Jack mengangkat alisnya, ekspresinya campuran antara geli dan meremehkan. "Bertaruh? Kau serius, Klein?"Klein mengangguk, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Jika aku berhasil menjual semua alat medis itu dan menutupi selisih yang dibuat Rudy, kalian berdua harus berlutut di depanku, di hadapan semua orang di kantor ini."Lisa tertawa mengejek, suaranya melengking tinggi. "Dan jika kau gagal? Apa yang akan kau lakukan, buruk rupa?""Maka aku yang akan berlutut di depan kalian," jawab Klein tanpa ragu. Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Bahkan aku akan memanggil kalian Ayah dan Ibu."Tawa Jack dan Lisa meledak, diikuti oleh beberapa karyawan lain yang mendengarkan. Mereka tidak percaya Klein berani mengambil risiko sebesar itu.Jack dan Lisa saling pandang, senyum licik terpampang di wajah keduanya. "Baiklah, kami terima taruhanmu, buruk rupa!" seru Jack. "Tapi ingat, kau hanya punya waktu sampai jam 3 sore. Itu batas waktu penyetoran ke
Felix mengepalkan tangannya erat, berusaha menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Laporan dari bawahannya baru saja mengonfirmasi keberhasilan Klein dalam menolong Lina dari masalah finansial yang seharusnya menghancurkan karir wanita itu."Sial!" umpatnya pelan, mengingat perintah Rudy untuk menyingkirkan Lina. Wanita itu terlalu sering melawan ketika Rudy meminta 'sedikit uang' dari kas perusahaan. Bagi Rudy, uang Heaven Group adalah miliknya juga, mengingat keluarganyalah pemilik perusahaan tersebut.Dengan langkah berat, Felix memasuki ruang pertemuan tempat Rudy sedang menjamu tamu penting mereka, Luther Brownbear. Pria paruh baya itu dikenal sebagai pembeli tetap alat kesehatan, terutama peralatan operasi, dari Heaven Group."Maaf mengganggu, Pak Rudy," ujar Felix sopan. "Ada hal penting yang perlu saya laporkan."Rudy mengangguk, mempersilakan Felix untuk mendekat. Dengan suara rendah, Felix melaporkan kejadian hari ini, termasuk bagaimana Klein berhasil menjual semua
Lina duduk di mejanya, matanya sesekali melirik ke arah Klein yang sedang berbicara dengan beberapa rekan kerjanya. Entah mengapa, hari ini Klein terlihat berbeda di matanya. Mungkin karena kejadian tadi, atau mungkin karena ia baru menyadarinya, tapi Klein ternyata cukup ... tampan.Jantungnya berdebar kencang setiap kali melihat ekspresi tenang di wajah pria itu. Klein jarang tersenyum, tapi justru itu yang membuatnya semakin misterius dan menarik.'Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya selama ini?' batin Lina, pipinya merona merah. Ya, wajahnya memang tidak sempurna. Ada beberapa kekurangan di sana-sini, tapi justru itu yang membuatnya terlihat unik. Dibandingkan dengan kebaikan hatinya, kekurangan fisik itu tidak ada artinya sama sekali.Lina masih ingat jelas bagaimana Klein dengan berani melangkah maju untuk menolongnya, sementara yang lain hanya berdiri diam menonton. Keberanian dan ketenangan Klein membuat hatinya tersentuh.Rambut pirang Lina yang dikuncir satu bergoyang
Sinar lembut dari chandelier kristal memantul di dinding marmer putih Paviliun Moon Lake, menciptakan atmosfer mewah namun hangat. Ketika Olivia, Sarah, dan Lina memasuki ruang makan, mereka seketika terpana oleh kemegahan di hadapan mereka. Namun, pemandangan yang paling mengejutkan adalah sosok Klein yang biasanya dingin dan misterius, kini tersenyum lembut pada dua gadis kecil identik yang berlari ke arahnya."Kak Klein!" seru keduanya bersamaan, memeluk kaki Klein dengan erat.Klein, dengan kelembutan yang jarang terlihat, mengusap kepala kedua gadis itu. Matanya, yang biasanya tajam dan waspada, kini melembut penuh kasih sayang. Olivia, Sarah, dan Lina terpaku, seolah menyaksikan metamorfosis dari es menjadi kehangatan musim semi."Bella, Ella, ayo perkenalkan diri kalian pada tamu kita," ujar Klein, suaranya lembut namun tetap mengandung ketegasan yang familiar.Kedua gadis kecil itu melepaskan pelukan mereka da
"Victor? Ada apa malam-malam begini?" tanya Klein, sedikit waspada. Meski Victor telah menunjukkan keramahan, Klein tetap berhati-hati. Apalagi, dia adalah Kakak Damien Downey. Meski sikap yang dia tunjukkan padanya kemarin cukup baik, tapi siapa tahu itu hanya topeng."Maaf mengganggu malammu, Klein." Victor tersenyum ramah. "Aku hanya ingin memberikan sesuatu sebelum berangkat ke luar negeri besok pagi."Klein mempersilakan Victor masuk dan memperkenalkannya pada ketiga temannya. Olivia, Sarah, dan Lina terkejut bukan main saat mengetahui bahwa Victor adalah putra pertama Wali Kota Zephir."S-senang bertemu dengan Anda, Tuan Downey," ujar Olivia, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.Victor tersenyum ramah. "Panggil saja Victor. Senang bertemu dengan Nona-Nona cantik seperti kalian."Lina, yang masih terkejut, berbisik pada Sarah. "Bagaimana bisa Klein mengenal putra Wali Kota? Siapa sebenarnya dia?"
Klein menutup telepon, wajahnya tetap tenang meski ada kilatan emosi yang berkecamuk di matanya. Ia berpaling pada teman-temannya yang masih asyik berbincang, suara tawa Bella dan Ella terdengar dari ruang sebelah."Maaf mengganggu makan malam ini," ujar Klein dengan nada datar. "Tapi aku harus segera ke rumah sakit. Chester baru saja sadar."Olivia, Sarah, dan Lina serentak menghentikan percakapan mereka, mata mereka melebar kaget."Chester sadar?" Olivia yang pertama kali bereaksi. "Itu kabar baik, Klein!"Sarah mengangguk setuju. "Benar! Kita harus segera menjenguknya.""Tunggu," Klein mengangkat tangannya, menghentikan antusiasme mereka. "Ada sesuatu yang perlu kalian tahu sebelum kita pergi."Ketiga wanita itu menatap Klein dengan penuh tanya. Klein menghela napas pelan sebelum melanjutkan."Aku mencurigai bahwa kecelakaan Chester bukanlah kecelakaan biasa," ujarnya dengan nada serius. "Ada kemungkinan Felix terlibat dalam insiden ini."Lina terkesiap. "Felix? Tapi kenapa?"Klei
"Apa yang terjadi?" tanya Olivia, wajahnya tampak cemas.Klein bergegas menuju pintu, diikuti oleh Olivia, Sarah, dan Lina. Begitu membuka pintu, mereka melihat Felix sedang bersitegang dengan dua penjaga berjas abu-abu."Biarkan aku masuk!" bentak Felix, berusaha melewati kedua penjaga yang menghalanginya."Maaf, Tuan. Kami tidak bisa membiarkan Anda masuk tanpa izin," jawab salah satu penjaga dengan tegas.Klein melangkah keluar. "Ada apa ini?"Felix menoleh, matanya menyipit penuh kebencian saat melihat Klein. "Kau! Apa yang kau lakukan di sini?""Aku yang seharusnya bertanya padamu, Felix," balas Klein dengan tenang. "Apa urusanmu dengan Chester?"Felix mendengus. "Bukan urusanmu."Klein menatap Felix sejenak sebelum berpaling pada teman-temannya yang masih berdiri di ambang pintu."Olivia, Sarah, Lina," ujar Klein dengan nada tenang. "Bisakah kalian kembali ke dalam? Aku perlu berbicara empat mata
Felix berjalan gontai memasuki apartemennya yang gelap. Tangannya gemetar saat menyalakan lampu, bayangan-bayangan menari di dinding seolah mengejek kebimbangannya. Ia melemparkan jas mahalnya ke sofa dan berjalan gontai menuju mini bar. Tangannya gemetar saat menuangkan whisky ke dalam gelas kristal."Sial!" umpatnya, meneguk minuman itu dalam sekali tenggak.Pembicaraannya dengan Klein terus berputar dalam benaknya. Bagaimana mungkin Rudy, orang yang selama ini ia anggap sebagai patron, berniat menyingkirkannya? Felix memejamkan mata, teringat akan hari pertamanya bekerja untuk Rudy. Saat itu, ia hanyalah seorang lulusan universitas biasa yang beruntung mendapat kesempatan bekerja di Heaven Group. Rudy yang saat itu baru menjabat sebagai General Manajer, melihat potensinya dan mengambilnya di bawah sayap perlindungannya."Kau punya bakat, Felix," Rudy pernah berkata padanya. "Tunduklah padaku, dan aku akan membawamu pada kesuksesan."Dan Rudy memang menepati janjinya. Dalam wakt