Beranda / Fiksi Remaja / Kebangkitan Sang Bayangan / Bab 2: Luka yang Terpendam

Share

Bab 2: Luka yang Terpendam

Beberapa hari setelah insiden di gudang, Luca masih merasakan ketegangan yang sama. Dia duduk di ruang kerjanya yang besar, dikelilingi dinding penuh rak buku tua dan artefak yang menunjukkan sejarah panjang keluarga Ombra. Setiap barang di ruangan itu memiliki cerita, sama seperti setiap bekas luka yang ia lihat di tubuh Dante—bekas luka yang menandai setiap pertempuran yang dilalui oleh keluarga mereka.

Pikirannya melayang kembali ke kejadian di gudang. Luca menyadari bahwa dalam dunia yang diwariskan padanya, kepercayaan adalah mata uang yang paling mahal. Namun, semakin lama ia mendalami dunia ini, semakin besar pula keraguan yang timbul di hatinya. Ia tahu bahwa hidupnya akan selalu berada di bawah bayang-bayang ayahnya, namun sampai kapan ia bisa terus menerima kenyataan itu tanpa menentangnya?

Pintu ruang kerja terbuka, dan masuklah Isabella, adiknya. Isabella berbeda dari Luca. Meskipun lahir dalam keluarga yang sama, Isabella cenderung menolak gaya hidup mafia yang keras. Dia memilih menjalani hidupnya di luar pengaruh keluarga, meskipun ayah mereka tidak menyetujui pilihannya. Isabella adalah sosok yang tenang, penuh perhatian, dan bagi Luca, satu-satunya orang yang ia percayai sepenuhnya.

"Luca, kau terlihat lelah," kata Isabella sambil duduk di kursi di depan meja kerjanya.

Luca tersenyum tipis. "Tanggung jawab ini tidak semudah yang kubayangkan."

Isabella menatapnya dengan tatapan simpati. "Mengambil alih dunia ini memang bukan hal yang mudah. Tapi, kau harus ingat, Luca, kau masih punya pilihan."

Luca memandangi adiknya dengan ragu. "Pilihan apa yang kupunya, Isabella? Dunia ini adalah warisan ayah kita. Aku tidak bisa begitu saja meninggalkannya. Keluarga ini membutuhkan pemimpin, dan ayah sudah menetapkanku sebagai penerusnya."

Isabella menghela napas, lalu mengambil tangan Luca. "Aku tahu kau merasa terjebak. Tapi tidak ada yang bisa memaksamu menjadi seseorang yang kau tidak inginkan. Kau selalu bisa mencari jalanmu sendiri, meski itu berarti melawan ayah."

Namun, sebelum Luca bisa merespons, Dante muncul di ambang pintu. "Luca, Don Alessandro ingin berbicara denganmu. Sekarang."

Wajah Luca seketika berubah tegang. Sang ayah jarang memanggilnya secara langsung, dan ketika ia melakukannya, itu biasanya berarti ada sesuatu yang penting. Dengan sedikit ragu, ia mengikuti Dante keluar ruangan, meninggalkan Isabella yang menatapnya dengan perasaan was-was.

Setibanya di ruangan sang ayah, Luca melihat sosok Don Alessandro berdiri di dekat jendela, memandang keluar dengan tangan di belakang punggungnya. Dengan tubuh tegap dan aura yang dingin, Alessandro adalah sosok yang menguasai dengan tegas, pria yang lebih sering dihormati karena ketakutan daripada kasih sayang. Luca tahu, apa pun yang dikatakan ayahnya malam ini, itu pasti berhubungan dengan kejadian di gudang.

“Kau sudah mendengar tentang pertemuan di gudang, Luca?” tanya Alessandro tanpa berbalik.

“Ya, Ayah. Itu bukan sekadar pertemuan biasa,” jawab Luca hati-hati.

Alessandro mengangguk, masih memandang ke arah luar. “Keluarga Rosso sudah terlalu lama bertahan. Mereka seperti penyakit yang enggan hilang. Dan aku tahu, satu-satunya cara untuk mengakhiri semua ini adalah dengan menghancurkan mereka.”

Luca merasakan hatinya berdebar. "Apakah itu berarti kita akan melakukan serangan balasan?"

Sang ayah berbalik, menatap Luca dengan tajam. "Kau benar. Ini waktunya kita menunjukkan kekuatan keluarga Ombra. Dan kau, Luca, akan memimpin serangan ini."

Perasaan Luca campur aduk. Bagian dari dirinya merasa bangga dipercaya untuk menjalankan misi ini, tapi bagian lain merasa ada sesuatu yang salah. Ini bukan lagi sekadar konflik untuk mempertahankan wilayah; ini tentang menghancurkan kehidupan orang lain, sesuatu yang membuatnya merasa semakin jauh dari siapa dirinya yang sebenarnya.

Alessandro berjalan mendekat dan menepuk pundak Luca. "Inilah jalan hidup kita, nak. Kau harus membuktikan bahwa kau siap menjadi penerusku. Dunia ini hanya menghargai mereka yang kuat. Tunjukkan pada mereka bahwa kau adalah pewaris sejati keluarga Ombra."

Luca mengangguk patuh, meskipun dalam hatinya berkecamuk. Setelah sang ayah pergi, Luca berdiri di ruangan itu sendirian. Ia menyadari bahwa hidupnya berada di persimpangan jalan. Apakah ia akan melanjutkan jejak ayahnya sebagai pemimpin yang tak kenal ampun, atau berusaha mencari jalannya sendiri, jalan yang tidak lagi terikat pada dunia gelap keluarga Ombra?

Namun, sebelum ia menemukan jawabannya, kabar buruk lain datang kepadanya. Isabella ditemukan terluka parah di luar kediaman mereka, menjadi korban dari serangan misterius. Luca berlari keluar dan menemukannya, darah membasahi baju adiknya.

"Isabella!" panggilnya dengan panik.

Isabella menatapnya dengan tatapan lemah, tetapi dia berusaha tersenyum. "Luca… hati-hati. Mereka… mereka tidak akan berhenti," bisiknya.

Di tengah hujan yang turun deras, Luca merasakan amarah yang membara di dalam dirinya. Luka Isabella adalah pesan, sebuah peringatan bahwa dunia ini memang tidak mengenal belas kasih. Dalam detik itu, semua keraguannya menguap. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Malam itu, Luca Ombra berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan membalas dendam pada mereka yang berani menyakiti keluarganya. Dunia mafia telah membuka luka terdalamnya, dan kini, ia siap untuk bertarung tanpa ragu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status