Melihat Rizki masih duduk di sana dan tidak bergerak, Cahya terpaksa dengan kasar berkata, "Kalau kamu nggak ganti baju, Nona Alya akan tahu kalau kamu melakukannya dengan sengaja saat melihatmu nanti.""Perkataanmu benar juga."Rizki akhirnya terbujuk, dia berdiri dan melepas jaket serta bajunya yang basah.Setelah berganti baju, Rizki memang jadi merasa lebih nyaman. Saat ini, ponsel Cahya tiba-tiba berbunyi.Cahya baru saja mengeluarkan ponselnya ketika mendengar atasannya bertanya, "Apa yang dia katakan padamu?"Cahya terdiam.Dia bahkan belum sempat membaca pesannya.Setelah membacanya, Cahya berkata, "Nona Alya bilang dia nggak enak badan dan mau tidur siang, jadi dia nggak akan makan siang bersama kita.""Nggak enak badan?" Rizki mengerutkan keningnya. "Telepon dia dan tanya dia mananya yang sakit?"Lagi pula, belum lama ini Alya pingsan. Mendengar bahwa dia tidak enak badan sungguh membuat orang-orang khawatir.Namun, Cahya tidak bergerak, dia hanya memegang ponselnya sambil me
Staf hotel yang melihat mereka berdua pun tampak terkejut."Kalian siapa?"Cahya menunjuk dirinya. "Kami yang tadi memesan makanan untuk teman kami, dia menginap di seberang."Mendengar hal ini, staf hotel tersebut tampak mengerti."Ternyata begitu, tapi sepertinya teman kalian nggak ada di dalam. Saya sudah menekan bel beberapa kali, tapi nggak ada yang menjawab.Saat ini, staf hotel tersebut dengan gugup menyarankan, "Bagaimana kalau kalian meneleponnya untuk memastikan apakah dia ada di dalam atau nggak?"Rizki melihat ke arah Cahya."Telepon."Cahya mengeluarkan ponselnya dan menelepon Alya. Dia kira teleponnya tidak akan diangkat, tetapi ternyata Alya segera mengangkatnya."Pak Cahya."Suara Alya terdengar jernih dan jelas, seolah-olah wanita itu tidak baru saja bangun tidur.Kalau begitu, seharusnya saat ini dia tidak tidur, 'kan? Kenapa dia tidak membuka pintunya?"Nona Alya, apa kamu sudah bangun tidur?"Alya duduk di lobi yang ramai dengan ponsel yang ditempel di telinganya. D
Dengan itu, Alya langsung menutup teleponnya. Di saat yang sama, senyum di bibirnya sudah menghilang.Setelah menutup telepon, Alya menyimpan ponselnya dan menarik koper kecilnya ke pintu pesawat.Di sisi lain, Rizki mengembalikan ponsel Cahya dengan wajah muram.Cahya melirik dan menyadari bahwa teleponnya sudah diputus. Ditambah dengan percakapan yang tidak sengaja dia dengar tadi, dia pun bertanya dengan hati-hati, "Pak Rizki, Nona Alya sudah pergi ke bandara?"Rizki tidak menjawab, tetapi wajahnya yang sehitam pantat panci sudah menjelaskan semuanya."Jadi ... apa yang kita lakukan selanjutnya?"Rizki meliriknya. "Kita kembali ke perusahaan dulu."Dengan itu, Rizki langsung memasuki kamar hotelnya. Ketika hendak mengikutinya, Cahya teringat dengan staf hotel yang telah mengantarkan makanan tersebut. Dia pun berkata, "Kami nggak menginginkan makanan ini lagi, kamu bisa membaginya dengan staf hotel yang lain. Orang di dalam kamar itu sudah pergi."Setelah itu, dia cepat-cepat mengiku
"Aku nggak butuh."Alya bergumam, "Aku nggak berencana untuk memiliki hubungan semacam itu lagi."Jawaban ini agak mengejutkan Angga."Jadi maksudmu, kamu nggak mau mencari pasangan lagi dan hanya ingin hidup sendiri?"Alya membuka matanya lagi. "Kurang lebih begitu.""Sebaiknya kamu pikirkan lagi baik-baik. Orang yang hidup seorang diri, nantinya akan sangat kesepian."Angga menyetir mengikuti lalu lintas dan bergabung dengan jalan utama. Sambil menyetir, dia berkata, "Lagi pula, manusia adalah makhluk sosial. Saat masih muda, kamu punya orang tua dan teman-temanmu yang masih lajang, sehingga kamu mungkin nggak terlalu memikirkan pernikahan. Tapi seiring bertambahnya usia, kalau nggak ada teman, orang tua ataupun anak di sisimu, kamu akan mulai merindukan memiliki seseorang untuk menemani dan makan bersamamu."Alya mendengarkan perkataannya dengan tenang dan tidak merespons.Karena dia sama sekali tidak sendirian.Dia memiliki dua anaknya."Saat aku masih muda dan sombong, aku juga be
Karena pada hari itu di kantor, reaksi Irfan memang terasa agak memaksanya. Dia saja merasakannya, apalagi orang yang menontonnya.Setelah itu, mereka berdua sesekali mengobrol sampai akhirnya mereka tiba di perusahaan.Alya langsung kembali ke kantornya.Dia juga menelepon Lisa, Lisa memberi tahu Alya bahwa hari ini Satya dan Maya masih bersamanya."Oke, pulang kerja aku akan langsung menjemput mereka."...Kota Suryaloka.Rizki kembali ke perusahaannya.Begitu tiba di perusahaan, Cahya langsung menerima berita yang mengharuskannya untuk berkemas dan pindah. Untuk sementara, dia akan bekerja di kantor cabang Kota Juwana.Mendengar hal ini, apa lagi yang Cahya tidak mengerti? Dia pun segera pergi untuk bersiap-siap.Rizki duduk di dalam kantornya. Sambil menekan perutnya yang sakit, raut wajahnya masih terlihat buruk.Hari ini Alya benar-benar membuatnya marah.Saat ini, Rizki benar-benar membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya dan meredakan emosinya.Dia pun membuka ponseln
Hari ini Lisa tidak masuk kerja.Dia menjaga kedua anak Alya di rumah.Sebenarnya Lisa tidak perlu menjaga kedua anak ini, karena mereka berdua sangat baik dan penurut. Dia hanya perlu memastikan mereka tidak berlarian dan tidak menyebabkan kecelakaan. Kemudian di waktu lainnya, Lisa pun melakukan urusan pribadinya.Contohnya, pada saat ini dia sedang membuka ponselnya dan mengecek tren terbaru di dunia mode. Dia sedang bertanya-tanya, apakah sebaiknya dia mengirim baju-baju ini ke rumah atau menyeret Alya untuk berbelanja bersamanya saat senggang nanti. Tiba-tiba, ponselnya berdering dan sebuah pesan baru muncul di layar.Saat meliriknya, Lisa seketika membeku. Tubuhnya kaku, tetapi jantungnya berdebar sangat kencang.Apa dia salah lihat?Dia sepertinya melihat pesan dari Rizki?Setelah tersadar, Lisa cepat-cepat membuka WhatsApp. Dia pun melihat sebuah pesan baru dari kontak yang disematkannya.Lisa sangat bersemangat hingga dia tidak tahu harus berkata apa, bahkan air matanya pun mu
Mendengar ini, Lisa kaget dan segera menyanggahnya, "Mana mungkin? Mereka bukan anakku. Kalau aku sudah punya anak, kenapa aku masih mengincarmu?"Untuk menyingkirkan kecurigaan bahwa dia sudah menikah dan punya anak dari pikiran Rizki, Lisa menjelaskan dengan gelisah, "Mereka berdua adalah anak temanku, teman yang waktu itu kamu tanyakan padaku."Saat mengatakan ini, rasa bersalah melintas di mata Lisa.Jangan salahkan dia.Sebenarnya dia curiga bahwa Alya dan Rizki sudah saling mengenal. Jika tidak, sikap Rizki tidak akan seperti ini. Sekarang karena dia punya kesempatan, dia harus menjelaskan situasi Alya.Setelah tahu Alya punya dua anak, Rizki seharusnya akan menyerah, 'kan?Jika seperti itu ... apakah kesempatan untuknya akan bertambah?Tentu saja, ini hanya harapan kecil Lisa. Dia juga tidak merasa dia telah melakukan kesalahan. Lagi pula, Alya memang sudah punya anak dan mereka sudah cukup besar. Tidak ada yang memalukan dari hal ini, dia hanya mengatakan fakta.Mendengar ini,
"Nggak punya kesempatan?"Rizki terkekeh. "Bagaimana kamu bisa tahu aku punya kesempatan atau nggak?"Setelah mengetahui bahwa Alya sudah punya anak sebesar itu, Cahya merasa kasihan pada atasannya. Jadi saat ini, dia pun memasang ekspresi sedih."Pak Rizki, anaknya sudah sebesar ini dan artinya anak-anak ini mempunyai ayah. Jadi, kamu pasti nggak punya kesempatan. Kalau kamu terus seperti ini, nantinya kamu akan menjadi orang ketiga dalam pernikahan orang lain. Apa kamu mau reputasimu jadi seperti itu?"Mendengar ini, Rizki melirik asistennya.Seolah-olah dia sedang melihat seseorang dengan gangguan mental.Cahya tidak mengerti, apa dia sudah salah bicara?"Apa kamu ingat apa yang waktu itu kamu ucapkan?""Apa maksudmu, Pak Rizki. Bisakah kamu langsung menjelaskannya saja?"Cahya jadi agak tidak sabar setelah mendengar ucapan Rizki. Dia tidak tahu apa yang Rizki maksud, sehingga nada bicaranya pun terdengar mendesak.Namun, setelah dia berbicara, dia mulai menyesal.Meskipun dia tidak