Keheningan segera tercipta seusai Darren berbicara. Bahkan tiga pelayan di ruangan tersebut saling lirik dalam diam. Pria itu masih menunggu dengan pandangan lurus ke depan.
"Sekali-kali aku ingin mencoba udang, Darren. Tenang saja, aku sudah minum pil anti alergi," alih Irish dan Nyonya Wina mengangguk penuh kelegaan. "Jaga kesehatan, Sayang. Jangan membuatku khawatir," ujar Darren sembari tersenyum manis. "Tentu." Irish mengangguk kecil lalu menunduk. Wajah tampan dan senyum mempesona pria itu, paduan yang mampu membuat pipinya memanas. Nyonya Wina memulai aktifitas makannya tanpa berkomentar. Sedangkan Irish masih mengamati bagaimana Darren makan. Nyatanya tingkah pria itu normal, ia bisa makan tanpa bantuan. Malam pertama di mansion megah, Irish mendapat kamar cukup luas di lantai dua. Satu koridor dengan beberapa kamar lain. Pelayan berwajah teduh mengantarnya hingga di depan pintu. "Jika Nona butuh sesuatu, jangan sungkan untuk memanggil saya." "Baiklah. Siapa namamu?" Irish bertanya pada wanita yang tampak sebaya dengannya. "Julie, Nona." "Terima kasih, Julie," ucap Irish. Ia bahkan melambaikan tangan saat pelayan itu undur diri. Tak perlu menunggu waktu lama, Irish masuk kamar dan langsung mengunci pintu dari dalam. Tawaran Nyonya Wina dan semua fasilitas mewah ini seperti mimpi. Tadi malam ia masih tidur di kontrakan sempit dengan satu kamar. Kini di depannya terpampang nyata ranjang nyaman queen size. Seakan belum cukup, di lemari yang lebih tepat disebut ruangan terdapat jejeran dress cantik berwarna pastel. Persis seperti warna favoritnya. Irish dibuat kagum karena semua dress juga berpasangan dengan sepatu dan tas yang tampak mahal. 'Kapan Nyonya Wina menyiapkan semua ini? Ataukah kamar ini milik seseorang sebelumnya? Theana yang asli?' Irish membatin. Di tengah asyiknya menikmati kamar baru, Irish teringat akan sesuatu. Clutch putih yang berisi ponsel tidak ada bersamanya. Wanita itu cepat-cepat keluar kamar, hendak menanyakan keberadaan tas pada pelayan. Suasana mansion begitu senyap. Ditambah pencahayaan di lantai dua dibuat agak redup. Tak ingin membuat keributan, Irish berjalan mengendap. Beruntung belum lama berjalan terdengar percakapan dua orang pelayan di salah satu ruangan yang pintunya setengah terbuka. Irish hendak mengetuk. Namun pembicaraan dua orang itu membuatnya terdiam. "Jadi wanita itu benar Nona Theana, calon istri Tuan Darren? Bukannya dia sudah meninggal?" "Kau tidak dengar tadi Nyonya besar mengatakan itu salah paham. Nona Thea masih hidup dan selama ini berada di luar negeri." "Oh, begitu. Tapi apa kau tidak merasa aneh. Dulu Nyonya besar sangat membenci Nona Thea, bukan? Tapi kenapa sekarang berbeda?" "Tidak tahu. Menurutku Nona Thea juga aneh. Dia menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Tadi dia bahkan menanyakan namaku." "Benarkah? Nona Thea yang kutahu sangat sombong. Dengar-dengar dia juga sempat ada hubungan dengan Tuan Arthur sebelum bersama Tuan Darren. Maniak." Terdengar tawa tertahan setelahnya. 'Siapa Arthur?' tanya Irish dalam hati. "Ssssttt, pelankan suaramu! Jangan sampai ada yang mendengarnya. Bisa habis kita nanti." Irish tidak tahu jika dua orang itu akan keluar dari ruangan. Para pelayan juga terkejut tatkala mendapati orang yang mereka bicarakan sedang berdiri di depan pintu. "N-nona Thea ... Anda di sini?" Julie gelagapan. Pelayan lain di sampingnya juga tak kalah panik. Tangannya yang membawa lipatan selimut dan sprai sedikit gemetar. "Ehm, iya. Ada yang melihat tas putih kecil yang tadi saya bawa?" Irish mencoba fokus pada tujuannya. "Kami tidak melihatnya, Nona," ujar pelayan tanpa nama setelah saling sikut dengan Julie. "Tapi kami akan mencarinya sekarang juga. Nona tunggu saja di kamar. Kami permisi," ujar Julie yang kemudian berlalu bersama si rekan. Beragam tanda tanya muncul di benak Irish. Ia mencoba tak peduli dan beranjak tidur. Wanita itu merebahkan diri di ranjang empuk usai mengganti pakaiannya. Tak lama berselang, sebuah ketukan mengurungkan niat Irish untuk memejamkan mata. Irish yang mengira pelayan datang membawa clutch-nya, tanpa ragu membuka pintu. Namun yang datang bukanlah Julie maupun pelayan lain. Melainkan sosok pria tinggi berwajah tegas dengan senyum aneh. "Kudengar calon kakak iparku datang. Ternyata benar kamu ada di sini, Sweetheart." Pria itu berusaha mengecup pipi tak bercela milik Irish, tapi secepat kilat ia menghindar. "Jangan menggangguku!" Irish mundur dan hendak menutup pintu. Namun orang tak dikenal itu menahan dengan satu tangan dan juga kaki. Entah bagaimana Irish bisa mencium aroma aneh. Semacam alkohol. "Kamu tidak mengenalku? Benar begitu?" Si pria terkekeh. Tangannya dengan berani menarik Irish agar keluar dari kamar. Irish ingin berteriak jika saja pelayan tidak muncul dan menenangkan pria itu. "Tuan Arthur, kamar Anda ada di sebelah sana. Mari saya antar." Pelayan hendak memapah. "Lepaskan, aku bisa jalan sendiri!" Arthur menghalau tangan si pelayan dan berjalan menjauh dengan terhuyung. "Maaf Nona, Tuan Arthur sedang mabuk. Silahkan Nona beristirahat kembali." Pelayan muda sedikit membungkuk sebelum meninggalkan Irish sendiri dalam kebingungan. ** Esok paginya kala sarapan, mereka bertemu lagi. Arthur yang semalam ingin menggodanya kini memberi tatapan tajam. Irish menatapnya sekilas lalu berpura-pura sibuk membantu Darren mengambil roti panggang madu. 'Kenapa dia melihatku seperti itu? Memangnya ada yang aneh dengan wajahku? Apa orang itu yang semalam dua pelayan bicarakan? Untuk apa aku peduli, Mudah-mudahan dia tidak mengganguku lagi,' racau Irish dalam hati. "Arthur, pukul berapa kamu pulang semalam?" Nyonya Wina berbicara sambil menyantap apel kukus, menu sarapan kesukaannya. "Entahlah," jawab Arthur. Pria muda itu mengedikkan bahu, cenderung tak peduli. "Party hampir setiap hari, tidak datang ke kantor. Kamu ingin tekanan darah bunda naik atau bagaimana?" Kali ini Arthur tak menjawab. Ia lebih asyik menikmati roti panggang alpukat yang baru pelayan sajikan. Di sisi lain meja, Darren tersenyum. "Arthur masih muda, Bunda. Biarkan saja dia main sebentar. Akan ada saatnya dia lebih bertanggungjawab pada perusahaan," bela Darren pada adik semata wayangnya itu. "Kak Darren yang terbaik." Arthur kegirangan. "Jika kamu terus membelanya, Arthur akan semakin manja, Darren," ujar Nyonya Wina gemas. Irish memasang mode senyap menghadapi drama keluarga itu. Ia lebih sibuk mempersiapkan diri untuk agenda hari kedua menjadi Theana. Namun siapa sangka Arthur akan menghampirinya begitu Irish berjalan sendirian menuju dapur. Sedianya, wanita itu akan membuat coklat panas untuk Darren. "Tunggu, kita harus bicara." Arthur menghadang langkah Irish dan menunjukkan ekspresi tidak ramah. "Tapi aku harus membuat coklat untuk Darren," kilah Irish. Wanita dengan setelan mocca itu mencari jalan tapi Arthur kian memaksanya mundur hingga punggungnya bertemu dinding. "Jangan berpura-pura lagi. Katakan apa tujuanmu datang kemari! Mungkin kau bisa menipu Kak Darren. Tapi caramu tidak mempan untukku!" hardik Arthur. Netra Irish membulat. Pria di depannya terlihat marah. Mungkinkah penyamarannya telah terbongkar? Tapi bagaimana bisa? ***Mulut Irish terbuka lalu tertutup. Namun suaranya tak kunjung keluar. Ia tak menemukan alasan untuk menjawab hardikan putra kedua dari Nyonya Wina itu."Dengar, Thea, berhenti memberi pengaruh buruk pada kakakku! Tidak cukup bagimu telah membuatnya buta? Kau belum puas?"Irish terhenyak. Entah ia harus lega atau kesal menghadapi amarah Arthur. Kata-kata tak menyenangkan baru saja jelas untuk Thea. Dan Irish harus bersabar karena pria itu belumlah selesai. "Kau melakukan semua ini agar aku cemburu, bukan? Lupakan saja, hubungan kita sudah selesai saat itu. Jadi jangan ganggu hidup kakakku lagi!"Tangan Arthur mengepal tepat di samping wajah Irish yang masih berdiri bersandar. Irish menatap mata Arthur lekat. Meski bibirnya berujar kemarahan, sorot matanya mengatakan hal lain. "Sudah selesai? Bisakah aku membuat coklat panas untuk Darren sekarang?" tanya Irish. Pertanyaan polos yang Irish lontarkan meluruhkan emosi Arthur. Pria itu mematung dan membiarkan Irish pergi melenggang menuj
Arthur mencari keberadaan Irish setelah menutup panggilan. Wanita cantik itu tidak terlihat padahal beberapa saat lalu masih ada kenampakannya bersama gadis kecil. "Ke mana dia?" Arthur yang petang itu mengenakan cardigan hijau tua dan celana khaki mulai berjalan. Sementara itu Irish tak menyangka jika di toilet wanita itu akan bertemu sepupu dari pihak ibunya, Winda. Usai memastikan situasi aman, Irish menghambur ke pelukan wanita itu. "Lama tidak ada kabar, kamu makin cantik," komentar Winda seraya memperhatikan setelan mahal saudaranya itu. Terakhir mereka bertemu sekitar satu tahun lalu di acara reuni keluarga. "Kamu juga cantik, Win," balas Irish senang. "Kamu masih tinggal di kontrakan lama? Kemarin aku main ke sana ternyata kosong.""Aku tinggal di mess karyawan," jawab Irish asal. "Kerja di mana sekarang memangnya?"Pertanyaan yang paling Irish hindari kini terdengar. Tak mungkin ia mengatakan dengan jujur tentang pekerjaannya. Irish mulai memutar otak."Aku merawat ora
Irish terkejut akan serangan Arthur yang tiba-tiba. Tubuhnya yang ramping tentu tidak sanggup menahan bobot pria yang tinggi dan proporsional itu. Ditambah Arthur yang dalam keadaan lemas. Dua orang seketika terjatuh kembali ke ranjang dengan Irish pada sisi bawah."Arthur, lepaskan!" Irish meronta."Tidak, aku ingin memelukmu sepuasnya. Selama ini aku selalu cemburu tiap kali kamu dekat dengan Kak Darren." Nada bicara Arthur tak jauh berbeda dengan bocah tujuh tahun yang sedang merajuk."Tapi aku kesulitan bernafas, lepaskan aku," ujar Irish melunak."Baiklah, aku terlalu bersemangat. Maafkan aku." Arthur mengubah posisi sehingga Irish akhirnya bisa menarik napas lega."Jadi ini benar-benar mimpi, Thea?" Arthur masih mengulum senyum. Tak tampak lagi sikap angkuh dan menyebalkan ketika mereka berbelanja kemarin. Saat ini Irish bagai melihat sisi lain Arthur.'Dia terlihat sangat manis jika seperti ini,' ucap Irish dalam hati."Apa boleh aku memelukmu lagi?" Arthur menatap manik mata I
Tengah malam. Suasana mansion telah lengang. Belasan pelayan pun telah beristirahat di paviliun khusus, dekat taman mawar halaman belakang.Irish membuka pintu kamarnya secara perlahan. Beberapa penerangan di koridor diatur menjadi lebih redup. Wanita itu berjalan mengendap. Lagaknya mirip seseorang yang ingin melakukan aksi rahasia.Setelah berhasil turun ke lantai dasar, ia berbelok menuju dapur. Perutnya merasa lapar dan ia tidak bisa tidur saat lapar. Maka, ia hendak mengambil sedikit cake atau apapun yang berada di sana.Ruangan dapur yang luas sangat terang ketika siang hari. Karena satu sisi jendela lebarnya didesain menerima cahaya matahari secara langsung. Tapi saat malam hari, Irish tidak menyangka jika suasananya sedikit membuat merinding."Aku cuma akan mengambil cake dan es krim lalu kembali ke kamar," gumamnya sendiri. Kaki telah mendekati tiga lemari pendingin yang berjejer di sudut.Namun dari arah westafel yang cukup gelap, muncul sesosok wanita dengan dress putih sel
Irish membanting tubuhnya di ranjang. Tubuhnya memang tidak terlalu lelah, tetapi isi dalam kepalanya terus berkecamuk. Berkali ia tak memahami apa yang sedang Darren katakan. Bukan hanya masalah komunikasi, Irish ternyata sama sekali tak memahami bagaimana karakter Thea sesungguhnya.Hari ini saja ia sudah dua kali meralat ucapannya sendiri. Beruntung sepertinya Darren percaya saja. Nyonya Wina juga tak mau membahas Thea lebih jauh. Irish merasa segan jika terus menerus bertanya.'Sepertinya aku harus mencari tahu sendiri. Jika kamar ini benar milik Thea pasti ada petunjuk yang dia tinggalkan,' tekad Irish.Irish menatap jam dinding, masih ada waktu satu jam sebelum makan malam. Setidaknya tidak akan ada yang mencarinya hingga beberapa saat ke depan.Wanita itu terduduk, mengamati sekitar. Ruangan bercat ungu soft itu terdiri dari ranjang, meja rias dengan lampu-lampu tepi cermin, lengkap dengan produk-produk perawatan mahal. Pun parfum beraneka merk ternama terpajang rapi di lemari
Beat musik menghentak oleh DJ menyambut indera pendengaran Arthur ketika ia baru menapaki club malam tengah kota. Mendekati tengah malam, suasana tempat yang didominasi muda mudi itu semakin ramai.Arthur duduk di kursi tinggi depan meja bartender. Menatap sekitar dengan perasaan enggan. Ia pun tak tahu mengapa harus datang ke tempat ini. Yang Arthur tahu setiap kali bertemu Thea di mansion, ia ingin melarikan diri. Netra cantik wanita itu masih membuatnya tenggelam. Tak peduli berapa berkali Thea telah menorehkan luka. Benci dan cinta, kini bercampur dalam hati Arthur."Beri aku whiskey," pinta Arthur pada bartender muda berseragam hitam.Sembari menikmati minuman di gelas sloki, Arthur memandang arah lantai dansa. Orang-orang itu bergerak sesuai dengan irama. Seseorang menepuk pundak Arthur."Kau datang, buddy?" Pria sebaya duduk di sampingnya dengan tangan membawa segelas tequila."Sedang bosan di rumah. Kau sendirian?" alih Arthur yang kemudian menandaskan minumannya."Tadinya ak
Angin malam menyentuh kulit putih Irish yang tidak tertutup pakaian tidur. Ia menyanggupi ajakan Arthur untuk sekedar berbicara santai di balkon lantai dua.Dari tempatnya berdiri, Irish bisa melihat secercah cahaya di sebelah barat, arah kota. Maklum saja, mansion mewah dua puluh hektar ini di bangun di sekitar hutan pinggiran kota."Aku merasa ada yang berubah darimu." Arthur bersuara usai keheningan mengisi ruang di antara keduanya."Kamu ada-ada saja. Aku masih Thea yang sama. Theana Cornell Waverly," respon Irish disertai tawa kecil. Ia merasa mendapat sedikit keuntungan usai menemukan USB flashdisk milik Thea. Setidaknya ia jadi tahu siapa nama lengkap tunangan Darren yang asli."Apa kamu masih suka pantai?" "Masih." Irish mengangguk berharap jawabannya tidak salah. Karena sejujurnya pun ia suka bermain di pantai. Teringat saat kondisi Nora belum separah sekarang, mereka selalu menikmati waktu di pantai setiap akhir pekan."Kalau begitu kamu masih ingat kita pernah memelihara s
"Mau membuat tatto bersama?" Thea dengan ransel ungu muda menjawil hidung mancung Arthur yang berdiri di sampingnya."Tatto? Kamu yakin?" Nada yang Arthur perdengarkan lebih bisa dikatakan mencibir dibandingkan bertanya. Baginya, Thea terlalu manja untuk menerima rasa sakit ketika kulit ati bertemu jarum tatto."Kamu meremehkanku rupanya. Ck, ck, ck, lihat ini. Taraaa!!" Thea mengangkat selebaran di depan wajah pria yang tahun itu baru menginjak usia dua puluh satu tahun."Couple Tatto. Valentine edition. Lalu?" Arthur membaca tulisan bergaya Lily Script One pada selebaran lalu menatap Thea lekat. Ia masih ingin menggoda wanita cantik dengan cardigan biru laut itu."Aku tidak suka mengatakan permintaanku dua kali." Thea melengos, menambah gemas pada sudut pandang Arthur."Baiklah, baiklah. Kapan kamu ingin membuat tatto? Hari ini?" tawar Arthur seraya menangkup kedua tangan pada pipi Thea. Pria itu tak ingin gadisnya merajuk lebih lama."Sebenarnya aku sudah membuat janji dengan tatto
Malamnya, Arthur tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Sikap ‘Irish’ yang semakin aneh membuatnya resah, terlebih ucapan dingin wanita itu di balkon tadi malam. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu—sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan langkah hati-hati, Arthur berjalan menyusuri koridor menuju kamar Thea. Lampu-lampu di mansion redup, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus jendela besar di ujung lorong. Arthur berhenti di depan kamar Thea. Pintu kamar itu tertutup, tetapi samar-samar ia mendengar suara seseorang berbicara di dalam. Arthur mendekat, menempelkan telinganya ke pintu. Suara itu milik Thea. Awalnya terdengar samar, tetapi kemudian ia bisa menangkap kata-kata yang diucapkan dengan jelas. “Alann, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir,” suara Thea terdengar tenang, tetapi Arthur bisa menangkap nada ketidaksabaran di dalamnya. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Arthur menahan napas. Na
Pagi itu, Arthur terbangun dengan rasa berat di dadanya. Saat matanya terbuka dan ia menatap langit-langit kamarnya, ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Terkadang, mimpi terasa begitu nyata, dan Arthur hampir tidak bisa membedakan apakah pertemuannya dengan Thea di balkon adalah kenyataan atau hanya khayalan. Namun, saat ia mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya dan suara cangkir yang beradu di meja, dia sadar bahwa itu bukan mimpi. Dengan perlahan, ia keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan.Di meja sarapan, Thea sudah duduk dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Matanya terfokus pada piring di depannya, seolah tidak peduli dengan keberadaan Arthur. Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan hangat yang biasa dia berikan. Arthur berdiri sebentar di pintu, merasa ada jarak yang lebih jauh antara mereka dari sebelumnya. Perlahan, ia duduk di kursi berseberangan dengan Thea dan mulai sarapan, mencoba menghindari pandangannya. Namun, ada perasaan aneh yang menggel
Malam itu, mansion terasa sunyi. Hanya suara angin yang sesekali terdengar dari luar, menyapu dedaunan di taman. Arthur berjalan menyusuri lorong dengan langkah mantap. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan dengan Darren, sesuatu yang selama ini mengganjal di pikirannya. Namun, saat ia mendekati kamar Darren, langkahnya terhenti tiba-tiba. Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, terdengar suara samar. Arthur memiringkan kepalanya, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara itu berasal dari Thea. Nada suaranya lembut, tetapi ada sesuatu yang berbeda—seolah ia sedang membujuk Darren. “Ayolah, Darren… hanya malam ini. Aku ingin kita lebih dekat lagi. Kita akan menikah, tidak ada salahnya, kan?” suara Thea terdengar manja, menggoda dengan nada penuh rayuan. Arthur menegang di tempatnya. Jantungnya berdebar kencang, tak nyaman mendengar percakapan itu. Namun, rasa ingin tahunya membuatnya tetap berdiri di sana. Di dalam kamar, Darren duduk di tepi ranjang dengan ekspresi canggu
Beberapa hari kemudian, mansion tetap sunyi seperti biasa, namun atmosfernya terasa lebih berat. Pelayan-pelayan mansion terlihat lebih berhati-hati saat menjalankan tugas mereka. Mereka tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Irish yang belakangan ini sulit diprediksi. Ya, sikap Irish berubah sejak menghilang. Dan belum ada yang menyadari jika sosok yang kembali saat itu bukan lagi Irish, melainkan Theana yang asli.Thea duduk di ruang makan, menikmati sarapannya dengan sikap acuh tak acuh. Darren duduk di depannya, tetapi suasana makan pagi mereka terasa hampa. Darren mencoba mencairkan suasana dengan sebuah pertanyaan. “Sayang, apa rencanamu hari ini?” Thea menoleh sebentar sebelum menjawab singkat, “Tidak ada yang istimewa. Aku hanya ingin beristirahat.” Nada suaranya datar, tanpa kehangatan seperti biasa. Darren terdiam, tidak ingin memicu suasana yang lebih canggung. Arthur yang baru datang dari arah tangga melihat interaksi itu, tetapi memilih untuk tidak ikut campur. Saa
Ruang tamu mansion sore itu dipenuhi aroma manis dari kue-kue mahal yang tersaji di atas meja marmer. Irish menatap deretan cake di depannya—terlihat lezat dan sempurna. Ia baru saja hendak mengambil sepotong egg tart saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa berpikir panjang, ia meletakkan kembali sendok kecil di tangannya dan meraih ponsel. “Ya, ini aku…” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keramaian. Ekspresi Irish berubah tajam, tegang, seolah ada sesuatu yang mendesak. “Sekarang? Baiklah, aku akan segera ke sana.” Setelah menutup telepon, ia berdiri dengan terburu-buru. Pelayan yang menyadari perubahan sikap Irish mendekat dengan raut heran. “Nona Thea, apakah Anda baik-baik saja? Kita masih punya beberapa kue lagi untuk dicoba…” “Saya harus pergi sebentar,” jawab Irish singkat, menyembunyikan kecemasannya. “Tolong sampaikan pada Darren kalau saya akan pulang sebelum malam.” Pelayan itu mengangguk sopan meski jelas terlihat bingung. Irish melangkah cepat kel
Di apartemen mewah yang bersebelahan dengan gedung pencakar langit di pusat kota, Theana duduk di sofa putih bersih yang kontras dengan suasana hatinya yang kacau. Wajahnya dipenuhi amarah dan rasa bingung yang luar biasa. Tangannya yang gemetar menggenggam tablet sepuluh inci. Matanya tajam menatap layar yang menampilkan sebuah artikel. Tablet sepuluh inci yang digenggamnya mengguncang di tangannya, matanya menatap layar dengan penuh kebencian. Sebuah artikel besar tertulis dengan jelas."Pernikahan Pewaris Monearchi Group, Darren Mahendra Castlemore, Diumumkan! Calon Istri: Theana Cornel Waverly, Wanita Beruntung yang Memikat Hati Sang Pewaris."Namun yang membuat darah Theana mendidih, dan jantungnya hampir berhenti berdetak, adalah wajah yang muncul di berita itu adalah wajah yang hampir sama dengan wajahnya. Semua yang ia tahu tentang dirinya, tentang siapa dia, kini terasa seperti direbut orang lain. Bukan hanya karena wanita itu yang kini berdiri di samping Darren, tapi juga k
Arthur tiba di mansion dengan langkah cepat dan pikiran yang sama kacaunya. Langit malam begitu hening, dan suasana di sekelilingnya sepi. Sesuai dugaannya, sebagian besar penghuni mansion sudah beristirahat, termasuk Darren dan ibunya. Namun, pikirannya hanya tertuju pada satu orang.Dengan napas yang masih memburu akibat langkah tergesa-gesanya tadi, Arthur masuk ke dalam mansion dengan hati-hati. Ia menapaki tangga tanpa suara, menuju kamar Irish di lantai atas. Perasaan cemas bercampur rindu membuatnya semakin sulit berpikir jernih. Ia tahu tindakannya mungkin tidak tepat, tetapi ia merasa harus melihat Irish saat ini, memastikan wanita itu baik-baik saja.Begitu tiba di depan pintu kamar Irish, Arthur menggenggam gagang pintu perlahan dan mencoba membukanya. Keberuntungan ada di pihaknya—pintu itu tidak terkunci. Arthur mendorongnya perlahan, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara yang membangunkan siapa pun.Di dalam kamar yang remang-remang, Arthur melihat Irish
Irish menuruni tangga perlahan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih yang mempertegas kecantikannya yang alami. Tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha menampilkan senyum tipis di wajahnya. Ia tahu, apa pun yang sedang dirasakannya saat ini harus disembunyikan sebaik mungkin di depan Darren.Di bawah, Darren sudah menunggunya dengan sebuket mawar merah di tangan—bunga favorit Thea. Wajah pria itu terlihat tegang sekaligus antusias. Saat Irish muncul di ujung tangga, Darren terpana. Matanya membelalak sedikit, seolah melihat sosok yang sudah lama dirindukan. Ia terdiam beberapa saat, seakan lupa bagaimana caranya bernapas.Irish menangkap ekspresi itu dan merasa dadanya sesak. Bukan karena tersentuh, tetapi karena rasa bersalah yang kian menumpuk. Ia tahu, Darren tidak sedang melihat dirinya—ia melihat bayangan Thea.Ragu, Irish melangkah mendekat. Namun sebelum ia sempat sampai di depan Darren, pria itu sudah menghampirinya lebih dulu dan memeluknya erat. Irish terkejut, t
Siang itu, Irish duduk di kamar dengan tubuh lemas. Sejak pulang dari butik, rasa lelahnya semakin terasa. Pikirannya terus berkecamuk, memikirkan persiapan pernikahan, tekanan dari Nyonya Wina, dan, yang paling mengganggu, kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini terasa tidak biasa. Pandangannya tertuju pada kalender di meja rias. Ia mulai menghitung tanggal dengan teliti, dan seketika wajahnya memucat. "Satu bulan…” bisiknya, seolah tidak percaya. Ia mencoba mengabaikan rasa cemas, tetapi pikirannya semakin kacau. Apa mungkin dirinya hamil? Pikiran itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Namun, Irish tahu ia tidak bisa membiarkan ini mengganggu pikirannya lebih lama. Ia harus memastikan.Tak menunggu waktu lama, dengan alasan ingin berjalan-jalan untuk menghirup udara segar, Irish keluar dari mansion seorang diri. Ia meminta sopir berhenti di depan sebuah minimarket. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikannya, Irish masuk dengan langkah gugup. Saat tiba di bagian ala