Laju mobil putih membelah kepadatan pusat kota siang itu. Di dalamnya, terdapat sepasang pria dan wanita yang sedang beradu argumen.
"Lihat saja, Darren, bundamu masih tidak mau menerimaku sebagai menantu. Percuma saja aku datang jauh-jauh dari Singapura jika yang kudapat cuma penolakan," ujar wanita cantik dengan dress salem gusar. "Tenang, Sayang. Bunda pasti menerima pernikahan kita, hanya tinggal menunggu waktu." Pria tampan di belakang kemudi berusaha fokus pada jalan. Meski demikian satu tangannya menggenggam tangan si wanita. "Sampai kapan? Dua tahun seperti ini. Aku lelah. Mungkin ucapan bundamu benar jika aku bukan calon istri yang baik." Wanita bernama Thea itu menepis sentuhan Darren. "Thea, kamu adalah calon istri terbaik. Ingat pesan dokter. Kamu tidak boleh stress," ujar Darren yang masih tampak sabar menghadapi omelan wanitanya. Pria itu bahkan menggapai kembali tangan Thea dan menciumnya. "Tapi aku juga- Darren, awass!!!" Thea tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena mobil yang mereka naiki hampir menabrak truk besar yang menyalip berlawanan arah. Darren refleks memutar kemudi untuk menghindar tapi yang terjadi justru mobil itu terguling sebelum akhirnya menabrak pembatas jalan. ** Tiga bulan kemudian. Suasana rumah sakit di tengah kota siang menjelang sore berlangsung seperti biasa. Dua tiga perawat berjalan di koridor yang hening. Satu pintu ruang inap kelas menengah terbuka dari dalam. Sosok wanita manis berpenampilan casual muncul lengkap dengan ekspresi murung. Irish namanya. Wanita dua puluh empat tahun itu baru saja mengunjungi adik perempuannya yang sejak satu bulan lalu dirawat karena penyakit jantung bawaan. "Pasien membutuhkan operasi segera." Masih terngiang bagaimana kata-kata dokter beberapa hari lalu mengenai kondisi sang adik. Irish tergelak lemah, selaras dengan langkahnya keluar dari bangunan rumah sakit. Tentu ia ingin operasi adiknya segera dilakukan. Tapi apalah daya jika tindakan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Terlebih wanita itu baru dua minggu bekerja di sebuah toko cake sebagai kasir. "Jam berapa ini?" Irish memeriksa jam tangan begitu sampai di halte bus terdekat. "Astaga! Aku hampir terlambat," rutuknya pada diri sendiri. Beruntung tak lama kemudian muncul bus yang akan membawanya ke sisi lain kota. Dan di sinilah Irish sekarang, dengan seragam putih dan hitam khas staff training dengan apron pink soft. "Kamu terlambat lima menit," ujar rekan kerja bernama Rani. "Iya, Kak." Irish tersenyum simpul lalu bergegas ke kasir untuk mengganti teman beda shift-nya. Dua jam kemudian, wanita dengan setelan sederhana memasuki toko cake dan roti bernuansa putih tersebut. Dengan ragu ia memeriksa tart cake beserta harganya lalu berjalan hati-hati menuju kasir. "Selamat sore, Ibu. Mau cari cake untuk acara apa?" sambut Irish dengan senyum ramah. "Mbak, saya mau beli cake ulang tahun untuk anak saya. Apa ada yang harganya di bawah seratus ribu?" Ibu tanpa nama itu memandangi satu per satu cake yang tersedia di etalase dekat kasir. Irish memandang wanita tersebut iba. Mendadak ia teringat akan mendiang ibunya yang menjadi single parent dan tulang punggung keluarga. Wanita tegar yang akan melakukan apa saja demi anak-anaknya hingga penyakit jantung merenggut nyawanya dua tahun silam. "Ibu pilih saja mau cake yang mana, hari ini kami ada diskon," ujar Irish lirih, khawatir ada orang lain yang mendengar. "Benar, Mbak?" seru si ibu tak percaya sekaligus senang. Irish mengangguk dan lima menit kemudian ia membungkus velvet cake dengan hiasan buah segar. Setelah si ibu pergi, ia menambahkan seratus lima puluh ribu pada mesin kasir. Nyatanya 'diskon' itu adalah idenya sendiri. Beberapa meter dari meja kasir, Irish tidak sadar jika tindak-tanduknya sedari tadi telah diperhatikan oleh dua orang. Wanita dengan dress merah yang tak lain adalah pemilik toko yang hari itu datang berkunjung dan Tina, si kepala toko. "Siapa dia?" tanya Nyonya Wina sambil terus memperhatikan Irish yang lanjut bekerja. "Dia kasir baru, Bu. Maaf, saya tidak tahu dia akan lancang seperti itu. Seharusnya saya lebih berhati-hati dalam menerima karyawati," Tina berucap sambil menundukkan kepala. "Tidak, minta dia temui saya sekarang juga." Nyonya Wina bersuara dengan wajah datar lalu memasuki ruangan khusus untuknya di lantai dua. Tak menunggu waktu lama, Irish telah berada di depan pintu ruangan Nyonya Wina yang tertutup. Wanita itu berulang kali membuang napas, berusaha tetap tenang walau ucapan Rani baru saja cukup mengusik pikirannya. "Hati-hati lho, Rish. Kalau Bu Wina sudah manggil biasanya negur terus langsung disuruh resign." Irish menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap kekhawatirannya tidak terjadi. Memangnya kesalahan apa yang telah ia lakukan? Dan lagi, ia sangat membutuhkan pekerjaan ini demi membayar biaya rumah sakit adik perempuannya, Nora. Tok. Tok. "Masuk." Dengan patuh wanita muda itu masuk setelah membuka pintu. Nyonya Wina duduk di kursi nyaman, membaca lembaran yang Irish yakini adalah CV atas namanya ketika melamar tiga minggu lalu. "Ibu memanggil saya?" tanya Irish ragu. "Ya, silahkan duduk. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan." Mendapat perintah seperti itu, Irish duduk di kursi lain. Meja kaca menjadi pemisah di antara mereka. Dengan harap-harap cemas wanita itu menunggu. "Siapa namamu?" "Irish, Bu." "Nama lengkap." "Irish Magnolia," jawab wanita muda itu. Ia sedikit bingung karena ini layaknya sesi interview bersama Tina. "Baik, Irish. Saya telah melihat apa yang kamu lakukan di toko saya. Kamu memberi diskon tanpa ijin? Kamu tahu itu telah melanggar SOP?" Wanita paruh baya dengan kulit bercahaya itu menatap Irish lurus. "Tentang itu saya minta maaf, Bu. Saya bisa menjelaskan kalau-" Irish gegas menerangkan tetapi terpotong. "Jangan panik begitu, saya memanggil kamu ke sini bukan untuk memberi hukuman." Tiba-tiba ekspresi Nyonya Wina melunak. "Ibu bukan mau memecat saya?" Irish memastikan posisinya. "Tidak, tentu saja tidak. Tapi saya ingin menawarkan pekerjaan lain." "Maaf, Bu?" Irish memandang si bos tak mengerti. "Saya tahu kamu sedang membutuhkan uang saat ini dan saya akan memberi bayaran yang pantas untuk pekerjaan baru. Tiga milyar?" tawar Nyonya Wina santai. Mendengar nominal itu, Irish menelan saliva. Pekerjaan apa yang akan wanita itu tawarkan dengan gaji fantastis? Bagaimana jika pekerjaannya melanggar hukum? Tapi uang itu lebih dari cukup untuk biaya operasi Nora. "Irish?" panggil Nyonya Wina saat mendapati wanita muda itu justru terdiam. "Ehm, iya Bu?" Lamunan Irish buyar begitu saja. "Bagaimana? Kamu berminat?" Nyonya Wina tersenyum. "Pekerjaan apa yang Anda maksud?" tanya Irish lirih, mirip cicitan. "Selama dua bulan dimulai dari hari ini, saya mau kamu berpura-pura menjadi calon menantu saya. Theana Waverly," terang Nyonya Wina padat, lugas tapi mampu membuat Irish nyaris ternganga. ***Sore itu juga Irish pergi bersama Nyonya Wina. Ia menurut saja ketika diminta memasuki mobil hitam yang tampak mewah nan mengilat. Bajunya juga telah berganti, bukan lagi seragam putih hitam. Ya, Irish menerima tawaran sang pemilik toko.Roda-roda mobil bergerak meninggalkan area toko cake. Kedua tangan Irish saling meremas di atas pangkuan. Wanita itu masih menimbang dalam hati apakah keputusannya tepat. "Saya melakukan ini demi Darren. Dia kehilangan penglihatan sejak kecelakaan tiga bulan lalu," ujar Nyonya Wina tanpa ditanya. "Tapi kenapa Ibu memilih saya?" "Karena secara fisik kamu sangat mirip dengan Thea."Demi kepercayaan Irish, Nyonya Wina mengambil ponsel dari dalam handbag dan membuka galeri. Tampak foto-foto wanita yang berpose sendirian dan juga bersama seorang pria. Irish berasumsi jika pria itulah putra Nyonya Wina. "Lihat ini." Nyonya Wina mengarahkan ponsel dengan layar menampilkan foto Thea. Benar, ia dan Thea sangatlah mirip. Yang membedakan hanyalah model ramb
Keheningan segera tercipta seusai Darren berbicara. Bahkan tiga pelayan di ruangan tersebut saling lirik dalam diam. Pria itu masih menunggu dengan pandangan lurus ke depan."Sekali-kali aku ingin mencoba udang, Darren. Tenang saja, aku sudah minum pil anti alergi," alih Irish dan Nyonya Wina mengangguk penuh kelegaan. "Jaga kesehatan, Sayang. Jangan membuatku khawatir," ujar Darren sembari tersenyum manis."Tentu." Irish mengangguk kecil lalu menunduk. Wajah tampan dan senyum mempesona pria itu, paduan yang mampu membuat pipinya memanas. Nyonya Wina memulai aktifitas makannya tanpa berkomentar. Sedangkan Irish masih mengamati bagaimana Darren makan. Nyatanya tingkah pria itu normal, ia bisa makan tanpa bantuan. Malam pertama di mansion megah, Irish mendapat kamar cukup luas di lantai dua. Satu koridor dengan beberapa kamar lain. Pelayan berwajah teduh mengantarnya hingga di depan pintu. "Jika Nona butuh sesuatu, jangan sungkan untuk memanggil saya.""Baiklah. Siapa namamu?" Irish
Mulut Irish terbuka lalu tertutup. Namun suaranya tak kunjung keluar. Ia tak menemukan alasan untuk menjawab hardikan putra kedua dari Nyonya Wina itu."Dengar, Thea, berhenti memberi pengaruh buruk pada kakakku! Tidak cukup bagimu telah membuatnya buta? Kau belum puas?"Irish terhenyak. Entah ia harus lega atau kesal menghadapi amarah Arthur. Kata-kata tak menyenangkan baru saja jelas untuk Thea. Dan Irish harus bersabar karena pria itu belumlah selesai. "Kau melakukan semua ini agar aku cemburu, bukan? Lupakan saja, hubungan kita sudah selesai saat itu. Jadi jangan ganggu hidup kakakku lagi!"Tangan Arthur mengepal tepat di samping wajah Irish yang masih berdiri bersandar. Irish menatap mata Arthur lekat. Meski bibirnya berujar kemarahan, sorot matanya mengatakan hal lain. "Sudah selesai? Bisakah aku membuat coklat panas untuk Darren sekarang?" tanya Irish. Pertanyaan polos yang Irish lontarkan meluruhkan emosi Arthur. Pria itu mematung dan membiarkan Irish pergi melenggang menuj
Arthur mencari keberadaan Irish setelah menutup panggilan. Wanita cantik itu tidak terlihat padahal beberapa saat lalu masih ada kenampakannya bersama gadis kecil. "Ke mana dia?" Arthur yang petang itu mengenakan cardigan hijau tua dan celana khaki mulai berjalan. Sementara itu Irish tak menyangka jika di toilet wanita itu akan bertemu sepupu dari pihak ibunya, Winda. Usai memastikan situasi aman, Irish menghambur ke pelukan wanita itu. "Lama tidak ada kabar, kamu makin cantik," komentar Winda seraya memperhatikan setelan mahal saudaranya itu. Terakhir mereka bertemu sekitar satu tahun lalu di acara reuni keluarga. "Kamu juga cantik, Win," balas Irish senang. "Kamu masih tinggal di kontrakan lama? Kemarin aku main ke sana ternyata kosong.""Aku tinggal di mess karyawan," jawab Irish asal. "Kerja di mana sekarang memangnya?"Pertanyaan yang paling Irish hindari kini terdengar. Tak mungkin ia mengatakan dengan jujur tentang pekerjaannya. Irish mulai memutar otak."Aku merawat ora
Irish terkejut akan serangan Arthur yang tiba-tiba. Tubuhnya yang ramping tentu tidak sanggup menahan bobot pria yang tinggi dan proporsional itu. Ditambah Arthur yang dalam keadaan lemas. Dua orang seketika terjatuh kembali ke ranjang dengan Irish pada sisi bawah."Arthur, lepaskan!" Irish meronta."Tidak, aku ingin memelukmu sepuasnya. Selama ini aku selalu cemburu tiap kali kamu dekat dengan Kak Darren." Nada bicara Arthur tak jauh berbeda dengan bocah tujuh tahun yang sedang merajuk."Tapi aku kesulitan bernafas, lepaskan aku," ujar Irish melunak."Baiklah, aku terlalu bersemangat. Maafkan aku." Arthur mengubah posisi sehingga Irish akhirnya bisa menarik napas lega."Jadi ini benar-benar mimpi, Thea?" Arthur masih mengulum senyum. Tak tampak lagi sikap angkuh dan menyebalkan ketika mereka berbelanja kemarin. Saat ini Irish bagai melihat sisi lain Arthur.'Dia terlihat sangat manis jika seperti ini,' ucap Irish dalam hati."Apa boleh aku memelukmu lagi?" Arthur menatap manik mata I
Tengah malam. Suasana mansion telah lengang. Belasan pelayan pun telah beristirahat di paviliun khusus, dekat taman mawar halaman belakang.Irish membuka pintu kamarnya secara perlahan. Beberapa penerangan di koridor diatur menjadi lebih redup. Wanita itu berjalan mengendap. Lagaknya mirip seseorang yang ingin melakukan aksi rahasia.Setelah berhasil turun ke lantai dasar, ia berbelok menuju dapur. Perutnya merasa lapar dan ia tidak bisa tidur saat lapar. Maka, ia hendak mengambil sedikit cake atau apapun yang berada di sana.Ruangan dapur yang luas sangat terang ketika siang hari. Karena satu sisi jendela lebarnya didesain menerima cahaya matahari secara langsung. Tapi saat malam hari, Irish tidak menyangka jika suasananya sedikit membuat merinding."Aku cuma akan mengambil cake dan es krim lalu kembali ke kamar," gumamnya sendiri. Kaki telah mendekati tiga lemari pendingin yang berjejer di sudut.Namun dari arah westafel yang cukup gelap, muncul sesosok wanita dengan dress putih sel
Irish membanting tubuhnya di ranjang. Tubuhnya memang tidak terlalu lelah, tetapi isi dalam kepalanya terus berkecamuk. Berkali ia tak memahami apa yang sedang Darren katakan. Bukan hanya masalah komunikasi, Irish ternyata sama sekali tak memahami bagaimana karakter Thea sesungguhnya.Hari ini saja ia sudah dua kali meralat ucapannya sendiri. Beruntung sepertinya Darren percaya saja. Nyonya Wina juga tak mau membahas Thea lebih jauh. Irish merasa segan jika terus menerus bertanya.'Sepertinya aku harus mencari tahu sendiri. Jika kamar ini benar milik Thea pasti ada petunjuk yang dia tinggalkan,' tekad Irish.Irish menatap jam dinding, masih ada waktu satu jam sebelum makan malam. Setidaknya tidak akan ada yang mencarinya hingga beberapa saat ke depan.Wanita itu terduduk, mengamati sekitar. Ruangan bercat ungu soft itu terdiri dari ranjang, meja rias dengan lampu-lampu tepi cermin, lengkap dengan produk-produk perawatan mahal. Pun parfum beraneka merk ternama terpajang rapi di lemari
Beat musik menghentak oleh DJ menyambut indera pendengaran Arthur ketika ia baru menapaki club malam tengah kota. Mendekati tengah malam, suasana tempat yang didominasi muda mudi itu semakin ramai.Arthur duduk di kursi tinggi depan meja bartender. Menatap sekitar dengan perasaan enggan. Ia pun tak tahu mengapa harus datang ke tempat ini. Yang Arthur tahu setiap kali bertemu Thea di mansion, ia ingin melarikan diri. Netra cantik wanita itu masih membuatnya tenggelam. Tak peduli berapa berkali Thea telah menorehkan luka. Benci dan cinta, kini bercampur dalam hati Arthur."Beri aku whiskey," pinta Arthur pada bartender muda berseragam hitam.Sembari menikmati minuman di gelas sloki, Arthur memandang arah lantai dansa. Orang-orang itu bergerak sesuai dengan irama. Seseorang menepuk pundak Arthur."Kau datang, buddy?" Pria sebaya duduk di sampingnya dengan tangan membawa segelas tequila."Sedang bosan di rumah. Kau sendirian?" alih Arthur yang kemudian menandaskan minumannya."Tadinya ak
Arthur sedang berbincang santai dengan beberapa kolega ketika ia menyadari Irish sudah cukup lama tidak terlihat. Sekilas ia melirik ke sekeliling ballroom, tetapi bayangan Irish sama sekali tak tampak.'Ke mana dia pergi? Dia tidak kenal siapa pun di sini. Dia pasti merasa canggung.' Arthur berujar dalam hati.Arthur meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Irish. Nada sambung terdengar, tetapi tak lama panggilan itu terputus. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan masuk di ponselnya:“Aku harus menyelesaikan sesuatu. Kalian pulang saja duluan, aku akan menyusul nanti.”Arthur mengerutkan kening. Pesan itu terasa tidak wajar, apalagi Irish biasanya tidak meninggalkan Darren tanpa alasan yang jelas.Beberapa detik lalu.Di sebuah kamar VIP yang telah Xander atur, Irish duduk terpojok dengan wajah ketakutan. Pedro berdiri di sudut dengan senyuman penuh ejekan, sementara Xander memainkan ponsel Irish di tangannya.“Arthur selalu menjadi pria yang terlalu percaya diri. Dia pasti akan mene
Irish mengejar Darren yang memutuskan pergi seusai berbicara sejenak dengan Arthur, menyusuri lorong hotel yang sepi. “Darren, tunggu! Apa yang tadi kamu dengar itu tidak seperti yang mereka maksud. Aku bisa menjelaskan!” Darren menghentikan langkahnya, tetapi tidak langsung menoleh ke Irish. Ia berdiri dengan bahu yang tegang, seolah sedang menahan sesuatu yang berat. “Kamu tidak perlu menjelaskan, Thea...” Terdapat jeda panjang sebelum ia melanjutkan. “Aku hanya... ingin sendiri untuk sementara.” Irish mendekat, suaranya bergetar. “Aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi aku bisa membantumu melewati ini. Kumohon, jangan menutup diri." Darren menundukkan kepala, tangan kanannya menggenggam tongkat yang biasa ia gunakan untuk berjalan. “Aku menghargai niatmu, tapi aku benar-benar butuh waktu sendiri sekarang. Beri aku waktu untuk berpikir.” Irish terdiam. Rasa bersalah dan kekhawatiran menguasainya, tetapi dia tahu memaksa tidak akan membantu. “Kalau begitu... setidaknya biarkan
Ballroom megah hotel bintang lima itu dipenuhi para tamu undangan yang mengenakan pakaian formal terbaik mereka. Lampu kristal besar di langit-langit memancarkan kilauan mewah, sementara musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan. Darren masuk dengan Irish di sisinya. Meski tak bisa melihat, Darren tetap membawa aura percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membuatnya tampak berwibawa. Di sampingnya, Irish—yang mengenakan gaun biru tua dengan detail sederhana namun elegan—terlihat berusaha tetap tenang meski pikirannya berkecamuk. Xander Greystone, tuan rumah malam itu, segera memperhatikan kedatangan mereka. Dengan langkah penuh kemant, ia mendekati Darren, menyunggingkan senyum ramah yang tidak sepenuhnya tulus. "Darren, sungguh sebuah kehormatan kau bisa datang," ujar Xander sambil menjabat tangan Darren dengan hangat. "Terima kasih atas undangannya, Tuan Greystone," balas Darren dengan nada ramah, meskipun gestur tubuhnya kaku. Ia tidak sepenuhnya nyaman dengan suasa
Irish mengikuti Arthur dengan langkah gugup. Tatapan pria itu membuatnya merasa seolah seluruh rahasianya telah dibongkar. Mereka berhenti di teras belakang, tempat angin sejuk bertiup lembut, membawa aroma bunga mawar dari taman. Kebetulan tidak ada pelayan dan penjaga yang berseliweran di titik itu.Arthur memutar tubuhnya, menatap Irish dengan ekspresi dingin. "Kenapa kamu di sini, Irish?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Irish tercekat. Nama itu keluar dari bibir Arthur tanpa keraguan, dan semua upaya untuk tetap menjadi Thea seketika runtuh. Dia mencoba menyangkal, tapi tatapan tajam Arthur membuatnya tahu bahwa itu sia-sia. "Aku... aku cuma berniat membantu Darren," jawab Irish pelan, menundukkan kepala. "Dia membutuhkan seseorang." Arthur mendengus, menyilangkan tangan di dada. "Membantu Darren? Dengan berpura-pura menjadi Thea? Kamu sadar apa yang kamu lakukan, Irish? Kamu bermain dengan api." Irish mengangkat wajahnya, menatap Arthur dengan tatapan memohon. "Aku ti
Pagi itu, ruangan terasa hangat meski angin sejuk menyusup dari jendela terbuka. Cahaya matahari yang lembut menyinari lantai kayu, menciptakan pola cahaya dan bayangan di sekitarnya. Irish menangkap raut tak biasa yang Darren tunjukkan. Setelah beberapa saat, dia menghembuskan napas dan akhirnya melanjutkan kalimat."Darren," suara Irish terdengar lembut. "Aku ingin mencoba melukis ... mungkin ini cara yang baik untuk menghabiskan waktu bersama."Darren tersenyum. Wajahnya sudah tampak lebih tenang meskipun matanya kosong. Kuas dan aroma cat adalah hal yang membuatnya muak saat ini, tetapi ia takkan mampu menolak apapun keinginan wanita di depannya."Melukis?" Darren tersenyum lembut. "Sejak kapan kamu tertarik melukis?"Irish tersenyum canggung. "Aku pikir... aku bisa mencoba belajar darimu." Tatapannya sedikit menghindar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Mungkin ini bisa jadi cara baru bagi kita untuk terhubung. Kamu tau, ingatanku ...."Cuma Irish yang tahu jika ini cuma a
Malam semakin larut, Darren terbaring di tempat tidurnya, wajahnya berkeringat meski malam itu udara cukup dingin. Dalam tidur yang gelisah, ia terperangkap dalam mimpi buruk yang sering menghantui setiap malam. Mimpi itu selalu membawa Darren kembali ke hari yang mengubah segalanya.Darren yang masih mengenakan seragam putih abu-abu mengemudi di jalan berliku yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Matahari mulai terbenam, menciptakan bayangan panjang di jalan. Deo, sahabatnya duduk di samping. Tertawa dan bercanda tentang rencana mereka untuk masa depan. Suasana di dalam mobil itu begitu riang dan menyenangkan."Aku punya kabar bagus, Darren, aku hampir menyelesaikan lukisan terbesarku," kata Deo dengan semangat. "Aku yakin kali ini karyaku akan masuk galeri yang selama kuimpikan.""Aku tidak sabar melihatnya. Sejak dulu aku tahu kau memang berbakat." Darren tersenyum bangga. Sesekali ia menoleh pada Deo lalu kembali fokus pada jalan.Namun, dalam sekejap, suasana itu berubah. Sebua
Tak butuh waktu lama bagi Arthur untuk mengganti setelan kantornya menjadi pakaian yang lebih nyaman digunakan. Sedang di area piano, dua sejoli itu masih bercengkrama. Diiringi canda dan tawa kecil khas pasangan. Mendengar langkah kaki mendekat, sepertinya Darren sadar jika itu adalah adik semata wayangnya. Ia memanggil Arthur yang sedianya ingin melewati mereka begitu saja."Ada apa?" Ia menatap Darren dan Irish bergantian."Apa kau sibuk?""Tidak juga. Aku sedang ingin berjalan-jalan di halaman belakang." Pria muda itu mengangkat bahu."Kebetulan sekali. Thea sedang ingin mencari udara segar. Maukah kamu menemaninya keluar?" Darren memasang senyum tenang seperti biasanya. Arthur diam sejenak, ia melirik Irish yang langsung memalingkan wajah. Entah ini ide siapa, yang jelas ia takkan menolak. Karena ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan pada wanita itu."Ya, bukan masalah. Mari, kakak ipar," ajak Arthur dan Irish mengangkat dagu demi bisa menatapnya."Baiklah, pastikan kalian be
Arthur menggenggam erat surat ditangan. Kepalanya tergeleng samar, tak menyangka akan apa yang telah ia temukan. "Ini ... perjanjian antara bunda dan Irish? Untuk berpura-pura menjadi Thea dan membujuk Darren untuk menerima donor mata?"Tak butuh waktu lama pria muda itu segera kembali menemui sang ibu. Surat perjanjian masih berada di tangannya. Ia berjalan cepat. Dengan wajah tegang, Arthur mengkonfrontasi Nyonya Wina."Apa maksudnya ini, Bunda? Kenapa ada surat perjanjian seperti ini?" Ia letakkan map di atas meja, tepat di hadapan sang ibu.Nyonya Wina terkejut tapi mencoba tetap tenang. Sebelum menghadapi sang putra kedua, ia harus memastikan jika di sekitar mereka aman. Sedangkan beberapa meter arah pukul tiga terdapat seorang pelayan yang hendak mengantar selimut untuk Darren."Arthur, sabar dulu. Mari kita bicara di tempat yang lebih tenang," ajaknya dengan gaya anggun dan kalem seperti biasanya.Dengan patuh, Arthur mengikuti langkah sang ibu kembali ke ruang kerja. Nyonya Wi
Matahari mulai kembali ke peraduan. Langit jingga berangsur menjadi biru gelap. Desau angin yang menemani hujan, datang bersama senandung binatang malam.Arthur dan Irish duduk di kursi rumah kayu yang lebih tepat dikatakan pondok, ditemani penerangan lampu kecil yang temaram. Keheningan di antara mereka terasa nyaman, hanya diiringi suara hujan yang menetes di atap.Tangan Arthur meraih sebuah selimut tua yang ditemukan di sudut dan memberikannya kepada Irish. "Ini, pakai selimut ini.""Terima kasih."Kembali mereka terlibat dalam percakapan ringan. Tidak nampak kecanggungan di antara kedua orang itu. Meski demikian, Arthur secara tersirat memancing supaya Irish mau membuka diri padanya."Apa rencanamu setelah ini? Menikah dengan Kak Darren?" "Tidak, aku tidak berpikir sejauh itu," sahut Irish. Netranya menerawang melalui jendela persegi tanpa tirai."Bukankah tujuan dari hubungan kalian adalah pernikahan?" Arthur nyaris tersenyum."Hm, maksudku aku dan Darren masih muda, masih jauh