Saat aku mencari siapa yang tepat,
Kau datang dengan semua pesona yang ada dalam dirimu.
Mia terdiam di kamarnya. Ia masih teringat dengan tantangan yang Kleo berikan padanya tadi saat di kantin.
Mencari seorang kekasih.
Jujur, ia belum yakin dengan keberhasilan tantangan tersebut, pasalnya Ia sendiri tak berani mengatakan ia akan bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya. Bayang-bayang yang membuatnya menjadi seperti ini. Takut akan cinta.
Ia juga tak bisa mengatakan ia akan mampu bebas dari sepinya kisahnya dulu. Bahkan masih jelas dalam ingatannya bagaimana perceraian kedua orang tuanya sampai keduanya meninggal dan ia menjadi yatim piatu.
Kisah hidupnya sungguh klise. Penuh drama yang mengharu biru namun baginya sangat menjijikkan.
~
Hanya untuk pendamping saat wisuda. Hanya untuk itu kan? Ia pasti akan bisa dan ia akan berjuang. Walaupun ia yakin akan sangat sulit, namun ia pasti akan bisa.
Haaah!
Beginilah nasib jomblo akut dari lahir. Dipaksa mencari kekasih hanya untuk kencan satu hati saat wisuda.Tok Tok Tok.
Suara ketukan pintu membuyaran segala pikiran kalut Mia. Ia melirik ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Di sana ia bisa melihat keberadaan Randi.
Sepupu paling tampan dan baik hati yang ia punya.
Mia menatap Randi yang berjalan mendekatinya. Dalam benaknya kini terlintas banyak pertanyaan. Salah satunya soalan Randi yang tak pernah terlihat dekat dengan seorang gadis. Lebih detailnya, Randi yang tak pernah malam mingguan dengan seorang gadis kecuali dirinya.
Apa benar ia sudah mengganggu kisah percintaan Randi?.
"Lagi sibuk?" tanya Randi pada Mia. saat pria itu sudah berdiri di hadapan Mia yang sedari tadi duduk di tempat tidur.
Mia menggeleng, "kenapa?" tanya Mia. Ia memperbaiki posisinya duduk agak ke atas dan memeluk boneka pisang sebesar guling miliknya.
"mau ngapain lo malam-malam ke kamar gue? Jangan bilang mau curhat galau lagi?"
Randi menggeleng duduk di depan gadis tersebut.
"Lo tahu kan Mia, kalau Papa selalu dengerin kemauan lo dan paling sayang sama lo! Bahkan gue yang anak kandungnya saja tak dianggap jika beliau sudah bersama dengan Lo."
Dengan bangganya Mia menganggukkan kepalanya. Karena memang fakta yang ada menyebutkan seperti itu. Ia sendiri kadang heran dengan keluarga di rumah ini. padahal ia hanyalah keponakan dari om Burhan, namun yang ia dapatkan bahkan lebih dari yang didapatkan anak kandung di rumah ini yaitu Randi.
Tapi ia tak pernah ada maksud mengambil hati keluarga ini. Jujur, ditampung untuk tinggal di sini dan diberi perhatian seperti anak saja ia sudah bersyukur. Apalagi Randi yang selalu menjaganya dan menganggap jika dirinya adalah adik perempuan yang harus dijaga. Walaupun pada nyatanya, ia dan Randi adalah seumuran.
Namun hebatnya, Randi tak marah ataupun cemburu. Justru ia selalu memanfaatkan Mia. Jika ada satu urusan yang membutuhkan izin orang tuanya yang ia tahu tak akan bisa ia dapatkan, Randi pasti membujuk dirinya untuk mau berkongsi.
Dan mendengar Randi berkata seperti yang ia dengar tadi, ia yakin Randi pasti sedang menginginkan sesuatu dan takut meminta pada kedua orang tuanya.
"Dan lo tahu kan Mia semua omongan lo selalu dituruti." ucapnya lagi dengan wajah memelas.
Lagi-lagi Mia mengangguk. Namun kali ini diikuti dengan senyuman geli.
"Gini Mia---" Randi semakin mendekatkan dirinya pada Mia.
"He ehmmm."
"lusa gue ada janji sama teman-teman buat liburan ke puncak sekaligus bakti sosial, dan gue sendiri yakin nggak bakalan dapat izin. Jadi—"
"jangan bilang lo mau minta bantuan gue buat bujuk bokap lo dan izinin lo pergi?"
Randi mengangguk dengan sangat antusiasnya. "Bahkan gue bawa lo sekalian."
"Ha? Lo seriusan? Itu kan acara lo! Kenapa bawa gue?" protes Mia.
"Ayolah Mia. Sebenarnya ini juga bisa dikatakan sebagai penyuluhan. Lo bisa keliling pedesaan di sana sambil menikmati sejuknya udara pegunungan. Dan satu lagi, kita juga datangin nara sumber yaitu seorang dokter. Jadi lo bisa tanya-tanya juga sama tu dokter. Gimana? tertarik?"
"Nggak! Lagian nggak ada urusannya sama gue. Lo yang bakalan penyuluhan, kenapa gue yang dibawa-bawa."
"Ayolah. Cuma lo yang bisa bantuin."
"Tapi kan ini urusan lo. Kalau gue nggak mau ikut gimana?"
"Lo harus ikut.!"
"Dih! Maksa."
"Mia. Gue mohon. Ini demi kinerja kesegaran otak gue. Otak gue mumet ni."
"Ya kalau mumet itu, liburan."
"Lah kan ini gue mau liburan."
"Penyuluhan itu bukan liburan."
"Liburan Mia. Makanya ikut sama gue. Dijamin seru. Di sana ada kebun stroberi. Lo bisa petikin dan mereka lagi masa panen. Lo suka stroberi kan?"
Mia diam sejenak. Ia cukup tertarik dengan tawaran yang Randi berikan. Stroberi? Oh ya Tuhan ,itu buah kesukaannya. Ia bahkan bisa menghabiskan banyak stroberi dalam sekali duduk. Tapi apa ini sungguh penyuluhan? Atau hanya tipuan yang Randi lakukan?.
Mia menatap Randi curiga.
"Kenapa lo tatap gue begitu?"
"Ini lo serius kan? Nggak bohong doang kan? Jangan-jangan ini Cuma akal-akalan lo doang."
"Ya Allah Mia. Segitu panjang lebarnya gue cerita, tanggapan lo Cuma satu, yaitu gue bohong. Gue nggak bohong Mia. Kalau gue bohong, lo bisa ambil mobil gue yang gue pinjamin ke lo. Lo bisa jadiin mobil itu sebagai hak milik lo. Gimana? Lagian gue bisa perlihatkan surat izin BakSos nya ke lo."
Setelah cukup lama berpikir, Mia akhirnya menyetujui tawaran Randi. Setidaknya ia bisa berlibur dan makan stroberi sepuasnya.
"Lo janji? Kalau lo bohong, mobil lo buat gue!"
Randi mengangguk, "Gue janji." jawabnya tegas dan yakin.
"kalau lo bohong, mobil lo jadi milik gue?" ulang Mia.
"Jadi milik lo! Bahkan gue yang bakalan bantuin pemindahan namanya nanti kalau lo masih belum percaya."
Mia tersenyum menang, "Oke. Gue bakalan bantuin lo. Tapi dengan satu permintaan."
"Permintaan apa?"
"Kleo juga harus ikut."
Randi menghela nafas panjang. Ia pikir permintaan apa yang akan Mia ucapkan, ternyata hanya bahasan tentang harus bawa Kleo. Kalau itu ia bisa menyetujuinya.
"Oke! Lo boleh bawa Kleo. Tapi lo harus berhasil bujukin bokap gue buat kasih gue izin. Gimana?"
"Kalau soal bujuk-bujukan itu perkara mudah. Lo tahu kan, om Burhan lebih percaya gue dari pada Lo!"
Randi seketika mengumpat membuat Mia langsung tertawa.
"ya udah. Besok gue coba ngomong." Ucap Mia.
Randi mengangguk. Pria itu lalu keluar dari kamar Mia. Setelah kepergian Randi dari kamarnya, Mia segera menghubungi Kleo guna memberitahukan soal ke puncak untuk mengikuti acara yang Randi lakukan nanti. Ia mewanti-wanti waktu Kleo yang harus kosong.
*****
Esok paginya, Seperti janjinya Mia semalam, pagi ini ia akan bicara dengan Om Burhan. Kebetulan hari ini hari minggu dan Om Burhan juga libur bekerja. Setelah selesai sarapan, Randi kembali mendesak Mia untuk bicara.
Sebenarnya alasan Randi tak diizinkan itu karena satu hal dan itu berhasil membuat Randi terlihat seperti anak TK yang dijaga ketat.
Hanya karena Randi anak satu-satunya dan penerus perusahaan yang sudah dirintis om Burhan sejak dulu. Sejak dua tahun pernikahannya dengan tante Linda, ibu dari Randi. Dan sejak melahirkan Randi, Tante Linda difonis dokter tak bisa melahirkan lagi karena harus menjalani pengangkatan rahim karena terserang tumor.
Kembali pada Mia, Gadis itu berjalan mendekati Om Burhan yang sedang menonton TV di ruang keluarga. Tanpa rasa takut dan ragu sedikitpun, Mia duduk di sebelah pria tersebut.
"Om. Mia boleh bicara sebentar?" tanya Mia yang memulai pembicaraan tanpa ragu.
Burhan mengecilkan volume televisinya dan fokus pada Mia.
"Bicara apa nak? Kok serius begitu?"
Mia tersenyum, "Gini om. Mia sama Randi mau minta izin sama om. Kita mengadakan penyuluhan di kota Bogor om. Mendatangi desa-desa terpencil dan mendata masyarakat di sana. Sebenarnya ini tak ada ikatannya dengan kampus, hanya inisiatif kami untuk melakukannya. Dan kami juga sudah mendapatkan nara sumber untuk ikut serta nantinya dengan kami."
Burhan menatap Mia sedikit curiga, "Penyuluhan? Bukan dari kampus?"
Mia menggeleng. "Bukan om. Ini dari organisasi remaja yang dibuat oleh teman-teman Randi. Sebenarnya rencana ini sudah lama dibuat, hanya saja baru terealisasikan sekarang. Karena harus survei dulu dan kita juga nyari nara sumber yang tepat agar cocok saat kita bawa ke sana."
Burhan mengangguk paham. "Narasumbernya siapa?"
"Seorang dokter muda, namanya Adit. Mia juga sudah kenal dengan dokternya. Dia seorang dokter dari rumah sakit Dandelion.
Di sini, Mia bisa bernafas lega. Beruntung Randi sudah menceritakan semuanya padanya.
Burhan yang percaya akhirnya mengangguk, lalu tersenyum, "Boleh. Kapan rencana kalian akan pergi?"
Mia seketika bersorak dalam hati, Randi yang mengintip dari balik pembatas tangga langsung tak percay. Sekarang ia seperti meragukan, jika dirinya bukanlah anak kandung dari orang tuanya. Karena saat ia meminta izin seperti ini, pasti tak akan diberi izin, terutama untuk bundanyanya sendiri.
Ini sungguh tidak adil. Baginya sangat tidak adil.
Ia kembali memperhatikan Mia yang masih berbicara dengan santai dan tenang dengan ayahnya.
Dengan rasa kesal, ia kembali menuju kamarnya dan membanting pintu kamar tersebut cukup keras membuat Mia langsung tertawa.
"Kenapa dia?" tanya Burhan.
Mia hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Makasi ya Om sudah izinin kami pergi."
"Iya. Kalau nanti butuh sesuatu, kamu bilang saja sama om ya. Nanti Om ikut fasilitasi kegiatan kalian."
Mia mengangguk, "Siap Om. Ya sudah, Mia ke kamar dulu ya Om." Pamitnya.
Burhan mengangguk. Setelahnya Mia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju kamar Randi. Dan sesampainya di kamar tersebut, ia tertawa sangat keras, apa lagi kalau bukan karena ingin menertawakan nasib Randi yang ngenes bukan main.
"Puas lo ketawanya?"
"Hahahha. Banget! Lo lihat kan tadi? Bokap lo lebih sayang sama gue ketimbang sama lo."
"Dih! Ge er. Udah sana lo keluar."
"Lah! Gue diusir."
"Iya. Lo diusir."
Bukannya marah, Mia justru kembali menertawakan Randi yang terlihat cemburu. Dan itu sangat menggemaskan.
Namun sebelum ia keluar Randi kembali memanggilnya dan mengucapkan terima kasih.
*****
Misuh misuh terjadi di kamar Mia. Gadis itu masih saja berkutat dengan perlengkapannya untuk pergi besok pagi walaupun jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Ia harus memastikan tak ada yang tertinggal. Mulai dari kamera, cas-an ponselnya, penutup mata saat ia tidur, earphone, make up dan masih banyak lainnya.Terkhusus untuk make up, ia tak mau sedikitpun ada yang tertinggal. Walaupun make up nya tak terlalu banyak dan yang wajar-wajar saja. Namun yang ia tahu puncak itu dingin, ia tak mau kulitnya gersang karena tak bawa pelembab dengan lengkap."Selesai!" serunya sambil menatap koper besar yang super lengkap itu.Ia menyingkirkan koper tersebut ke pinggir dan bersiap untuk tidur. Besok adalah hari yang ia tunggu. Membantu Randi sekaligus berlibur.Puncak, Sampai jumpa besok.~Pagi ini keributan dan gelak tawa sudah terdengar di kediaman Rand
Menjadi pusat perhatian para gadis sudah biasa bua Adit, tapi tidak untuk kali ini. Berada di sebuah Villa hanya berdua dengan seorang gadis membuatnya kebingungan. Walaupun ia sudah menghubungi Randi dan mengatakan jika dirinya sudah sampai, namun rombongan tersebut belum juga menampakkan batang hidungnya.Kecanggungan itu semakin terjadi di mana langit secara perlahan menjadi gelap."Mas dokter mau makan? Atau mau minum? Dari tadi saya tawarin, tapi mas dokter nggak mau." Mia masih mencoba mencairkan suasana. Ia sendiri juga bingung harus melakukan apa. Ia tak tahu jika dokter yang Randi ajak, sangatlah pendiam."Nggak usah. Terima kasih." jawab sang dokter. Mia lagi-lagi hanya bisa tersenyum canggung.Mia masih mencoba menghubungi Kleo. Tapi nomor gadis itu tak bisa dihubungi. Susah sinyal atau bagaimana ,ia juga tak paham."Atau bagaimana kalau kita--"
Pagi ini, Mia sudah bersih dengan dandanan cantiknya serta rambut terikat kuncir kuda. Ia mengenakan kaca mata yang tentu saja itu hanya untuk gaya. Dengan sedikit polesan bedak di wajah serta lipstik di bibir tipisnya, ia siap menyambut pagi dengan senyum manis.Hari ini Randi mengatakan ada penyuluhan. Ya walaupun hanya penyuluhan biasa dan lebih tepatnya pengenalan diri pada warga. Setidaknya ia tetap harus terlihat bersih, rapi dan wangi. Setidaknya ini usaha pertamanya untuk menggaet Adit, si dokter muda yang tampan.Jangan tanyakan betapa susahnya Mia tidur semalam. Mengingat hari ini saja ia harus memaksakan matanya untuk terpejam.Haaah, sepertinya ini akan jadi tantangan menarik untuk dirinya.Sedang asik berkaca, Mia dikejutkan dengan suara pintu kamar yang terbuka. Ia segera melirik ke belakang dan mendapati Kleo sedang berdiri sambil berkacak pinggang."Dari tadi belum selesai juga? Lo mau penyuluhan apa mau nikahan?" ejek Kleo.&n
pagi itu matahari baru saja muncul ke permukaan. cahaya mentari yang tak terlalu terang namun juga tak terlalu mendung membuat suasana pedesaan itu terasa begitu nyaman . aroma pepohonan yang menyejukkan serta kicauan burung yang menenangkan hati, membuat Siapa saja yang sedang butuh waktu sendiri, akan merasa begitu nyaman saat berada di sini. dan kenyamanan itu juga dirasakan oleh Mia. Gadis itu baru saja bangun dari tidurnya setelah seharian kemarin ia menghabiskan waktu untuk membantu acara bakti sosial. setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Mia merapikan sedikit penampilannya sebelum ia keluar dari kamar dan bergabung dengan yang lain. dan sekarang di sinilah Mia, yaitu di tepian sungai kecil yang ada di ladang milik warga tak jauh dari penginapan. Ia sengaja jalan-jalan pagi untuk menikmati suasana pedesaan yang tak mungkin bisa ia dapatkan di Jakarta. Ia yakin hampir sembilan puluh persen dari Warga Jakarta menginginkan waktu yang seperti ini, melepaskan diri dari hiruk
Braakk! Mia terlonjak kaget saat sebuah buku terhempas di depannya. Ia baru saja akan menyuapi bakso yang baru saja ia pesan ke dalam mulutnya.Dengan kesal ia melihat siapa pelaku yang sudah mengganggu makan siangnya. Dan ternyata orang itu adalah Cleo sahabatnya sendiri."Lo apa-apaan sih Cleo?" teriak Mia kesal."Eiittss, jangan marah-marah dulu. Gue yakin lo bakalan ngucap syukur dan makasih ke gue waktu lo lihat apa yang ada dalam lembaran-lembaran kertas tersebut." ucap Cleo dengan PD nya.Mia menyipitkan matanya menatap Cleo curiga. "Lo habis nyolong ini dokumen di mana?""Ih! kok nyolong. Lo belum lihat isinya, tapi udah main tebak-tebakan aja. Mana ngatain gue nyolong lagi." kesalnya. Cleo meraih mangkuk bakso Mia dan tanpa permisi menyantap isinya dengan lahap. Sedangkan Mia, gadis itu meraih tumpukan kertas yang disatukan tersebut laku membukanya.Baru halaman pertama, Mia sudah dibuat melotot tak percaya."INFORMASI ADIT?" gumamnya pelan."Yuupp. Informasi Adit. Tepatnya
HACHUUU!Entah bersin yang ke berapa yang sudah Mia keluarkan hari ini. Sejak pulang dari kampus hujan-hujanan kemarin, ia merasa tak enak badan. Saat bangun tadi pagi, tubuhnya terasa panas dingin dan hidungnya meler tanpa henti.Ia bahkan sudah membeli obat di warung dekat rumahnya namun tetap tak mempan sama sekali. Mungkin ini karena perjalanannya yang kini semakin jauh dari kampus ke tempat tinggalnya.Pasalnya sejak dua hari yang lalu Mia tidak tinggal bersama keluarga Omnya lagi. Ia memutuskan untuk menyewa satu apartemen kecil yang berada cukup jauh dari kampusnya namun dekat dari kediaman Adit.Paham kan sekarang? Kenapa Mia rela jauh dari kampusnya, padahal kediaman om nya jauh lebih dekat dari kampus.Semua itu karena Adit.Mia memasang jaket tebalnya. Ia bermaksud untuk pergi berobat ke klinik yang berjarak tak jauh dari apartemennya. Hanya itu yang bisa ia tempuh dengan berjalan kaki. Karena mobil yang ia punya sedang berada di bengkel.Jam masih menunjukkan pukul delapan
Adit tiba di Klinik kembali. Ia baru saja mendapati kabar dari Tari jika Mia sudah sadar dari pingsannya. Dan kebetulan ia juga sudah selesai membeli makanan untuk gadis tersebut."Bagaimana Mia? Kamu sudah cek lagi kondisi dia?" tanya Adit.Tari mengangguk, "Sudah dokter. Semuanya sudah stabil. Pasien kini hanya mengeluhkan pusing." jawab Tari.Adit mengangguk paham. Setelah berterima kasih pada Tari, Adit langsung mendekati Mia yang sedang terbaring di ranjang yang ada di balik tirai.Saat ia membuka tirai tersebut, Mia yang tadi memejamkan mata langsung membuka matanya dan melihat siapa yang datang."Adit." panggilnya. Ia tersenyum lalu mencoba untuk duduk."Gimana kondisi lo?" tanya Adit sedikit dingin.Mia mengangguk ,"udah mendingan kok.""Baguslah kalau begitu. Jadi lo bisa pulang karena pasien lain juga ada." ucap Adit ketus.Mia seketika cemberut. "Bukannya tadi kau ingin mengantarkan aku pulang?" tanya Mia sembari mengangkat alisnya menggoda Adit."Itu tadi. Sekarang tidak l
"Lo gila ya Mia. Gue pikir lo itu pindah ke sini juga karena tahu Adit praktek di klinik dekat apartemen lo." ucap Cleo saat gadis itu memasuki apartemen Mia."Ya nggak lah! Gue nggak tahu dia di sana. Lagian nih ya, lo tahu kan mobil gue lagi di bengkel. Ya pas kondisi begini, gue nyarinya yang terdekat.""Tapi masa lo udah nggak mempan make obat warung?""Ck!" Mia berjalan menuju lemari TV nya. Ia mengambil sesuatu di sana dan memperlihatkannya pada Cleo. "Nih! Lo lihat kan? Dari semalam gue minum ini tapi nggak mempan. Udah takdir gue kali harus ketemu Adit hari ini." celetuk Mia di akhir kalimatnya.Cleo mencibir, "Itu sih mau-mau lo aja." Cleo berbaring di sofa panjang ruang TV. Ia melihat ke arah Mia. Gadis itu menyimpan sarapan yang tadi Adit berikan padanya."Lo beneran nggak mau makan tu bubur?" Tanya Cleo kaget.Mia dengan senyum lebarnya langsung menggeleng, "Nggak." jawabnya singkat."Ih! Jorok banget sih lo, Mia.""Biarin. Kan letaknya juga dalam freezer, jadi nggak akan