BAB TAK BISA DIHUBUNGI
Sebelum Yudhis menunggu di stasiun, satu hari sebelumnya Shaina sempat memberitahu Yudhis untuk menjemputnya. Sambil menanggung kecewa Yudhis segera keluar dari stasiun, terlihat pula Yudhis menggelengkan kepalanya. Lalu Yudhis mampir ke salah satu club malam yang ada di sana untuk sekadar menghilangkan kesedihannya. Yudhis memesan table untuk dirinya sendiri. Kemudian dua botol anggur dan tiga botol bir segera meluncur ke tempat yudhis. Sambil menunggu kabar yang tak kunjung datang dari Shaina, Yudhis menenggak minuman yang ada di mejanya, tak lama kemudian Yudhis tampak mulai mabuk.Salah seorang penari striptis yang ada di club malam dekat stasiun itu menghampiri yudhis. Meminta izin untuk duduk di dekat Yudhis, lantas kemudian mereka mulai berkenalan. Karena sedang mabuk Yudhis sekenanya menimpali obrolan dari penari striptis itu. Entah apa yang dibicarakan oleh penari itu Yudhis menanggapi dengan acuh tak acuh. Disamping itu jugBAB BAGAS YUDHISTIRA GELISAHNyatanya Yudhis enggan untuk mendatangi kediaman orang tua Shaina. Karena Yudhis tahu bahwa kedua orang tua Shaina juga sedang tidak baik-baik saja. Maka dari itu Yudhis tidak mengikuti saran yang diberikan oleh teman-temannya. Yudhis menggerutu dalam hati ”Bua tapa aku ikuti saran mereka, toh mereka juga meninggalkan aku kemarin, di saat aku membutuhkan mereka.” Ungkap Yudhis. Sejurus kemudian pintu kamar Yudhis diketuk dari depan beberapa kali. Namun Yudhis tak juga menanggapi. “ini aku Dhis.” Ujar seseorang dari balik pintu. Suara yang tak asiing lagi di telinga Yudhis. Siapa lagi kalau bukan Anya. Salah satu teman yang cukup dekat dengan Yudhis. “Aku tahu kamu ada di dalam, cepat buka aku ada berita penting untukmu!” Ujar Shaina lagi dengan nada suara memaksa.***“Anya…” Kamu dari mana saja, dari tadi sehabis jam perkuliahan selesai aku mencarimu kemana-mana. Ujar wanita muda itu. Dengan nafas yang terengah-engah wanita muda
Bab SEPERTI TERSAMBAR PETIR DI SIANG BOLONGDi dalam kamar indekosnya Yudhis kaget bukan kepalang. Jantung Yudhis berdegup lebih kencang dari biasanya. Matanya berkedut, Yudhis ingat dengan jelas ketika bertemu dengan orang tua Shaina waktu itu. Namun, cobaan yang datang silih berganti sepertinya telah menghancurkan kebahagiaan keluarga mereka, itu seperti halnya mewarnai batu taman dengan cantik, namun sebelum taman itu selesai, hujan turun membuat luntur warna yang sudah menghiasi batu yang ada di sana. Dengan pemikiran seperti itu Yudhis merasa kehidupan tidak adil terhadap Shaina. “Si bajingan itu, jika Shaina tidak bekerja untuk melunasi hutang, kejadian seperti ini tidak mungkin akan terjadi.” Umpat Yudhis.Melihat betapa terpukulnya Yudhis, Ghai dan Adit saling memandang satu sama lain. Ghai sendiri menunjukkan campuran emosi di wajahnya saat tau orang tua Shaina sudah tiada. Apalagi dengan cobaan yang menimpa keluarga itu silih berganti. Kemudian mereka berdua
BAB PUTUSKetika itu pukul Sembilan malam, di dalam rumah di wilayah pinggiran dekat dengan ibu kota, seorang perempuan muda sedang bertengkar dengan seorang pria. Kalau diperhatikan dengan seksama pertengkaran mereka. Perempuan muda itu agak sedikit meremehkan lawannya. Sembari membanting pintu dengan keras, perempuan muda itu kemudian melemparkan beberapa lembar uang kearah Pria tersebut. “Apa maksudmu?” Ungkap pria itu dengan marah. Tanpa menjawab apa-apa perempuan muda itu melempar lagi beberapa uang kertas berwarna biru kearah pria tersebut. Kemudian berseru karena amarahnya sudah membuncah. “ini kan yang kamu inginkan. Ambil semua itu” Geram perempuan muda tersebut. “aku ingin sekali memutuskan hubungan ini sejak lama denganmu. Tapi entah kenapa. Hatiku berkata tidak.” Ujar Shaina dalam hati di hadapan laki-laki yang menyebabkan semua penderitaan ini terjadi. Tapi sayangnya perempuan muda itu sudah terjerembab di jurang cinta terlalu dalam
BAB MENYUSUN RENCANADipenghujung malam. Di luar sana udara cukup mampu untuk menusuk tulang. Beruntung, suara jangkrik yang bersahutan dengan sisa tetes hujan yang turun sejak tadi malam mampu menjagaku dari rasa kantuk. Karena itu pula aku betah berlama-lama di salah satu sudut ruang yang tak terlalu luas, namun cukup membuatku nyaman berada di dalamnya. Seperti indekos kebanyakan. Ada Kasur lusuh, buku yang sampulnya habis dimakan rayap, bantal yang bau apek, ada pula sertifikat-sertifikat yang sudah terbungkus kaca terpampang di dalamnya. Aku dan teman-teman mendapatkan sertifikat-sertifikat itu dari kampus. Namun di situlah mataku tertuju. Terpatri di dinding kumal berwarna hijau. Sertifikat dengan warna seperti buah jeruk, dihiasi salah seorang tokoh pewayangan ini tak hanya menjadi hiasan saja. Tapi juga sebagai kenanganku saat pertama kali melihat Shaina di salah satu seminar yang diadakan oleh kampus tempatku menimba ilmu. Kala itu aku terpe
“Beb aku rindu. Aku ingin bertemu denganmu. Di kota yang menurut banyak orang sebagai kota yang istimewa ternyata tidak menurutku. Sebab tidak ada kamu di sini.”Yudhis mengingat Kembali pesan singkat yang dikirim kekasihnya kemarin. Perasaanya bermekaran. Bagai bunga matahari yang merekah Ketika terkena sinar matari. Dan membuat orang-orang begitu kagum melihatnya, karena warna daunnya yang kuning menyala dan sungguh mempesona. Yudhis memandangi layar telepon genggamnya. Sembari mesam-mesem, sebenarnya Yudhis juga menyimpan rindu kepada kekasih yang baru saja dikencaninya selama sebulan belakangan ini. Maklum saja, mereka sedang hangat-hangatnya merajut kasih. Sambil mendengarkan sebuah lagu yang didendangkan oleh salah satu grup band yang cukup terkenal di Jakarta, yudhis membayangkan bagaimana saat mereka Kembali bertemu.Sedang asyik berkhayal, Yudhis dikagetkan dengan suara teman satu indekosnya yang Bernama Ghai. Nama teman indekosnya ini
“Sudah dua hari aku di sini, untung saja waktu itu aku tidak ketahuan olwh mereka.”. Gumamnya sambil mengingat kejadian waktu itu. Saat sedang asyik merenung Aku dikagetkan dengan kedatangan si Mbah. “kenapa melamun? Kamu tidak betah tinggal di sini dengan mbahmu.“bukan mbah, aku lagi senang aja, di sini pemandangannya enak. Banyak sawah.”. Di kota ini aku tinggal dengan Mbahku, sejak kecil aku terbiasa memanggilnya mbah. Sebelum aku datang, si mbah hanya tinggal sendiri di rumah ini. Kakekku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, anak-anak mbah pun semuanya merantau. Jadilah si mbah tinggal sendiri di rumah. Sejak kedatanganku, aku melihat senyum merekah yang terpancar indah dari wajah keriput si mbah.“oh. Yasudah, Mbah malah senang kalau kamu mau tinggal lebih lama di sini. Mbah jadi ada temannya.”. Aku pun tersenyum mendengar ucapan dari Mbah. “makan dulu sana, mbah sudah buatkan makanan.”.“Nanti aja mbah belum lapar.”“makan dulu. Jangan ditunda-tunda, nanti ka
Udara pagi masih terasa dingin. Sebab dari semalam hujan turun dengan lebatnya. Saat itu Aku bersiap-siap membuat sarapan untuk aku dan juga nenekku. Setelahnya sarapan lantas aku segera berangkat kerja. Karena hari itu adalah hari pertama bekerja. Aku agak gugup sebenarnya. Sesampainya di tempat kerja, aku segera menuju loker untuk menyimpan tas juga telepon genggamku. Di tempat bekerja, ada aturan dilarang untuk menggunakan alat komunikasi selain di jam istirahat. Tak lupa sebelum aku menaruh telepon genggamku di loker, aku mengabari kekasihku. “beb, aku sudah di tempat kerja. Kamu pasti belum bangun kan? Dasar kerbau. Dah.”. segera aku kirim pesan ini sekaligus, tak lama kemudian menejer memanggilku, lantas aku buru-buru memasukan telepon genggamku ke dalam tas dan menyimpannya di loker. Saat aku hendak menaruh tasku, aku merasa telepon genggamku bergetar. Entah siapa yang membalas pesanku. Tapi yang aku tahu, biasanya jam segini kekasihku masih tertidur pulas di kamarnya.
Sudah seminggu Shaina bekerja di restoran yang dikelola oleh anak tertua dari lelaki tua yang ditemuinya di rumah makan waktu itu. Di tempat Shaina bekerja, dia selalu saja mendapat perlakuan yang buruk dari Sebagian rekan karyawan di tempat Shaina bekerja. Sebab mereka cemburu karena banyak pelanggan yang tadinya bersama mereka kemudian lebih memilih Shaina. Memang semenjak Shaina bekerja di restoran itu, tempat itu kemudian menjadi ramai kembali. Kebanyakan pengunjung di restoran itu semua adalah laki-laki. Bahkan banyak diantara mereka yang terang-terangan mengajak Shaina kencan. Pada mulanya Shaina menolak mereka secara halus, namun lama kelamaan Shaina mulai agak ragu dengan keputusannya itu. Sebab uang yang ditawarkan untuk sekali kencan cukup mengiurkan. Diantara beberapa laki-laki hidung belang itu bahkan sudah ada yang berani memegang tangan bahkan hampir memeluk Shaina tanpa sepengetahuannya. Karena itulah rekan-rekan kerja Shaina di restoran banyak yang membenci Sha