Share

Ingin Melupakan

Arthur mencari keberadaan Irish setelah menutup panggilan. Wanita cantik itu tidak terlihat padahal beberapa saat lalu masih ada kenampakannya bersama gadis kecil.

"Ke mana dia?" Arthur yang petang itu mengenakan cardigan hijau tua dan celana khaki mulai berjalan.

Sementara itu Irish tak menyangka jika di toilet wanita itu akan bertemu sepupu dari pihak ibunya, Winda. Usai memastikan situasi aman, Irish menghambur ke pelukan wanita itu.

"Lama tidak ada kabar, kamu makin cantik," komentar Winda seraya memperhatikan setelan mahal saudaranya itu. Terakhir mereka bertemu sekitar satu tahun lalu di acara reuni keluarga.

"Kamu juga cantik, Win," balas Irish senang.

"Kamu masih tinggal di kontrakan lama? Kemarin aku main ke sana ternyata kosong."

"Aku tinggal di mess karyawan," jawab Irish asal.

"Kerja di mana sekarang memangnya?"

Pertanyaan yang paling Irish hindari kini terdengar. Tak mungkin ia mengatakan dengan jujur tentang pekerjaannya. Irish mulai memutar otak.

"Aku merawat orang sakit," ujar Irish akhirnya.

"Ohh ...." Winda mengangguk lebih dari sekali tetapi sorot matanya tidak sepenuhnya percaya.

Obrolan mereka berhenti ketika ponsel di tas kecil Irish berbunyi. Nyonya Wina menelepon. Kini wanita itu bimbang hendak mengangkatnya di depan Winda atau mengacuhkan saja.

"Win, maaf bosku telepon," ijin Irish lalu bergeser beberapa meter dan ketika berbalik sepupunya itu telah menghilang.

Butuh waktu sepuluh menit hingga Arthur menemukan Irish. Ia urung protes setelah mengetahui wanita itu keluar dari toilet wanita. Bicara seperlunya, Arthur cuma menyampaikan apa-apa saja yang harus dibeli.

"Anggur merah, strawberry, dan melon Jepang ...," ulang Irish menirukan ucapan Arthur. Tampak menggemaskan. Arthur meliriknya sekilas lalu mengalihkan pandangan.

"Jangan lupa buah kesukaan Kak Darren," ujar Arthur begitu semua pesanan bundanya lengkap di troli belanja.

"Kesukaan Darren?" Irish kembali ke rak buah, tapi tak mengambil apapun. Hanya diam seperti orang linglung.

"Pear ada di sana, apa lagi yang kau tunggu?"

"Iya, maaf," pungkas Irish lalu segera mencomot beberapa pear yang tampak segar.

Karena tak membutuhkan apa-apa lagi, mereka pun pulang. Usai makan malam, Arthur mengurung diri di kamar. Pikirannya kacau karena satu orang. Satu wanita yang ia kira adalah Thea, mantan kekasihnya lebih dari dua tahun lalu.

Di dalam kamarnya yang hening, ingatan Arthur melayang pada kejadian tiga tahun lalu.

"Do you love me?" Wanita dengan rambut ombre coklat meletakkan kepalanya pada bahu Arthur.

Arthur tergelak kecil. Entah sudah berapa kali wanita bernama Theana Waverly menanyakan hal yang sama. Dan seperti sebelumnya juga, ia akan menjawab dengan tenang.

"I do love you. Kenapa selalu bertanya? Tidak percaya padaku?" Arthur menjawil gemas ujung hidung Thea.

Mendapat pertanyaan demikian, Thea cuma menggeleng lalu melanjutkan aktifitasnya membaca novel terjemahan. Dua orang itu sedang berada di lapangan basket kampus yang sepi.

Mereka yang masih menjadi mahasiswa di salah satu kampus ternama di Singapura, sering menghabiskan waktu bersama. Kisah cinta keduanya indah, teman-teman dan penghuni kampus adalah saksinya.

Hingga suatu ketika badai datang menerpa. Thea menjadi sulit ditemui maupun dihubungi. Bukan cuma sekali Arthur memergoki wanita itu pergi ke club malam bersama teman-teman prianya.

"Aku cuma bermain-main, tugas kampus membuatku lelah," dalih Thea yang dengan santainya merokok di depan Arthur.

"Buang benda itu!" Arthur merebut rokok dan membuangnya. "Sejak kapan kamu merokok?" tanya pria itu tak percaya.

"Jangan sok mengaturku! Kamu tidak ada hak sama sekali. Sudah, malam ini aku ada janji dengan seorang teman. Bye ...." Thea melenggang pergi dengan santai usai melambaikan tangan.

Perubahan Thea masih bisa Arthur maklumi. Tapi tidak dengan kesalahan setelahnya. Suatu malam, ia datang ke hotel bintang tiga atas saran seorang teman. Teman yang mengatakan telah melihat Thea datang ke tempat itu bersama pria tak dikenal.

Semula Arthur tidak percaya. Tapi ia langkahkan juga kaki pada pintu unit kamar di lantai tiga itu. Ketukan pertama tidak mendapat jawaban, hingga pada ketukan kedua pintu terbuka. Menampilkan sosok Thea terbalut dress bodicon hitam yang ketat.

"Arthur ...," ucap Thea lirih. Tak menyangka pria itu yang datang dan mengetuk.

"Siapa yang datang? Tutup pintunya dan cepat kemari!" seru pria paruh baya dengan perut buncit memakai handuk kimono putih. Pria itu dan Arthur sempat bertemu tatap. Thea yang panik cepat-cepat keluar dan menutup pintu.

"Arthur, aku bisa menjelaskan. Sebenarnya-"

"Apa?" potong Arthur. "Kau ingin mengatakan ini cuma salah paham? Tidak, Thea. Semua sudah jelas. Aku mundur dari hubungan ini." Arthur memberi senyum penuh luka sebelum membalikkan badan.

Thea mengejar hingga di depan lift. Wanita itu bersikeras jika semua hanya salah paham dan meminta Arthur mau memaafkannya. Namun Arthur bagai tak mendengar tetap memasuki lift dan malam itu menjadi akhir dari hubungan mereka.

Arthur mengira akan terlepas dari Thea dan hidup tenang setelah itu. Namun takdir berkata lain. Beberapa bulan kemudian, sang kakak membawa Thea ke mansion mereka. Memperkenalkan wanita itu sebagai kekasihnya.

**

Mendung malam ini melingkupi langit di sekitar mansion. Hanya sedikit bintang yang tampak. Arthur membawa kotak berukuran sedang ke halaman belakang.

Di temani lampu yang temaram, pria itu meletakkan kotak dan mengambil satu per satu isinya dan mengamati sebelum membuangnya di tong kosong yang telah ia siapkan sebelumnya.

Lembar demi lembar foto Thea dan kebersamaan mereka. Arthur tidak bisa menentukan perasannya saat ini. Sedih atau sekedar kosong. Kehadiran sosok Thea sejak dua hari kemarin cukup mengusik hatinya. Terlebih sikap wanita itu kembali manis dan polos, seperti Thea yang pertama kali ia kenal dulu.

Setelah semua foto-foto itu jatuh ke dalam tong, Arthur mengambil pemantik. Tak butuh waktu lama api membakar semuanya. Semua foto kenangan dan senyum menawan Thea di dalamnya.

Di salah satu sudut mansion lantai dua, Nyonya Wina mengawasi tingkah laku putra keduanya. Arthur di luar sana tetap diam memandangi api yang menjilat ke segala arah. Hingga hujan turun tak lama kemudian, pria itu tetap tak bergeming.

Seorang pelayan pria berjalan tergopoh mendekat dengan payung mengembang. Ia mendekati Arthur.

"Tuan, mari kita masuk."

Arthur cuma mengangguk singkat lalu berjalan menjauhi tong yang apinya telah padam. Dengan tubuh basah kuyup ia naik ke kamarnya di lantai dua. Berpapasan dengan Irish, ia langsung membuang muka. Tak peduli walau sepertinya wanita itu ingin menyapa.

Ia cuma ingin mandi dan tidur. Berharap setelan ini perasaannya untuk Thea segera lenyap.

Esok paginya, Arthur membuka mata dengan kondisi tubuh tak biasa. Badannya yang sejak beberapa hari lalu tidak fit ditambah hujan semalam, nampaknya cukup menumbangkan kesehatannya.

Pria itu bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang ketika seseorang memasuki kamarnya. Arthur hanya diam mengetahui itu Irish. Membawa nampan berisi segelas susu yang masih mengepul.

"Thea, apa ini mimpi?" Arthur dengan kepala berputar-putar bertanya.

Irish cuma tersenyum dan meletakkan susu di nakas. Tugasnya di kamar itu sudah selesai dan ia akan keluar. Namun tanpa aba-aba Arthur menariknya dalam pelukan.

"Arthur apa-apaan ini?" Irish berusaha melepaskan diri. Di saat yang sama ia merasakan hawa panas. Pria itu demam.

"Diamlah. Aku ingin kita seperti ini sebentar saja ...." Arthur memeluk wanita itu tanpa menyadari jika ini bukanlah mimpi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status