Irish bangun lebih pagi hari itu. Segera setelah mandi ia turun dengan setelan berwarna abu muda. Karenanya, Irish baru mengetahui jika kepala pelayan selalu mengadakan briefing pada belasan bawahannya.Irish mengamati para pelayan dengan seragam dan tatanan rambut rapi itu. Ia sudah hampir mengingat nama mereka. Kecuali satu orang. Pelayan baru yang masuk sejak dua hari lalu. Wanita itu selalu menunduk tiap kali berpapasan dengan Irish, tidak pernah mengeluarkan suaranya.Pukul tujuh tepat, semua anggota keluarga telah mengelilingi meja makan. Arthur dengan pakaian khas kantor begitu pula Darren. Kemarin pria itu mengatakan pada Irish jika ia harus menandatangani suatu berkas penting di kantor hari ini."Kamu mau ikut ke kantor?" Darren berbicara dengan sedikit menoleh ke arah kanan, posisi duduk Irish berada."Bunda akan mengajak Thea berbelanja, Darren," jawab Nyonya Wina mewakili Irish.Tiba saatnya makanan di sajikan. Seorang pelayan memberikan susu pisang untuk Arthur dan kopi s
Pagi menjelang siang. Irish bersama seorang pelayan tengah berada di pusat perbelanjaan kota. Lebam dan luka pada pipi Irish belum benar-benar sembuh. Tapi wanita itu dengan lincah memilih bahan kue dan juga buah sesuai pesanan si nyonya."Apa Tante Wina akan mengadakan pesta?" Irish menerka. Mereka bahkan diminta membeli memesan bunga segar untuk dekorasi."Saya dengar akan ada kerabat yang datang berkunjung, Nona.""Ooh, pantas saja. Setelah ini kita akan membeli gelato dan ... dan memakannya dengan santai?" Irish sempat tak percaya saat membaca pesan Nyonya Wina pada layar ponselnya."Saya mau gelato rasa coklat, Nona," sambar Nina mendengar pesan itu. Ia tersenyum malu-malu mau saat Irish menatapnya."Baiklah ayo kita makan gelato, kita cuma melaksanakan tugas. Benar, 'kan, Nina?" Irish dan Nina kemudian tertawa bersama.Antrian pada stan gelato cukup panjang. Sembari menunggu, Irish menitipkan tas belanja yang telah terisi penuh pada Nina. Sedang ia menuju toilet tanpa menyadari
Sore dengan sedikit mendung. Dua mobil terparkir rapi di halaman depan mansion. Bukan milik Nyonya Wina maupun para putranya, melainkan milik kerabat dekat yang dinantikan kehadirannya sejak berjam-jam yang lalu.Ruang tengah dan ruang makan disulap lebih cantik dengan hiasan bungan Peony putih. Para pelayan sibuk ke sana kemari mengerjakan apa saja tugas yang Nyony Wina berikan melalui kepala pelayan.Irish berjibaku di dapur, membantu membuat dessert ataupun memastikan jika mungkin ada sajian yang belum sempurna. Ia merasa lebih baik begini daripada harus berkumpul dengan orang-orang yang berbeda kasta dengannya."Benar, Nona Sofia sangat cantik," ungkap salah seorang pelayan yang baru kembali ke dapur usai menyajikan appetizer, membuat heboh seisi dapur dalam sekejap."Benar, 'kan apa yang kubilang. Calon istri Tuan Arthur sangat cantik. Mereka pasangan yang serasi," timpal pelayan yang lain."Jadi kapan mereka akan menikah?" "Tidak mungkin secepat itu, Tuan Arthur ingin kakaknya
Matahari mulai kembali ke peraduan. Langit jingga berangsur menjadi biru gelap. Desau angin yang menemani hujan, datang bersama senandung binatang malam.Arthur dan Irish duduk di kursi rumah kayu yang lebih tepat dikatakan pondok, ditemani penerangan lampu kecil yang temaram. Keheningan di antara mereka terasa nyaman, hanya diiringi suara hujan yang menetes di atap.Tangan Arthur meraih sebuah selimut tua yang ditemukan di sudut dan memberikannya kepada Irish. "Ini, pakai selimut ini.""Terima kasih."Kembali mereka terlibat dalam percakapan ringan. Tidak nampak kecanggungan di antara kedua orang itu. Meski demikian, Arthur secara tersirat memancing supaya Irish mau membuka diri padanya."Apa rencanamu setelah ini? Menikah dengan Kak Darren?" "Tidak, aku tidak berpikir sejauh itu," sahut Irish. Netranya menerawang melalui jendela persegi tanpa tirai."Bukankah tujuan dari hubungan kalian adalah pernikahan?" Arthur nyaris tersenyum."Hm, maksudku aku dan Darren masih muda, masih jauh
Arthur menggenggam erat surat ditangan. Kepalanya tergeleng samar, tak menyangka akan apa yang telah ia temukan. "Ini ... perjanjian antara bunda dan Irish? Untuk berpura-pura menjadi Thea dan membujuk Darren untuk menerima donor mata?"Tak butuh waktu lama pria muda itu segera kembali menemui sang ibu. Surat perjanjian masih berada di tangannya. Ia berjalan cepat. Dengan wajah tegang, Arthur mengkonfrontasi Nyonya Wina."Apa maksudnya ini, Bunda? Kenapa ada surat perjanjian seperti ini?" Ia letakkan map di atas meja, tepat di hadapan sang ibu.Nyonya Wina terkejut tapi mencoba tetap tenang. Sebelum menghadapi sang putra kedua, ia harus memastikan jika di sekitar mereka aman. Sedangkan beberapa meter arah pukul tiga terdapat seorang pelayan yang hendak mengantar selimut untuk Darren."Arthur, sabar dulu. Mari kita bicara di tempat yang lebih tenang," ajaknya dengan gaya anggun dan kalem seperti biasanya.Dengan patuh, Arthur mengikuti langkah sang ibu kembali ke ruang kerja. Nyonya Wi
Tak butuh waktu lama bagi Arthur untuk mengganti setelan kantornya menjadi pakaian yang lebih nyaman digunakan. Sedang di area piano, dua sejoli itu masih bercengkrama. Diiringi canda dan tawa kecil khas pasangan. Mendengar langkah kaki mendekat, sepertinya Darren sadar jika itu adalah adik semata wayangnya. Ia memanggil Arthur yang sedianya ingin melewati mereka begitu saja."Ada apa?" Ia menatap Darren dan Irish bergantian."Apa kau sibuk?""Tidak juga. Aku sedang ingin berjalan-jalan di halaman belakang." Pria muda itu mengangkat bahu."Kebetulan sekali. Thea sedang ingin mencari udara segar. Maukah kamu menemaninya keluar?" Darren memasang senyum tenang seperti biasanya. Arthur diam sejenak, ia melirik Irish yang langsung memalingkan wajah. Entah ini ide siapa, yang jelas ia takkan menolak. Karena ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan pada wanita itu."Ya, bukan masalah. Mari, kakak ipar," ajak Arthur dan Irish mengangkat dagu demi bisa menatapnya."Baiklah, pastikan kalian be
Malam semakin larut, Darren terbaring di tempat tidurnya, wajahnya berkeringat meski malam itu udara cukup dingin. Dalam tidur yang gelisah, ia terperangkap dalam mimpi buruk yang sering menghantui setiap malam. Mimpi itu selalu membawa Darren kembali ke hari yang mengubah segalanya.Darren yang masih mengenakan seragam putih abu-abu mengemudi di jalan berliku yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Matahari mulai terbenam, menciptakan bayangan panjang di jalan. Deo, sahabatnya duduk di samping. Tertawa dan bercanda tentang rencana mereka untuk masa depan. Suasana di dalam mobil itu begitu riang dan menyenangkan."Aku punya kabar bagus, Darren, aku hampir menyelesaikan lukisan terbesarku," kata Deo dengan semangat. "Aku yakin kali ini karyaku akan masuk galeri yang selama kuimpikan.""Aku tidak sabar melihatnya. Sejak dulu aku tahu kau memang berbakat." Darren tersenyum bangga. Sesekali ia menoleh pada Deo lalu kembali fokus pada jalan.Namun, dalam sekejap, suasana itu berubah. Sebua
Pagi itu, ruangan terasa hangat meski angin sejuk menyusup dari jendela terbuka. Cahaya matahari yang lembut menyinari lantai kayu, menciptakan pola cahaya dan bayangan di sekitarnya. Irish menangkap raut tak biasa yang Darren tunjukkan. Setelah beberapa saat, dia menghembuskan napas dan akhirnya melanjutkan kalimat."Darren," suara Irish terdengar lembut. "Aku ingin mencoba melukis ... mungkin ini cara yang baik untuk menghabiskan waktu bersama."Darren tersenyum. Wajahnya sudah tampak lebih tenang meskipun matanya kosong. Kuas dan aroma cat adalah hal yang membuatnya muak saat ini, tetapi ia takkan mampu menolak apapun keinginan wanita di depannya."Melukis?" Darren tersenyum lembut. "Sejak kapan kamu tertarik melukis?"Irish tersenyum canggung. "Aku pikir... aku bisa mencoba belajar darimu." Tatapannya sedikit menghindar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Mungkin ini bisa jadi cara baru bagi kita untuk terhubung. Kamu tau, ingatanku ...."Cuma Irish yang tahu jika ini cuma a
Malamnya, Arthur tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Sikap ‘Irish’ yang semakin aneh membuatnya resah, terlebih ucapan dingin wanita itu di balkon tadi malam. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu—sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan langkah hati-hati, Arthur berjalan menyusuri koridor menuju kamar Thea. Lampu-lampu di mansion redup, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus jendela besar di ujung lorong. Arthur berhenti di depan kamar Thea. Pintu kamar itu tertutup, tetapi samar-samar ia mendengar suara seseorang berbicara di dalam. Arthur mendekat, menempelkan telinganya ke pintu. Suara itu milik Thea. Awalnya terdengar samar, tetapi kemudian ia bisa menangkap kata-kata yang diucapkan dengan jelas. “Alann, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir,” suara Thea terdengar tenang, tetapi Arthur bisa menangkap nada ketidaksabaran di dalamnya. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Arthur menahan napas. Na
Pagi itu, Arthur terbangun dengan rasa berat di dadanya. Saat matanya terbuka dan ia menatap langit-langit kamarnya, ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Terkadang, mimpi terasa begitu nyata, dan Arthur hampir tidak bisa membedakan apakah pertemuannya dengan Thea di balkon adalah kenyataan atau hanya khayalan. Namun, saat ia mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya dan suara cangkir yang beradu di meja, dia sadar bahwa itu bukan mimpi. Dengan perlahan, ia keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan.Di meja sarapan, Thea sudah duduk dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Matanya terfokus pada piring di depannya, seolah tidak peduli dengan keberadaan Arthur. Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan hangat yang biasa dia berikan. Arthur berdiri sebentar di pintu, merasa ada jarak yang lebih jauh antara mereka dari sebelumnya. Perlahan, ia duduk di kursi berseberangan dengan Thea dan mulai sarapan, mencoba menghindari pandangannya. Namun, ada perasaan aneh yang menggel
Malam itu, mansion terasa sunyi. Hanya suara angin yang sesekali terdengar dari luar, menyapu dedaunan di taman. Arthur berjalan menyusuri lorong dengan langkah mantap. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan dengan Darren, sesuatu yang selama ini mengganjal di pikirannya. Namun, saat ia mendekati kamar Darren, langkahnya terhenti tiba-tiba. Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, terdengar suara samar. Arthur memiringkan kepalanya, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara itu berasal dari Thea. Nada suaranya lembut, tetapi ada sesuatu yang berbeda—seolah ia sedang membujuk Darren. “Ayolah, Darren… hanya malam ini. Aku ingin kita lebih dekat lagi. Kita akan menikah, tidak ada salahnya, kan?” suara Thea terdengar manja, menggoda dengan nada penuh rayuan. Arthur menegang di tempatnya. Jantungnya berdebar kencang, tak nyaman mendengar percakapan itu. Namun, rasa ingin tahunya membuatnya tetap berdiri di sana. Di dalam kamar, Darren duduk di tepi ranjang dengan ekspresi canggu
Beberapa hari kemudian, mansion tetap sunyi seperti biasa, namun atmosfernya terasa lebih berat. Pelayan-pelayan mansion terlihat lebih berhati-hati saat menjalankan tugas mereka. Mereka tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Irish yang belakangan ini sulit diprediksi. Ya, sikap Irish berubah sejak menghilang. Dan belum ada yang menyadari jika sosok yang kembali saat itu bukan lagi Irish, melainkan Theana yang asli.Thea duduk di ruang makan, menikmati sarapannya dengan sikap acuh tak acuh. Darren duduk di depannya, tetapi suasana makan pagi mereka terasa hampa. Darren mencoba mencairkan suasana dengan sebuah pertanyaan. “Sayang, apa rencanamu hari ini?” Thea menoleh sebentar sebelum menjawab singkat, “Tidak ada yang istimewa. Aku hanya ingin beristirahat.” Nada suaranya datar, tanpa kehangatan seperti biasa. Darren terdiam, tidak ingin memicu suasana yang lebih canggung. Arthur yang baru datang dari arah tangga melihat interaksi itu, tetapi memilih untuk tidak ikut campur. Saa
Ruang tamu mansion sore itu dipenuhi aroma manis dari kue-kue mahal yang tersaji di atas meja marmer. Irish menatap deretan cake di depannya—terlihat lezat dan sempurna. Ia baru saja hendak mengambil sepotong egg tart saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa berpikir panjang, ia meletakkan kembali sendok kecil di tangannya dan meraih ponsel. “Ya, ini aku…” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keramaian. Ekspresi Irish berubah tajam, tegang, seolah ada sesuatu yang mendesak. “Sekarang? Baiklah, aku akan segera ke sana.” Setelah menutup telepon, ia berdiri dengan terburu-buru. Pelayan yang menyadari perubahan sikap Irish mendekat dengan raut heran. “Nona Thea, apakah Anda baik-baik saja? Kita masih punya beberapa kue lagi untuk dicoba…” “Saya harus pergi sebentar,” jawab Irish singkat, menyembunyikan kecemasannya. “Tolong sampaikan pada Darren kalau saya akan pulang sebelum malam.” Pelayan itu mengangguk sopan meski jelas terlihat bingung. Irish melangkah cepat kel
Di apartemen mewah yang bersebelahan dengan gedung pencakar langit di pusat kota, Theana duduk di sofa putih bersih yang kontras dengan suasana hatinya yang kacau. Wajahnya dipenuhi amarah dan rasa bingung yang luar biasa. Tangannya yang gemetar menggenggam tablet sepuluh inci. Matanya tajam menatap layar yang menampilkan sebuah artikel. Tablet sepuluh inci yang digenggamnya mengguncang di tangannya, matanya menatap layar dengan penuh kebencian. Sebuah artikel besar tertulis dengan jelas."Pernikahan Pewaris Monearchi Group, Darren Mahendra Castlemore, Diumumkan! Calon Istri: Theana Cornel Waverly, Wanita Beruntung yang Memikat Hati Sang Pewaris."Namun yang membuat darah Theana mendidih, dan jantungnya hampir berhenti berdetak, adalah wajah yang muncul di berita itu adalah wajah yang hampir sama dengan wajahnya. Semua yang ia tahu tentang dirinya, tentang siapa dia, kini terasa seperti direbut orang lain. Bukan hanya karena wanita itu yang kini berdiri di samping Darren, tapi juga k
Arthur tiba di mansion dengan langkah cepat dan pikiran yang sama kacaunya. Langit malam begitu hening, dan suasana di sekelilingnya sepi. Sesuai dugaannya, sebagian besar penghuni mansion sudah beristirahat, termasuk Darren dan ibunya. Namun, pikirannya hanya tertuju pada satu orang.Dengan napas yang masih memburu akibat langkah tergesa-gesanya tadi, Arthur masuk ke dalam mansion dengan hati-hati. Ia menapaki tangga tanpa suara, menuju kamar Irish di lantai atas. Perasaan cemas bercampur rindu membuatnya semakin sulit berpikir jernih. Ia tahu tindakannya mungkin tidak tepat, tetapi ia merasa harus melihat Irish saat ini, memastikan wanita itu baik-baik saja.Begitu tiba di depan pintu kamar Irish, Arthur menggenggam gagang pintu perlahan dan mencoba membukanya. Keberuntungan ada di pihaknya—pintu itu tidak terkunci. Arthur mendorongnya perlahan, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara yang membangunkan siapa pun.Di dalam kamar yang remang-remang, Arthur melihat Irish
Irish menuruni tangga perlahan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih yang mempertegas kecantikannya yang alami. Tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha menampilkan senyum tipis di wajahnya. Ia tahu, apa pun yang sedang dirasakannya saat ini harus disembunyikan sebaik mungkin di depan Darren.Di bawah, Darren sudah menunggunya dengan sebuket mawar merah di tangan—bunga favorit Thea. Wajah pria itu terlihat tegang sekaligus antusias. Saat Irish muncul di ujung tangga, Darren terpana. Matanya membelalak sedikit, seolah melihat sosok yang sudah lama dirindukan. Ia terdiam beberapa saat, seakan lupa bagaimana caranya bernapas.Irish menangkap ekspresi itu dan merasa dadanya sesak. Bukan karena tersentuh, tetapi karena rasa bersalah yang kian menumpuk. Ia tahu, Darren tidak sedang melihat dirinya—ia melihat bayangan Thea.Ragu, Irish melangkah mendekat. Namun sebelum ia sempat sampai di depan Darren, pria itu sudah menghampirinya lebih dulu dan memeluknya erat. Irish terkejut, t
Siang itu, Irish duduk di kamar dengan tubuh lemas. Sejak pulang dari butik, rasa lelahnya semakin terasa. Pikirannya terus berkecamuk, memikirkan persiapan pernikahan, tekanan dari Nyonya Wina, dan, yang paling mengganggu, kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini terasa tidak biasa. Pandangannya tertuju pada kalender di meja rias. Ia mulai menghitung tanggal dengan teliti, dan seketika wajahnya memucat. "Satu bulan…” bisiknya, seolah tidak percaya. Ia mencoba mengabaikan rasa cemas, tetapi pikirannya semakin kacau. Apa mungkin dirinya hamil? Pikiran itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Namun, Irish tahu ia tidak bisa membiarkan ini mengganggu pikirannya lebih lama. Ia harus memastikan.Tak menunggu waktu lama, dengan alasan ingin berjalan-jalan untuk menghirup udara segar, Irish keluar dari mansion seorang diri. Ia meminta sopir berhenti di depan sebuah minimarket. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikannya, Irish masuk dengan langkah gugup. Saat tiba di bagian ala