Malam semakin larut, Darren terbaring di tempat tidurnya, wajahnya berkeringat meski malam itu udara cukup dingin. Dalam tidur yang gelisah, ia terperangkap dalam mimpi buruk yang sering menghantui setiap malam. Mimpi itu selalu membawa Darren kembali ke hari yang mengubah segalanya.Darren yang masih mengenakan seragam putih abu-abu mengemudi di jalan berliku yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Matahari mulai terbenam, menciptakan bayangan panjang di jalan. Deo, sahabatnya duduk di samping. Tertawa dan bercanda tentang rencana mereka untuk masa depan. Suasana di dalam mobil itu begitu riang dan menyenangkan."Aku punya kabar bagus, Darren, aku hampir menyelesaikan lukisan terbesarku," kata Deo dengan semangat. "Aku yakin kali ini karyaku akan masuk galeri yang selama kuimpikan.""Aku tidak sabar melihatnya. Sejak dulu aku tahu kau memang berbakat." Darren tersenyum bangga. Sesekali ia menoleh pada Deo lalu kembali fokus pada jalan.Namun, dalam sekejap, suasana itu berubah. Sebua
Pagi itu, ruangan terasa hangat meski angin sejuk menyusup dari jendela terbuka. Cahaya matahari yang lembut menyinari lantai kayu, menciptakan pola cahaya dan bayangan di sekitarnya. Irish menangkap raut tak biasa yang Darren tunjukkan. Setelah beberapa saat, dia menghembuskan napas dan akhirnya melanjutkan kalimat."Darren," suara Irish terdengar lembut. "Aku ingin mencoba melukis ... mungkin ini cara yang baik untuk menghabiskan waktu bersama."Darren tersenyum. Wajahnya sudah tampak lebih tenang meskipun matanya kosong. Kuas dan aroma cat adalah hal yang membuatnya muak saat ini, tetapi ia takkan mampu menolak apapun keinginan wanita di depannya."Melukis?" Darren tersenyum lembut. "Sejak kapan kamu tertarik melukis?"Irish tersenyum canggung. "Aku pikir... aku bisa mencoba belajar darimu." Tatapannya sedikit menghindar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Mungkin ini bisa jadi cara baru bagi kita untuk terhubung. Kamu tau, ingatanku ...."Cuma Irish yang tahu jika ini cuma a
Laju mobil putih membelah kepadatan pusat kota siang itu. Di dalamnya, terdapat sepasang pria dan wanita yang sedang beradu argumen. "Lihat saja, Darren, bundamu masih tidak mau menerimaku sebagai menantu. Percuma saja aku datang jauh-jauh dari Singapura jika yang kudapat cuma penolakan," ujar wanita cantik dengan dress salem gusar. "Tenang, Sayang. Bunda pasti menerima pernikahan kita, hanya tinggal menunggu waktu." Pria tampan di belakang kemudi berusaha fokus pada jalan. Meski demikian satu tangannya menggenggam tangan si wanita. "Sampai kapan? Dua tahun seperti ini. Aku lelah. Mungkin ucapan bundamu benar jika aku bukan calon istri yang baik." Wanita bernama Thea itu menepis sentuhan Darren. "Thea, kamu adalah calon istri terbaik. Ingat pesan dokter. Kamu tidak boleh stress," ujar Darren yang masih tampak sabar menghadapi omelan wanitanya. Pria itu bahkan menggapai kembali tangan Thea dan menciumnya. "Tapi aku juga- Darren, awass!!!"Thea tak sempat menyelesaikan kalimatnya k
Sore itu juga Irish pergi bersama Nyonya Wina. Ia menurut saja ketika diminta memasuki mobil hitam yang tampak mewah nan mengilat. Bajunya juga telah berganti, bukan lagi seragam putih hitam. Ya, Irish menerima tawaran sang pemilik toko.Roda-roda mobil bergerak meninggalkan area toko cake. Kedua tangan Irish saling meremas di atas pangkuan. Wanita itu masih menimbang dalam hati apakah keputusannya tepat. "Saya melakukan ini demi Darren. Dia kehilangan penglihatan sejak kecelakaan tiga bulan lalu," ujar Nyonya Wina tanpa ditanya. "Tapi kenapa Ibu memilih saya?" "Karena secara fisik kamu sangat mirip dengan Thea."Demi kepercayaan Irish, Nyonya Wina mengambil ponsel dari dalam handbag dan membuka galeri. Tampak foto-foto wanita yang berpose sendirian dan juga bersama seorang pria. Irish berasumsi jika pria itulah putra Nyonya Wina. "Lihat ini." Nyonya Wina mengarahkan ponsel dengan layar menampilkan foto Thea. Benar, ia dan Thea sangatlah mirip. Yang membedakan hanyalah model ramb
Keheningan segera tercipta seusai Darren berbicara. Bahkan tiga pelayan di ruangan tersebut saling lirik dalam diam. Pria itu masih menunggu dengan pandangan lurus ke depan."Sekali-kali aku ingin mencoba udang, Darren. Tenang saja, aku sudah minum pil anti alergi," alih Irish dan Nyonya Wina mengangguk penuh kelegaan. "Jaga kesehatan, Sayang. Jangan membuatku khawatir," ujar Darren sembari tersenyum manis."Tentu." Irish mengangguk kecil lalu menunduk. Wajah tampan dan senyum mempesona pria itu, paduan yang mampu membuat pipinya memanas. Nyonya Wina memulai aktifitas makannya tanpa berkomentar. Sedangkan Irish masih mengamati bagaimana Darren makan. Nyatanya tingkah pria itu normal, ia bisa makan tanpa bantuan. Malam pertama di mansion megah, Irish mendapat kamar cukup luas di lantai dua. Satu koridor dengan beberapa kamar lain. Pelayan berwajah teduh mengantarnya hingga di depan pintu. "Jika Nona butuh sesuatu, jangan sungkan untuk memanggil saya.""Baiklah. Siapa namamu?" Irish
Mulut Irish terbuka lalu tertutup. Namun suaranya tak kunjung keluar. Ia tak menemukan alasan untuk menjawab hardikan putra kedua dari Nyonya Wina itu."Dengar, Thea, berhenti memberi pengaruh buruk pada kakakku! Tidak cukup bagimu telah membuatnya buta? Kau belum puas?"Irish terhenyak. Entah ia harus lega atau kesal menghadapi amarah Arthur. Kata-kata tak menyenangkan baru saja jelas untuk Thea. Dan Irish harus bersabar karena pria itu belumlah selesai. "Kau melakukan semua ini agar aku cemburu, bukan? Lupakan saja, hubungan kita sudah selesai saat itu. Jadi jangan ganggu hidup kakakku lagi!"Tangan Arthur mengepal tepat di samping wajah Irish yang masih berdiri bersandar. Irish menatap mata Arthur lekat. Meski bibirnya berujar kemarahan, sorot matanya mengatakan hal lain. "Sudah selesai? Bisakah aku membuat coklat panas untuk Darren sekarang?" tanya Irish. Pertanyaan polos yang Irish lontarkan meluruhkan emosi Arthur. Pria itu mematung dan membiarkan Irish pergi melenggang menuj
Arthur mencari keberadaan Irish setelah menutup panggilan. Wanita cantik itu tidak terlihat padahal beberapa saat lalu masih ada kenampakannya bersama gadis kecil. "Ke mana dia?" Arthur yang petang itu mengenakan cardigan hijau tua dan celana khaki mulai berjalan. Sementara itu Irish tak menyangka jika di toilet wanita itu akan bertemu sepupu dari pihak ibunya, Winda. Usai memastikan situasi aman, Irish menghambur ke pelukan wanita itu. "Lama tidak ada kabar, kamu makin cantik," komentar Winda seraya memperhatikan setelan mahal saudaranya itu. Terakhir mereka bertemu sekitar satu tahun lalu di acara reuni keluarga. "Kamu juga cantik, Win," balas Irish senang. "Kamu masih tinggal di kontrakan lama? Kemarin aku main ke sana ternyata kosong.""Aku tinggal di mess karyawan," jawab Irish asal. "Kerja di mana sekarang memangnya?"Pertanyaan yang paling Irish hindari kini terdengar. Tak mungkin ia mengatakan dengan jujur tentang pekerjaannya. Irish mulai memutar otak."Aku merawat ora
Irish terkejut akan serangan Arthur yang tiba-tiba. Tubuhnya yang ramping tentu tidak sanggup menahan bobot pria yang tinggi dan proporsional itu. Ditambah Arthur yang dalam keadaan lemas. Dua orang seketika terjatuh kembali ke ranjang dengan Irish pada sisi bawah."Arthur, lepaskan!" Irish meronta."Tidak, aku ingin memelukmu sepuasnya. Selama ini aku selalu cemburu tiap kali kamu dekat dengan Kak Darren." Nada bicara Arthur tak jauh berbeda dengan bocah tujuh tahun yang sedang merajuk."Tapi aku kesulitan bernafas, lepaskan aku," ujar Irish melunak."Baiklah, aku terlalu bersemangat. Maafkan aku." Arthur mengubah posisi sehingga Irish akhirnya bisa menarik napas lega."Jadi ini benar-benar mimpi, Thea?" Arthur masih mengulum senyum. Tak tampak lagi sikap angkuh dan menyebalkan ketika mereka berbelanja kemarin. Saat ini Irish bagai melihat sisi lain Arthur.'Dia terlihat sangat manis jika seperti ini,' ucap Irish dalam hati."Apa boleh aku memelukmu lagi?" Arthur menatap manik mata I
Pagi itu, ruangan terasa hangat meski angin sejuk menyusup dari jendela terbuka. Cahaya matahari yang lembut menyinari lantai kayu, menciptakan pola cahaya dan bayangan di sekitarnya. Irish menangkap raut tak biasa yang Darren tunjukkan. Setelah beberapa saat, dia menghembuskan napas dan akhirnya melanjutkan kalimat."Darren," suara Irish terdengar lembut. "Aku ingin mencoba melukis ... mungkin ini cara yang baik untuk menghabiskan waktu bersama."Darren tersenyum. Wajahnya sudah tampak lebih tenang meskipun matanya kosong. Kuas dan aroma cat adalah hal yang membuatnya muak saat ini, tetapi ia takkan mampu menolak apapun keinginan wanita di depannya."Melukis?" Darren tersenyum lembut. "Sejak kapan kamu tertarik melukis?"Irish tersenyum canggung. "Aku pikir... aku bisa mencoba belajar darimu." Tatapannya sedikit menghindar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Mungkin ini bisa jadi cara baru bagi kita untuk terhubung. Kamu tau, ingatanku ...."Cuma Irish yang tahu jika ini cuma a
Malam semakin larut, Darren terbaring di tempat tidurnya, wajahnya berkeringat meski malam itu udara cukup dingin. Dalam tidur yang gelisah, ia terperangkap dalam mimpi buruk yang sering menghantui setiap malam. Mimpi itu selalu membawa Darren kembali ke hari yang mengubah segalanya.Darren yang masih mengenakan seragam putih abu-abu mengemudi di jalan berliku yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Matahari mulai terbenam, menciptakan bayangan panjang di jalan. Deo, sahabatnya duduk di samping. Tertawa dan bercanda tentang rencana mereka untuk masa depan. Suasana di dalam mobil itu begitu riang dan menyenangkan."Aku punya kabar bagus, Darren, aku hampir menyelesaikan lukisan terbesarku," kata Deo dengan semangat. "Aku yakin kali ini karyaku akan masuk galeri yang selama kuimpikan.""Aku tidak sabar melihatnya. Sejak dulu aku tahu kau memang berbakat." Darren tersenyum bangga. Sesekali ia menoleh pada Deo lalu kembali fokus pada jalan.Namun, dalam sekejap, suasana itu berubah. Sebua
Tak butuh waktu lama bagi Arthur untuk mengganti setelan kantornya menjadi pakaian yang lebih nyaman digunakan. Sedang di area piano, dua sejoli itu masih bercengkrama. Diiringi canda dan tawa kecil khas pasangan. Mendengar langkah kaki mendekat, sepertinya Darren sadar jika itu adalah adik semata wayangnya. Ia memanggil Arthur yang sedianya ingin melewati mereka begitu saja."Ada apa?" Ia menatap Darren dan Irish bergantian."Apa kau sibuk?""Tidak juga. Aku sedang ingin berjalan-jalan di halaman belakang." Pria muda itu mengangkat bahu."Kebetulan sekali. Thea sedang ingin mencari udara segar. Maukah kamu menemaninya keluar?" Darren memasang senyum tenang seperti biasanya. Arthur diam sejenak, ia melirik Irish yang langsung memalingkan wajah. Entah ini ide siapa, yang jelas ia takkan menolak. Karena ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan pada wanita itu."Ya, bukan masalah. Mari, kakak ipar," ajak Arthur dan Irish mengangkat dagu demi bisa menatapnya."Baiklah, pastikan kalian be
Arthur menggenggam erat surat ditangan. Kepalanya tergeleng samar, tak menyangka akan apa yang telah ia temukan. "Ini ... perjanjian antara bunda dan Irish? Untuk berpura-pura menjadi Thea dan membujuk Darren untuk menerima donor mata?"Tak butuh waktu lama pria muda itu segera kembali menemui sang ibu. Surat perjanjian masih berada di tangannya. Ia berjalan cepat. Dengan wajah tegang, Arthur mengkonfrontasi Nyonya Wina."Apa maksudnya ini, Bunda? Kenapa ada surat perjanjian seperti ini?" Ia letakkan map di atas meja, tepat di hadapan sang ibu.Nyonya Wina terkejut tapi mencoba tetap tenang. Sebelum menghadapi sang putra kedua, ia harus memastikan jika di sekitar mereka aman. Sedangkan beberapa meter arah pukul tiga terdapat seorang pelayan yang hendak mengantar selimut untuk Darren."Arthur, sabar dulu. Mari kita bicara di tempat yang lebih tenang," ajaknya dengan gaya anggun dan kalem seperti biasanya.Dengan patuh, Arthur mengikuti langkah sang ibu kembali ke ruang kerja. Nyonya Wi
Matahari mulai kembali ke peraduan. Langit jingga berangsur menjadi biru gelap. Desau angin yang menemani hujan, datang bersama senandung binatang malam.Arthur dan Irish duduk di kursi rumah kayu yang lebih tepat dikatakan pondok, ditemani penerangan lampu kecil yang temaram. Keheningan di antara mereka terasa nyaman, hanya diiringi suara hujan yang menetes di atap.Tangan Arthur meraih sebuah selimut tua yang ditemukan di sudut dan memberikannya kepada Irish. "Ini, pakai selimut ini.""Terima kasih."Kembali mereka terlibat dalam percakapan ringan. Tidak nampak kecanggungan di antara kedua orang itu. Meski demikian, Arthur secara tersirat memancing supaya Irish mau membuka diri padanya."Apa rencanamu setelah ini? Menikah dengan Kak Darren?" "Tidak, aku tidak berpikir sejauh itu," sahut Irish. Netranya menerawang melalui jendela persegi tanpa tirai."Bukankah tujuan dari hubungan kalian adalah pernikahan?" Arthur nyaris tersenyum."Hm, maksudku aku dan Darren masih muda, masih jauh
Sore dengan sedikit mendung. Dua mobil terparkir rapi di halaman depan mansion. Bukan milik Nyonya Wina maupun para putranya, melainkan milik kerabat dekat yang dinantikan kehadirannya sejak berjam-jam yang lalu.Ruang tengah dan ruang makan disulap lebih cantik dengan hiasan bungan Peony putih. Para pelayan sibuk ke sana kemari mengerjakan apa saja tugas yang Nyony Wina berikan melalui kepala pelayan.Irish berjibaku di dapur, membantu membuat dessert ataupun memastikan jika mungkin ada sajian yang belum sempurna. Ia merasa lebih baik begini daripada harus berkumpul dengan orang-orang yang berbeda kasta dengannya."Benar, Nona Sofia sangat cantik," ungkap salah seorang pelayan yang baru kembali ke dapur usai menyajikan appetizer, membuat heboh seisi dapur dalam sekejap."Benar, 'kan apa yang kubilang. Calon istri Tuan Arthur sangat cantik. Mereka pasangan yang serasi," timpal pelayan yang lain."Jadi kapan mereka akan menikah?" "Tidak mungkin secepat itu, Tuan Arthur ingin kakaknya
Pagi menjelang siang. Irish bersama seorang pelayan tengah berada di pusat perbelanjaan kota. Lebam dan luka pada pipi Irish belum benar-benar sembuh. Tapi wanita itu dengan lincah memilih bahan kue dan juga buah sesuai pesanan si nyonya."Apa Tante Wina akan mengadakan pesta?" Irish menerka. Mereka bahkan diminta membeli memesan bunga segar untuk dekorasi."Saya dengar akan ada kerabat yang datang berkunjung, Nona.""Ooh, pantas saja. Setelah ini kita akan membeli gelato dan ... dan memakannya dengan santai?" Irish sempat tak percaya saat membaca pesan Nyonya Wina pada layar ponselnya."Saya mau gelato rasa coklat, Nona," sambar Nina mendengar pesan itu. Ia tersenyum malu-malu mau saat Irish menatapnya."Baiklah ayo kita makan gelato, kita cuma melaksanakan tugas. Benar, 'kan, Nina?" Irish dan Nina kemudian tertawa bersama.Antrian pada stan gelato cukup panjang. Sembari menunggu, Irish menitipkan tas belanja yang telah terisi penuh pada Nina. Sedang ia menuju toilet tanpa menyadari
Irish bangun lebih pagi hari itu. Segera setelah mandi ia turun dengan setelan berwarna abu muda. Karenanya, Irish baru mengetahui jika kepala pelayan selalu mengadakan briefing pada belasan bawahannya.Irish mengamati para pelayan dengan seragam dan tatanan rambut rapi itu. Ia sudah hampir mengingat nama mereka. Kecuali satu orang. Pelayan baru yang masuk sejak dua hari lalu. Wanita itu selalu menunduk tiap kali berpapasan dengan Irish, tidak pernah mengeluarkan suaranya.Pukul tujuh tepat, semua anggota keluarga telah mengelilingi meja makan. Arthur dengan pakaian khas kantor begitu pula Darren. Kemarin pria itu mengatakan pada Irish jika ia harus menandatangani suatu berkas penting di kantor hari ini."Kamu mau ikut ke kantor?" Darren berbicara dengan sedikit menoleh ke arah kanan, posisi duduk Irish berada."Bunda akan mengajak Thea berbelanja, Darren," jawab Nyonya Wina mewakili Irish.Tiba saatnya makanan di sajikan. Seorang pelayan memberikan susu pisang untuk Arthur dan kopi s
Arthur masih menatap Irish tanpa berkedip. Diperlakukan seperti itu, Irish menjadi salah tingkah. Ia tidak menyangka saat-saat seperti ini akan datang lebih cepat dari perkiraan. Sepertinya ia memang tidak berbakat dalam hal penyamaran.Jika boleh, Irish ingin mengaku dan mengakhiri kontrak sampai di sini saja. Namun bagaimana dengan Nyonya Wina? Tentu ia akan dicap sebagai pencuri jika pergi tanpa menyelesaikan tugasnya. Tidak, rahasianya tidak boleh terbongkar begitu saja. Irish menggeleng tanpa ketara."Aku ... aku Theana. Mantan kekasihmu sekaligus calon kakak iparmu. Kenapa tiba-tiba kamu bersikap aneh, Arthur?" Irish menerbitkan senyum percaya diri.Arthur membalas senyum itu. Ternyata tidak mudah membuat wanita di depannya mengaku. Baginya tidak masalah, ia akan tetap mencari tahu siapa sosok di balik kekasih palsu Darren saat ini."Mungkin aku cuma lelah setelah menggendongmu dari tepi kolam ke kamar." Arthur tertawa kecil, berpura-pura lelah sembari memukul-mukul pundaknya."