BERANGSUR-ANGSUR MEMBAIK
Di dalam kamar, Shaina kedapatan tengah duduk bersila membelakangi pintu kamarnya. “Tidak. Ini semua salahku. Aku yang menyebabkanmu mati!” Pikir Shaina dalam hati tak bisa mengendalikan emosi. “Aku minta maaf Shinta. Aku minta maaf. Shinta! Shinta!” Lanjut Shaina dengan ekspresi yang sangat mengerikan.Mendengar apa yang Shaina ucapkan. Semua orang yang ada di ruangan itu segera menemukan diri mereka gemetar. Namun, kali ini Marselina datang lagi berkunjung membawa seorang Psikiater yang sangat berpengetahuan dan sepertinya, Psikiater yang dibawanya kali ini bukan tipe orang yang akan membuat lelucon seperti yang sebelum-sebelumnya. “Bagaimana keadaan Shaina?” Tanya Marselina Ketika Psikiater itu keluar dari kamar Shaina. “Saya belum dapat memberikan jawabannya sekarang. Sebab saya masih harus melakukan penyelidikan terhadap kondisi psikis Shaina. Tapi saya yakin Shaina masih bisa di sembuhkan traumanya.HARAPAN BARUKesehatan mental Shaina berangsur-angsur membaik setiap harinya. Mbah pun juga merasa lebih tenang melihat perkembangan Kesehatan dari Shaina. Meski pada mulanya Mbah merasa pesimis. Menemukan Kembali keceriaan dari Shaina, mata Mbah berbinar. Di sela-sela rehabilitasi Shaina. Mbah berbincang-bincang dengan Psikiater itu. juga tak lupa Mbah berterima kasih karena Psikiater itu mau menolong menolong Shaina.Mbah di beri petunjuk oleh Psikiater itu sedikit demi sedikit sejak awal, bagaimana berbicara dengan Shaina, percakapan apa yang harus dihindari, dan bagaimana membuat Shaina tenang, jika sewaktu-waktu Shaina berteriak-teriak. Mbah mengangguk menuruti permintaan dari Psikiater tersebut. “Saya mengerti dok. Terima kasih.” Jawab Mbah dengan perasaan kagum terhadap Psikiater muda yang ada di depannya ini. “Beruntung sekali laki-kali yang kelak akan menikahimu nak. Kamu sudah cantik, baik hati, sabar, juga telaten mengurus pasien. Pasti s
KABAR DUKATiga hari yang lalu, Mbah memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk kesembuhan Shaina. Itu adalah keyakinan yang sungguh luar biasa. Mbha tak kenal Lelah merawat Shaina hingga bisa melakukan aktifitas seperti sedia kala. Shaina berangsur-angsur dapat berdamai dengan masalah penyesalan dirinya karena kematian tragis yang dialami Shinta, sahabatnya.Bahkan saat pihak kepolisian melakukan investigasi mengenai kematian Shinta. Shaina hadir menjadi saksi. Juga Shaina ikut membantu saat pihak kepolisian membongkar kuburan dari jenazah Shinta. Ia sudah bisa melewati fase berdamai dengan trauma yang ia alami.***Satu hari setelah kejadian autopsi mayat Shinta. Shaina membuat janji untuk bertemu dengan marselina di sebuah tempat hiburan di dekat pusat kota. Mereka bertemu sesaat setelah Shaina tiba di lokasi pertemuan. Mereka ngobrol Panjang lebar mengenai banyak hal. Mereka tertawa bersama, Ketika membicarakan Reza. Pacar dari Marselina. “Bagaimana mungkin, R
KAMBUH Setibanya di rumah, Shaina terperanjat. Setelah melihat emandangan yang tidak biasanya di rumah. Ketika itu rumah Shaina sudah dikerumuni oleh banyak orang. Orang—orang yang ada di sana menggunakan pakaian serba hitam. Pikiran dari Shaina mulai berkecamuk Ketika ia tahu bahwa yang meninggal adalah Ayahnya. Salah satu orang yang sangat disayangi Shaina. “Ayah kenapa bu?” Tanya Shaina kepada ibunya yang sedang duduk di atas permadani untuk membacakan doa kepada mendiang suaminya tersebut.***Meninggalnya Ayah dari Shaina yang tiba-tiba, membuat ibu masih tidak percaya kalau suami tercintanya itu sudah tiada. Padahal malam sebelum kejadian, pasangan suami istri itu masih makan bersama. Bahkan masih sempat mengobrol sebentar, sebelum kemudian pergi tidur.Bahkan seminggu belakangan, tak ada perubahan atau tanda-tanda sakit dari Ayah Shaina. Tidak demam, bahkan flu pun tidak. Kejadian yang mendadak itu jelas membuat Ibu Shaina menjadi terpukul. Seolah-olah kejadi
IBU***Jauh sebelum duka mendalam kehilangan suami tercinta. Ibu membantu suami tercintanya itu mencari nafkah. Semenjak suaminya berhenti bekerja, memang ibu kerap membantu mencukupi kebutuhan ekonomi. Mulai dari menjadi buruh cuci, hingga asisten rumah tangga paruh waktu.Apalagi setelah mereka kehilangan rumah warisan akibat hutang yang dimiliki Shaina. Kehidupan mereka semakin terperosok. Saat itu, mereka juga baru membeli rumah baru sehabis menjual rumah warisan, namun tak berselang lama. Rumah baru itu juga harus mereka jual untuk menutupi bunga dari hutang Shaina yang sudah membengkak.Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Semenjak mereka menjual rumah baru itu, Kesehatan suaminya mulai menurun setiap harinya. Jadi semua tanggung jawab menafkahi keluarga mau tidak mau harus diemban oleh Ibu seorang. Menjadi buruh cuci dan asisten rumah tangga paruh waktu hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua sehari-hari. Uang yang mereka hasilkan t
KENANGAN IBU“Bu, Ayah kenapa meninggal bu?” Kejar Shaina. Suaranya meraung memenuhi ruangan. Disambut oleh isak tangis keluarga, juga kerabat terdekat. termasuk nenek yang datang jauh-jauh menemani Shaina. “Ayah, maafkan Shaina. Shaina hanya bisa menyusahkan keluarga sampai saat ini. Shaina belum bisa membahagiakan Ayah. Bahkan hingga saat ini. Yah bangun Yah. Shaina pulang.” Rengek Shaina di dekat jenazah Ayahnya.***Di sisi lain, Ibu yang juga turut ada di sisi Shaina. Hanya dapat tertunduk lesu melihat. Tubuh suami tercintanya terbujur kaku, dengan wajah pucat. Ibu tak bisa berkata apa-apa, hanya air mata yang terus mengalir membasahi kedua pipinya yang memerah. Bahkan sampai mendiang suaminya itu di masukkan ke liang lahat, ekspresi Ibu juga tak berubah. Lemas, tatapannya kosong, hanya air mata yang mengalir di kedua pipinya yang bisa memberikan gambaran betapa Ibu sangat terpukul. Sepulang dari tanah makam, Ibu masih juga terlihat murung. Makan tak mau, minum j
IBU SAKIT NAK“Masuk Nak.” Ucap Ibu dari dalam kamar. Tak lama kemudian Shaina masuk ke dalam kamar Ibunya itu. Ia menangis sejadi-jadinya. Meminta maaf karena selama ini sudah menyusahkan keluarganya. Jadi di ruang yang berukuran 3x5 meter itu, semua hal yang menumpuk dipikiran Shaina tumpah ruah. Sambil bersimpuh di pangkuan Ibunya itu, Shaina menyalahkan dirinya karena ulahnya Ibu harus menjual rumah warisan keluarga. Melihat anak tercintanya itu menangis membuat Ibu juga tak bisa lagi membendung air matanya. Meski anak tercintanya itu belakangan cukup membuat repot keluarga, namun bagaimanapun Ibu akan selalu mencintai dan menyanyanginya. “Tidak apa-apa nak. Semua sudah terjadi.” Ujar Ibu.Seminggu telah berlalu, keluarga Shaina juga sudah melakukan aktifitasnya masing-masing. Sambil menunggu semester baru dikampus Shaina, lebih banyak menghabiskan waktu dirumah. Mbah juga menetap di sini untuk beberapa waktu menemani menantu dan cucu tercintanya itu. selagi Ibu bekerja me
IBU BERPULANGJalan pintas yang diambil Ibu dengan menjual salah satu ginjalnya berakibat buruk untuk Kesehatan Ibu. Meski masih dapat hidup hanya dengan mengandalkan satu ginjal, namun kemungkinan besar berisiko ikut terkena sakit ginjal yang parah dikemudian hari. Memang fenomena orang menjual ginjal sering terjadi di negara berkembang karena faktor himpitan ekonomi. Bahkan Ketika itu di sebuah rumah sakit tempat Ibu operasi pengambilan ginjal. Tertera juga nama salah seorang gadis muda yang ikut melakukan transaksi menjual ginjalnya. Yang lebih miris lagi adalah beredar kabar gadis tersebut sampai memasang iklan. Fenomena jual-beli ginjal ini ternyata dianggap sebagai salah satu perbuatan illegal oleh pemerintah.Padahal memiliki satu ginjal tidak sama dengan dua ginjal, dan ini terjadi. Apa yang dialami oleh Ibu setelah ia menjual ginjalnya adalah fungsi ginjal yang tersisa kurang dapat berkerja dengan optimal. Darah yang mengalir di tubuh Ibu tidak bisa disaring den
TERJATUHPagi itu. kondisi Kesehatan Ibu semakin buruk. Namun Ibu memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidurnya. Ia harus bekerja. Namun, semakin ibu berusaha untuk bangun dari tempat tidur. Ia merasa seperti tidak memiliki tenaga. Hampir setengah jam ia berusaha untuk bangun. “Shaina. Nak tolong bantu bangunkan Ibu nak.” Ujar Ibu dengan suara parau. Tak lama kemudian Shaina tiba di kamar ibu, karena mendengar Ibu memanggil. “Kalau Ibu sakit, Ibu istirahat saja. Tidak perlu bekerja hari ini.” Ujar Shaina meminta Ibunya untuk tidak bekerja hari ini. Tapi Ibu tetap bersikeras untuk tetap bekerja. Karena sepeninggalan suaminya, menurut pandangan Ibu beban tanggung jawab jatuh kepadanya.Dengan tertatih-tatih Ibu berhasil bangun dari tempat tidurnya, kemudian ia mencoba berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Namun baru berjalan beberapa Langkah tiba-tiba badannya terasa lemas sekali dan Ibu seperti akan ambruk ke lantai. Namun karena Shain