Malam semakin larut, dan suasana di rumah keluarga Ombra penuh ketegangan. Luka yang diderita Isabella bukan hanya sebuah peringatan, melainkan juga cambuk yang membangkitkan amarah yang tak pernah dirasakan Luca sebelumnya. Luka-luka di tubuh adiknya mengingatkannya pada realitas kejam dunia yang ia huni. Namun, di balik itu, ia juga menemukan tekad baru—tekad untuk melindungi satu-satunya orang yang ia sayangi, meskipun harus membalas dunia yang sudah mengajarkannya untuk tak mempercayai siapapun.
Di kamarnya yang remang, Luca duduk di kursi berlapis kulit hitam sambil memandangi pistol yang tergeletak di atas meja. Pikiran Luca penuh dengan rencana-rencana dan bayangan tentang apa yang akan ia lakukan pada keluarga Rosso. Ia ingin memberikan mereka rasa sakit yang setara dengan apa yang mereka lakukan pada Isabella. Keluarga Ombra telah lama hidup dalam bayangan, tetapi kali ini, Luca akan keluar dari bayang-bayang itu dan menghadapi mereka secara langsung. Suara ketukan pintu memecah kesunyian. Luca melirik ke arah pintu, yang kemudian terbuka perlahan. Dante masuk, menatap Luca dengan pandangan yang sulit ditebak. Sebagai tangan kanan keluarga Ombra, Dante adalah orang yang paling mengerti isi pikiran Luca, meskipun kadang-kadang ia juga menjadi suara hati kecil Luca yang masih penuh keraguan. “Kau ingin membalaskan dendam Isabella, kan?” tanya Dante dengan suara rendah namun tegas. Luca hanya mengangguk, tidak perlu kata-kata lebih banyak untuk menjelaskan apa yang ada di dalam hatinya. Dante memahami itu. “Kalau begitu, kau harus melakukannya dengan cara yang tidak akan merusak kehormatan keluarga. Ini bukan sekadar masalah pribadi, Luca. Dunia kita penuh dengan aturan, dan setiap tindakan memiliki konsekuensi,” lanjut Dante. Luca menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak yang ada di dalam dadanya. Ia tahu Dante benar. Dunia mafia memiliki aturan yang tak tertulis, sebuah kode etik yang, anehnya, menjaga keseimbangan di antara kekacauan. Pembalasan buta tanpa perencanaan hanya akan menghancurkan segalanya, termasuk keluarga Ombra. “Apa kau sudah memiliki rencana?” tanya Dante lagi. “Belum sepenuhnya,” jawab Luca. “Tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan pertama kali.” Ia menatap Dante, matanya penuh keyakinan. “Aku akan menargetkan pemasok utama keluarga Rosso. Kalau kita bisa memutuskan sumber senjata mereka, itu akan melemahkan mereka.” Dante tersenyum samar. “Ide yang bagus. Tapi kau harus siap. Mereka tidak akan tinggal diam jika kau mulai menyerang dari bagian terpenting mereka.” Tanpa menunggu lebih lama, Luca mulai menyusun rencana. Dia mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, menghubungi beberapa kontak yang dipercaya keluarga Ombra untuk mendapatkan informasi detail tentang rantai pasokan keluarga Rosso. Malam itu, Luca dan Dante mulai mengumpulkan tim kecil, kelompok yang dapat dipercaya untuk menjalankan misi ini. Mereka menyusun strategi dan mempersiapkan segala yang dibutuhkan. Di malam berikutnya, mereka berangkat menuju sebuah gudang di pinggiran kota yang menjadi lokasi salah satu pemasok utama senjata keluarga Rosso. Gudang itu tersembunyi di balik bukit-bukit dan dikelilingi oleh pagar tinggi serta pengawasan ketat. Luca tahu bahwa ini bukan misi yang mudah, tetapi kali ini ia tak akan berhenti hanya karena rintangan. Sesampainya di lokasi, Luca membagi tugas dengan tenang. Timnya bergerak dengan senyap, menyelinap di antara bayangan malam. Misi ini membutuhkan ketepatan waktu dan kecermatan. Setiap kesalahan bisa berarti kematian. Dante, yang sudah terbiasa dengan operasi semacam ini, berada di sisi Luca, mengawasi dengan teliti. Mereka merayap perlahan, menghindari lampu-lampu penjaga, dan mendekati pintu utama gudang. “Setelah kita di dalam, pastikan kita bisa melumpuhkan setiap penjaga tanpa menimbulkan suara. Kita harus melakukannya dengan cepat,” bisik Luca kepada timnya. Dante mengangguk sebagai tanda kesepakatan. Saat mereka mendekati gudang, Luca bisa merasakan adrenalinnya meningkat. Seluruh indra dan nalurinya fokus pada misi ini. Di dalam pikirannya, bayangan Isabella terluka kembali muncul, menyalakan kembali bara api dalam dirinya. Ia melangkah lebih berani, membayangkan dirinya menghancurkan mereka yang telah melukai adiknya. Begitu mereka berhasil menyelinap masuk, Dante memberikan isyarat untuk memulai serangan. Beberapa penjaga yang sedang berjaga tak sempat menyadari kehadiran mereka hingga mereka terjatuh dalam diam, dilumpuhkan dengan cepat oleh tim Luca. Di setiap sudut gudang, anggota keluarga Ombra bergerak dengan kecepatan dan keheningan yang hampir menakutkan, menguasai seluruh bangunan. Luca bergerak menuju pusat kendali di dalam gudang, tempat berbagai dokumen dan catatan distribusi senjata disimpan. Jika ia bisa mendapatkan informasi ini, ia akan memiliki keuntungan besar untuk langkah berikutnya. Saat ia mulai membuka file-file yang tersusun rapi, sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakangnya. “Berhenti di situ juga, Ombra!” Luca berbalik dengan cepat. Di hadapannya, seorang pria besar, dengan senapan terarah kepadanya, berdiri dengan senyum mengejek. Ia mengenal pria itu, salah satu pengawal utama keluarga Rosso, Riccardo. Seorang pria brutal yang dikenal sadis, bahkan di antara kaum mafia. “Kau pikir kau bisa masuk ke sini tanpa aku tahu?” Riccardo menyeringai, menatap Luca dengan pandangan penuh kebencian. Namun Luca tidak gentar. Ia mengarahkan pistolnya pada Riccardo, dengan tatapan yang tak kalah tajam. Di belakangnya, Dante bergerak maju, bersiap menghadapi ancaman ini. “Jika aku jadi kau, aku tidak akan bertaruh nyawa untuk melawan keluarga Ombra,” balas Luca dingin. Mereka saling menatap, masing-masing penuh tekad dan kebencian. Namun, sebelum Riccardo sempat menarik pelatuk, Dante dengan cepat melompat maju, menyerang pria itu dan menjatuhkan senjatanya. Luca mengambil kesempatan itu untuk menonaktifkan Riccardo dengan satu pukulan ke kepala, membuatnya terjatuh pingsan. Setelah mereka mengamankan lokasi dan mendapatkan dokumen yang diperlukan, Luca dan timnya meninggalkan gudang itu dengan cepat. Sebelum pergi, mereka memastikan bahwa tidak ada yang tersisa kecuali kehancuran yang akan menjadi peringatan bagi keluarga Rosso. Gudang itu terbakar dalam kobaran api besar, dan dari jauh, Luca bisa melihat asap hitam membubung ke langit, menjadi tanda peringatan bagi musuh-musuhnya. Dalam perjalanan pulang, Dante menatap Luca dengan bangga. “Kau melakukannya dengan baik, Luca. Ini baru awal dari pertempuran yang lebih besar, tetapi kau sudah menunjukkan siapa dirimu.” Namun Luca hanya menatap keluar jendela, dengan pikiran yang jauh melayang. Baginya, misi ini bukan sekadar kemenangan atau kekuatan. Ia melakukannya demi Isabella, demi keluarganya, dan demi harga diri yang kini ia rasakan tumbuh dalam dirinya. Luka yang ada di hati dan jiwanya telah berubah menjadi kekuatan yang menggerakkan setiap langkahnya. Malam itu, Luca kembali ke rumah dengan membawa sebuah pesan untuk keluarganya. Sebuah pesan bahwa ia, Luca Ombra, siap mengambil alih bayang-bayang kekuasaan keluarganya, dan ia akan melakukan segala cara untuk melindungi yang berharga bagi dirinya. Dan dengan misi pertama yang berhasil, Luca Ombra memulai jalannya sebagai pemimpin sejati, satu langkah dalam kegelapan yang akan mengantarkannya ke puncak dunia penuh kekuatan dan misteri yang telah lama menantinya.Sinar mentari pagi yang lembut menyinari kota, namun hati Luca Ombra tetap diselimuti oleh kegelapan. Setelah keberhasilan misi pertama melawan keluarga Rosso, Luca merasakan ketegangan yang terus mengintai. Meski ia telah menyerang balik dengan keras, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari pertempuran yang akan semakin panas.Luca berdiri di balkon rumah keluarga Ombra, menatap jauh ke kota di bawahnya. Di sana, setiap sudut jalan, lorong gelap, dan tempat-tempat yang ia kenali menyimpan berbagai cerita, baik dari orang-orang yang pernah setia pada keluarganya, maupun dari mereka yang berkhianat. Dunia ini adalah dunianya sekarang. Dan jika ia ingin bertahan, ia harus terus maju, tanpa keraguan.Suara ketukan pelan membuyarkan lamunannya. “Masuk,” ucapnya tanpa berpaling.Dante masuk dan mendekatinya. Wajah pria itu tegas seperti biasa, namun kali ini, terlihat ada sedikit kekhawatiran di dalam matanya. Luca menyadarinya, tetapi ia tetap memasang wajah ding
Hari itu, kota kembali diselimuti ketegangan yang tidak kasat mata, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Keberanian Luca dalam menggagalkan aliansi yang coba dibangun oleh keluarga Rosso berhasil menyebarkan ketakutan di antara keluarga-keluarga lainnya. Mereka mulai melihat Luca Ombra bukan hanya sebagai pewaris muda yang penuh ambisi, tetapi juga sebagai ancaman serius bagi mereka yang berani mengusik keluarganya.Namun, meski berhasil mengganggu rencana Rosso, Luca menyadari bahwa ia masih jauh dari aman. Serangan balik dari pihak Rosso pasti akan datang, dan ia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi itu. Kini, Luca mengarahkan perhatiannya pada satu hal—memperkuat pertahanan dan merencanakan langkah berikutnya.Di ruang pertemuan keluarga Ombra, Luca duduk di kursi utama, dikelilingi oleh orang-orang terpercayanya, termasuk Dante dan beberapa penasihat senior yang setia pada keluarga Ombra sejak ayahnya masih memimpin. Mereka berkumpul untuk membi
Beberapa minggu berlalu sejak serangan Luca terhadap kasino keluarga Rosso. Dampak serangan itu berhasil merusak salah satu sumber pendapatan utama mereka dan menyebabkan ketegangan yang lebih dalam di antara dua keluarga besar yang sedang bertikai. Namun, Luca tahu bahwa Rosso tidak akan tinggal diam. Serangan balik dari pihak musuh bukan hanya sekadar kemungkinan, melainkan kepastian yang hanya tinggal menunggu waktu.Pada suatu malam yang dingin, di tengah temaram lampu jalanan, Luca menerima pesan dari seseorang yang tak ia duga akan menghubunginya—Matteo, salah satu pemimpin keluarga besar lain di kota itu. Matteo dikenal licik dan hanya peduli pada kekuasaannya sendiri. Keluarganya tidak berpihak pada Ombra atau Rosso, tetapi memiliki hubungan bisnis dengan keduanya. Matteo adalah tipe orang yang menyeimbangkan aliansinya berdasarkan keuntungan, dan biasanya ia menghindari keterlibatan dalam konflik antar-keluarga besar.Pesan Matteo singkat, namun jelas: ia
Setelah ledakan besar yang menghancurkan gudang senjata keluarga Rosso, kota menjadi semakin mencekam. Keluarga Rosso terpukul besar, dan kabar tentang serangan itu menyebar dengan cepat. Keluarga-keluarga lain yang sebelumnya hanya mengamati dari jauh mulai waspada, menyadari bahwa pertempuran ini akan membawa dampak pada keseimbangan kekuasaan di kota. Luca Ombra kini dipandang sebagai ancaman serius oleh musuh-musuhnya, tapi juga sebagai pemimpin yang tidak ragu mengambil tindakan ekstrem demi melindungi keluarga.Namun, meski Luca berhasil mengirimkan pesan yang kuat kepada Rosso, ia tahu bahwa perang ini masih jauh dari kata selesai. Keluarga Rosso akan semakin bertekad untuk menjatuhkan Ombra, dan Luca harus selalu bersiap untuk menghadapi rencana balasan mereka. Di sisi lain, ia juga harus mengawasi Matteo, karena menyerahkan sebagian wilayah di distrik timur merupakan keputusan besar yang bisa mengancam kekuasaan Ombra dalam jangka panjang.Malam itu, Luca
Setelah kemenangan di distrik selatan, keluarga Ombra mulai memperoleh kembali pengaruh mereka di kota. Setiap pertempuran yang mereka menangkan, setiap aliansi yang mereka bentuk, memperkuat posisi mereka melawan keluarga Rosso. Namun, Luca tahu bahwa kemenangan ini tidak menjamin berakhirnya perang. Setiap kali Ombra unggul, Rosso hanya akan menjadi semakin haus darah, semakin licik, dan semakin berbahaya.Malam itu, Luca duduk di ruangannya, menatap peta kota yang tergelar di atas meja. Di depannya, terdapat catatan-catatan tentang posisi keluarga Rosso yang masih tersisa, wilayah-wilayah yang rentan, dan sekutu-sekutu yang mulai ragu dengan pilihan mereka. Dante berdiri di sampingnya, membantu Luca menyusun strategi baru. Di antara ketenangan ini, terdengar ketukan pelan di pintu.“Masuk,” kata Luca tanpa berpaling dari peta.Pintu terbuka, dan salah satu orang kepercayaannya masuk dengan wajah tegang. "Tuan Luca, ada seorang wanita yang ingin bertemu
Setelah memberi Marco kesempatan terakhir, Luca memutuskan untuk memanfaatkan pengkhianatan ini sebagai alat. Meski hati kecilnya masih diselimuti kekecewaan, ia tahu bahwa keahlian Marco dalam memahami operasi keluarga Rosso bisa menjadi senjata yang sangat berharga. Luca tidak hanya berencana menjatuhkan keluarga Rosso—ia ingin menancapkan kekuatan keluarga Ombra di kota dengan lebih kokoh, sehingga tak seorang pun berani melawan mereka lagi.Luca memanggil Dante dan beberapa anggota terpercayanya untuk rapat rahasia di markas keluarga Ombra. Malam itu, mereka duduk di ruang bawah tanah yang remang-remang, dikelilingi peta, dokumen, dan catatan-catatan yang menggambarkan semua yang mereka ketahui tentang gerakan Rosso. Dante memandangi Marco dengan penuh curiga, tapi Luca meyakinkan semua orang untuk memberikan Marco kesempatan."Marco akan menjadi sumber informasi kita," Luca membuka rapat dengan nada tegas. "Dia tahu banyak tentang pergerakan keluarga Rosso dan
Berita tentang rencana keluarga Rosso yang mendatangkan bantuan dari luar negeri beredar dengan cepat di antara anggota keluarga Ombra. Kabar ini membuat mereka semua terkejut sekaligus tegang. Sejauh ini, perang mereka adalah konflik dalam kota, meski cukup brutal. Namun, jika Rosso benar-benar melibatkan mafia asing, keluarga Ombra menghadapi ancaman yang jauh lebih besar dari sebelumnya.Luca mengumpulkan semua anggota terdekatnya, termasuk Dante dan Marco, di ruang bawah tanah yang biasanya menjadi tempat diskusi rahasia. Di ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya lampu kecil, ia membuka rapat itu dengan nada serius. “Rosso telah mengambil langkah baru. Mereka menghubungi mafia luar negeri, kemungkinan besar dari Eropa Timur,” kata Luca. “Kita tahu kelompok ini memiliki koneksi luas, senjata modern, dan taktik yang jauh lebih licik. Jika mereka berhasil datang ke sini, kita mungkin menghadapi kekuatan yang lebih besar dari yang bisa kita bayangkan.”
Beberapa hari setelah kemenangan mereka di pelabuhan, Luca menyadari bahwa tekanan dari keluarga Rosso belum berakhir. Rosso mungkin saja kalah dalam upaya membawa bantuan mafia dari luar negeri, namun kekalahan itu bukan berarti akhir. Di balik kegagalan mereka, Luca yakin keluarga Rosso pasti merencanakan langkah berikutnya, yang mungkin lebih licik dan berbahaya.Kabar yang beredar di kota mulai menguatkan kekhawatiran Luca. Ada rumor bahwa keluarga Rosso kini mencoba mendekati beberapa kelompok kecil yang sebelumnya netral atau bahkan memiliki konflik lama dengan keluarga Ombra. Jika Rosso berhasil membentuk aliansi dengan mereka, kekuatan gabungan itu bisa menjadi ancaman serius.Dante masuk ke ruangan Luca dengan wajah serius. “Luca, aku baru saja menerima informasi dari salah satu informan kita di distrik utara. Keluarga Rosso mengadakan pertemuan rahasia dengan beberapa kelompok kecil malam ini. Kita belum tahu siapa saja kelompok itu, tapi sepertinya Rosso
Lorong-lorong markas Bayangan Kedua kini bergema oleh suara tembakan dan teriakan perintah. Luca dan timnya, yang terjebak dalam posisi bertahan, memanfaatkan setiap detik untuk mencari celah di tengah kekacauan. Sirene yang meraung-raung membuat situasi semakin mencekam, seolah memberi tanda bahwa pertempuran ini akan menentukan segalanya. Marco, dengan tangannya yang cekatan, berhasil menemukan jalur alternatif di perangkatnya. “Ada tangga darurat di ujung lorong sebelah kiri,” katanya sambil tetap bersembunyi di balik dinding. “Itu akan membawa kita langsung ke lantai atas, tempat pusat komando berada.” “Kalau begitu kita bergerak sekarang!” ujar Luca tegas. Vittorio memberikan tembakan perlindungan sementara Marco, Elena, dan Lark mulai berlari ke arah tangga yang dimaksud. Tubuh mereka bergerak cepat, tetapi hati-hati, memastikan tidak ada celah bagi musuh untuk menyerang. Ketika mereka mencapai tangga, mereka menemukan bahwa pintu me
Langit gelap menyelimuti kota Budapest, tempat Luca dan timnya menetapkan langkah berikutnya. Serangan balasan dari Bayangan Kedua telah memaksa mereka bergerak lebih cepat, meninggalkan Zurich setelah tempat persembunyian mereka terbongkar. Dengan sumber daya yang semakin terbatas dan tekanan yang meningkat, mereka harus berani mengambil langkah yang lebih agresif. Di sebuah bangunan tua di pinggir kota, Luca berdiri di depan meja kayu yang penuh dengan dokumen dan peta. Daniel Lark, yang kini telah resmi bergabung dengan tim, berdiri di sampingnya. Marco sibuk dengan laptopnya di sudut ruangan, sementara Vittorio sedang membersihkan senjata di sisi lain. “Kita telah menghancurkan tiga pusat utama mereka dalam sebulan terakhir,” kata Luca. “Tapi setiap kali kita menyerang, mereka melawan dengan lebih brutal. Serangan di Zurich adalah bukti bahwa mereka tidak akan berhenti sampai kita dilumpuhkan.” “Kabar baiknya,” ujar Lark sambil menunjuk peta, “se
Ledakan dari helikopter yang jatuh mengguncang langit Praha, menarik perhatian warga dan pihak berwenang. Luca berdiri terengah-engah di lorong hotel, menatap tubuh Spectre yang terbaring tak bergerak di lantai. Tembakannya tepat di dada, memastikan bahwa ancaman terbesar dari Bayangan Kedua kini telah berakhir. Namun, Luca tidak merasa lega. Ia tahu, meskipun Spectre telah tiada, akar organisasi itu masih mencengkeram dunia bawah tanah dengan erat. Vittorio mendekat, napasnya juga terengah-engah. “Apakah dia benar-benar mati?” Luca mengangguk perlahan. “Ya. Tapi ini belum selesai. Bayangan Kedua adalah sistem, bukan hanya orang.” Marco berbicara melalui alat komunikasi di telinga mereka. “Kalian harus segera keluar dari sana. Polisi setempat mulai mengepung area. Aku sudah menyiapkan rute pelarian.” Vittorio menepuk bahu Luca. “Ayo, kita harus pergi. Kita tidak bisa tertangkap di sini.” Luca mengambil napas panjang, lalu berbal
Pagi di Istanbul disambut dengan kabut tebal yang menyelimuti kota. Luca berdiri di balkon apartemen mereka, memandangi Bosphorus yang tenang. Di pikirannya, gambaran helikopter yang membawa Spectre melayang jauh masih menghantui. Meskipun mereka berhasil menghentikan sebagian operasi Bayangan Kedua, kegagalan menangkap Spectre membuatnya merasa ada celah dalam perencanaan mereka. Marco bergabung di sampingnya, membawa dua cangkir kopi. “Kau sudah terjaga sejak subuh,” katanya sambil menyodorkan salah satu cangkir. “Aku tidak bisa tidur,” jawab Luca. “Dia terlalu dekat, Marco. Kita hampir menangkapnya, tapi dia selalu selangkah lebih maju.” “Kita sudah memukul mundur sebagian besar operasi mereka,” kata Marco mencoba menghibur. “Odessa mungkin memberikan kita petunjuk lebih banyak. Vittorio sedang dalam perjalanan kembali dengan laporan lengkapnya.” Luca mengangguk pelan. “Aku hanya khawatir. Spectre tidak akan tinggal diam. Serangan balik
Dini hari di Istanbul, Luca dan timnya berkumpul untuk menyusun strategi. Wajah-wajah mereka dipenuhi kelelahan, tetapi semangat juang mereka tetap membara. Informasi yang mereka dapatkan dari pertemuan sebelumnya menjadi dasar bagi rencana baru mereka. Namun, tekanan semakin terasa, mengingat mereka tahu Spectre kini menyadari keberadaan mereka. “Spectre tidak akan diam saja,” ujar Luca, memecah keheningan. “Dia tahu kita mendekatinya. Ini akan membuatnya lebih berbahaya.” Marco, yang duduk di sudut ruangan dengan laptopnya, mengetik dengan cepat. “Aku berhasil melacak beberapa transaksi terbaru dari rekening yang terkait dengan jaringan Spectre,” katanya. “Sepertinya dia sedang menggerakkan senjata ke pelabuhan di Odessa, Ukraina. Itu kemungkinan jalur utama mereka untuk menyuplai senjata ke Eropa Timur.” Vittorio menyela, “Tapi bagaimana kita bisa yakin itu bukan jebakan? Dia tahu kita memburunya. Bisa saja ini hanya pengalihan untuk menjauhkan ki
Kota Istanbul menyambut kedatangan Luca dan timnya dengan hiruk-pikuk khasnya. Suara klakson kendaraan, sorak pedagang di Grand Bazaar, dan deru kapal di Selat Bosphorus menciptakan irama kota yang tidak pernah tidur. Namun, di balik keramaian itu, bayangan kejahatan tetap mengintai, dan Luca tahu bahwa dia harus waspada setiap saat. Informasi dari Ricardo Alvarez membawa mereka ke kota ini, tempat pertemuan penting Bayangan Kedua akan berlangsung. Pertemuan ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk menghancurkan sisa-sisa organisasi Isabella sebelum penerusnya, *Spectre*, memegang kendali penuh. Di sebuah apartemen kecil yang disewa timnya, Luca berdiri di depan papan besar yang dipenuhi peta, foto, dan catatan. Marco, Vittorio, dan beberapa anggota tim lainnya duduk di sekeliling meja, mempelajari dokumen yang baru saja mereka dapatkan dari seorang informan lokal. “Jadi, di mana pertemuan itu akan diadakan?” tanya Marco, memecah keheningan.
Hari baru menyingsing di atas pelabuhan kecil di Italia. Ombak memukul lembut dermaga kayu, seolah mencoba menenangkan kegelisahan yang telah memenuhi hati Luca. Dia berdiri di atas dek kapal keluarga Ombra, memandangi cakrawala biru tanpa batas. Meski Isabella telah tenggelam bersama helikopternya, perasaan lega yang seharusnya datang belum menghampiri Luca. Sebaliknya, dadanya dipenuhi keraguan dan pertanyaan. Benarkah semuanya sudah berakhir? Atau, seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar hilang, Isabella masih hidup di suatu tempat, menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi? Marco mendekat dengan secangkir kopi di tangannya. “Kau sudah tidak tidur semalaman, Luca. Kau butuh istirahat.” “Aku tidak bisa,” jawab Luca, suaranya berat. “Aku terus memikirkan apa yang dikatakan Isabella. Tentang penerusnya. Tentang Bayangan Kedua yang tidak akan pernah benar-benar hilang.” Marco menyerahkan cangkir kopi itu padanya. “Dengar, kita te
Laut malam yang dingin dipenuhi oleh asap dan bau mesiu. Kapal utama Isabella yang tenggelam mulai lenyap di bawah permukaan air, menyisakan pecahan-pecahan kayu yang terombang-ambing. Luca berdiri di atas kapal keluarga Ombra, tubuhnya basah kuyup dan napasnya terengah-engah. Meskipun luka-luka yang diderita Isabella hampir pasti serius, dia merasa Isabella masih memiliki rencana cadangan. Marco mendekatinya dengan ekspresi khawatir. “Luca, kita sudah merusak sebagian besar jaringan Isabella. Ini adalah kemenangan besar.” “Tidak ada kemenangan selama dia masih hidup,” jawab Luca dengan suara datar. Matanya memandangi horison gelap. “Dia terluka, tapi dia tidak akan berhenti. Isabella adalah tipe orang yang akan merangkak keluar dari neraka untuk membalas dendam.” Vittorio, yang sedang mengatur anak buahnya untuk mengamankan wilayah sekitar, menimpali, “Kita harus memanfaatkan momentum ini. Dengan jaringan transportasinya hancur, Isabella akan kehila
Markas Isabella mulai hancur. Ledakan demi ledakan mengguncang pulau itu, membuat tanah bergetar dan api menyala di berbagai sudut. Luca berdiri di tengah kekacauan, memandangi lorong tempat Isabella menghilang. Marco dan Enzo menghampirinya. “Luca, kita harus pergi sekarang! Tempat ini akan meledak dalam beberapa menit!” teriak Marco, suaranya hampir tenggelam oleh deru ledakan. Namun Luca tidak bergerak. “Dia masih di sini. Aku harus menyelesaikan ini.” Enzo memegang bahunya. “Kau tidak bisa mengejar dia sendirian. Kita semua tahu ini jebakan.” Luca menatap Enzo dengan tajam, tapi kemudian mengangguk. “Kalian bawa tim keluar. Aku akan menyusul.” “Tidak, kau tidak bisa—” protes Marco, tapi Luca sudah berlari menuju lorong gelap, meninggalkan mereka. ### **Di Dalam Markas** Luca mengikuti jejak Isabella ke dalam ruangan utama yang tersembunyi di bawah tanah. Ruangan itu luas, penuh dengan peralatan canggih