Arthur menggenggam erat surat ditangan. Kepalanya tergeleng samar, tak menyangka akan apa yang telah ia temukan. "Ini ... perjanjian antara bunda dan Irish? Untuk berpura-pura menjadi Thea dan membujuk Darren untuk menerima donor mata?"Tak butuh waktu lama pria muda itu segera kembali menemui sang ibu. Surat perjanjian masih berada di tangannya. Ia berjalan cepat. Dengan wajah tegang, Arthur mengkonfrontasi Nyonya Wina."Apa maksudnya ini, Bunda? Kenapa ada surat perjanjian seperti ini?" Ia letakkan map di atas meja, tepat di hadapan sang ibu.Nyonya Wina terkejut tapi mencoba tetap tenang. Sebelum menghadapi sang putra kedua, ia harus memastikan jika di sekitar mereka aman. Sedangkan beberapa meter arah pukul tiga terdapat seorang pelayan yang hendak mengantar selimut untuk Darren."Arthur, sabar dulu. Mari kita bicara di tempat yang lebih tenang," ajaknya dengan gaya anggun dan kalem seperti biasanya.Dengan patuh, Arthur mengikuti langkah sang ibu kembali ke ruang kerja. Nyonya Wi
Tak butuh waktu lama bagi Arthur untuk mengganti setelan kantornya menjadi pakaian yang lebih nyaman digunakan. Sedang di area piano, dua sejoli itu masih bercengkrama. Diiringi canda dan tawa kecil khas pasangan. Mendengar langkah kaki mendekat, sepertinya Darren sadar jika itu adalah adik semata wayangnya. Ia memanggil Arthur yang sedianya ingin melewati mereka begitu saja."Ada apa?" Ia menatap Darren dan Irish bergantian."Apa kau sibuk?""Tidak juga. Aku sedang ingin berjalan-jalan di halaman belakang." Pria muda itu mengangkat bahu."Kebetulan sekali. Thea sedang ingin mencari udara segar. Maukah kamu menemaninya keluar?" Darren memasang senyum tenang seperti biasanya. Arthur diam sejenak, ia melirik Irish yang langsung memalingkan wajah. Entah ini ide siapa, yang jelas ia takkan menolak. Karena ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan pada wanita itu."Ya, bukan masalah. Mari, kakak ipar," ajak Arthur dan Irish mengangkat dagu demi bisa menatapnya."Baiklah, pastikan kalian be
Malam semakin larut, Darren terbaring di tempat tidurnya, wajahnya berkeringat meski malam itu udara cukup dingin. Dalam tidur yang gelisah, ia terperangkap dalam mimpi buruk yang sering menghantui setiap malam. Mimpi itu selalu membawa Darren kembali ke hari yang mengubah segalanya.Darren yang masih mengenakan seragam putih abu-abu mengemudi di jalan berliku yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Matahari mulai terbenam, menciptakan bayangan panjang di jalan. Deo, sahabatnya duduk di samping. Tertawa dan bercanda tentang rencana mereka untuk masa depan. Suasana di dalam mobil itu begitu riang dan menyenangkan."Aku punya kabar bagus, Darren, aku hampir menyelesaikan lukisan terbesarku," kata Deo dengan semangat. "Aku yakin kali ini karyaku akan masuk galeri yang selama kuimpikan.""Aku tidak sabar melihatnya. Sejak dulu aku tahu kau memang berbakat." Darren tersenyum bangga. Sesekali ia menoleh pada Deo lalu kembali fokus pada jalan.Namun, dalam sekejap, suasana itu berubah. Sebua
Pagi itu, ruangan terasa hangat meski angin sejuk menyusup dari jendela terbuka. Cahaya matahari yang lembut menyinari lantai kayu, menciptakan pola cahaya dan bayangan di sekitarnya. Irish menangkap raut tak biasa yang Darren tunjukkan. Setelah beberapa saat, dia menghembuskan napas dan akhirnya melanjutkan kalimat."Darren," suara Irish terdengar lembut. "Aku ingin mencoba melukis ... mungkin ini cara yang baik untuk menghabiskan waktu bersama."Darren tersenyum. Wajahnya sudah tampak lebih tenang meskipun matanya kosong. Kuas dan aroma cat adalah hal yang membuatnya muak saat ini, tetapi ia takkan mampu menolak apapun keinginan wanita di depannya."Melukis?" Darren tersenyum lembut. "Sejak kapan kamu tertarik melukis?"Irish tersenyum canggung. "Aku pikir... aku bisa mencoba belajar darimu." Tatapannya sedikit menghindar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Mungkin ini bisa jadi cara baru bagi kita untuk terhubung. Kamu tau, ingatanku ...."Cuma Irish yang tahu jika ini cuma a
Irish mengikuti Arthur dengan langkah gugup. Tatapan pria itu membuatnya merasa seolah seluruh rahasianya telah dibongkar. Mereka berhenti di teras belakang, tempat angin sejuk bertiup lembut, membawa aroma bunga mawar dari taman. Kebetulan tidak ada pelayan dan penjaga yang berseliweran di titik itu.Arthur memutar tubuhnya, menatap Irish dengan ekspresi dingin. "Kenapa kamu di sini, Irish?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Irish tercekat. Nama itu keluar dari bibir Arthur tanpa keraguan, dan semua upaya untuk tetap menjadi Thea seketika runtuh. Dia mencoba menyangkal, tapi tatapan tajam Arthur membuatnya tahu bahwa itu sia-sia. "Aku... aku cuma berniat membantu Darren," jawab Irish pelan, menundukkan kepala. "Dia membutuhkan seseorang." Arthur mendengus, menyilangkan tangan di dada. "Membantu Darren? Dengan berpura-pura menjadi Thea? Kamu sadar apa yang kamu lakukan, Irish? Kamu bermain dengan api." Irish mengangkat wajahnya, menatap Arthur dengan tatapan memohon. "Aku ti
Ballroom megah hotel bintang lima itu dipenuhi para tamu undangan yang mengenakan pakaian formal terbaik mereka. Lampu kristal besar di langit-langit memancarkan kilauan mewah, sementara musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan. Darren masuk dengan Irish di sisinya. Meski tak bisa melihat, Darren tetap membawa aura percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membuatnya tampak berwibawa. Di sampingnya, Irish—yang mengenakan gaun biru tua dengan detail sederhana namun elegan—terlihat berusaha tetap tenang meski pikirannya berkecamuk. Xander Greystone, tuan rumah malam itu, segera memperhatikan kedatangan mereka. Dengan langkah penuh kemant, ia mendekati Darren, menyunggingkan senyum ramah yang tidak sepenuhnya tulus. "Darren, sungguh sebuah kehormatan kau bisa datang," ujar Xander sambil menjabat tangan Darren dengan hangat. "Terima kasih atas undangannya, Tuan Greystone," balas Darren dengan nada ramah, meskipun gestur tubuhnya kaku. Ia tidak sepenuhnya nyaman dengan suasa
Irish mengejar Darren yang memutuskan pergi seusai berbicara sejenak dengan Arthur, menyusuri lorong hotel yang sepi. “Darren, tunggu! Apa yang tadi kamu dengar itu tidak seperti yang mereka maksud. Aku bisa menjelaskan!” Darren menghentikan langkahnya, tetapi tidak langsung menoleh ke Irish. Ia berdiri dengan bahu yang tegang, seolah sedang menahan sesuatu yang berat. “Kamu tidak perlu menjelaskan, Thea...” Terdapat jeda panjang sebelum ia melanjutkan. “Aku hanya... ingin sendiri untuk sementara.” Irish mendekat, suaranya bergetar. “Aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi aku bisa membantumu melewati ini. Kumohon, jangan menutup diri." Darren menundukkan kepala, tangan kanannya menggenggam tongkat yang biasa ia gunakan untuk berjalan. “Aku menghargai niatmu, tapi aku benar-benar butuh waktu sendiri sekarang. Beri aku waktu untuk berpikir.” Irish terdiam. Rasa bersalah dan kekhawatiran menguasainya, tetapi dia tahu memaksa tidak akan membantu. “Kalau begitu... setidaknya biarkan
Arthur sedang berbincang santai dengan beberapa kolega ketika ia menyadari Irish sudah cukup lama tidak terlihat. Sekilas ia melirik ke sekeliling ballroom, tetapi bayangan Irish sama sekali tak tampak.'Ke mana dia pergi? Dia tidak kenal siapa pun di sini. Dia pasti merasa canggung.' Arthur berujar dalam hati.Arthur meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Irish. Nada sambung terdengar, tetapi tak lama panggilan itu terputus. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan masuk di ponselnya:“Aku harus menyelesaikan sesuatu. Kalian pulang saja duluan, aku akan menyusul nanti.”Arthur mengerutkan kening. Pesan itu terasa tidak wajar, apalagi Irish biasanya tidak meninggalkan Darren tanpa alasan yang jelas.Beberapa detik lalu.Di sebuah kamar VIP yang telah Xander atur, Irish duduk terpojok dengan wajah ketakutan. Pedro berdiri di sudut dengan senyuman penuh ejekan, sementara Xander memainkan ponsel Irish di tangannya.“Arthur selalu menjadi pria yang terlalu percaya diri. Dia pasti akan mene
Arthur sedang berbincang santai dengan beberapa kolega ketika ia menyadari Irish sudah cukup lama tidak terlihat. Sekilas ia melirik ke sekeliling ballroom, tetapi bayangan Irish sama sekali tak tampak.'Ke mana dia pergi? Dia tidak kenal siapa pun di sini. Dia pasti merasa canggung.' Arthur berujar dalam hati.Arthur meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Irish. Nada sambung terdengar, tetapi tak lama panggilan itu terputus. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan masuk di ponselnya:“Aku harus menyelesaikan sesuatu. Kalian pulang saja duluan, aku akan menyusul nanti.”Arthur mengerutkan kening. Pesan itu terasa tidak wajar, apalagi Irish biasanya tidak meninggalkan Darren tanpa alasan yang jelas.Beberapa detik lalu.Di sebuah kamar VIP yang telah Xander atur, Irish duduk terpojok dengan wajah ketakutan. Pedro berdiri di sudut dengan senyuman penuh ejekan, sementara Xander memainkan ponsel Irish di tangannya.“Arthur selalu menjadi pria yang terlalu percaya diri. Dia pasti akan mene
Irish mengejar Darren yang memutuskan pergi seusai berbicara sejenak dengan Arthur, menyusuri lorong hotel yang sepi. “Darren, tunggu! Apa yang tadi kamu dengar itu tidak seperti yang mereka maksud. Aku bisa menjelaskan!” Darren menghentikan langkahnya, tetapi tidak langsung menoleh ke Irish. Ia berdiri dengan bahu yang tegang, seolah sedang menahan sesuatu yang berat. “Kamu tidak perlu menjelaskan, Thea...” Terdapat jeda panjang sebelum ia melanjutkan. “Aku hanya... ingin sendiri untuk sementara.” Irish mendekat, suaranya bergetar. “Aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi aku bisa membantumu melewati ini. Kumohon, jangan menutup diri." Darren menundukkan kepala, tangan kanannya menggenggam tongkat yang biasa ia gunakan untuk berjalan. “Aku menghargai niatmu, tapi aku benar-benar butuh waktu sendiri sekarang. Beri aku waktu untuk berpikir.” Irish terdiam. Rasa bersalah dan kekhawatiran menguasainya, tetapi dia tahu memaksa tidak akan membantu. “Kalau begitu... setidaknya biarkan
Ballroom megah hotel bintang lima itu dipenuhi para tamu undangan yang mengenakan pakaian formal terbaik mereka. Lampu kristal besar di langit-langit memancarkan kilauan mewah, sementara musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan. Darren masuk dengan Irish di sisinya. Meski tak bisa melihat, Darren tetap membawa aura percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membuatnya tampak berwibawa. Di sampingnya, Irish—yang mengenakan gaun biru tua dengan detail sederhana namun elegan—terlihat berusaha tetap tenang meski pikirannya berkecamuk. Xander Greystone, tuan rumah malam itu, segera memperhatikan kedatangan mereka. Dengan langkah penuh kemant, ia mendekati Darren, menyunggingkan senyum ramah yang tidak sepenuhnya tulus. "Darren, sungguh sebuah kehormatan kau bisa datang," ujar Xander sambil menjabat tangan Darren dengan hangat. "Terima kasih atas undangannya, Tuan Greystone," balas Darren dengan nada ramah, meskipun gestur tubuhnya kaku. Ia tidak sepenuhnya nyaman dengan suasa
Irish mengikuti Arthur dengan langkah gugup. Tatapan pria itu membuatnya merasa seolah seluruh rahasianya telah dibongkar. Mereka berhenti di teras belakang, tempat angin sejuk bertiup lembut, membawa aroma bunga mawar dari taman. Kebetulan tidak ada pelayan dan penjaga yang berseliweran di titik itu.Arthur memutar tubuhnya, menatap Irish dengan ekspresi dingin. "Kenapa kamu di sini, Irish?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Irish tercekat. Nama itu keluar dari bibir Arthur tanpa keraguan, dan semua upaya untuk tetap menjadi Thea seketika runtuh. Dia mencoba menyangkal, tapi tatapan tajam Arthur membuatnya tahu bahwa itu sia-sia. "Aku... aku cuma berniat membantu Darren," jawab Irish pelan, menundukkan kepala. "Dia membutuhkan seseorang." Arthur mendengus, menyilangkan tangan di dada. "Membantu Darren? Dengan berpura-pura menjadi Thea? Kamu sadar apa yang kamu lakukan, Irish? Kamu bermain dengan api." Irish mengangkat wajahnya, menatap Arthur dengan tatapan memohon. "Aku ti
Pagi itu, ruangan terasa hangat meski angin sejuk menyusup dari jendela terbuka. Cahaya matahari yang lembut menyinari lantai kayu, menciptakan pola cahaya dan bayangan di sekitarnya. Irish menangkap raut tak biasa yang Darren tunjukkan. Setelah beberapa saat, dia menghembuskan napas dan akhirnya melanjutkan kalimat."Darren," suara Irish terdengar lembut. "Aku ingin mencoba melukis ... mungkin ini cara yang baik untuk menghabiskan waktu bersama."Darren tersenyum. Wajahnya sudah tampak lebih tenang meskipun matanya kosong. Kuas dan aroma cat adalah hal yang membuatnya muak saat ini, tetapi ia takkan mampu menolak apapun keinginan wanita di depannya."Melukis?" Darren tersenyum lembut. "Sejak kapan kamu tertarik melukis?"Irish tersenyum canggung. "Aku pikir... aku bisa mencoba belajar darimu." Tatapannya sedikit menghindar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Mungkin ini bisa jadi cara baru bagi kita untuk terhubung. Kamu tau, ingatanku ...."Cuma Irish yang tahu jika ini cuma a
Malam semakin larut, Darren terbaring di tempat tidurnya, wajahnya berkeringat meski malam itu udara cukup dingin. Dalam tidur yang gelisah, ia terperangkap dalam mimpi buruk yang sering menghantui setiap malam. Mimpi itu selalu membawa Darren kembali ke hari yang mengubah segalanya.Darren yang masih mengenakan seragam putih abu-abu mengemudi di jalan berliku yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Matahari mulai terbenam, menciptakan bayangan panjang di jalan. Deo, sahabatnya duduk di samping. Tertawa dan bercanda tentang rencana mereka untuk masa depan. Suasana di dalam mobil itu begitu riang dan menyenangkan."Aku punya kabar bagus, Darren, aku hampir menyelesaikan lukisan terbesarku," kata Deo dengan semangat. "Aku yakin kali ini karyaku akan masuk galeri yang selama kuimpikan.""Aku tidak sabar melihatnya. Sejak dulu aku tahu kau memang berbakat." Darren tersenyum bangga. Sesekali ia menoleh pada Deo lalu kembali fokus pada jalan.Namun, dalam sekejap, suasana itu berubah. Sebua
Tak butuh waktu lama bagi Arthur untuk mengganti setelan kantornya menjadi pakaian yang lebih nyaman digunakan. Sedang di area piano, dua sejoli itu masih bercengkrama. Diiringi canda dan tawa kecil khas pasangan. Mendengar langkah kaki mendekat, sepertinya Darren sadar jika itu adalah adik semata wayangnya. Ia memanggil Arthur yang sedianya ingin melewati mereka begitu saja."Ada apa?" Ia menatap Darren dan Irish bergantian."Apa kau sibuk?""Tidak juga. Aku sedang ingin berjalan-jalan di halaman belakang." Pria muda itu mengangkat bahu."Kebetulan sekali. Thea sedang ingin mencari udara segar. Maukah kamu menemaninya keluar?" Darren memasang senyum tenang seperti biasanya. Arthur diam sejenak, ia melirik Irish yang langsung memalingkan wajah. Entah ini ide siapa, yang jelas ia takkan menolak. Karena ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan pada wanita itu."Ya, bukan masalah. Mari, kakak ipar," ajak Arthur dan Irish mengangkat dagu demi bisa menatapnya."Baiklah, pastikan kalian be
Arthur menggenggam erat surat ditangan. Kepalanya tergeleng samar, tak menyangka akan apa yang telah ia temukan. "Ini ... perjanjian antara bunda dan Irish? Untuk berpura-pura menjadi Thea dan membujuk Darren untuk menerima donor mata?"Tak butuh waktu lama pria muda itu segera kembali menemui sang ibu. Surat perjanjian masih berada di tangannya. Ia berjalan cepat. Dengan wajah tegang, Arthur mengkonfrontasi Nyonya Wina."Apa maksudnya ini, Bunda? Kenapa ada surat perjanjian seperti ini?" Ia letakkan map di atas meja, tepat di hadapan sang ibu.Nyonya Wina terkejut tapi mencoba tetap tenang. Sebelum menghadapi sang putra kedua, ia harus memastikan jika di sekitar mereka aman. Sedangkan beberapa meter arah pukul tiga terdapat seorang pelayan yang hendak mengantar selimut untuk Darren."Arthur, sabar dulu. Mari kita bicara di tempat yang lebih tenang," ajaknya dengan gaya anggun dan kalem seperti biasanya.Dengan patuh, Arthur mengikuti langkah sang ibu kembali ke ruang kerja. Nyonya Wi
Matahari mulai kembali ke peraduan. Langit jingga berangsur menjadi biru gelap. Desau angin yang menemani hujan, datang bersama senandung binatang malam.Arthur dan Irish duduk di kursi rumah kayu yang lebih tepat dikatakan pondok, ditemani penerangan lampu kecil yang temaram. Keheningan di antara mereka terasa nyaman, hanya diiringi suara hujan yang menetes di atap.Tangan Arthur meraih sebuah selimut tua yang ditemukan di sudut dan memberikannya kepada Irish. "Ini, pakai selimut ini.""Terima kasih."Kembali mereka terlibat dalam percakapan ringan. Tidak nampak kecanggungan di antara kedua orang itu. Meski demikian, Arthur secara tersirat memancing supaya Irish mau membuka diri padanya."Apa rencanamu setelah ini? Menikah dengan Kak Darren?" "Tidak, aku tidak berpikir sejauh itu," sahut Irish. Netranya menerawang melalui jendela persegi tanpa tirai."Bukankah tujuan dari hubungan kalian adalah pernikahan?" Arthur nyaris tersenyum."Hm, maksudku aku dan Darren masih muda, masih jauh