"Apa yang terjadi?" tanya Olivia, wajahnya tampak cemas.Klein bergegas menuju pintu, diikuti oleh Olivia, Sarah, dan Lina. Begitu membuka pintu, mereka melihat Felix sedang bersitegang dengan dua penjaga berjas abu-abu."Biarkan aku masuk!" bentak Felix, berusaha melewati kedua penjaga yang menghalanginya."Maaf, Tuan. Kami tidak bisa membiarkan Anda masuk tanpa izin," jawab salah satu penjaga dengan tegas.Klein melangkah keluar. "Ada apa ini?"Felix menoleh, matanya menyipit penuh kebencian saat melihat Klein. "Kau! Apa yang kau lakukan di sini?""Aku yang seharusnya bertanya padamu, Felix," balas Klein dengan tenang. "Apa urusanmu dengan Chester?"Felix mendengus. "Bukan urusanmu."Klein menatap Felix sejenak sebelum berpaling pada teman-temannya yang masih berdiri di ambang pintu."Olivia, Sarah, Lina," ujar Klein dengan nada tenang. "Bisakah kalian kembali ke dalam? Aku perlu berbicara empat mata
Felix berjalan gontai memasuki apartemennya yang gelap. Tangannya gemetar saat menyalakan lampu, bayangan-bayangan menari di dinding seolah mengejek kebimbangannya. Ia melemparkan jas mahalnya ke sofa dan berjalan gontai menuju mini bar. Tangannya gemetar saat menuangkan whisky ke dalam gelas kristal."Sial!" umpatnya, meneguk minuman itu dalam sekali tenggak.Pembicaraannya dengan Klein terus berputar dalam benaknya. Bagaimana mungkin Rudy, orang yang selama ini ia anggap sebagai patron, berniat menyingkirkannya? Felix memejamkan mata, teringat akan hari pertamanya bekerja untuk Rudy. Saat itu, ia hanyalah seorang lulusan universitas biasa yang beruntung mendapat kesempatan bekerja di Heaven Group. Rudy yang saat itu baru menjabat sebagai General Manajer, melihat potensinya dan mengambilnya di bawah sayap perlindungannya."Kau punya bakat, Felix," Rudy pernah berkata padanya. "Tunduklah padaku, dan aku akan membawamu pada kesuksesan."Dan Rudy memang menepati janjinya. Dalam wakt
Zephir Wonderland adalah taman hiburan terbesar di kota Zephir. Terkenal dengan wahana-wahana ekstremnya dan area tematik yang memukau, taman hiburan ini selalu menjadi tujuan favorit keluarga dan anak muda di akhir pekan. Sepanjang perjalanan ke Zephir Wonderland, Bella dan Ella tidak henti-hentinya berceloteh tentang wahana apa saja yang ingin mereka naiki. Klein mendengarkan dengan sabar, sesekali tersenyum atau mengangguk. "Kak Klein, apa kita bisa naik roller coaster?" tanya Bella dengan mata berbinar. Klein tersenyum. "Tentu saja, tapi kita harus memastikan kalian cukup tinggi untuk naik, ya?" "Aku ingin masuk ke rumah hantu!" seru Ella bersemangat. "Eh? Tapi bukankah kau takut hantu, Ella?" goda Bella. Ella cemberut. "Aku tidak takut! Aku kan pemberani!" Klein tertawa kecil melihat perdebatan kecil mereka. "Sudah, sudah. Kita akan mencoba semua wahana yang kalian mau, asalkan kalian memenuhi syaratnya, oke?" "Oke, Kak!" jawab Bella dan Ella bersamaan. Setibanya di Z
Ella menabrak seorang pria muda yang sedang berjalan dengan seorang wanita cantik. Es krim di tangan Ella tumpah, menodai pakaian pria tersebut. "Ah, maafkan adik saya," Klein segera menghampiri, mengeluarkan sapu tangan untuk membersihkan noda es krim di pakaian pria itu. Pria muda itu, dengan rambut pirang dan wajah yang tampan namun angkuh, menatap Klein dengan jijik. "Hei, apa-apaan ini?! Lihat apa yang sudah dilakukan anak bodoh ini! Klein merasakan amarahnya mulai memuncak mendengar Ella disebut 'anak bodoh', tapi ia berusaha menahan diri. "Sekali lagi, saya minta maaf. Saya akan mengganti biaya laundry-nya." Pria itu mendengus kasar. "Laundry? Kau pikir noda ini bisa hilang begitu saja? Ini pakaian limited edition Gucci! Harganya 500 juta!" Keributan ini mulai menarik perhatian pengunjung lain. Beberapa orang berhenti dan mulai memperhatikan, bisik-bisik pelan mulai terdengar. "Hei, lihat itu. Bukankah itu putra pemilik taman hiburan ini? Apa yang terjadi?" bisik seorang
Malam telah larut ketika mobil Klein memasuki gerbang Paviliun Moon Lake. Suasana hening, hanya terdengar deru halus mesin mobil dan isakan pelan dari kursi belakang. Klein melirik melalui kaca spion, melihat Bella dan Ella yang masih terisak, saling berpelukan di kursi belakang.Hati Klein terasa seperti diremas. Amarah yang telah ia pendam sejak insiden di taman hiburan kembali bergejolak, namun ia menahannya. Saat ini, yang terpenting adalah menenangkan kedua gadis kecil itu.Begitu mobil berhenti, Klein turun dan membuka pintu belakang. Dengan lembut, ia mengulurkan tangannya. "Ayo, kita masuk ke dalam," ujarnya dengan suara yang jauh lebih lembut dari biasanya.Bella dan Ella menatapnya dengan mata sembab, sebelum akhirnya turun dari mobil dan menggenggam tangan Klein erat-erat. Mereka berjalan dalam diam memasuki rumah, Klein bisa merasakan tangan kecil mereka yang masih gemetar.Di dalam rumah, Klein membawa mereka ke ruang keluarga. Ia berlutut di hadapan Bella dan Ella, men
Helda menyerahkan sebuah map tebal pada Klein. "Keluarga Dorian, pemilik Zephir Wonderland, ternyata menyimpan banyak rahasia kotor, Tuan Muda." Klein membuka map tersebut, matanya dengan cepat memindai informasi yang tertera di sana. Semakin banyak ia membaca, semakin dingin ekspresinya. "Ignatius Dorian," Helda memulai, "ayah Octavius, terlibat dalam sejumlah kegiatan ilegal. Pencucian uang, penggelapan pajak, suap menyuap pejabat, dan yang paling mengejutkan... perdagangan manusia." Klein mengangkat alisnya mendengar informasi terakhir. "Perdagangan manusia?" Helda mengangguk, wajahnya menunjukkan keprihatinan mendalam. "Benar, Tuan Muda. Kami menemukan bukti bahwa Ignatius Dorian memiliki hubungan bisnis dengan Mr. Brown, pemimpin jaringan perdagangan manusia di kota Zephir. Yang lebih mengerikan, mereka menggunakan Zephir Wonderland sebagai tempat untuk menculik anak-anak." Klein terdiam, tangannya mengepal erat. "Jelaskan lebih detail." "Setiap bulan, sekitar 5-10 anak meng
Fajar baru saja menyingsing di ufuk timur kota Zephir ketika kesunyian pagi di kediaman mewah Dorian dipecahkan oleh suara gedoran panik di pintu kamar utama. Ignatius Dorian, masih mengenakan jubah tidur sutra berwarna merah marun, tersentak bangun dari tidur lelapnya bersama sang istri. Matanya yang masih berkabut melirik jam di nakas samping tempat tidur king size-nya: 5:30 pagi."Siapa berani-beraninya—" gerutunya, namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pintu kayu mahoni berukir itu terbuka dengan keras, menampakkan sosok pria tua, sekretaris pribadinya yang sudah bekerja untuknya selama lebih dari dua dekade."Tuan Dorian!" seru sang sekretaris, suaranya bergetar hebat. Tangannya yang gemetar menyodorkan sebuah tablet. "A-anda harus melihat ini ... sekarang!"Ignatius, masih setengah mengantuk namun mulai merasakan firasat buruk, menyambar tablet itu. Matanya yang masih berkabut perlahan melebar, pupilnya mengecil saat membaca headline berita yang terpampang besar di la
"Apa kau sudah mendapatkan informasi tentang Klein Alexander?" tanya Ignatius Dorian, suaranya terdengar tegang melalui speaker ponsel.Hening sejenak sebelum suara di seberang menjawab dengan nada ragu, "Maaf, Tuan Besar. Kami belum bisa mendapatkan banyak informasi. Yang kami tahu hanya dia dekat dengan Victor Downey dan tinggal di Paviliun Moon Lake."Ignatius mengerutkan dahi. "Victor Downey? Putra pertama walikota Zephir?" Namun, yang lebih mengejutkan Ignatius adalah informasi tentang tempat tinggal Klein. Paviliun Moon Lake–rumah termewah di Zephir yang bahkan Ignatius, dengan segala kekayaannya, tidak mampu beli. 'Siapa sebenarnya Klein Alexander ini?' batinnya, merasakan gelombang kekhawatiran yang semakin besar.Tak lama kemudian, Rolls-Royce mewah milik keluarga Dorian melaju kencang menembus jalanan Zephir yang masih lengang di pagi hari. Ignatius mencengkeram setir erat, pikirannya berkecamuk dengan berbagai skena