Arthur mencari keberadaan Irish setelah menutup panggilan. Wanita cantik itu tidak terlihat padahal beberapa saat lalu masih ada kenampakannya bersama gadis kecil.
"Ke mana dia?" Arthur yang petang itu mengenakan cardigan hijau tua dan celana khaki mulai berjalan. Sementara itu Irish tak menyangka jika di toilet wanita itu akan bertemu sepupu dari pihak ibunya, Winda. Usai memastikan situasi aman, Irish menghambur ke pelukan wanita itu. "Lama tidak ada kabar, kamu makin cantik," komentar Winda seraya memperhatikan setelan mahal saudaranya itu. Terakhir mereka bertemu sekitar satu tahun lalu di acara reuni keluarga. "Kamu juga cantik, Win," balas Irish senang. "Kamu masih tinggal di kontrakan lama? Kemarin aku main ke sana ternyata kosong." "Aku tinggal di mess karyawan," jawab Irish asal. "Kerja di mana sekarang memangnya?" Pertanyaan yang paling Irish hindari kini terdengar. Tak mungkin ia mengatakan dengan jujur tentang pekerjaannya. Irish mulai memutar otak. "Aku merawat orang sakit," ujar Irish akhirnya. "Ohh ...." Winda mengangguk lebih dari sekali tetapi sorot matanya tidak sepenuhnya percaya. Obrolan mereka berhenti ketika ponsel di tas kecil Irish berbunyi. Nyonya Wina menelepon. Kini wanita itu bimbang hendak mengangkatnya di depan Winda atau mengacuhkan saja. "Win, maaf bosku telepon," ijin Irish lalu bergeser beberapa meter dan ketika berbalik sepupunya itu telah menghilang. Butuh waktu sepuluh menit hingga Arthur menemukan Irish. Ia urung protes setelah mengetahui wanita itu keluar dari toilet wanita. Bicara seperlunya, Arthur cuma menyampaikan apa-apa saja yang harus dibeli. "Anggur merah, strawberry, dan melon Jepang ...," ulang Irish menirukan ucapan Arthur. Tampak menggemaskan. Arthur meliriknya sekilas lalu mengalihkan pandangan. "Jangan lupa buah kesukaan Kak Darren," ujar Arthur begitu semua pesanan bundanya lengkap di troli belanja. "Kesukaan Darren?" Irish kembali ke rak buah, tapi tak mengambil apapun. Hanya diam seperti orang linglung. "Pear ada di sana, apa lagi yang kau tunggu?" "Iya, maaf," pungkas Irish lalu segera mencomot beberapa pear yang tampak segar. Karena tak membutuhkan apa-apa lagi, mereka pun pulang. Usai makan malam, Arthur mengurung diri di kamar. Pikirannya kacau karena satu orang. Satu wanita yang ia kira adalah Thea, mantan kekasihnya lebih dari dua tahun lalu. Di dalam kamarnya yang hening, ingatan Arthur melayang pada kejadian tiga tahun lalu. "Do you love me?" Wanita dengan rambut ombre coklat meletakkan kepalanya pada bahu Arthur. Arthur tergelak kecil. Entah sudah berapa kali wanita bernama Theana Waverly menanyakan hal yang sama. Dan seperti sebelumnya juga, ia akan menjawab dengan tenang. "I do love you. Kenapa selalu bertanya? Tidak percaya padaku?" Arthur menjawil gemas ujung hidung Thea. Mendapat pertanyaan demikian, Thea cuma menggeleng lalu melanjutkan aktifitasnya membaca novel terjemahan. Dua orang itu sedang berada di lapangan basket kampus yang sepi. Mereka yang masih menjadi mahasiswa di salah satu kampus ternama di Singapura, sering menghabiskan waktu bersama. Kisah cinta keduanya indah, teman-teman dan penghuni kampus adalah saksinya. Hingga suatu ketika badai datang menerpa. Thea menjadi sulit ditemui maupun dihubungi. Bukan cuma sekali Arthur memergoki wanita itu pergi ke club malam bersama teman-teman prianya. "Aku cuma bermain-main, tugas kampus membuatku lelah," dalih Thea yang dengan santainya merokok di depan Arthur. "Buang benda itu!" Arthur merebut rokok dan membuangnya. "Sejak kapan kamu merokok?" tanya pria itu tak percaya. "Jangan sok mengaturku! Kamu tidak ada hak sama sekali. Sudah, malam ini aku ada janji dengan seorang teman. Bye ...." Thea melenggang pergi dengan santai usai melambaikan tangan. Perubahan Thea masih bisa Arthur maklumi. Tapi tidak dengan kesalahan setelahnya. Suatu malam, ia datang ke hotel bintang tiga atas saran seorang teman. Teman yang mengatakan telah melihat Thea datang ke tempat itu bersama pria tak dikenal. Semula Arthur tidak percaya. Tapi ia langkahkan juga kaki pada pintu unit kamar di lantai tiga itu. Ketukan pertama tidak mendapat jawaban, hingga pada ketukan kedua pintu terbuka. Menampilkan sosok Thea terbalut dress bodicon hitam yang ketat. "Arthur ...," ucap Thea lirih. Tak menyangka pria itu yang datang dan mengetuk. "Siapa yang datang? Tutup pintunya dan cepat kemari!" seru pria paruh baya dengan perut buncit memakai handuk kimono putih. Pria itu dan Arthur sempat bertemu tatap. Thea yang panik cepat-cepat keluar dan menutup pintu. "Arthur, aku bisa menjelaskan. Sebenarnya-" "Apa?" potong Arthur. "Kau ingin mengatakan ini cuma salah paham? Tidak, Thea. Semua sudah jelas. Aku mundur dari hubungan ini." Arthur memberi senyum penuh luka sebelum membalikkan badan. Thea mengejar hingga di depan lift. Wanita itu bersikeras jika semua hanya salah paham dan meminta Arthur mau memaafkannya. Namun Arthur bagai tak mendengar tetap memasuki lift dan malam itu menjadi akhir dari hubungan mereka. Arthur mengira akan terlepas dari Thea dan hidup tenang setelah itu. Namun takdir berkata lain. Beberapa bulan kemudian, sang kakak membawa Thea ke mansion mereka. Memperkenalkan wanita itu sebagai kekasihnya. ** Mendung malam ini melingkupi langit di sekitar mansion. Hanya sedikit bintang yang tampak. Arthur membawa kotak berukuran sedang ke halaman belakang. Di temani lampu yang temaram, pria itu meletakkan kotak dan mengambil satu per satu isinya dan mengamati sebelum membuangnya di tong kosong yang telah ia siapkan sebelumnya. Lembar demi lembar foto Thea dan kebersamaan mereka. Arthur tidak bisa menentukan perasannya saat ini. Sedih atau sekedar kosong. Kehadiran sosok Thea sejak dua hari kemarin cukup mengusik hatinya. Terlebih sikap wanita itu kembali manis dan polos, seperti Thea yang pertama kali ia kenal dulu. Setelah semua foto-foto itu jatuh ke dalam tong, Arthur mengambil pemantik. Tak butuh waktu lama api membakar semuanya. Semua foto kenangan dan senyum menawan Thea di dalamnya. Di salah satu sudut mansion lantai dua, Nyonya Wina mengawasi tingkah laku putra keduanya. Arthur di luar sana tetap diam memandangi api yang menjilat ke segala arah. Hingga hujan turun tak lama kemudian, pria itu tetap tak bergeming. Seorang pelayan pria berjalan tergopoh mendekat dengan payung mengembang. Ia mendekati Arthur. "Tuan, mari kita masuk." Arthur cuma mengangguk singkat lalu berjalan menjauhi tong yang apinya telah padam. Dengan tubuh basah kuyup ia naik ke kamarnya di lantai dua. Berpapasan dengan Irish, ia langsung membuang muka. Tak peduli walau sepertinya wanita itu ingin menyapa. Ia cuma ingin mandi dan tidur. Berharap setelan ini perasaannya untuk Thea segera lenyap. Esok paginya, Arthur membuka mata dengan kondisi tubuh tak biasa. Badannya yang sejak beberapa hari lalu tidak fit ditambah hujan semalam, nampaknya cukup menumbangkan kesehatannya. Pria itu bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang ketika seseorang memasuki kamarnya. Arthur hanya diam mengetahui itu Irish. Membawa nampan berisi segelas susu yang masih mengepul. "Thea, apa ini mimpi?" Arthur dengan kepala berputar-putar bertanya. Irish cuma tersenyum dan meletakkan susu di nakas. Tugasnya di kamar itu sudah selesai dan ia akan keluar. Namun tanpa aba-aba Arthur menariknya dalam pelukan. "Arthur apa-apaan ini?" Irish berusaha melepaskan diri. Di saat yang sama ia merasakan hawa panas. Pria itu demam. "Diamlah. Aku ingin kita seperti ini sebentar saja ...." Arthur memeluk wanita itu tanpa menyadari jika ini bukanlah mimpi. ***Irish terkejut akan serangan Arthur yang tiba-tiba. Tubuhnya yang ramping tentu tidak sanggup menahan bobot pria yang tinggi dan proporsional itu. Ditambah Arthur yang dalam keadaan lemas. Dua orang seketika terjatuh kembali ke ranjang dengan Irish pada sisi bawah."Arthur, lepaskan!" Irish meronta."Tidak, aku ingin memelukmu sepuasnya. Selama ini aku selalu cemburu tiap kali kamu dekat dengan Kak Darren." Nada bicara Arthur tak jauh berbeda dengan bocah tujuh tahun yang sedang merajuk."Tapi aku kesulitan bernafas, lepaskan aku," ujar Irish melunak."Baiklah, aku terlalu bersemangat. Maafkan aku." Arthur mengubah posisi sehingga Irish akhirnya bisa menarik napas lega."Jadi ini benar-benar mimpi, Thea?" Arthur masih mengulum senyum. Tak tampak lagi sikap angkuh dan menyebalkan ketika mereka berbelanja kemarin. Saat ini Irish bagai melihat sisi lain Arthur.'Dia terlihat sangat manis jika seperti ini,' ucap Irish dalam hati."Apa boleh aku memelukmu lagi?" Arthur menatap manik mata I
Tengah malam. Suasana mansion telah lengang. Belasan pelayan pun telah beristirahat di paviliun khusus, dekat taman mawar halaman belakang.Irish membuka pintu kamarnya secara perlahan. Beberapa penerangan di koridor diatur menjadi lebih redup. Wanita itu berjalan mengendap. Lagaknya mirip seseorang yang ingin melakukan aksi rahasia.Setelah berhasil turun ke lantai dasar, ia berbelok menuju dapur. Perutnya merasa lapar dan ia tidak bisa tidur saat lapar. Maka, ia hendak mengambil sedikit cake atau apapun yang berada di sana.Ruangan dapur yang luas sangat terang ketika siang hari. Karena satu sisi jendela lebarnya didesain menerima cahaya matahari secara langsung. Tapi saat malam hari, Irish tidak menyangka jika suasananya sedikit membuat merinding."Aku cuma akan mengambil cake dan es krim lalu kembali ke kamar," gumamnya sendiri. Kaki telah mendekati tiga lemari pendingin yang berjejer di sudut.Namun dari arah westafel yang cukup gelap, muncul sesosok wanita dengan dress putih sel
Irish membanting tubuhnya di ranjang. Tubuhnya memang tidak terlalu lelah, tetapi isi dalam kepalanya terus berkecamuk. Berkali ia tak memahami apa yang sedang Darren katakan. Bukan hanya masalah komunikasi, Irish ternyata sama sekali tak memahami bagaimana karakter Thea sesungguhnya.Hari ini saja ia sudah dua kali meralat ucapannya sendiri. Beruntung sepertinya Darren percaya saja. Nyonya Wina juga tak mau membahas Thea lebih jauh. Irish merasa segan jika terus menerus bertanya.'Sepertinya aku harus mencari tahu sendiri. Jika kamar ini benar milik Thea pasti ada petunjuk yang dia tinggalkan,' tekad Irish.Irish menatap jam dinding, masih ada waktu satu jam sebelum makan malam. Setidaknya tidak akan ada yang mencarinya hingga beberapa saat ke depan.Wanita itu terduduk, mengamati sekitar. Ruangan bercat ungu soft itu terdiri dari ranjang, meja rias dengan lampu-lampu tepi cermin, lengkap dengan produk-produk perawatan mahal. Pun parfum beraneka merk ternama terpajang rapi di lemari
Beat musik menghentak oleh DJ menyambut indera pendengaran Arthur ketika ia baru menapaki club malam tengah kota. Mendekati tengah malam, suasana tempat yang didominasi muda mudi itu semakin ramai.Arthur duduk di kursi tinggi depan meja bartender. Menatap sekitar dengan perasaan enggan. Ia pun tak tahu mengapa harus datang ke tempat ini. Yang Arthur tahu setiap kali bertemu Thea di mansion, ia ingin melarikan diri. Netra cantik wanita itu masih membuatnya tenggelam. Tak peduli berapa berkali Thea telah menorehkan luka. Benci dan cinta, kini bercampur dalam hati Arthur."Beri aku whiskey," pinta Arthur pada bartender muda berseragam hitam.Sembari menikmati minuman di gelas sloki, Arthur memandang arah lantai dansa. Orang-orang itu bergerak sesuai dengan irama. Seseorang menepuk pundak Arthur."Kau datang, buddy?" Pria sebaya duduk di sampingnya dengan tangan membawa segelas tequila."Sedang bosan di rumah. Kau sendirian?" alih Arthur yang kemudian menandaskan minumannya."Tadinya ak
Angin malam menyentuh kulit putih Irish yang tidak tertutup pakaian tidur. Ia menyanggupi ajakan Arthur untuk sekedar berbicara santai di balkon lantai dua.Dari tempatnya berdiri, Irish bisa melihat secercah cahaya di sebelah barat, arah kota. Maklum saja, mansion mewah dua puluh hektar ini di bangun di sekitar hutan pinggiran kota."Aku merasa ada yang berubah darimu." Arthur bersuara usai keheningan mengisi ruang di antara keduanya."Kamu ada-ada saja. Aku masih Thea yang sama. Theana Cornell Waverly," respon Irish disertai tawa kecil. Ia merasa mendapat sedikit keuntungan usai menemukan USB flashdisk milik Thea. Setidaknya ia jadi tahu siapa nama lengkap tunangan Darren yang asli."Apa kamu masih suka pantai?" "Masih." Irish mengangguk berharap jawabannya tidak salah. Karena sejujurnya pun ia suka bermain di pantai. Teringat saat kondisi Nora belum separah sekarang, mereka selalu menikmati waktu di pantai setiap akhir pekan."Kalau begitu kamu masih ingat kita pernah memelihara s
"Mau membuat tatto bersama?" Thea dengan ransel ungu muda menjawil hidung mancung Arthur yang berdiri di sampingnya."Tatto? Kamu yakin?" Nada yang Arthur perdengarkan lebih bisa dikatakan mencibir dibandingkan bertanya. Baginya, Thea terlalu manja untuk menerima rasa sakit ketika kulit ati bertemu jarum tatto."Kamu meremehkanku rupanya. Ck, ck, ck, lihat ini. Taraaa!!" Thea mengangkat selebaran di depan wajah pria yang tahun itu baru menginjak usia dua puluh satu tahun."Couple Tatto. Valentine edition. Lalu?" Arthur membaca tulisan bergaya Lily Script One pada selebaran lalu menatap Thea lekat. Ia masih ingin menggoda wanita cantik dengan cardigan biru laut itu."Aku tidak suka mengatakan permintaanku dua kali." Thea melengos, menambah gemas pada sudut pandang Arthur."Baiklah, baiklah. Kapan kamu ingin membuat tatto? Hari ini?" tawar Arthur seraya menangkup kedua tangan pada pipi Thea. Pria itu tak ingin gadisnya merajuk lebih lama."Sebenarnya aku sudah membuat janji dengan tatto
Arthur masih menatap Irish tanpa berkedip. Diperlakukan seperti itu, Irish menjadi salah tingkah. Ia tidak menyangka saat-saat seperti ini akan datang lebih cepat dari perkiraan. Sepertinya ia memang tidak berbakat dalam hal penyamaran.Jika boleh, Irish ingin mengaku dan mengakhiri kontrak sampai di sini saja. Namun bagaimana dengan Nyonya Wina? Tentu ia akan dicap sebagai pencuri jika pergi tanpa menyelesaikan tugasnya. Tidak, rahasianya tidak boleh terbongkar begitu saja. Irish menggeleng tanpa ketara."Aku ... aku Theana. Mantan kekasihmu sekaligus calon kakak iparmu. Kenapa tiba-tiba kamu bersikap aneh, Arthur?" Irish menerbitkan senyum percaya diri.Arthur membalas senyum itu. Ternyata tidak mudah membuat wanita di depannya mengaku. Baginya tidak masalah, ia akan tetap mencari tahu siapa sosok di balik kekasih palsu Darren saat ini."Mungkin aku cuma lelah setelah menggendongmu dari tepi kolam ke kamar." Arthur tertawa kecil, berpura-pura lelah sembari memukul-mukul pundaknya."
Irish bangun lebih pagi hari itu. Segera setelah mandi ia turun dengan setelan berwarna abu muda. Karenanya, Irish baru mengetahui jika kepala pelayan selalu mengadakan briefing pada belasan bawahannya.Irish mengamati para pelayan dengan seragam dan tatanan rambut rapi itu. Ia sudah hampir mengingat nama mereka. Kecuali satu orang. Pelayan baru yang masuk sejak dua hari lalu. Wanita itu selalu menunduk tiap kali berpapasan dengan Irish, tidak pernah mengeluarkan suaranya.Pukul tujuh tepat, semua anggota keluarga telah mengelilingi meja makan. Arthur dengan pakaian khas kantor begitu pula Darren. Kemarin pria itu mengatakan pada Irish jika ia harus menandatangani suatu berkas penting di kantor hari ini."Kamu mau ikut ke kantor?" Darren berbicara dengan sedikit menoleh ke arah kanan, posisi duduk Irish berada."Bunda akan mengajak Thea berbelanja, Darren," jawab Nyonya Wina mewakili Irish.Tiba saatnya makanan di sajikan. Seorang pelayan memberikan susu pisang untuk Arthur dan kopi s
Malamnya, Arthur tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Sikap ‘Irish’ yang semakin aneh membuatnya resah, terlebih ucapan dingin wanita itu di balkon tadi malam. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu—sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan langkah hati-hati, Arthur berjalan menyusuri koridor menuju kamar Thea. Lampu-lampu di mansion redup, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus jendela besar di ujung lorong. Arthur berhenti di depan kamar Thea. Pintu kamar itu tertutup, tetapi samar-samar ia mendengar suara seseorang berbicara di dalam. Arthur mendekat, menempelkan telinganya ke pintu. Suara itu milik Thea. Awalnya terdengar samar, tetapi kemudian ia bisa menangkap kata-kata yang diucapkan dengan jelas. “Alann, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir,” suara Thea terdengar tenang, tetapi Arthur bisa menangkap nada ketidaksabaran di dalamnya. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Arthur menahan napas. Na
Pagi itu, Arthur terbangun dengan rasa berat di dadanya. Saat matanya terbuka dan ia menatap langit-langit kamarnya, ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Terkadang, mimpi terasa begitu nyata, dan Arthur hampir tidak bisa membedakan apakah pertemuannya dengan Thea di balkon adalah kenyataan atau hanya khayalan. Namun, saat ia mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya dan suara cangkir yang beradu di meja, dia sadar bahwa itu bukan mimpi. Dengan perlahan, ia keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan.Di meja sarapan, Thea sudah duduk dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Matanya terfokus pada piring di depannya, seolah tidak peduli dengan keberadaan Arthur. Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan hangat yang biasa dia berikan. Arthur berdiri sebentar di pintu, merasa ada jarak yang lebih jauh antara mereka dari sebelumnya. Perlahan, ia duduk di kursi berseberangan dengan Thea dan mulai sarapan, mencoba menghindari pandangannya. Namun, ada perasaan aneh yang menggel
Malam itu, mansion terasa sunyi. Hanya suara angin yang sesekali terdengar dari luar, menyapu dedaunan di taman. Arthur berjalan menyusuri lorong dengan langkah mantap. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan dengan Darren, sesuatu yang selama ini mengganjal di pikirannya. Namun, saat ia mendekati kamar Darren, langkahnya terhenti tiba-tiba. Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, terdengar suara samar. Arthur memiringkan kepalanya, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara itu berasal dari Thea. Nada suaranya lembut, tetapi ada sesuatu yang berbeda—seolah ia sedang membujuk Darren. “Ayolah, Darren… hanya malam ini. Aku ingin kita lebih dekat lagi. Kita akan menikah, tidak ada salahnya, kan?” suara Thea terdengar manja, menggoda dengan nada penuh rayuan. Arthur menegang di tempatnya. Jantungnya berdebar kencang, tak nyaman mendengar percakapan itu. Namun, rasa ingin tahunya membuatnya tetap berdiri di sana. Di dalam kamar, Darren duduk di tepi ranjang dengan ekspresi canggu
Beberapa hari kemudian, mansion tetap sunyi seperti biasa, namun atmosfernya terasa lebih berat. Pelayan-pelayan mansion terlihat lebih berhati-hati saat menjalankan tugas mereka. Mereka tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Irish yang belakangan ini sulit diprediksi. Ya, sikap Irish berubah sejak menghilang. Dan belum ada yang menyadari jika sosok yang kembali saat itu bukan lagi Irish, melainkan Theana yang asli.Thea duduk di ruang makan, menikmati sarapannya dengan sikap acuh tak acuh. Darren duduk di depannya, tetapi suasana makan pagi mereka terasa hampa. Darren mencoba mencairkan suasana dengan sebuah pertanyaan. “Sayang, apa rencanamu hari ini?” Thea menoleh sebentar sebelum menjawab singkat, “Tidak ada yang istimewa. Aku hanya ingin beristirahat.” Nada suaranya datar, tanpa kehangatan seperti biasa. Darren terdiam, tidak ingin memicu suasana yang lebih canggung. Arthur yang baru datang dari arah tangga melihat interaksi itu, tetapi memilih untuk tidak ikut campur. Saa
Ruang tamu mansion sore itu dipenuhi aroma manis dari kue-kue mahal yang tersaji di atas meja marmer. Irish menatap deretan cake di depannya—terlihat lezat dan sempurna. Ia baru saja hendak mengambil sepotong egg tart saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa berpikir panjang, ia meletakkan kembali sendok kecil di tangannya dan meraih ponsel. “Ya, ini aku…” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keramaian. Ekspresi Irish berubah tajam, tegang, seolah ada sesuatu yang mendesak. “Sekarang? Baiklah, aku akan segera ke sana.” Setelah menutup telepon, ia berdiri dengan terburu-buru. Pelayan yang menyadari perubahan sikap Irish mendekat dengan raut heran. “Nona Thea, apakah Anda baik-baik saja? Kita masih punya beberapa kue lagi untuk dicoba…” “Saya harus pergi sebentar,” jawab Irish singkat, menyembunyikan kecemasannya. “Tolong sampaikan pada Darren kalau saya akan pulang sebelum malam.” Pelayan itu mengangguk sopan meski jelas terlihat bingung. Irish melangkah cepat kel
Di apartemen mewah yang bersebelahan dengan gedung pencakar langit di pusat kota, Theana duduk di sofa putih bersih yang kontras dengan suasana hatinya yang kacau. Wajahnya dipenuhi amarah dan rasa bingung yang luar biasa. Tangannya yang gemetar menggenggam tablet sepuluh inci. Matanya tajam menatap layar yang menampilkan sebuah artikel. Tablet sepuluh inci yang digenggamnya mengguncang di tangannya, matanya menatap layar dengan penuh kebencian. Sebuah artikel besar tertulis dengan jelas."Pernikahan Pewaris Monearchi Group, Darren Mahendra Castlemore, Diumumkan! Calon Istri: Theana Cornel Waverly, Wanita Beruntung yang Memikat Hati Sang Pewaris."Namun yang membuat darah Theana mendidih, dan jantungnya hampir berhenti berdetak, adalah wajah yang muncul di berita itu adalah wajah yang hampir sama dengan wajahnya. Semua yang ia tahu tentang dirinya, tentang siapa dia, kini terasa seperti direbut orang lain. Bukan hanya karena wanita itu yang kini berdiri di samping Darren, tapi juga k
Arthur tiba di mansion dengan langkah cepat dan pikiran yang sama kacaunya. Langit malam begitu hening, dan suasana di sekelilingnya sepi. Sesuai dugaannya, sebagian besar penghuni mansion sudah beristirahat, termasuk Darren dan ibunya. Namun, pikirannya hanya tertuju pada satu orang.Dengan napas yang masih memburu akibat langkah tergesa-gesanya tadi, Arthur masuk ke dalam mansion dengan hati-hati. Ia menapaki tangga tanpa suara, menuju kamar Irish di lantai atas. Perasaan cemas bercampur rindu membuatnya semakin sulit berpikir jernih. Ia tahu tindakannya mungkin tidak tepat, tetapi ia merasa harus melihat Irish saat ini, memastikan wanita itu baik-baik saja.Begitu tiba di depan pintu kamar Irish, Arthur menggenggam gagang pintu perlahan dan mencoba membukanya. Keberuntungan ada di pihaknya—pintu itu tidak terkunci. Arthur mendorongnya perlahan, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara yang membangunkan siapa pun.Di dalam kamar yang remang-remang, Arthur melihat Irish
Irish menuruni tangga perlahan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih yang mempertegas kecantikannya yang alami. Tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha menampilkan senyum tipis di wajahnya. Ia tahu, apa pun yang sedang dirasakannya saat ini harus disembunyikan sebaik mungkin di depan Darren.Di bawah, Darren sudah menunggunya dengan sebuket mawar merah di tangan—bunga favorit Thea. Wajah pria itu terlihat tegang sekaligus antusias. Saat Irish muncul di ujung tangga, Darren terpana. Matanya membelalak sedikit, seolah melihat sosok yang sudah lama dirindukan. Ia terdiam beberapa saat, seakan lupa bagaimana caranya bernapas.Irish menangkap ekspresi itu dan merasa dadanya sesak. Bukan karena tersentuh, tetapi karena rasa bersalah yang kian menumpuk. Ia tahu, Darren tidak sedang melihat dirinya—ia melihat bayangan Thea.Ragu, Irish melangkah mendekat. Namun sebelum ia sempat sampai di depan Darren, pria itu sudah menghampirinya lebih dulu dan memeluknya erat. Irish terkejut, t
Siang itu, Irish duduk di kamar dengan tubuh lemas. Sejak pulang dari butik, rasa lelahnya semakin terasa. Pikirannya terus berkecamuk, memikirkan persiapan pernikahan, tekanan dari Nyonya Wina, dan, yang paling mengganggu, kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini terasa tidak biasa. Pandangannya tertuju pada kalender di meja rias. Ia mulai menghitung tanggal dengan teliti, dan seketika wajahnya memucat. "Satu bulan…” bisiknya, seolah tidak percaya. Ia mencoba mengabaikan rasa cemas, tetapi pikirannya semakin kacau. Apa mungkin dirinya hamil? Pikiran itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Namun, Irish tahu ia tidak bisa membiarkan ini mengganggu pikirannya lebih lama. Ia harus memastikan.Tak menunggu waktu lama, dengan alasan ingin berjalan-jalan untuk menghirup udara segar, Irish keluar dari mansion seorang diri. Ia meminta sopir berhenti di depan sebuah minimarket. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikannya, Irish masuk dengan langkah gugup. Saat tiba di bagian ala