Irish mengikuti Arthur dengan langkah gugup. Tatapan pria itu membuatnya merasa seolah seluruh rahasianya telah dibongkar. Mereka berhenti di teras belakang, tempat angin sejuk bertiup lembut, membawa aroma bunga mawar dari taman. Kebetulan tidak ada pelayan dan penjaga yang berseliweran di titik itu.Arthur memutar tubuhnya, menatap Irish dengan ekspresi dingin. "Kenapa kamu di sini, Irish?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Irish tercekat. Nama itu keluar dari bibir Arthur tanpa keraguan, dan semua upaya untuk tetap menjadi Thea seketika runtuh. Dia mencoba menyangkal, tapi tatapan tajam Arthur membuatnya tahu bahwa itu sia-sia. "Aku... aku cuma berniat membantu Darren," jawab Irish pelan, menundukkan kepala. "Dia membutuhkan seseorang." Arthur mendengus, menyilangkan tangan di dada. "Membantu Darren? Dengan berpura-pura menjadi Thea? Kamu sadar apa yang kamu lakukan, Irish? Kamu bermain dengan api." Irish mengangkat wajahnya, menatap Arthur dengan tatapan memohon. "Aku ti
Ballroom megah hotel bintang lima itu dipenuhi para tamu undangan yang mengenakan pakaian formal terbaik mereka. Lampu kristal besar di langit-langit memancarkan kilauan mewah, sementara musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan. Darren masuk dengan Irish di sisinya. Meski tak bisa melihat, Darren tetap membawa aura percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membuatnya tampak berwibawa. Di sampingnya, Irish—yang mengenakan gaun biru tua dengan detail sederhana namun elegan—terlihat berusaha tetap tenang meski pikirannya berkecamuk. Xander Greystone, tuan rumah malam itu, segera memperhatikan kedatangan mereka. Dengan langkah penuh kemant, ia mendekati Darren, menyunggingkan senyum ramah yang tidak sepenuhnya tulus. "Darren, sungguh sebuah kehormatan kau bisa datang," ujar Xander sambil menjabat tangan Darren dengan hangat. "Terima kasih atas undangannya, Tuan Greystone," balas Darren dengan nada ramah, meskipun gestur tubuhnya kaku. Ia tidak sepenuhnya nyaman dengan suasa
Irish mengejar Darren yang memutuskan pergi seusai berbicara sejenak dengan Arthur, menyusuri lorong hotel yang sepi. “Darren, tunggu! Apa yang tadi kamu dengar itu tidak seperti yang mereka maksud. Aku bisa menjelaskan!” Darren menghentikan langkahnya, tetapi tidak langsung menoleh ke Irish. Ia berdiri dengan bahu yang tegang, seolah sedang menahan sesuatu yang berat. “Kamu tidak perlu menjelaskan, Thea...” Terdapat jeda panjang sebelum ia melanjutkan. “Aku hanya... ingin sendiri untuk sementara.” Irish mendekat, suaranya bergetar. “Aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi aku bisa membantumu melewati ini. Kumohon, jangan menutup diri." Darren menundukkan kepala, tangan kanannya menggenggam tongkat yang biasa ia gunakan untuk berjalan. “Aku menghargai niatmu, tapi aku benar-benar butuh waktu sendiri sekarang. Beri aku waktu untuk berpikir.” Irish terdiam. Rasa bersalah dan kekhawatiran menguasainya, tetapi dia tahu memaksa tidak akan membantu. “Kalau begitu... setidaknya biarkan
Arthur sedang berbincang santai dengan beberapa kolega ketika ia menyadari Irish sudah cukup lama tidak terlihat. Sekilas ia melirik ke sekeliling ballroom, tetapi bayangan Irish sama sekali tak tampak.'Ke mana dia pergi? Dia tidak kenal siapa pun di sini. Dia pasti merasa canggung.' Arthur berujar dalam hati.Arthur meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Irish. Nada sambung terdengar, tetapi tak lama panggilan itu terputus. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan masuk di ponselnya:“Aku harus menyelesaikan sesuatu. Kalian pulang saja duluan, aku akan menyusul nanti.”Arthur mengerutkan kening. Pesan itu terasa tidak wajar, apalagi Irish biasanya tidak meninggalkan Darren tanpa alasan yang jelas.Beberapa detik lalu.Di sebuah kamar VIP yang telah Xander atur, Irish duduk terpojok dengan wajah ketakutan. Pedro berdiri di sudut dengan senyuman penuh ejekan, sementara Xander memainkan ponsel Irish di tangannya.“Arthur selalu menjadi pria yang terlalu percaya diri. Dia pasti akan mene
Di luar hotel, Darren menunggu di dalam mobil dengan tenang, ditemani oleh bawahannya. Ketika pintu terbuka, ia segera mengarahkan wajahnya ke arah suara langkah Arthur dan Irish. "Sayang, kamu baik-baik saja?" Darren bertanya, suaranya mengandung rasa khawatir yang tulus. Irish hanya menjawab dengan suara gemetar, "Aku... aku tidak apa-apa." Namun, Darren, meski tidak bisa melihat, bisa merasakan ada sesuatu yang salah. Suasana di dalam mobil terasa berat, dan setiap gerakan Irish terdengar gugup—sesuatu yang jarang terjadi. Arthur menahan diri untuk tidak mengatakan apa pun, tetapi Darren tahu. "Ada yang terjadi, kan?" Darren bertanya lagi, kali ini nada suaranya lebih serius. Irish mencoba menjawab dengan tenang, "Tidak ada apa-apa, Darren. Aku hanya... tidak terbiasa dengan pesta besar seperti tadi." Akan tetapi, Darren mendengar sesuatu yang tidak biasa dalam suaranya—sebuah ketakutan yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Beberapa hari kemudian, Darren memutar ula
Keesokan paginya, suasana di meja makan terasa canggung. Darren duduk dengan tenang, ditemani ibunya, Nyonya Wina, dan beberapa pelayan yang melayani sarapan. Kursi di sebelah Darren, yang seharusnya diduduki Irish, kosong. "Di mana Thea?" Darren bertanya akhirnya, memecah keheningan. Nyonya Wina mengangkat bahu, memasang senyum tipis. "Mungkin dia sedang butuh waktu sendiri, Darren. Kau tahu dia seperti apa." Darren mendengus kecil tapi tidak berkomentar.Namun, Arthur, yang duduk di sisi lain meja, memperhatikan bahwa ini berbeda. Irish tidak pernah menghilang seperti ini sejak ia mengenalnya. Ia juga tahu Darren tidak sepenuhnya peka terhadap perubahan kecil pada orang-orang di sekitarnya, terutama karena kebutaan yang membatasi. Arthur meletakkan sendoknya perlahan, berdiri, dan berkata, "Aku akan melihat ke kamarnya." Nyonya Wina meliriknya dengan ekspresi penasaran, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Darren hanya mengangguk kecil, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Arthur
Suasana di ruang tunggu rumah sakit terasa tegang. Darren duduk dengan gelisah di kursi tunggu, ditemani Nyonya Wina yang berusaha menjaga ketenangannya meski jelas-jelas cemas. Terlebih mengingat ia sempat menekan Irish secara psikis malam tadi."Nak, kamu yakin ingin ikut?" tanya Nyonya Wina dengan suara lembut namun penuh khawatir. "Kamu bisa saja beristirahat di rumah—" "Aku harus tahu, Bunda," potong Darren cepat, nada suaranya terdengar tegas. Rahangnya mengatup rapat, wajahnya dipenuhi kecemasan yang tak biasa. "Thea ... beberapa hari ini aku mengabaikannya. Jika sesuatu terjadi padanya karena aku..." Nyonya Wina hanya bisa menatap putranya, tak mampu menyangkal rasa bersalah yang ia lihat di wajah Darren. Ia tahu, putranya memang keras kepala dan pendiam, tapi perasaannya pada Iris—yang ia percayai sebagai Thea—sungguh dalam. Tak lama, pintu ruang pemeriksaan terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi serius di wajahnya. Arthur, yang berdiri di dekat pintu, segera me
Di kamar rawat, Darren masih berada di sisi Irish yang tertidur karena pengaruh obat. Wajahnya dipenuhi penyesalan, tetapi tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan cepat. Seorang perawat masuk tergesa-gesa, diikuti dua orang berbaju hitam yang tidak dikenal. "Maaf, Pak, i-ini saatnya pasien untuk-" Suara perawat terdengar terbata."Ck, lamban sekali. Cepatlah!" gerutu salah satu pria yang berusaha memelankan suara."Ssstt!" Sedang pria lain memberi kode agar temannya bersikap lebih tenang."Permisi, siapa kalian?" Darren bertanya dengan waspada. Salah satu pria berjas hitam mendekat, suaranya rendah dan mengintimidasi. "Kami keluarga pasien. Tolong tinggalkan ruangan." Darren menggenggam tongkatnya lebih erat. "Kalian bukan keluarga Theana. Siapa kalian sebenarnya?" Tanpa basa-basi, salah satu pria itu memberi isyarat, dan perawat tampak gugup sebelum bergegas keluar ruangan. Darren sadar situasinya tidak aman. "Kalian tidak akan menyentuhnya," ucap Darren tajam. Pria itu mende
Malamnya, Arthur tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Sikap ‘Irish’ yang semakin aneh membuatnya resah, terlebih ucapan dingin wanita itu di balkon tadi malam. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu—sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan langkah hati-hati, Arthur berjalan menyusuri koridor menuju kamar Thea. Lampu-lampu di mansion redup, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus jendela besar di ujung lorong. Arthur berhenti di depan kamar Thea. Pintu kamar itu tertutup, tetapi samar-samar ia mendengar suara seseorang berbicara di dalam. Arthur mendekat, menempelkan telinganya ke pintu. Suara itu milik Thea. Awalnya terdengar samar, tetapi kemudian ia bisa menangkap kata-kata yang diucapkan dengan jelas. “Alann, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir,” suara Thea terdengar tenang, tetapi Arthur bisa menangkap nada ketidaksabaran di dalamnya. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Arthur menahan napas. Na
Pagi itu, Arthur terbangun dengan rasa berat di dadanya. Saat matanya terbuka dan ia menatap langit-langit kamarnya, ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Terkadang, mimpi terasa begitu nyata, dan Arthur hampir tidak bisa membedakan apakah pertemuannya dengan Thea di balkon adalah kenyataan atau hanya khayalan. Namun, saat ia mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya dan suara cangkir yang beradu di meja, dia sadar bahwa itu bukan mimpi. Dengan perlahan, ia keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan.Di meja sarapan, Thea sudah duduk dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Matanya terfokus pada piring di depannya, seolah tidak peduli dengan keberadaan Arthur. Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan hangat yang biasa dia berikan. Arthur berdiri sebentar di pintu, merasa ada jarak yang lebih jauh antara mereka dari sebelumnya. Perlahan, ia duduk di kursi berseberangan dengan Thea dan mulai sarapan, mencoba menghindari pandangannya. Namun, ada perasaan aneh yang menggel
Malam itu, mansion terasa sunyi. Hanya suara angin yang sesekali terdengar dari luar, menyapu dedaunan di taman. Arthur berjalan menyusuri lorong dengan langkah mantap. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan dengan Darren, sesuatu yang selama ini mengganjal di pikirannya. Namun, saat ia mendekati kamar Darren, langkahnya terhenti tiba-tiba. Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, terdengar suara samar. Arthur memiringkan kepalanya, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara itu berasal dari Thea. Nada suaranya lembut, tetapi ada sesuatu yang berbeda—seolah ia sedang membujuk Darren. “Ayolah, Darren… hanya malam ini. Aku ingin kita lebih dekat lagi. Kita akan menikah, tidak ada salahnya, kan?” suara Thea terdengar manja, menggoda dengan nada penuh rayuan. Arthur menegang di tempatnya. Jantungnya berdebar kencang, tak nyaman mendengar percakapan itu. Namun, rasa ingin tahunya membuatnya tetap berdiri di sana. Di dalam kamar, Darren duduk di tepi ranjang dengan ekspresi canggu
Beberapa hari kemudian, mansion tetap sunyi seperti biasa, namun atmosfernya terasa lebih berat. Pelayan-pelayan mansion terlihat lebih berhati-hati saat menjalankan tugas mereka. Mereka tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Irish yang belakangan ini sulit diprediksi. Ya, sikap Irish berubah sejak menghilang. Dan belum ada yang menyadari jika sosok yang kembali saat itu bukan lagi Irish, melainkan Theana yang asli.Thea duduk di ruang makan, menikmati sarapannya dengan sikap acuh tak acuh. Darren duduk di depannya, tetapi suasana makan pagi mereka terasa hampa. Darren mencoba mencairkan suasana dengan sebuah pertanyaan. “Sayang, apa rencanamu hari ini?” Thea menoleh sebentar sebelum menjawab singkat, “Tidak ada yang istimewa. Aku hanya ingin beristirahat.” Nada suaranya datar, tanpa kehangatan seperti biasa. Darren terdiam, tidak ingin memicu suasana yang lebih canggung. Arthur yang baru datang dari arah tangga melihat interaksi itu, tetapi memilih untuk tidak ikut campur. Saa
Ruang tamu mansion sore itu dipenuhi aroma manis dari kue-kue mahal yang tersaji di atas meja marmer. Irish menatap deretan cake di depannya—terlihat lezat dan sempurna. Ia baru saja hendak mengambil sepotong egg tart saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa berpikir panjang, ia meletakkan kembali sendok kecil di tangannya dan meraih ponsel. “Ya, ini aku…” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keramaian. Ekspresi Irish berubah tajam, tegang, seolah ada sesuatu yang mendesak. “Sekarang? Baiklah, aku akan segera ke sana.” Setelah menutup telepon, ia berdiri dengan terburu-buru. Pelayan yang menyadari perubahan sikap Irish mendekat dengan raut heran. “Nona Thea, apakah Anda baik-baik saja? Kita masih punya beberapa kue lagi untuk dicoba…” “Saya harus pergi sebentar,” jawab Irish singkat, menyembunyikan kecemasannya. “Tolong sampaikan pada Darren kalau saya akan pulang sebelum malam.” Pelayan itu mengangguk sopan meski jelas terlihat bingung. Irish melangkah cepat kel
Di apartemen mewah yang bersebelahan dengan gedung pencakar langit di pusat kota, Theana duduk di sofa putih bersih yang kontras dengan suasana hatinya yang kacau. Wajahnya dipenuhi amarah dan rasa bingung yang luar biasa. Tangannya yang gemetar menggenggam tablet sepuluh inci. Matanya tajam menatap layar yang menampilkan sebuah artikel. Tablet sepuluh inci yang digenggamnya mengguncang di tangannya, matanya menatap layar dengan penuh kebencian. Sebuah artikel besar tertulis dengan jelas."Pernikahan Pewaris Monearchi Group, Darren Mahendra Castlemore, Diumumkan! Calon Istri: Theana Cornel Waverly, Wanita Beruntung yang Memikat Hati Sang Pewaris."Namun yang membuat darah Theana mendidih, dan jantungnya hampir berhenti berdetak, adalah wajah yang muncul di berita itu adalah wajah yang hampir sama dengan wajahnya. Semua yang ia tahu tentang dirinya, tentang siapa dia, kini terasa seperti direbut orang lain. Bukan hanya karena wanita itu yang kini berdiri di samping Darren, tapi juga k
Arthur tiba di mansion dengan langkah cepat dan pikiran yang sama kacaunya. Langit malam begitu hening, dan suasana di sekelilingnya sepi. Sesuai dugaannya, sebagian besar penghuni mansion sudah beristirahat, termasuk Darren dan ibunya. Namun, pikirannya hanya tertuju pada satu orang.Dengan napas yang masih memburu akibat langkah tergesa-gesanya tadi, Arthur masuk ke dalam mansion dengan hati-hati. Ia menapaki tangga tanpa suara, menuju kamar Irish di lantai atas. Perasaan cemas bercampur rindu membuatnya semakin sulit berpikir jernih. Ia tahu tindakannya mungkin tidak tepat, tetapi ia merasa harus melihat Irish saat ini, memastikan wanita itu baik-baik saja.Begitu tiba di depan pintu kamar Irish, Arthur menggenggam gagang pintu perlahan dan mencoba membukanya. Keberuntungan ada di pihaknya—pintu itu tidak terkunci. Arthur mendorongnya perlahan, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara yang membangunkan siapa pun.Di dalam kamar yang remang-remang, Arthur melihat Irish
Irish menuruni tangga perlahan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih yang mempertegas kecantikannya yang alami. Tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha menampilkan senyum tipis di wajahnya. Ia tahu, apa pun yang sedang dirasakannya saat ini harus disembunyikan sebaik mungkin di depan Darren.Di bawah, Darren sudah menunggunya dengan sebuket mawar merah di tangan—bunga favorit Thea. Wajah pria itu terlihat tegang sekaligus antusias. Saat Irish muncul di ujung tangga, Darren terpana. Matanya membelalak sedikit, seolah melihat sosok yang sudah lama dirindukan. Ia terdiam beberapa saat, seakan lupa bagaimana caranya bernapas.Irish menangkap ekspresi itu dan merasa dadanya sesak. Bukan karena tersentuh, tetapi karena rasa bersalah yang kian menumpuk. Ia tahu, Darren tidak sedang melihat dirinya—ia melihat bayangan Thea.Ragu, Irish melangkah mendekat. Namun sebelum ia sempat sampai di depan Darren, pria itu sudah menghampirinya lebih dulu dan memeluknya erat. Irish terkejut, t
Siang itu, Irish duduk di kamar dengan tubuh lemas. Sejak pulang dari butik, rasa lelahnya semakin terasa. Pikirannya terus berkecamuk, memikirkan persiapan pernikahan, tekanan dari Nyonya Wina, dan, yang paling mengganggu, kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini terasa tidak biasa. Pandangannya tertuju pada kalender di meja rias. Ia mulai menghitung tanggal dengan teliti, dan seketika wajahnya memucat. "Satu bulan…” bisiknya, seolah tidak percaya. Ia mencoba mengabaikan rasa cemas, tetapi pikirannya semakin kacau. Apa mungkin dirinya hamil? Pikiran itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Namun, Irish tahu ia tidak bisa membiarkan ini mengganggu pikirannya lebih lama. Ia harus memastikan.Tak menunggu waktu lama, dengan alasan ingin berjalan-jalan untuk menghirup udara segar, Irish keluar dari mansion seorang diri. Ia meminta sopir berhenti di depan sebuah minimarket. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikannya, Irish masuk dengan langkah gugup. Saat tiba di bagian ala