Share

Bab 5

Setelah Lina melepas celana dalamnya, dia memasukkannya ke dalam tas dan melihat ke luar jendela seolah tidak terjadi apa-apa.

Tapi, wajahnya yang cantik memerah dan kakinya dijepit erat.

Aku kebetulan bisa melihat penampilannya secara keseluruhan di kaca spion.

Penampilannya yang pemalu dan gelisah itu terlalu menawan.

Terutama di antara kedua kakinya, itu membuatku berfantasi.

Kak Nia luar biasa, entah apa yang dia katakan dengan Lina hingga membuat Lina melakukan hal seperti itu.

"Drrt drrt." Ponsel tiba-tiba bergetar.

Aku membuka WhatsApp dan menemukan bahwa itu adalah pesan dari Kak Nia.

Kak Nia, "Sudah lihat?"

Aku malu dan bersemangat, juga tidak tahu harus berkata apa, jadi aku mengirim ekspresi tersenyum pada Kak Nia.

Pesan Kak Nia segera terkirim, "Lina sedikit pemalu sepertimu, tapi aku akan membiarkan pikiran dia terbuka perlahan, kamu harus memanfaatkan kesempatan."

Aku menjawab, "Oke."

Aku sangat bersemangat, Kak Nia sangat mahir dalam membantu.

Sesampainya di mal, Kak Nia selalu membantuku menciptakan kesempatan untuk dekat dengan Lina, tapi Lina selalu sengaja menghindariku sehingga membuatku sangat tidak berdaya.

Saat istirahat, Lina pergi ke kamar mandi, Kak Nia memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya padaku, "Ada apa denganmu? Aku sudah menciptakan kesempatan untukmu, apa kamu nggak bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk dekat dengannya?"

"Kak Nia, bukannya aku nggak mau mendekatinya, tapi Kak Lina memang sengaja menghindariku. Aku jadi penasaran, apa dia tahu kalau aku punya berniat seperti itu padanya?"

"Apa tindakanmu itu disebut mendekat? Sepertinya sia-sia aku mengajarimu pagi ini =. Ingat, kamu nggak boleh terlalu polos saat berhadapan dengan wanita."

"Dia nggak membiarkanmu mendekat, jadi kamu nggak akan mendekat? Dia nggak membiarkanmu membantu membawa barang, apa kamu nggak bisa memaksa untuk membawa barang?"

"Kamu laki-laki, kamu harus lebih proaktif, biarkan dia melihat sisi maskulinmu, lalu secara nggak sengaja menggodanya, maka hasratnya perlahan akan terkobar."

"Kalau nggak, dengan temperamenmu yang lamban, butuh waktu bertahun-tahun dan berbulan-bulan untuk mendapatkannya."

Aku memang agak kaku untuk soal ini. Ketika aku masih sekolah, aku hanya belajar dan tidak pernah mengejar seorang gadis.

Aku bahkan tidak tahu bagaimana menghadapi nyonya muda yang dewasa.

Aku mengangguk dengan setengah paham, "Aku mengerti, Kak Nia."

Kak Nia tiba-tiba menghampiriku dan membantuku merapikan kerah bajuku. Aku mencium bau harum Kak Nia dan menatap wajahnya dari dekat, lalu detak jantungku semakin cepat.

Kulit Kak Nia sangat bagus. Biarpun usianya sudah di atas 30 tahun, kulitnya sama bagusnya dengan gadis berusia delapan belas atau sembilan belas tahun.

Apalagi dada Kak Nia sangat besar dan montok. Saat dia mendekat ke arahku, aku melihat dari sudut mataku bahwa dadanya hampir menyentuhku.

Hal ini membuat aku semakin gelisah dan pemandangan yang aku intip di pagi hari mau tidak mau muncul di benakku.

"Edo, apa kamu melihat sesuatu pagi ini?"

Kak Nia tiba-tiba bertanya padaku.

Aku sangat ketakutan hingga jantung aku berdetak kencang dan jantungku terasa seperti tercekat.

"Nggak ada, Kak Nia, kenapa tiba-tiba bertanya seperti ini?"

"Benaran nggak? Lalu kapan kamu meletakkan celana dalam yang kamu pakai di kamar mandi pagi ini?"

Kak Nia tidak tinggi, hanya mencapai daguku. Dia menatapku, bibir merahnya yang indah sangat dekat denganku.

Aku bisa merasakan napas Kak Nia yang menerpa leherku, terasa gatal dan mati rasa.

Saking paniknya aku sampai tergagap, "Iya, aku letakkan tadi malam. Kak Nia, aku tahu apa yang kulakukan itu salah, aku nggak akan pernah melakukannya lagi."

Kak Nia tertawa dan melepaskan kerah bajuku, "Aku nggak menyalahkanmu, aku hanya merasa reaksimu aneh hari ini. Kupikir kamu melihat sesuatu pagi ini."

"Aku tidur sangat nyenyak di pagi hari dan baru bangun setelah jam sembilan. Kak Nia tahu itu 'kan?" Aku berbohong

Kak Nia mengangguk, "Aku terlalu memikirkannya. Sebenarnya aku bisa memahaminya. Kamu adalah seorang mahasiswa yang baru lulus dan bahkan belum pernah punya pacar. Agak memalukan bagimu kalau aku tiba-tiba membicarakan hal seperti itu."

"Apalagi apa yang kuucapkan padamu di pagi hari pasti akan membuatmu berpikiran liar. Jadi aku mengingatkanmu lagi bahwa aku adalah kakak iparmu dan aku saat ini adalah gurumu. Kamu nggak boleh mempunyai pemikiran lain tentang aku."

"Paham?"

Biarpun aku tahu bahwa tidak mungkin terjadi apa-apa antara aku dan Kak Nia, aku tetap merasa kecewa saat Kak Nia memberitahuku hal ini.

Kak Nia melihat ke arah kamar mandi, lalu berkata kepadaku, "Kita akan pergi makan siang nanti, kamu manfaatkan waktu untuk membangkitkan hasrat Lina dan cobalah bantu dia antar barang ketika pulang nanti, biar kamu bisa pergi ke rumahnya."

Aku tidak berbicara.

Kak Nia memiringkan kepalanya dan menatapku lalu berkata, "Oh, apa kamu nggak bisa? Kalau memang nggak tahu caranya, cari film dan tonton."

"Aku nggak begitu," kataku dengan suara yang sangat kecil sambil menundukkan kepala.

Kak Nia jadi geli dengan kata-kataku, "Yang benar saja, bukankah semua pria suka menonton film seperti itu?"

"Kak Nia, aku memang nggak pernah, aku nggak tahu harus cari di mana."

"Oh, kalau begitu kamu memang anak baik." Kak Nia tersenyum lebar, di saat yang sama, dia menatapku dengan aneh.

Dia mengeluarkan ponselnya dan mencari-cari sesuatu. Saat itu, Lina keluar dari kamar mandi.

Kak Nia segera menyimpan ponselnya dan mengedipkan mata ke arahku.

"Kak Lina, biar kubantu bawa barang-barangmu." Aku melihat ekspresi Kak Nia dan segera berjalan mendekat sambil berkata pada Lina.

"Nggak usah, aku bawa saja sendiri."

"Aku seorang pria dewasa, mana bisa membiarkan seorang wanita membawa barang? Berikan saja padaku."

Dengan pengalaman yang Kak Nia ajarkan kepadaku, kali ini aku tidak peduli bagaimana sikap Lina dan langsung mengambil benda itu dari tangannya.

Lina tersenyum dan mengangguk ke arahku, "Terima kasih."

Aku merasa sangat bahagia.

Kak Nia memang guruku. Pengalaman yang dia sampaikan kepadaku sungguh efektif.

Aku membawa sendirian semua tas besar dan kecil lalu memasukkannya ke dalam mobil, sedangkan Kak Nia dan Lina pergi mencari tempat makan.

Setelah menyimpan barang-barang, ponselku tiba-tiba bergetar dua kali.

Aku mengeluarkannya, ternyata Kak Nia mengirimiku video seperti itu.

Tiba-tiba aku merasa bersalah dan melihat sekeliling.

Untungnya, tidak ada seorang pun di garasi saat ini.

Kak Nia kemudian mengirimiku pesan lagi, "Tonton videonya dan pelajari. Nanti aku kasih tahu kalau makanannya sudah disajikan."

Aku sangat gembira karena aku belum pernah melihat video seperti ini.

Aku membuka pintu mobil dan masuk. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar, aku membuka video tersebut dengan tangan gemetar dan penuh semangat.

Adegan dalam video tersebut begitu seru hingga aku merasa sangat tidak nyaman setelah menontonnya beberapa saat.

Apalagi api yang dikobarkan Kak Nia pada pagi hari kini kembali berkobar.

Mau tak mau aku melepaskan ikat pinggangku, bersiap untuk melampiaskannya sebelum naik ke atas.

Tepat ketika aku sedang melampiaskan hasrat hingga lupa diri, aku secara tidak sengaja menemukan sesosok tubuh di luar jendela mobil.

Saat aku melihat sosok itu dengan jelas, seluruh tubuhku mati rasa.

Pasalnya sosok itu tak lain adalah sahabat Kak Nia, Lina.

Saat aku menemukan Lina, Lina menatap lurus ke arahku dengan mata indahnya.

Tapi, saat mata kami bertemu, Lina berbalik dan lari seperti kelinci yang ketakutan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status