Arthur tiba di mansion dengan langkah cepat dan pikiran yang sama kacaunya. Langit malam begitu hening, dan suasana di sekelilingnya sepi. Sesuai dugaannya, sebagian besar penghuni mansion sudah beristirahat, termasuk Darren dan ibunya. Namun, pikirannya hanya tertuju pada satu orang.Dengan napas yang masih memburu akibat langkah tergesa-gesanya tadi, Arthur masuk ke dalam mansion dengan hati-hati. Ia menapaki tangga tanpa suara, menuju kamar Irish di lantai atas. Perasaan cemas bercampur rindu membuatnya semakin sulit berpikir jernih. Ia tahu tindakannya mungkin tidak tepat, tetapi ia merasa harus melihat Irish saat ini, memastikan wanita itu baik-baik saja.Begitu tiba di depan pintu kamar Irish, Arthur menggenggam gagang pintu perlahan dan mencoba membukanya. Keberuntungan ada di pihaknya—pintu itu tidak terkunci. Arthur mendorongnya perlahan, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara yang membangunkan siapa pun.Di dalam kamar yang remang-remang, Arthur melihat Irish
Di apartemen mewah yang bersebelahan dengan gedung pencakar langit di pusat kota, Theana duduk di sofa putih bersih yang kontras dengan suasana hatinya yang kacau. Wajahnya dipenuhi amarah dan rasa bingung yang luar biasa. Tangannya yang gemetar menggenggam tablet sepuluh inci. Matanya tajam menatap layar yang menampilkan sebuah artikel. Tablet sepuluh inci yang digenggamnya mengguncang di tangannya, matanya menatap layar dengan penuh kebencian. Sebuah artikel besar tertulis dengan jelas."Pernikahan Pewaris Monearchi Group, Darren Mahendra Castlemore, Diumumkan! Calon Istri: Theana Cornel Waverly, Wanita Beruntung yang Memikat Hati Sang Pewaris."Namun yang membuat darah Theana mendidih, dan jantungnya hampir berhenti berdetak, adalah wajah yang muncul di berita itu adalah wajah yang hampir sama dengan wajahnya. Semua yang ia tahu tentang dirinya, tentang siapa dia, kini terasa seperti direbut orang lain. Bukan hanya karena wanita itu yang kini berdiri di samping Darren, tapi juga k
Ruang tamu mansion sore itu dipenuhi aroma manis dari kue-kue mahal yang tersaji di atas meja marmer. Irish menatap deretan cake di depannya—terlihat lezat dan sempurna. Ia baru saja hendak mengambil sepotong egg tart saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa berpikir panjang, ia meletakkan kembali sendok kecil di tangannya dan meraih ponsel. “Ya, ini aku…” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keramaian. Ekspresi Irish berubah tajam, tegang, seolah ada sesuatu yang mendesak. “Sekarang? Baiklah, aku akan segera ke sana.” Setelah menutup telepon, ia berdiri dengan terburu-buru. Pelayan yang menyadari perubahan sikap Irish mendekat dengan raut heran. “Nona Thea, apakah Anda baik-baik saja? Kita masih punya beberapa kue lagi untuk dicoba…” “Saya harus pergi sebentar,” jawab Irish singkat, menyembunyikan kecemasannya. “Tolong sampaikan pada Darren kalau saya akan pulang sebelum malam.” Pelayan itu mengangguk sopan meski jelas terlihat bingung. Irish melangkah cepat kel
Beberapa hari kemudian, mansion tetap sunyi seperti biasa, namun atmosfernya terasa lebih berat. Pelayan-pelayan mansion terlihat lebih berhati-hati saat menjalankan tugas mereka. Mereka tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Irish yang belakangan ini sulit diprediksi. Ya, sikap Irish berubah sejak menghilang. Dan belum ada yang menyadari jika sosok yang kembali saat itu bukan lagi Irish, melainkan Theana yang asli.Thea duduk di ruang makan, menikmati sarapannya dengan sikap acuh tak acuh. Darren duduk di depannya, tetapi suasana makan pagi mereka terasa hampa. Darren mencoba mencairkan suasana dengan sebuah pertanyaan. “Sayang, apa rencanamu hari ini?” Thea menoleh sebentar sebelum menjawab singkat, “Tidak ada yang istimewa. Aku hanya ingin beristirahat.” Nada suaranya datar, tanpa kehangatan seperti biasa. Darren terdiam, tidak ingin memicu suasana yang lebih canggung. Arthur yang baru datang dari arah tangga melihat interaksi itu, tetapi memilih untuk tidak ikut campur. Saa
Malam itu, mansion terasa sunyi. Hanya suara angin yang sesekali terdengar dari luar, menyapu dedaunan di taman. Arthur berjalan menyusuri lorong dengan langkah mantap. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan dengan Darren, sesuatu yang selama ini mengganjal di pikirannya. Namun, saat ia mendekati kamar Darren, langkahnya terhenti tiba-tiba. Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, terdengar suara samar. Arthur memiringkan kepalanya, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara itu berasal dari Thea. Nada suaranya lembut, tetapi ada sesuatu yang berbeda—seolah ia sedang membujuk Darren. “Ayolah, Darren… hanya malam ini. Aku ingin kita lebih dekat lagi. Kita akan menikah, tidak ada salahnya, kan?” suara Thea terdengar manja, menggoda dengan nada penuh rayuan. Arthur menegang di tempatnya. Jantungnya berdebar kencang, tak nyaman mendengar percakapan itu. Namun, rasa ingin tahunya membuatnya tetap berdiri di sana. Di dalam kamar, Darren duduk di tepi ranjang dengan ekspresi canggu
Pagi itu, Arthur terbangun dengan rasa berat di dadanya. Saat matanya terbuka dan ia menatap langit-langit kamarnya, ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Terkadang, mimpi terasa begitu nyata, dan Arthur hampir tidak bisa membedakan apakah pertemuannya dengan Thea di balkon adalah kenyataan atau hanya khayalan. Namun, saat ia mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya dan suara cangkir yang beradu di meja, dia sadar bahwa itu bukan mimpi. Dengan perlahan, ia keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan.Di meja sarapan, Thea sudah duduk dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Matanya terfokus pada piring di depannya, seolah tidak peduli dengan keberadaan Arthur. Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan hangat yang biasa dia berikan. Arthur berdiri sebentar di pintu, merasa ada jarak yang lebih jauh antara mereka dari sebelumnya. Perlahan, ia duduk di kursi berseberangan dengan Thea dan mulai sarapan, mencoba menghindari pandangannya. Namun, ada perasaan aneh yang menggel
Malamnya, Arthur tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Sikap ‘Irish’ yang semakin aneh membuatnya resah, terlebih ucapan dingin wanita itu di balkon tadi malam. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu—sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan langkah hati-hati, Arthur berjalan menyusuri koridor menuju kamar Thea. Lampu-lampu di mansion redup, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus jendela besar di ujung lorong. Arthur berhenti di depan kamar Thea. Pintu kamar itu tertutup, tetapi samar-samar ia mendengar suara seseorang berbicara di dalam. Arthur mendekat, menempelkan telinganya ke pintu. Suara itu milik Thea. Awalnya terdengar samar, tetapi kemudian ia bisa menangkap kata-kata yang diucapkan dengan jelas. “Alann, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir,” suara Thea terdengar tenang, tetapi Arthur bisa menangkap nada ketidaksabaran di dalamnya. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Arthur menahan napas. Na
Laju mobil putih membelah kepadatan pusat kota siang itu. Di dalamnya, terdapat sepasang pria dan wanita yang sedang beradu argumen. "Lihat saja, Darren, bundamu masih tidak mau menerimaku sebagai menantu. Percuma saja aku datang jauh-jauh dari Singapura jika yang kudapat cuma penolakan," ujar wanita cantik dengan dress salem gusar. "Tenang, Sayang. Bunda pasti menerima pernikahan kita, hanya tinggal menunggu waktu." Pria tampan di belakang kemudi berusaha fokus pada jalan. Meski demikian satu tangannya menggenggam tangan si wanita. "Sampai kapan? Dua tahun seperti ini. Aku lelah. Mungkin ucapan bundamu benar jika aku bukan calon istri yang baik." Wanita bernama Thea itu menepis sentuhan Darren. "Thea, kamu adalah calon istri terbaik. Ingat pesan dokter. Kamu tidak boleh stress," ujar Darren yang masih tampak sabar menghadapi omelan wanitanya. Pria itu bahkan menggapai kembali tangan Thea dan menciumnya. "Tapi aku juga- Darren, awass!!!"Thea tak sempat menyelesaikan kalimatnya k
Malamnya, Arthur tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Sikap ‘Irish’ yang semakin aneh membuatnya resah, terlebih ucapan dingin wanita itu di balkon tadi malam. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu—sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan langkah hati-hati, Arthur berjalan menyusuri koridor menuju kamar Thea. Lampu-lampu di mansion redup, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus jendela besar di ujung lorong. Arthur berhenti di depan kamar Thea. Pintu kamar itu tertutup, tetapi samar-samar ia mendengar suara seseorang berbicara di dalam. Arthur mendekat, menempelkan telinganya ke pintu. Suara itu milik Thea. Awalnya terdengar samar, tetapi kemudian ia bisa menangkap kata-kata yang diucapkan dengan jelas. “Alann, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir,” suara Thea terdengar tenang, tetapi Arthur bisa menangkap nada ketidaksabaran di dalamnya. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Arthur menahan napas. Na
Pagi itu, Arthur terbangun dengan rasa berat di dadanya. Saat matanya terbuka dan ia menatap langit-langit kamarnya, ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Terkadang, mimpi terasa begitu nyata, dan Arthur hampir tidak bisa membedakan apakah pertemuannya dengan Thea di balkon adalah kenyataan atau hanya khayalan. Namun, saat ia mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya dan suara cangkir yang beradu di meja, dia sadar bahwa itu bukan mimpi. Dengan perlahan, ia keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan.Di meja sarapan, Thea sudah duduk dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Matanya terfokus pada piring di depannya, seolah tidak peduli dengan keberadaan Arthur. Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan hangat yang biasa dia berikan. Arthur berdiri sebentar di pintu, merasa ada jarak yang lebih jauh antara mereka dari sebelumnya. Perlahan, ia duduk di kursi berseberangan dengan Thea dan mulai sarapan, mencoba menghindari pandangannya. Namun, ada perasaan aneh yang menggel
Malam itu, mansion terasa sunyi. Hanya suara angin yang sesekali terdengar dari luar, menyapu dedaunan di taman. Arthur berjalan menyusuri lorong dengan langkah mantap. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan dengan Darren, sesuatu yang selama ini mengganjal di pikirannya. Namun, saat ia mendekati kamar Darren, langkahnya terhenti tiba-tiba. Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, terdengar suara samar. Arthur memiringkan kepalanya, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara itu berasal dari Thea. Nada suaranya lembut, tetapi ada sesuatu yang berbeda—seolah ia sedang membujuk Darren. “Ayolah, Darren… hanya malam ini. Aku ingin kita lebih dekat lagi. Kita akan menikah, tidak ada salahnya, kan?” suara Thea terdengar manja, menggoda dengan nada penuh rayuan. Arthur menegang di tempatnya. Jantungnya berdebar kencang, tak nyaman mendengar percakapan itu. Namun, rasa ingin tahunya membuatnya tetap berdiri di sana. Di dalam kamar, Darren duduk di tepi ranjang dengan ekspresi canggu
Beberapa hari kemudian, mansion tetap sunyi seperti biasa, namun atmosfernya terasa lebih berat. Pelayan-pelayan mansion terlihat lebih berhati-hati saat menjalankan tugas mereka. Mereka tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Irish yang belakangan ini sulit diprediksi. Ya, sikap Irish berubah sejak menghilang. Dan belum ada yang menyadari jika sosok yang kembali saat itu bukan lagi Irish, melainkan Theana yang asli.Thea duduk di ruang makan, menikmati sarapannya dengan sikap acuh tak acuh. Darren duduk di depannya, tetapi suasana makan pagi mereka terasa hampa. Darren mencoba mencairkan suasana dengan sebuah pertanyaan. “Sayang, apa rencanamu hari ini?” Thea menoleh sebentar sebelum menjawab singkat, “Tidak ada yang istimewa. Aku hanya ingin beristirahat.” Nada suaranya datar, tanpa kehangatan seperti biasa. Darren terdiam, tidak ingin memicu suasana yang lebih canggung. Arthur yang baru datang dari arah tangga melihat interaksi itu, tetapi memilih untuk tidak ikut campur. Saa
Ruang tamu mansion sore itu dipenuhi aroma manis dari kue-kue mahal yang tersaji di atas meja marmer. Irish menatap deretan cake di depannya—terlihat lezat dan sempurna. Ia baru saja hendak mengambil sepotong egg tart saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa berpikir panjang, ia meletakkan kembali sendok kecil di tangannya dan meraih ponsel. “Ya, ini aku…” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keramaian. Ekspresi Irish berubah tajam, tegang, seolah ada sesuatu yang mendesak. “Sekarang? Baiklah, aku akan segera ke sana.” Setelah menutup telepon, ia berdiri dengan terburu-buru. Pelayan yang menyadari perubahan sikap Irish mendekat dengan raut heran. “Nona Thea, apakah Anda baik-baik saja? Kita masih punya beberapa kue lagi untuk dicoba…” “Saya harus pergi sebentar,” jawab Irish singkat, menyembunyikan kecemasannya. “Tolong sampaikan pada Darren kalau saya akan pulang sebelum malam.” Pelayan itu mengangguk sopan meski jelas terlihat bingung. Irish melangkah cepat kel
Di apartemen mewah yang bersebelahan dengan gedung pencakar langit di pusat kota, Theana duduk di sofa putih bersih yang kontras dengan suasana hatinya yang kacau. Wajahnya dipenuhi amarah dan rasa bingung yang luar biasa. Tangannya yang gemetar menggenggam tablet sepuluh inci. Matanya tajam menatap layar yang menampilkan sebuah artikel. Tablet sepuluh inci yang digenggamnya mengguncang di tangannya, matanya menatap layar dengan penuh kebencian. Sebuah artikel besar tertulis dengan jelas."Pernikahan Pewaris Monearchi Group, Darren Mahendra Castlemore, Diumumkan! Calon Istri: Theana Cornel Waverly, Wanita Beruntung yang Memikat Hati Sang Pewaris."Namun yang membuat darah Theana mendidih, dan jantungnya hampir berhenti berdetak, adalah wajah yang muncul di berita itu adalah wajah yang hampir sama dengan wajahnya. Semua yang ia tahu tentang dirinya, tentang siapa dia, kini terasa seperti direbut orang lain. Bukan hanya karena wanita itu yang kini berdiri di samping Darren, tapi juga k
Arthur tiba di mansion dengan langkah cepat dan pikiran yang sama kacaunya. Langit malam begitu hening, dan suasana di sekelilingnya sepi. Sesuai dugaannya, sebagian besar penghuni mansion sudah beristirahat, termasuk Darren dan ibunya. Namun, pikirannya hanya tertuju pada satu orang.Dengan napas yang masih memburu akibat langkah tergesa-gesanya tadi, Arthur masuk ke dalam mansion dengan hati-hati. Ia menapaki tangga tanpa suara, menuju kamar Irish di lantai atas. Perasaan cemas bercampur rindu membuatnya semakin sulit berpikir jernih. Ia tahu tindakannya mungkin tidak tepat, tetapi ia merasa harus melihat Irish saat ini, memastikan wanita itu baik-baik saja.Begitu tiba di depan pintu kamar Irish, Arthur menggenggam gagang pintu perlahan dan mencoba membukanya. Keberuntungan ada di pihaknya—pintu itu tidak terkunci. Arthur mendorongnya perlahan, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara yang membangunkan siapa pun.Di dalam kamar yang remang-remang, Arthur melihat Irish
Irish menuruni tangga perlahan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih yang mempertegas kecantikannya yang alami. Tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha menampilkan senyum tipis di wajahnya. Ia tahu, apa pun yang sedang dirasakannya saat ini harus disembunyikan sebaik mungkin di depan Darren.Di bawah, Darren sudah menunggunya dengan sebuket mawar merah di tangan—bunga favorit Thea. Wajah pria itu terlihat tegang sekaligus antusias. Saat Irish muncul di ujung tangga, Darren terpana. Matanya membelalak sedikit, seolah melihat sosok yang sudah lama dirindukan. Ia terdiam beberapa saat, seakan lupa bagaimana caranya bernapas.Irish menangkap ekspresi itu dan merasa dadanya sesak. Bukan karena tersentuh, tetapi karena rasa bersalah yang kian menumpuk. Ia tahu, Darren tidak sedang melihat dirinya—ia melihat bayangan Thea.Ragu, Irish melangkah mendekat. Namun sebelum ia sempat sampai di depan Darren, pria itu sudah menghampirinya lebih dulu dan memeluknya erat. Irish terkejut, t
Siang itu, Irish duduk di kamar dengan tubuh lemas. Sejak pulang dari butik, rasa lelahnya semakin terasa. Pikirannya terus berkecamuk, memikirkan persiapan pernikahan, tekanan dari Nyonya Wina, dan, yang paling mengganggu, kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini terasa tidak biasa. Pandangannya tertuju pada kalender di meja rias. Ia mulai menghitung tanggal dengan teliti, dan seketika wajahnya memucat. "Satu bulan…” bisiknya, seolah tidak percaya. Ia mencoba mengabaikan rasa cemas, tetapi pikirannya semakin kacau. Apa mungkin dirinya hamil? Pikiran itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Namun, Irish tahu ia tidak bisa membiarkan ini mengganggu pikirannya lebih lama. Ia harus memastikan.Tak menunggu waktu lama, dengan alasan ingin berjalan-jalan untuk menghirup udara segar, Irish keluar dari mansion seorang diri. Ia meminta sopir berhenti di depan sebuah minimarket. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikannya, Irish masuk dengan langkah gugup. Saat tiba di bagian ala