Mendengar ini, Alya terdiam.Angga melirik bibir Alya yang agak memerah dan terkekeh. "Lagi pula kalaupun aku datang, aku nggak bisa membantu apa-apa. Kelihatannya kalian berdua mengobrol dengan lancar?"Begitu selesai bicara, Angga menerima tatapan yang dingin dan tak acuh dari Alya."Pak Angga, kalau kamu nggak ada urusan lagi, pergi dan kembalilah bekerja.""Ck ck ck, sepertinya sekarang kamu benar-benar nggak mengapresiasiku. Oke oke, aku pergi dulu."Setelah Angga pergi, Alya menggosok-gosok keningnya. Kemudian dia bersandar, berbaring dan berhenti memikirkan apa pun....Ketika Alya hendak menjemput anak-anaknya, dia kebetulan mendapat telepon dari Lisa yang mengajaknya untuk makan malam bersama.Malam ini Alya tidak memiliki rencana apa pun, jadi Alya menyetujuinya."Aku hampir sampai di sekolah. Aku akan menjemput mereka dulu lalu pergi ke mal, nanti kamu temui saja kami di sana," ujar Lisa."Oke."Malam itu, mal sangat ramai. Ketika Alya menemukan Lisa dan anak-anaknya, Lisa s
Namun, Lisa tidak menyadari apa pun dan dengan gembira memesan makanan."Satya dan Maya masih kecil, jadi sebaiknya jangan makan pedas. Tapi aku ingin makan pedas. Bagaimana kalau kita pesan kuahnya setengah-setengah?"Lisa terus berbicara. Ketika menyadari tidak ada yang meresponsnya, dia pun mengangkat kepalanya dan menemukan Alya yang sedang memandang layar ponselnya dengan tatapan kosong. Alya tampak sedang memikirkan sesuatu."Alya?" Lisa melambaikan tangannya di depan Alya dan Alya pun tersadar dari lamunannya."Kamu sedang memikirkan apa? Kita di sini untuk makan, tapi kamu sepertinya nggak fokus. Kamu masih memikirkan pekerjaan, ya?"Mendengar ini, Alya memandang Lisa. Dia menggigit bibirnya dan tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia ragu."Maaf, kamu ....""Untuk apa minta maaf." Lisa mengacak-acak rambut temannya. "Nggak ada yang perlu minta maaf di antara kita. Aku hanya khawatir kamu bekerja terlalu keras. Saat makan, jangan pikirkan pekerjaan. Bersenang-senanglah."Be
Mendengar ini, senyum di bibir Alya pun sedikit memudar. Namun dia masih dengan lembut bertanya, "Perkataanmu benar juga, tapi aku masih agak penasaran. Boleh aku lihat ponselmu sebentar?"Lisa mengedipkan kedua matanya, lalu tertawa dengan canggung dan berkata, "Alya, ini sungguh bukan apa-apa. Mungkin foto profilnya hanya kebetulan sama?"Awalnya Alya tidak berpikir macam-macam, tetapi melihat Lisa yang menjaga ponselnya seperti ini dan tidak mau membiarkannya melihat sebentar saja, Alya pun mulai merasa ada yang aneh.Meskipun tidak sopan untuk meminta melihat ponsel orang lain, dia dan Lisa memiliki hubungan yang dekat sampai-sampai melihat ponsel satu sama lain bukanlah masalah.Tidak perlu jauh-jauh, dulu saat Lisa sangat bersemangat untuk menjodohkannya dengan Irfan, begitu ponselnya berbunyi, Lisa pasti akan mencoba untuk merebutnya."Biar aku lihat, pasti yang mengirimkanmu pesan adalah Irfan. Wow, benar! Biar aku yang membalasnya untukmu."Kemudian Lisa akan menggunakan ponse
Setelah mengatakan itu, Lisa dengan enggan menyodorkan ponselnya."Silakan lihat."Alya tertegun, dia tidak menyangka Lisa akan berubah pikiran begitu dia hendak pergi.Dia menatap Lisa dengan terkejut."Sebenarnya ... kalau kamu nggak nyaman, aku nggak akan memaksamu.""Aku nggak apa-apa." Lisa menggertakkan giginya. "Dulu aku juga sering melihat ponselmu, 'kan? Jadi kalau kamu melihat ponselku pun, itu wajar. Kalau aku hanya ingin melihat ponselmu tapi nggak membolehkanmu melihat punyaku, bukankah itu nggak masuk akal? Silakan lihat."Setelah itu, Lisa langsung mendorong ponselnya ke dada Alya.Alya memegang ponsel tersebut, sebuah senyum perlahan muncul di bibirnya."Terima kasih, Lisa."Kemudian Alya meminta Lisa membukakan kunci ponselnya. Sebelum menekan sidik jarinya, Lisa merasa gelisah. Dia pun memutuskan untuk mengaku terlebih dahulu, "Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu dulu. Belakangan ini aku menambahkan kontak seseorang dari bar, dia orang yang kamu tahu, yang pernah aku
Alya segera mengangkat kepalanya, dia tidak mau melewatkan detail apa pun."Pantas saja apa?""Aku ...." Lisa menggigit bibirnya dan tampak kesulitan. "Waktu itu, kamu sempat menitipkan anak-anakmu padaku, 'kan? Karena ada hal yang perlu kamu tangani.""Ya, lalu?""Aku mengambil beberapa foto dan mengunggahnya di story WhatsApp-ku. Pak Rizki ini melihatnya, lalu meneleponku."Mendengar hal ini, dada Alya mendadak terasa sesak. Merasa bahwa sesuatu yang penting akan diungkapkan, wajahnya pun memucat. Meskipun berdiri, dia rasanya seperti nyaris pingsan."Dia meneleponmu, lalu? Dia bertanya apa?""Dia bertanya tentang Maya dan Satya. A-Aku kira dia penggemar mereka, jadi aku nggak berpikir panjang dan memberitahunya semuanya. Maafkan aku, Alya. Aku juga membicarakanmu ... aku benar-benar nggak tahu semuanya akan jadi seperti ini."Ketika membicarakan hal ini, Lisa merasa sangat tidak enak. Dia memainkan jarinya dengan gelisah, merasa bahwa dia telah membuat kesalahan besar.Mendengar pen
"Mama kenapa?"Mungkin karena dia terus bengong dan diam, kedua anaknya pun merasa ada yang tidak beres. Ketike menoleh, dia melihat Maya dan Satya menatapnya dengan wajah khawatir.Alya merapatkan bibirnya, lalu memaksa tersenyum."Nggak apa-apa, Mama hanya memikirkan urusan kerja."Maya yang naif tidak lagi curiga setelah mendengar penjelasannya. Akan tetapi, Satya tidak mengatakan apa pun dan masih tampak khawatir"Mama, jangan pikirkan itu sekarang. Sekarang sudah di luar jam kerja," ujar Maya dengan lembut sambil berdiri dan memeluk lengan Alya."Ya, Mama mengerti. Tapi ada sesuatu yang ingin Mama tanyakan pada kalian, boleh?"Maya mengangguk."Apa siang ini Paman RezekiMalam datang ke sekolah?"Kedua anak itu serentak menggeleng.Melihat ini, Alya menyipitkan matanya."Kemarin dan kemarin lusa dia datang, tapi hari ini nggak?""Ya." Maya mengangguk dengan patuh. "Jojo bilang, pamannya mungkin sibuk bekerja, makanya nggak datang. Tapi pamannya menyuruh paman lain untuk mengantarka
Setelah kedua anak itu selesai bercerita, Alya kurang lebih mengerti apa yang terjadi pada hari itu.Dia tanpa daya menghela napas, lalu mencubit hidung Maya."Kenapa kamu sebodoh ini? Hanya karena orang itu memperlakukanmu dengan baik, kamu ingin dia menjadi papamu? Bukankah sebelumnya Mama sudah mengajarimu, kamu nggak boleh semudah itu memercayai orang asing?""Hmm." Maya menutupi hidungnya dan berkata sambil cemberut, "Tapi Mama, Maya rasa Paman RezekiMalam bukan orang jahat. Maya sangat menyukainya."Mendengar hal ini, Alya tertegun."Kamu suka dia?""Ya." Maya mengangguk. "Paman RezekiMalam terasa seperti seorang papa. Mama, apa Paman RezekiMalam boleh menjadi papa Maya dan Kakak? Kakak juga menyukai Paman."Alya pun melihat ke arah Satya.Ketika bertemu dengan tatapannya, mata kecil Satya menjadi gugup dan menghindarinya."Satya?""Ng ... nggak, Mama. Satya ng ... nggak menyukai Paman RezekiMalam."Alya sendirilah yang menyaksikan kedua anak ini tumbuh, sehingga dia tahu jelas b
Keesokan harinya.Alya mengantarkan kedua anaknya ke sekolah seperti biasa, berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi kemarin.Setelah mengantar Satya dan Maya, dia pun kembali ke perusahaan.Begitu sampai di perusahaan, dia menerima pesan dari Lisa."Alya, kemarin malam apa kamu sungguh nggak apa-apa?"Meskipun kemarin mereka telah memastikan keselamatan masing-masing, Lisa memutuskan untuk bertanya lagi setelah mengingat ekspresi Alya kemarin."Nggak apa-apa, kamu nggak usah khawatir.""Benarkah? Tapi kamu kelihatannya ...."Alya menghela napas. "Aku sungguh nggak apa-apa, aku hanya memiliki beberapa urusan yang harus ditangani. Setelah aku membereskannya, aku akan memberitahumu semuanya.""Oke, kalau begitu setelah kamu menanganinya, kamu harus langsung memberitahuku, bukan langsung memberi tahu Citra."Kalimat terakhirnya membuat Alya tertawa."Aku mengerti, aku akan langsung memberi tahu kalian berdua. Bagaimana kalau nanti kita teleponan bertiga?""Oke."Lisa pun menutup telepo
Biasanya dalam situasi seperti ini, Hana akan berbalik dan pergi.Namun, sekarang Hana tidak punya apa-apa lagi. Dia maju beberapa langkah, lalu menggigit bibirnya dan berkata, "Apa maksudmu dengan bercanda menggunakan perasaanmu? Kamu nggak berpikir kalau perasaanmu padanya tulus, 'kan? Begitu tulus sampai-sampai kamu nggak peduli kalau dia jatuh ke dalam pelukan pria lain?"Irfan melihat ke arah asistennya. "Bawa dia keluar.""Irfan, Alya akan bersama dengan Rizki. Apa kamu akan membiarkan mereka bersama begitu saja? Aku tahu bahwa selama 5 tahun ini kamu terus menemani Alya, kamu telah menunggunya selama 5 tahun. Bukankah kamu ingin bersama dengannya? Apa kamu bersedia kalau hari ini dia diambil oleh orang lain?"Hana berteriak seperti orang gila dan hampir histeris, tetapi orang di depannya masih tetap tenang."Sudah cukup bicaranya?"Hana tercengang.Apa maksudnya? Dia sudah berbicara panjang lebar, tetapi Irfan bahkan tidak peduli sedikit pun?Ini tidak masuk akal. Bukankah pria
Setelah ibunya pergi, Hana jatuh ke tempat tidur rumah sakit, menutupi pipinya yang memar dan menangis kesakitan.Jangankan ibunya, dia bahkan ingin menampar dirinya sendiri.Baru sekaranglah dia sadar, bahwa dia harusnya berhenti sejak dulu ....Namun, tampaknya, sekarang sudah terlambat untuk melakukan apa pun.Apakah ada seseorang yang bisa menolongnya?Mungkin ... ada seseorang yang bisa menolongnya.Hana terpikirkan seseorang dan melompat turun dari tempat tidur. "Nanda, cepat, bawa aku mencari taksi."Malam ini adalah malam yang sibuk.Di teras yang hening.Hasan menuangkan secangkir teh panas untuk Irfan, uap teh mengepul di udara yang dingin. Hana berdiri di hadapannya, dengan Nanda yang menopangnya di samping.Dia sudah cukup lama berdiri sana, tetapi Irfan sama sekali tidak berbicara ataupun mempersilakannya duduk.Bahkan Hasan yang berada di sisinya hanya menuangkan secangkir teh panas.Dia berlari keluar dengan terburu-buru, sehingga dia masih mengenakan gaun rumah sakit da
"Sebenarnya apa yang terjadi?"Nanda secara singkat menjelaskan apa yang dia tahu."Apa? Rizki datang?" Kegembiraan melintas di mata Tesa, dia maju dan menggenggam tangan Hana. "Hana, kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Rizki datang? Dia datang menjengukmu, 'kan?"Sayangnya, mata Hana penuh dengan keputusasaan. Dia terlihat seperti pecundang. Tesa memanggilnya berkali-kali, tetapi dia tidak merespons."Hana? Cepat bicara!"Melihatnya yang seperti ini membuat Tesa kesal.Kemudian barulah Hana mendongak, matanya penuh dengan air mata."Ibu, dia tahu, dia sudah tahu. Selanjutnya dia nggak akan membiarkanku, dia juga nggak akan membiarkan Keluarga Adelia."Tesa mengerutkan keningnya."Tahu apa? Bicaralah yang jelas.""Alya, Alya Kartika, ingatan dia sudah kembali. Dia memberi tahu Rizki kebenarannya. Sekarang Rizki sudah tahu bahwa bukan aku yang menyelamatkannya. Dia akan membereskanku, selanjutnya dia pasti akan membereskan kita. Ibu, kita harus bagaimana?"Meskipun perkataan Hana agak
Sekarang Hana pun gelisah.Namun, sekarang dia sudah menenangkan dirinya. Malam ini Rizki datang untuk mempermainkannya.Selama dia menolak untuk mengakuinya, tidak ada yang bisa melakukan apa pun padanya.Memikirkan hal ini, Hana menatap Rizki dan berkata, "Bukankah kamu nggak tahu terima kasih? Apa kamu ke sini untuk mempermainkanku dan memberikan bukti pada Alya? Rizki, biar kuberi tahu kamu, aku nggak akan memberimu apa yang kamu mau. Kamu diselamatkan olehku yang telah mempertaruhkan nyawa. Waktu itu, aku hampir tenggelam di sungai demi menyelamatkanmu. Sementara mengenai Alya, dia bukan urusanku. Tapi, nggak ada satu pun orang yang bisa merebut jasaku. Kalau kamu mau menjadi orang yang nggak tahu terima kasih, silakan. Tapi jangan harap kamu bisa memaksa atau menyogokku untuk mendapatkan bukti apa pun."Setelah mengatakan itu, Hana langsung berbalik dan berjalan ke tepi tempat tidur, dia melepaskan sepatunya, lalu naik ke tempat tidur."Selama belasan tahun ini, akulah yang telah
Jawaban ini membuat Hana benar-benar panik.Tadinya, dia kira Rizki menanyakan hal ini karena ingin mendengarnya menceritakan ulang kejadiannya. Namun, ternyata ....Begitu menyadari betapa buruknya nasib yang harus dia hadapi bila Rizki sampai mengetahui kebenarannya, Hana pun seketika menjadi panik dan mulai berbicara dengan tidak jelas."Rizki, waktu itu benar-benar aku yang menyelamatkanmu. Jangan dengarkan omong kosong Alya, dia hanya ingin membohongimu dan membuatmu membuangku."Dari ucapannya ini, Rizki akhirnya mendapatkan kata kunci yang dia cari-cari. Matanya menyipit dengan mengancam, suaranya juga menjadi sangat dingin."Memangnya aku sudah bilang siapa yang mengatakannya?"Hana pun tercengang."Waktu itu, bukankah hanya ada aku dan kamu di tepi sungai? Kenapa kamu mengira Alya yang mengatakan sesuatu padaku? Kalau dia nggak di sana, apa perkataannya itu penting?"Sampai di sini, nada bicara Rizki seketika berubah menjadi tajam."Atau maksudmu, waktu itu bukan hanya ada kit
Hana tertegun oleh pertanyaannya dan membeku di tempat, dia menatap Rizki dengan bingung.Setelah waktu yang lama, barulah dia menyadari sesuatu.Mungkinkah Rizki sudah mengetahui kebohongannya?Tidak, itu tidak mungkin.Saat diselamatkan, Rizki masih tidak sadarkan diri. Alya juga telah kehilangan ingatannya. Rizki tidak mungkin mengetahuinya, kecuali Alya mendapatkan ingatannya kembali.Namun, bertahun-tahun telah berlalu, jika Alya ingin mendapatkan kembali ingatannya dia pasti sudah lama melakukannya, kenapa harus menunggu sampai sekarang?Apalagi, jika Alya benar-benar telah mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia bisa menahan diri untuk tidak segera datang ke sini dan menemuinya? Dia mungkin sudah memberi tahu seluruh dunia bahwa dialah yang menyelamatkan Rizki.Setelah memikirkan hal ini, Hana merasa bahwa dirinya mungkin hanya terlalu sensitif dan curiga karena mimpinya.Rizki yang sekarang menanyakan hal-hal ini, sebenarnya memberikan kesempatan yang sangat bagus untuknya.
Karena di depan Rizki, dia selalu tampil ramah dan lembut, tidak pernah bertingkah seperti perempuan jahat seperti sekarang.Hana panik, dia segera menyibakkan selimutnya dan turun dari tempat tidur."Rizki, kenapa kamu ke sini?"Sebelum Hana selesai bicara, air mata sudah mengalir di pipinya. Dia menangis dan bergegas menghampiri Rizki."Aku kira kamu nggak mau berbicara denganku lagi."Rizki menurunkan matanya, memandang pergelangan tangan Hana."Kenapa kamu marah sekali?"Mendengar ini, Hana buru-buru menjelaskan, "A ... aku kira kamu mengabaikanku, jadi suasana hatiku sangat jelek. Maaf ... aku nggak bermaksud begitu. Nanda, apa kamu baik-baik saja?"Nanda menggeleng. Sambil melangkah mundur, dia membenci Hana yang bermuka dua ini di dalam hatinya. "Kalau begitu aku keluar dulu, kalian berdua silakan mengobrol."Dia segera pergi, bahkan menutup pintu kamar tersebut untuk Hana.Hana tidak tahu sekarang pukul berapa, tetapi seharusnya sudah malam sekali. Dia tidak menyangka Rizki aka
Setelah Rizki pergi, Alya berdiri seorang diri di depan pintu, berusaha menenangkan napas dan perasaannya.Beberapa waktu kemudian, dia mengangkat tangan dan menyentuh pipinya.Masih hangat ....Jelas-jelas tadi hanya sebuah pelukan.Akan tetapi, dia tidak menyangka Rizki benar-benar memercayainya dan sama sekali tidak mempertanyakannya.Bukankah ini artinya, hati Rizki selalu lebih condong kepadanya?"Mama?"Tiba-tiba, terdengar suara anak kecil dari belakangnya.Alya kaget dan berbalik, menemukan bahwa Satya sudah bangun entah sejak kapan dan sedang berdiri di sana menatapnya.Melihat putranya, Alya pun terkejut."Satya, kenapa kamu bangun?"Bukankah dia sudah tidur?Mata Alya menghindari putranya. Sudah berapa lama Satya berdiri di sana? Barusan dia tidak melihatnya, 'kan?Sambil memikirkan hal itu, Alya berjalan menghampiri Satya, lalu berjongkok di depannya dan menggendongnya. "Kamu keluar tanpa pakai baju tebal, bagaimana kalau nanti kamu sakit?"Setelah digendong, Satya memeluk
"Ya sudahlah." Alya berbalik. "Lagi pula kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Kalau aku nggak mengingatnya, siapa pun pasti akan mengira dia yang menyelamatkanmu."Melihat punggungnya, Rizki merapatkan bibir."Kamu tenang saja, aku nggak akan membiarkan pencapaianmu dicuri oleh orang lain tanpa alasan."Alya tertawa dengan dingin."Apa gunanya kamu mengatakan itu sekarang? Semua orang sudah mengira dia yang menyelamatkanmu, kejadiannya juga terjadi bertahun-tahun yang lalu. Apa sekarang kamu akan keluar dan berkata bahwa yang menyelamatkanmu adalah aku dan bukan dia? Apa kamu punya bukti?""Nggak.""Jadi ...."Bahunya terasa berat, Rizki tiba-tiba memegang bahunya dan menariknya, membuatnya bertatap muka dengan pria itu."Bukti adalah sesuatu yang, selama aku inginkan, pasti ada."Alya tertegun. "Apa?"Rizki berkata, "Tadinya, aku hanya ingin memutus hubungan dengannya, lagi pula dia telah menyelamatkanku. Tapi sekarang karena dia nggak menyelamatkanku, ini bukan lagi hanya tentang