu berwarna putih. Sakit bahkan sesak, itulah yang dia rasakan setelah melontarkan beberapa kalimat pada sang kekasih.Namun, tak punya pilihan lain, Alnaira harus melakukannya karena sebelum makan malam di hari sabtu nanti, dia dan Gema harus tak memiliki hubungan agar perjodohan diantara pria yang dicintainya itu dengan sang kakak, bisa berjalan dengan lancar.Ya, tentu saja.Aneska sangat mencintai Gema dan sebagai adik yang punya banyak hutang budi, Alnaira harus mengalah karena sebelum ini Aneska sudah beberapa kali mengalami kerugian karena dirinya."Na.""Orang tua kita mau jodohin kamu sama Aneska, Gem," ucap Alnaira yang akhirnya memberanikan diri untuk kembali menatap kedua manik hitam Gema. Sakit, lagi-lagi itu yang menggerogoti hatinya. Namun, sesakit apa pun perasaannya, Alnaira harus menyelesaikan semua hingga tuntas. "Kemarin pas pulan
***"Kita sampai."Setelah menempuh perjalanan dalam kondisi hening, ucapan tersebut akhirnya dilontarkan Gema pada Alnaira yang seperti biasa berada di samping kirinya.Drama taman selesai, keputusan menyesakan akhirnya diambil Gema yaitu; dia bersedia menerima perjodohan dengan Aneska. Tak gratis, hal tersebut perlu ditebus oleh syarat yang dia ajukan pada Alnaira dan tentunya tak mudah, syarat yang harus dipenuhi sang kekasih adalah menikah dengan pria lain sehari sebelum dirinya menikah dengan Aneska nanti.Tak mau berkorban dan sakit sendirian karena harus menikah dengan orang yang tak dicinta, Gema mengajak Alnaira untuk merasakan hal serupa dan tak ada penolakan, Alnaira menyanggupi permintaan tersebut sehingga setelahnya kedua insan itu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju universitas.Tak datang tepat waktu, keduanya jelas terlambat. Namun, meskipun begitu Alnaira mau pun Gema berharap sang pengajar mengizinkan keduanya masuk karena waktu keterlambatan mereka pun ta
***"Nginep di rumah Oma," ungkap Alnaira to the point. "Enggak tahu kenapa hari ini tuh aku mendadak kangen Oma dan kayanya aku pengen nginep. Jadi aku enggak akan pulang ke rumah. Enggak apa-apa, kan?""Oma yang mana?" tanya Regan. "Oma Dara apa Oma Rara? Sama Gema enggak ke sananya? Lumayan jauh juga, kan, dari kampus kamu."Mendengar pertanyaan beruntun dari sang papa, Alnaira menghela napas sebelum kemudian buka suara untuk memberikan jawaban."Oma Rara, Pa, dan aku kayanya sendiri aja karena Gema udah aku minta pulang duluan," kata Alnaira. "Enggak apa-apa kok, aku berani.""Lho, kenapa enggak bilang sama Papa aja kalau gitu?" tanya Regan. "Kamu perempuan lho, Na, dan ini udah mau setengah sembilan. Masa sendiri? Tunggu deh ya di sana biar Pap-""Enggak usah, Pa," potong Alnaira dengan segera. "Aku bisa sendiri kok. Lagipula aku bukan anak kecil.""Ya emang bukan, tapi kamu anak gadis Papa, Nana," ucap Regan. "Papa khawatir kalau kamu sendiri. Takut ada apa-apa.""Doainnya semog
***"Mau makan siang di mana?"Baru masuk ke ruangan tempatnya dan Gema beristirahat, pertanyaan tersebut langsung didapat Alnaira dari sang mantan kekasih yang nampak duduk di meja kerja.Sabtu kerja.Hari ini Alnaira dan Gema memang tetap menjalani rutinitasnya seperti biasa. Tak ada libur sabtu, keduanya hanya mendapatkan libur di hari minggu sehingga meskipun weekend, pasangan yang sudah mengakhiri hubungan tersebut tetap bekerja."Kantin, kaya biasa."Tak ada interaksi manis seperti sebelumnya, Gema dan Alnaira sama-sama mendinginkan sikap semenjak kejadian semalam.Tak ada berangkat bersama bahkan bertegur sapa ketika bertemu, keduanya kompak acuh—terlebih itu Gema yang masih dilanda kecewa untuk apa yang terjadi pada hubungannya dengan putri tengah Regan tersebut."Sama siapa?""Teman.""Teman?" tanya Gema sambil menaikkan sebelah alis. "Teman di sini?""Bukan," ucap Alnaira. "Kamu sendiri udah makan belum?""Lagi enggak nafsu.""Gem," panggil Alnaira. "Ayolah, kamu udah janji
***Tak menjawab, Sky diam sambil berpikir sebelum akhirnya mengiakan permintaan Alnaira untuk menjaga rahasia.Tak cukup dengan ucapan, selanjutnya—sebelum menceritakan lebih lanjut masalah yang dialami, Alnaira meminta Sky untuk menautkan kelingking dan lagi-lagi pria yang berprofesi sebagai pembalap itu patuh sehingga selanjutnya Alnaira pun bercerita.Meskipun masih dilanda takut terhadap Sky yang mungkin saja menyampaikan semua ceritanya pada orang lain, Alnaira tetap melanjutkan semuanya hingga setelah dirinya selesai menyampaikan apa yang terjadi termasuk tujuannya meminta bertemu Sky, pria di depannya buka suara."Harus banget lo lakuin itu, Na?""Maksudnya?""Ya itu," kata Sky. "Harus banget lo korbanin hubungan lo sama Gema cuman karena Aneska? Okelah, saudara kembar lo suka sama Gema dari lama, tapi kan lo pacarnya, Na. Lo lebih punya kuasa atas Gema dan gue yakin orang tua lo pasti paham kalau lo jujur. Benar enggak?"Alnaira tersenyum. "Kalau seandainya mereka enggak paha
***"Kita bangun kebahagiaan kita masing-masing ya, Gem. Kamu sama Aneska, aku sama Sky, karena mungkin inilah takdir kita yang sebenarnya."Duduk dengan kedua kaki panjangnya yang sengaja ditekuk, Gema menghela napas kasar setelah ucapan Alnaira beberapa waktu lalu kembali melintas di benak.Tak di mobil ataupun di rumah, saat ini Gema menyendiri di pinggir danau tempatnya beberapa hari lalu melamar Alnaira.Menikmati semilir angin sore menjelang malam, itulah kegiatan Gema beberapa waktu lalu karena setelah tahu Alnaira dengan mudah menerima pernyataan cinta Sky, hatinya kembali hancur.Tak bisa untuk baik-baik saja ketika gadisnya menerima cinta orang lain, Gema terluka. Namun, karena kadung berjanji untuk menerima perjodohan dengan Aneska, dia tak bisa melakukan apa pun selain pasrah dan meresapi sakitnya seorang diri.Tak bercerita pada siapa pun termasuk kedua teman dekatnya di rumah sakit, Gema memilih untuk menyimpan semuanya karena dia pikir bercerita pun tak ada gunanya."Ak
***"Pesan dulu kayanya, Mas Devon, biar nanti pas nunggu makanan jadi. Kita baru ngobrol," ucap Elara yang disetujui semua orang, sehingga selanjutnya memanggil pelayan pun dilakukan.Mendapat buku menu masing-masing, semua orang di meja makan sibuk memilih makanan yang ingin disantap, terkecuali Gema yang justru sibuk mencuri pandang ke arah Alnaira yang kini duduk bersebelahan dengan Aneska."Na," bisik Aneska pada sang adik."Ya?""Itu Gema kenapa lihatin terus ke sini ya?" tanya Aneska—masih dengan suara pelan. "Ada yang aneh enggak sih sama penampilan aku? Mendadak degdegan.""Enggak kok, malam ini kamu cantik," balas Alnaira sambil melirik Gema lewat ekor matanya. "Gema lihat ke sini mungkin karena terkesima sama kecantikan kamu.""Na.""Serius aku," kata Alnaira. "Dan ini bisa jadi sinyal baik buat kalian.""Duh, doain aja deh ya. Degdegan aku," ucap Aneska. "Takut banget Gema nolak karena punya gebetan atau mungkin pacar."Alnaira tersenyum tipis. “Aamiin.”Beberapa menit ber
***"Tapi Gema enggak cinta sama Anes, Na, dia cintanya sama lo dan gue rasa percuma juga kalau pernikahan mereka dilanjutin," kata Sky. "Jujur deh coba ke Om Regan sama Tante El. Siapa tahu mereka bisa cari jalan keluar terbaik atau barangkali kalau tahu semuanya, pernikahan Anes sama Gema bakalan langsung dibatalin.""Apa aku bisa sejahat itu?" tanya Alnaira. "Menikah sama Gema pasti impian Anes banget. Apa aku tega hancurin mimpi dia setelah sebelumnya aku pernah lakuin hal sama? Kamu ingat? Anes pengen jadi dokter lho, Sky, tapi semuanya enggak bisa diwujudin setelah dia punya phobia sama darah dan kamu enggak lupa, kan, siapa yang bikin Anes punya phobia?""Ya tapi kan, Anes juga udah jahat sama lo, Na," kata Sky. "Peduli amat lo sama perasaan dia. Anes aja enggak peduli."Tak menjawab, Alnaira hanya bisa menghela napas kasar sebagai respon. Memandang Sky dengan raut wajah bingung, itulah dia sekarang sehingga untuk beberapa saat suasana diantara dirinya dan Sky hening."Na.""En
***"Makanannya enggak enak ya, Na?"Setelah sebelumnya memperhatikan, pertanyaan tersebut Sky lontarkan dengan rasa penasaran yang kini melanda. Tengah makan malam bersama, itulah dia dan Alnaira sekarang karena memang usai banyak drama menghampiri putri tengah Regan tersebut, Sky akhirnya datang juga.Belum tahu apa pun termasuk undangan pernikahan Aneska dan Gema, Sky sendiri datang sekitar dua puluh menit lalu, sehingga belum bercerita apa-apa, Alnaira masih menyimpan semuanya sendirian."Eh, enak kok. Kata siapa enggak enak?" tanya Alnaira yang memang sejak beberapa saat lalu menyantap makanan pemberian Sky.Bukan masakan sang mama, makanan tersebut Sky beli dari restoran favoritnya seperti biasa, dan tak aneh, makanan yang dia bawa adalah; nasi dengan olahan daging sapi dan sayuran."Kirain enggak enak," kata Sky. "Gue perhatiin lo makannya enggak semangat kaya biasa. Jadi gue pikir makanannya enggak enak.""Enak kok, cuman emang pikiran aku lagi agak ke mana-mana. Jadi gitu deh
*** "Aku cinta sama kamu dan sampai kapan pun perasaanku enggak akan berubah," kata Gema—membuat Alnaira memasang raut wajah kaget. Namun, tentunya tetap bersikap tenang sehingga setelahnya dia pun melanjutkan ucapan. "Kalau kamu pikir keputusan aku buat nikahin Anes dilandasi rasa capek karena hubungan kita yang enggak bisa mulus, kamu salah karena kalau bisa milih, aku lebih baik hadapin jalan terjal asalkan sama kamu dibanding lewatin jalanan mulus tapi sama orang lain." "Jadi intinya apa?" tanya Alnaira. "Coba to the point karena aku bingung sama ucapan kamu." Gema menghela napas pelan. "Intinya aku nikahin Anes demi keselamatan hidup kamu," ucapnya kemudian. Tak mau terus memendam rahasia besar tersebut sendirian, pada akhirnya Gema memutuskan untuk jujur. Meskipun semua tak akan berubah karena Alnaira yang akan tetap memintanya bersama Aneska, setidaknya dia ingin sang pujaan hati tahu jika sampai detik ini, tak ada sedikit pun perubahan di dalam rasa cintanya untuk perempua
***"Nah, itu pasti Sky."Dengan senyuman merekah, tebakan tersebut keluar dari mulut Alnaira setelah bunyi bel dari pintu apartemen kembali terdengar. Tak banyak menunda, dengan segera dia bergegas menuju pintu.Sudah menunggu Sky cukup lama, Alnaira antusias menunggu kedatangan sahabatnya itu sehingga ketika pintu terbuka, tanpa ba bi bu sapaan pun dilontarkan."Sky, akhirnya kamu datang jug ... Gema?"Senyuman seketika luntur, itulah yang terjadi pada Alnaira setelah di depannya kini yang dia dapati bukan Sky, melainkan Gema. Sebulan tak bertemu, jujur saja Alnaira kaget ketika calon suami dari kakaknya itu datang tanpa permisi sehingga setelaahnya yang dia lakukan adalah; diam—memandang sang calon kakak ipar lekat.Beberapa detik berlalu, suasana masih saja hening hingga akhirnya Gema buka suara lebih dulu."Hai, Na. Apa kabar?""Gem," panggil Alnaira. "Kabar aku baik. Kamu sendiri gimana?"Canggung.Demi apa pun itulah yang Alnaira rasakan karena cukup lama tak bertemu, bahkan be
***Meskipun kesal, dongkol, bahkan benci pada calon istrinya itu, Gema tetap mengejar Aneska menuju lift. Berbeda dengan dia dan sang calon istri yang masih terus berdebat, Alnaira sendiri sudah kembali tenang.Tak lagi memegang undangan, dia kini tengah menikmati angin di balkon hingga di tengah kegiatannya itu, sebuah panggilan masuk.Mengambil ponselnya itu, senyuman terukir di bibir Alnaira setelah nama Regan terpampang, sehingga dengan segera dia pun menjawab panggilan."Halo, Pa.""Halo, cantiknya Papa. Apa kabar kamu hari ini, Nak? Baik?""Alhamdulillah baik, Pa," ucap Alnaira. "Papa sama Mama gimana? Baik?""Baik, Cantik. Alhamdulillah," kata Regan. "Oh ya, Anes sama Gema udah ke sana? Mereka katanya mau anterin undangan ke kamu sama yang lainnya di Bandung.""Udah, Pa," kata Alnaira. "Anes aja sih, Gema enggak ada. Dia mungkin nunggu di mobil atau anterin undangan ke tempat lain, aku sendiri enggak tahu.""Oh gitu," kata Regan. "Lama enggak Anesnya di sana? Sebulan enggak ke
***"Bukan siapa-siapa. Orang iseng kayanya, udah pergi juga tuh barusan yang pencet bel."Memberikan jawaban bohong, itulah Aneska setelah pertanyaan tentang siapa yang datang ke apartemen Alnaira, dilontarkan sang pemilik.Bukan tanpa alasan, jawaban bohong tersebut sengaja dia katakan karena bukan orang asing, faktanya yang sejak tadi menekan bel adalah Gema dan sebagai calon istri yang akan segera dinikahi oleh pria itu, Aneska tak mau Gema bertemu dengan Alnaira."Oh, kirain Sky," kata Alnaira. "Dia janji buat ke sini soalnya.""Bukan," kata Aneska sambil tersenyum. Mendekat pada Alnaira, dia kemudian berkata, "Oh ya, Na, karena aku masih ada urusan di Bandung, aku pamit dulu ya. Kamu nanti jangan lupa pulang karena aku sama Gema nunggu kehadiran kamu.""Buru-buru banget.""Iya, karena masih ada undangan yang harus aku bagiin," kata Aneska. "Teman aku kan ada juga yang di Bandung.""Oh gitu ya," kata Alnaira. "Ya udah kalau gitu hati-hati di jalan ya. Habis dari Bandung, kalau bi
***"Iyalah, apa coba yang enggak gue tahu tentang lo?" tanya Sky. "Semua rasa sakit lo aja gue tahu. Iya enggak?""Mulai deh," kata Alnaira sambil tersenyum."Kenapa?" tanya Sky."Enggak sih," kata Alnaira. "Bingung juga harus ngomong apa.""Yeee, enggak jelas," kata Sky yang direspon senyuman oleh Alnaira, sehingga tak ada lagi obrolan, setelahnya suasana hening.Berlangsung selama beberapa detik, Sky kembali memulai percakapan dan kalimat yang dia lontarkan adalah; sebuah harapan."Semoga enggak cuman kaki, hati lo bisa sembuh juga di sini ya, Na," kata Sky. "Enggak ada lagi kesedihan dan air mata, gue harap ke depannya cuman senyuman yang lo tampilin dan kalau boleh, gue berharap lo bisa nemuin pengganti Gema di sini yang jauh lebih baik daripada dia. Lo gadis yang baik dan lo sangat pantas buat dapatin laki-laki baik."Tersenyum sambil memandang Sky yang kini berdiri sambil bersandar pada pagar, kedua mata Alnaira berkaca-kaca. Bukan karena sedih, semua terjadi karena dirinya bah
***"Udah, kan? Kita udah tahu di mana apartemen Nana selama tinggal di Bandung. Jadi daripada diem terus di sini mendingan kita pergi, karena selama di Bandung aku pengen mampir dulu ke suatu tempat."Memandangi Alnaira dan yang lainnya di lobi gedung apartemen, ucapan tersebut Aneska lontarkan pada Gema. Berada di parkiran depan apartemen, sejak beberapa waktu lalu dia dan sang calon suami mengawasi Alnaira beserta keluarganya karena kata Gema, pria itu tak mau pergi sebelum Alnaira memasuki apartemen.Beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di Bandung. Tak ketahuan, keberadaan Aneska dan Gema sampai saat ini aman karena meskipun selalu berada di dekat mobil yang dikendarai Sky, tak ada satu pun yang curiga perihal Aneska dan Gema yang ikut pergi ke Bandung.Tak sia-sia meminjam mobil sang sahabat, Gema lega karena meskipun tak bisa bertemu langsung, setidaknya dia bisa mengawal Alnaira dengan selamat sampai tempat tujuan, dan karena cintanya pada perempuan itu masih sangat
***"Selama gue belum punya istri, lo boleh bergantung sama gue kapan pun lo mau, Na," ucap Sky. "Gue bakalan selalu ada buat lo, karena gue cinta sama lo, cuman tolong jangan terbebani sama perasaan gue karena meskipun cinta, gue enggak berambisi buat dapatin lo. Ambisi gue tuh bahagiain lo dan kalau nanti lo bahagia sama cowok lain, gue tentunya ikhlas. Lega malah karena lo bahagia, gue bahagia.""Kamu baik banget Sky," ucap Alnaira. "Aku sampe bingung mau bilang apa saking baiknya kamu.""Bilang gue ganteng aja udah cukup kok," kata Sky sambil tersenyum. "Udah ah, jangan sedih-sedih. Daripada mikirin Anes, mendingan lo nikmatin perjalanan sambil senderan di bahu gue. Setelahnya mau tidur? Silakan, gue enggak akan keberatan.""Pegal nanti.""Enggak akan," ucap Sky. "Ayo buruan senderan.""Enggak apa-apa?""Enggak apa-apa, Nana. Ayo buruan mumpung gue lagi baik."Tak banyak bicara, selanjutnya Alnaira memilih untuk melakukan apa yang Sky anjurkan. Bersandar di bahu kiri sang sahabat,