"Mau membuat tatto bersama?" Thea dengan ransel ungu muda menjawil hidung mancung Arthur yang berdiri di sampingnya."Tatto? Kamu yakin?" Nada yang Arthur perdengarkan lebih bisa dikatakan mencibir dibandingkan bertanya. Baginya, Thea terlalu manja untuk menerima rasa sakit ketika kulit ati bertemu jarum tatto."Kamu meremehkanku rupanya. Ck, ck, ck, lihat ini. Taraaa!!" Thea mengangkat selebaran di depan wajah pria yang tahun itu baru menginjak usia dua puluh satu tahun."Couple Tatto. Valentine edition. Lalu?" Arthur membaca tulisan bergaya Lily Script One pada selebaran lalu menatap Thea lekat. Ia masih ingin menggoda wanita cantik dengan cardigan biru laut itu."Aku tidak suka mengatakan permintaanku dua kali." Thea melengos, menambah gemas pada sudut pandang Arthur."Baiklah, baiklah. Kapan kamu ingin membuat tatto? Hari ini?" tawar Arthur seraya menangkup kedua tangan pada pipi Thea. Pria itu tak ingin gadisnya merajuk lebih lama."Sebenarnya aku sudah membuat janji dengan tatto
Arthur masih menatap Irish tanpa berkedip. Diperlakukan seperti itu, Irish menjadi salah tingkah. Ia tidak menyangka saat-saat seperti ini akan datang lebih cepat dari perkiraan. Sepertinya ia memang tidak berbakat dalam hal penyamaran.Jika boleh, Irish ingin mengaku dan mengakhiri kontrak sampai di sini saja. Namun bagaimana dengan Nyonya Wina? Tentu ia akan dicap sebagai pencuri jika pergi tanpa menyelesaikan tugasnya. Tidak, rahasianya tidak boleh terbongkar begitu saja. Irish menggeleng tanpa ketara."Aku ... aku Theana. Mantan kekasihmu sekaligus calon kakak iparmu. Kenapa tiba-tiba kamu bersikap aneh, Arthur?" Irish menerbitkan senyum percaya diri.Arthur membalas senyum itu. Ternyata tidak mudah membuat wanita di depannya mengaku. Baginya tidak masalah, ia akan tetap mencari tahu siapa sosok di balik kekasih palsu Darren saat ini."Mungkin aku cuma lelah setelah menggendongmu dari tepi kolam ke kamar." Arthur tertawa kecil, berpura-pura lelah sembari memukul-mukul pundaknya."
Irish bangun lebih pagi hari itu. Segera setelah mandi ia turun dengan setelan berwarna abu muda. Karenanya, Irish baru mengetahui jika kepala pelayan selalu mengadakan briefing pada belasan bawahannya.Irish mengamati para pelayan dengan seragam dan tatanan rambut rapi itu. Ia sudah hampir mengingat nama mereka. Kecuali satu orang. Pelayan baru yang masuk sejak dua hari lalu. Wanita itu selalu menunduk tiap kali berpapasan dengan Irish, tidak pernah mengeluarkan suaranya.Pukul tujuh tepat, semua anggota keluarga telah mengelilingi meja makan. Arthur dengan pakaian khas kantor begitu pula Darren. Kemarin pria itu mengatakan pada Irish jika ia harus menandatangani suatu berkas penting di kantor hari ini."Kamu mau ikut ke kantor?" Darren berbicara dengan sedikit menoleh ke arah kanan, posisi duduk Irish berada."Bunda akan mengajak Thea berbelanja, Darren," jawab Nyonya Wina mewakili Irish.Tiba saatnya makanan di sajikan. Seorang pelayan memberikan susu pisang untuk Arthur dan kopi s
Pagi menjelang siang. Irish bersama seorang pelayan tengah berada di pusat perbelanjaan kota. Lebam dan luka pada pipi Irish belum benar-benar sembuh. Tapi wanita itu dengan lincah memilih bahan kue dan juga buah sesuai pesanan si nyonya."Apa Tante Wina akan mengadakan pesta?" Irish menerka. Mereka bahkan diminta membeli memesan bunga segar untuk dekorasi."Saya dengar akan ada kerabat yang datang berkunjung, Nona.""Ooh, pantas saja. Setelah ini kita akan membeli gelato dan ... dan memakannya dengan santai?" Irish sempat tak percaya saat membaca pesan Nyonya Wina pada layar ponselnya."Saya mau gelato rasa coklat, Nona," sambar Nina mendengar pesan itu. Ia tersenyum malu-malu mau saat Irish menatapnya."Baiklah ayo kita makan gelato, kita cuma melaksanakan tugas. Benar, 'kan, Nina?" Irish dan Nina kemudian tertawa bersama.Antrian pada stan gelato cukup panjang. Sembari menunggu, Irish menitipkan tas belanja yang telah terisi penuh pada Nina. Sedang ia menuju toilet tanpa menyadari
Sore dengan sedikit mendung. Dua mobil terparkir rapi di halaman depan mansion. Bukan milik Nyonya Wina maupun para putranya, melainkan milik kerabat dekat yang dinantikan kehadirannya sejak berjam-jam yang lalu.Ruang tengah dan ruang makan disulap lebih cantik dengan hiasan bungan Peony putih. Para pelayan sibuk ke sana kemari mengerjakan apa saja tugas yang Nyony Wina berikan melalui kepala pelayan.Irish berjibaku di dapur, membantu membuat dessert ataupun memastikan jika mungkin ada sajian yang belum sempurna. Ia merasa lebih baik begini daripada harus berkumpul dengan orang-orang yang berbeda kasta dengannya."Benar, Nona Sofia sangat cantik," ungkap salah seorang pelayan yang baru kembali ke dapur usai menyajikan appetizer, membuat heboh seisi dapur dalam sekejap."Benar, 'kan apa yang kubilang. Calon istri Tuan Arthur sangat cantik. Mereka pasangan yang serasi," timpal pelayan yang lain."Jadi kapan mereka akan menikah?" "Tidak mungkin secepat itu, Tuan Arthur ingin kakaknya
Matahari mulai kembali ke peraduan. Langit jingga berangsur menjadi biru gelap. Desau angin yang menemani hujan, datang bersama senandung binatang malam.Arthur dan Irish duduk di kursi rumah kayu yang lebih tepat dikatakan pondok, ditemani penerangan lampu kecil yang temaram. Keheningan di antara mereka terasa nyaman, hanya diiringi suara hujan yang menetes di atap.Tangan Arthur meraih sebuah selimut tua yang ditemukan di sudut dan memberikannya kepada Irish. "Ini, pakai selimut ini.""Terima kasih."Kembali mereka terlibat dalam percakapan ringan. Tidak nampak kecanggungan di antara kedua orang itu. Meski demikian, Arthur secara tersirat memancing supaya Irish mau membuka diri padanya."Apa rencanamu setelah ini? Menikah dengan Kak Darren?" "Tidak, aku tidak berpikir sejauh itu," sahut Irish. Netranya menerawang melalui jendela persegi tanpa tirai."Bukankah tujuan dari hubungan kalian adalah pernikahan?" Arthur nyaris tersenyum."Hm, maksudku aku dan Darren masih muda, masih jauh
Arthur menggenggam erat surat ditangan. Kepalanya tergeleng samar, tak menyangka akan apa yang telah ia temukan. "Ini ... perjanjian antara bunda dan Irish? Untuk berpura-pura menjadi Thea dan membujuk Darren untuk menerima donor mata?"Tak butuh waktu lama pria muda itu segera kembali menemui sang ibu. Surat perjanjian masih berada di tangannya. Ia berjalan cepat. Dengan wajah tegang, Arthur mengkonfrontasi Nyonya Wina."Apa maksudnya ini, Bunda? Kenapa ada surat perjanjian seperti ini?" Ia letakkan map di atas meja, tepat di hadapan sang ibu.Nyonya Wina terkejut tapi mencoba tetap tenang. Sebelum menghadapi sang putra kedua, ia harus memastikan jika di sekitar mereka aman. Sedangkan beberapa meter arah pukul tiga terdapat seorang pelayan yang hendak mengantar selimut untuk Darren."Arthur, sabar dulu. Mari kita bicara di tempat yang lebih tenang," ajaknya dengan gaya anggun dan kalem seperti biasanya.Dengan patuh, Arthur mengikuti langkah sang ibu kembali ke ruang kerja. Nyonya Wi
Tak butuh waktu lama bagi Arthur untuk mengganti setelan kantornya menjadi pakaian yang lebih nyaman digunakan. Sedang di area piano, dua sejoli itu masih bercengkrama. Diiringi canda dan tawa kecil khas pasangan. Mendengar langkah kaki mendekat, sepertinya Darren sadar jika itu adalah adik semata wayangnya. Ia memanggil Arthur yang sedianya ingin melewati mereka begitu saja."Ada apa?" Ia menatap Darren dan Irish bergantian."Apa kau sibuk?""Tidak juga. Aku sedang ingin berjalan-jalan di halaman belakang." Pria muda itu mengangkat bahu."Kebetulan sekali. Thea sedang ingin mencari udara segar. Maukah kamu menemaninya keluar?" Darren memasang senyum tenang seperti biasanya. Arthur diam sejenak, ia melirik Irish yang langsung memalingkan wajah. Entah ini ide siapa, yang jelas ia takkan menolak. Karena ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan pada wanita itu."Ya, bukan masalah. Mari, kakak ipar," ajak Arthur dan Irish mengangkat dagu demi bisa menatapnya."Baiklah, pastikan kalian be
Ballroom megah hotel bintang lima itu dipenuhi para tamu undangan yang mengenakan pakaian formal terbaik mereka. Lampu kristal besar di langit-langit memancarkan kilauan mewah, sementara musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan. Darren masuk dengan Irish di sisinya. Meski tak bisa melihat, Darren tetap membawa aura percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membuatnya tampak berwibawa. Di sampingnya, Irish—yang mengenakan gaun biru tua dengan detail sederhana namun elegan—terlihat berusaha tetap tenang meski pikirannya berkecamuk. Xander Greystone, tuan rumah malam itu, segera memperhatikan kedatangan mereka. Dengan langkah penuh kemant, ia mendekati Darren, menyunggingkan senyum ramah yang tidak sepenuhnya tulus. "Darren, sungguh sebuah kehormatan kau bisa datang," ujar Xander sambil menjabat tangan Darren dengan hangat. "Terima kasih atas undangannya, Tuan Greystone," balas Darren dengan nada ramah, meskipun gestur tubuhnya kaku. Ia tidak sepenuhnya nyaman dengan suasa
Irish mengikuti Arthur dengan langkah gugup. Tatapan pria itu membuatnya merasa seolah seluruh rahasianya telah dibongkar. Mereka berhenti di teras belakang, tempat angin sejuk bertiup lembut, membawa aroma bunga mawar dari taman. Kebetulan tidak ada pelayan dan penjaga yang berseliweran di titik itu.Arthur memutar tubuhnya, menatap Irish dengan ekspresi dingin. "Kenapa kamu di sini, Irish?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Irish tercekat. Nama itu keluar dari bibir Arthur tanpa keraguan, dan semua upaya untuk tetap menjadi Thea seketika runtuh. Dia mencoba menyangkal, tapi tatapan tajam Arthur membuatnya tahu bahwa itu sia-sia. "Aku... aku cuma berniat membantu Darren," jawab Irish pelan, menundukkan kepala. "Dia membutuhkan seseorang." Arthur mendengus, menyilangkan tangan di dada. "Membantu Darren? Dengan berpura-pura menjadi Thea? Kamu sadar apa yang kamu lakukan, Irish? Kamu bermain dengan api." Irish mengangkat wajahnya, menatap Arthur dengan tatapan memohon. "Aku ti
Pagi itu, ruangan terasa hangat meski angin sejuk menyusup dari jendela terbuka. Cahaya matahari yang lembut menyinari lantai kayu, menciptakan pola cahaya dan bayangan di sekitarnya. Irish menangkap raut tak biasa yang Darren tunjukkan. Setelah beberapa saat, dia menghembuskan napas dan akhirnya melanjutkan kalimat."Darren," suara Irish terdengar lembut. "Aku ingin mencoba melukis ... mungkin ini cara yang baik untuk menghabiskan waktu bersama."Darren tersenyum. Wajahnya sudah tampak lebih tenang meskipun matanya kosong. Kuas dan aroma cat adalah hal yang membuatnya muak saat ini, tetapi ia takkan mampu menolak apapun keinginan wanita di depannya."Melukis?" Darren tersenyum lembut. "Sejak kapan kamu tertarik melukis?"Irish tersenyum canggung. "Aku pikir... aku bisa mencoba belajar darimu." Tatapannya sedikit menghindar, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Mungkin ini bisa jadi cara baru bagi kita untuk terhubung. Kamu tau, ingatanku ...."Cuma Irish yang tahu jika ini cuma a
Malam semakin larut, Darren terbaring di tempat tidurnya, wajahnya berkeringat meski malam itu udara cukup dingin. Dalam tidur yang gelisah, ia terperangkap dalam mimpi buruk yang sering menghantui setiap malam. Mimpi itu selalu membawa Darren kembali ke hari yang mengubah segalanya.Darren yang masih mengenakan seragam putih abu-abu mengemudi di jalan berliku yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Matahari mulai terbenam, menciptakan bayangan panjang di jalan. Deo, sahabatnya duduk di samping. Tertawa dan bercanda tentang rencana mereka untuk masa depan. Suasana di dalam mobil itu begitu riang dan menyenangkan."Aku punya kabar bagus, Darren, aku hampir menyelesaikan lukisan terbesarku," kata Deo dengan semangat. "Aku yakin kali ini karyaku akan masuk galeri yang selama kuimpikan.""Aku tidak sabar melihatnya. Sejak dulu aku tahu kau memang berbakat." Darren tersenyum bangga. Sesekali ia menoleh pada Deo lalu kembali fokus pada jalan.Namun, dalam sekejap, suasana itu berubah. Sebua
Tak butuh waktu lama bagi Arthur untuk mengganti setelan kantornya menjadi pakaian yang lebih nyaman digunakan. Sedang di area piano, dua sejoli itu masih bercengkrama. Diiringi canda dan tawa kecil khas pasangan. Mendengar langkah kaki mendekat, sepertinya Darren sadar jika itu adalah adik semata wayangnya. Ia memanggil Arthur yang sedianya ingin melewati mereka begitu saja."Ada apa?" Ia menatap Darren dan Irish bergantian."Apa kau sibuk?""Tidak juga. Aku sedang ingin berjalan-jalan di halaman belakang." Pria muda itu mengangkat bahu."Kebetulan sekali. Thea sedang ingin mencari udara segar. Maukah kamu menemaninya keluar?" Darren memasang senyum tenang seperti biasanya. Arthur diam sejenak, ia melirik Irish yang langsung memalingkan wajah. Entah ini ide siapa, yang jelas ia takkan menolak. Karena ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan pada wanita itu."Ya, bukan masalah. Mari, kakak ipar," ajak Arthur dan Irish mengangkat dagu demi bisa menatapnya."Baiklah, pastikan kalian be
Arthur menggenggam erat surat ditangan. Kepalanya tergeleng samar, tak menyangka akan apa yang telah ia temukan. "Ini ... perjanjian antara bunda dan Irish? Untuk berpura-pura menjadi Thea dan membujuk Darren untuk menerima donor mata?"Tak butuh waktu lama pria muda itu segera kembali menemui sang ibu. Surat perjanjian masih berada di tangannya. Ia berjalan cepat. Dengan wajah tegang, Arthur mengkonfrontasi Nyonya Wina."Apa maksudnya ini, Bunda? Kenapa ada surat perjanjian seperti ini?" Ia letakkan map di atas meja, tepat di hadapan sang ibu.Nyonya Wina terkejut tapi mencoba tetap tenang. Sebelum menghadapi sang putra kedua, ia harus memastikan jika di sekitar mereka aman. Sedangkan beberapa meter arah pukul tiga terdapat seorang pelayan yang hendak mengantar selimut untuk Darren."Arthur, sabar dulu. Mari kita bicara di tempat yang lebih tenang," ajaknya dengan gaya anggun dan kalem seperti biasanya.Dengan patuh, Arthur mengikuti langkah sang ibu kembali ke ruang kerja. Nyonya Wi
Matahari mulai kembali ke peraduan. Langit jingga berangsur menjadi biru gelap. Desau angin yang menemani hujan, datang bersama senandung binatang malam.Arthur dan Irish duduk di kursi rumah kayu yang lebih tepat dikatakan pondok, ditemani penerangan lampu kecil yang temaram. Keheningan di antara mereka terasa nyaman, hanya diiringi suara hujan yang menetes di atap.Tangan Arthur meraih sebuah selimut tua yang ditemukan di sudut dan memberikannya kepada Irish. "Ini, pakai selimut ini.""Terima kasih."Kembali mereka terlibat dalam percakapan ringan. Tidak nampak kecanggungan di antara kedua orang itu. Meski demikian, Arthur secara tersirat memancing supaya Irish mau membuka diri padanya."Apa rencanamu setelah ini? Menikah dengan Kak Darren?" "Tidak, aku tidak berpikir sejauh itu," sahut Irish. Netranya menerawang melalui jendela persegi tanpa tirai."Bukankah tujuan dari hubungan kalian adalah pernikahan?" Arthur nyaris tersenyum."Hm, maksudku aku dan Darren masih muda, masih jauh
Sore dengan sedikit mendung. Dua mobil terparkir rapi di halaman depan mansion. Bukan milik Nyonya Wina maupun para putranya, melainkan milik kerabat dekat yang dinantikan kehadirannya sejak berjam-jam yang lalu.Ruang tengah dan ruang makan disulap lebih cantik dengan hiasan bungan Peony putih. Para pelayan sibuk ke sana kemari mengerjakan apa saja tugas yang Nyony Wina berikan melalui kepala pelayan.Irish berjibaku di dapur, membantu membuat dessert ataupun memastikan jika mungkin ada sajian yang belum sempurna. Ia merasa lebih baik begini daripada harus berkumpul dengan orang-orang yang berbeda kasta dengannya."Benar, Nona Sofia sangat cantik," ungkap salah seorang pelayan yang baru kembali ke dapur usai menyajikan appetizer, membuat heboh seisi dapur dalam sekejap."Benar, 'kan apa yang kubilang. Calon istri Tuan Arthur sangat cantik. Mereka pasangan yang serasi," timpal pelayan yang lain."Jadi kapan mereka akan menikah?" "Tidak mungkin secepat itu, Tuan Arthur ingin kakaknya
Pagi menjelang siang. Irish bersama seorang pelayan tengah berada di pusat perbelanjaan kota. Lebam dan luka pada pipi Irish belum benar-benar sembuh. Tapi wanita itu dengan lincah memilih bahan kue dan juga buah sesuai pesanan si nyonya."Apa Tante Wina akan mengadakan pesta?" Irish menerka. Mereka bahkan diminta membeli memesan bunga segar untuk dekorasi."Saya dengar akan ada kerabat yang datang berkunjung, Nona.""Ooh, pantas saja. Setelah ini kita akan membeli gelato dan ... dan memakannya dengan santai?" Irish sempat tak percaya saat membaca pesan Nyonya Wina pada layar ponselnya."Saya mau gelato rasa coklat, Nona," sambar Nina mendengar pesan itu. Ia tersenyum malu-malu mau saat Irish menatapnya."Baiklah ayo kita makan gelato, kita cuma melaksanakan tugas. Benar, 'kan, Nina?" Irish dan Nina kemudian tertawa bersama.Antrian pada stan gelato cukup panjang. Sembari menunggu, Irish menitipkan tas belanja yang telah terisi penuh pada Nina. Sedang ia menuju toilet tanpa menyadari