Setelah memberi Marco kesempatan terakhir, Luca memutuskan untuk memanfaatkan pengkhianatan ini sebagai alat. Meski hati kecilnya masih diselimuti kekecewaan, ia tahu bahwa keahlian Marco dalam memahami operasi keluarga Rosso bisa menjadi senjata yang sangat berharga. Luca tidak hanya berencana menjatuhkan keluarga Rosso—ia ingin menancapkan kekuatan keluarga Ombra di kota dengan lebih kokoh, sehingga tak seorang pun berani melawan mereka lagi.
Luca memanggil Dante dan beberapa anggota terpercayanya untuk rapat rahasia di markas keluarga Ombra. Malam itu, mereka duduk di ruang bawah tanah yang remang-remang, dikelilingi peta, dokumen, dan catatan-catatan yang menggambarkan semua yang mereka ketahui tentang gerakan Rosso. Dante memandangi Marco dengan penuh curiga, tapi Luca meyakinkan semua orang untuk memberikan Marco kesempatan."Marco akan menjadi sumber informasi kita," Luca membuka rapat dengan nada tegas. "Dia tahu banyak tentang pergerakan keluarga Rosso danBerita tentang rencana keluarga Rosso yang mendatangkan bantuan dari luar negeri beredar dengan cepat di antara anggota keluarga Ombra. Kabar ini membuat mereka semua terkejut sekaligus tegang. Sejauh ini, perang mereka adalah konflik dalam kota, meski cukup brutal. Namun, jika Rosso benar-benar melibatkan mafia asing, keluarga Ombra menghadapi ancaman yang jauh lebih besar dari sebelumnya.Luca mengumpulkan semua anggota terdekatnya, termasuk Dante dan Marco, di ruang bawah tanah yang biasanya menjadi tempat diskusi rahasia. Di ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya lampu kecil, ia membuka rapat itu dengan nada serius. “Rosso telah mengambil langkah baru. Mereka menghubungi mafia luar negeri, kemungkinan besar dari Eropa Timur,” kata Luca. “Kita tahu kelompok ini memiliki koneksi luas, senjata modern, dan taktik yang jauh lebih licik. Jika mereka berhasil datang ke sini, kita mungkin menghadapi kekuatan yang lebih besar dari yang bisa kita bayangkan.”
Beberapa hari setelah kemenangan mereka di pelabuhan, Luca menyadari bahwa tekanan dari keluarga Rosso belum berakhir. Rosso mungkin saja kalah dalam upaya membawa bantuan mafia dari luar negeri, namun kekalahan itu bukan berarti akhir. Di balik kegagalan mereka, Luca yakin keluarga Rosso pasti merencanakan langkah berikutnya, yang mungkin lebih licik dan berbahaya.Kabar yang beredar di kota mulai menguatkan kekhawatiran Luca. Ada rumor bahwa keluarga Rosso kini mencoba mendekati beberapa kelompok kecil yang sebelumnya netral atau bahkan memiliki konflik lama dengan keluarga Ombra. Jika Rosso berhasil membentuk aliansi dengan mereka, kekuatan gabungan itu bisa menjadi ancaman serius.Dante masuk ke ruangan Luca dengan wajah serius. “Luca, aku baru saja menerima informasi dari salah satu informan kita di distrik utara. Keluarga Rosso mengadakan pertemuan rahasia dengan beberapa kelompok kecil malam ini. Kita belum tahu siapa saja kelompok itu, tapi sepertinya Rosso
Di tengah malam yang dingin dan sepi, Luca dan pasukannya bergerak cepat menuju kediaman Franco. Mereka tahu bahwa waktu sangat terbatas; keluarga Rosso bisa menyerang kapan saja. Di balik ketenangan kota, terselip ketegangan yang semakin memuncak, menanti pecah dalam bentrokan berdarah.Ketika mereka mendekati rumah Franco, Luca melihat beberapa orang berjaga di luar, wajah-wajah mereka tegang dan siap menghadapi ancaman. Franco sendiri sedang berdiri di depan pintu rumahnya, mengamati jalan dengan mata waspada. Begitu melihat Luca dan pasukannya, ia melangkah maju, menunjukkan wajah lega sekaligus penuh kewaspadaan.“Luca, aku tahu Rosso tidak akan membiarkan kita begitu saja,” kata Franco sambil menggenggam senjatanya erat-erat. “Tapi aku tidak menyangka mereka akan bergerak secepat ini.”“Kami tidak akan membiarkan mereka menghancurkan aliansi kita,” jawab Luca sambil menepuk bahu Franco. “Malam ini, kita akan menunjukkan pada Rosso bahwa mereka tidak
Fajar menyingsing di atas kota yang baru saja menyaksikan salah satu pertempuran paling sengit dalam sejarah perebutan kekuasaan keluarga mafia. Luca berdiri di atap salah satu bangunan di markas keluarga Ombra, memandang jalanan kota yang mulai ramai. Luka kecil di lengannya terasa perih, tetapi tidak sebanding dengan beban pikiran yang terus menghantuinya. Ia tahu kemenangan di kediaman Franco hanyalah permulaan dari peperangan yang lebih besar.Di dalam markas, Dante dan Marco sedang membahas langkah selanjutnya bersama Franco. Kamar itu penuh asap rokok, dan peta besar kota terbentang di atas meja, dipenuhi lingkaran-lingkaran merah yang menandai wilayah-wilayah strategis keluarga Rosso.“Kita berhasil memukul mundur mereka,” kata Dante, matanya menatap peta dengan intens. “Tapi mereka masih memiliki pos-pos yang tersebar di bagian timur kota. Jika kita ingin menghentikan Rosso sepenuhnya, kita harus menghancurkan jantung operasi mereka.”Franco mengan
Matteo berdiri dengan percaya diri di hadapan Luca, Dante, dan Marco, yang kini terkepung oleh pengawal bersenjata keluarga Rosso. Musik keras dari klub malam terus berdentum, menciptakan kontras aneh dengan ketegangan yang membekukan di sudut ruangan VIP itu. Luca menyadari bahwa satu langkah salah bisa berarti kematian mereka.“Lempar senjata kalian,” Matteo mengulang perintahnya, matanya menatap tajam seperti elang yang memandang mangsanya.Luca mengangkat tangannya perlahan, mencoba membaca situasi. “Matteo, kau menang malam ini,” katanya dengan nada tenang. “Tapi membunuh kami di sini akan membuat semua orang tahu siapa kau sebenarnya. Polisi, media, semuanya akan mengejarmu.”Matteo tertawa kecil. “Polisi? Media? Kau pikir mereka peduli? Kota ini sudah lama menjadi milik keluarga Rosso. Tidak ada yang berani menyentuhku.”Namun, di balik ketenangan wajahnya, Matteo terlihat sedikit terganggu. Luca tahu ia telah menyentuh titik lemah Matteo:
Udara malam terasa dingin ketika tim kecil yang dipimpin oleh Dante mendekati gudang di sisi utara kota, tempat yang disebutkan Enzo. Gudang itu tampak biasa saja dari luar—bangunan tua dengan dinding beton kusam dan pintu logam besar. Namun, Luca tahu lebih baik daripada menganggap remeh tempat ini. Jika Enzo benar, gudang ini adalah pusat persenjataan terakhir Matteo Rosso, dan menghancurkannya akan memberikan pukulan besar bagi musuh mereka.Dante memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk menyebar. Mereka bergerak cepat namun senyap, seperti bayangan di malam gelap. Marco, yang meskipun masih terluka di bahu, bersikeras untuk ikut serta dalam misi ini. Ia bersembunyi di posisi pengawasan di atas gedung seberang jalan, menyiapkan senapan sniper untuk melindungi tim jika situasi memburuk.Sementara itu, Luca tetap di markas, memantau pergerakan mereka melalui komunikasi radio. Enzo berdiri di sisinya, terlihat gelisah, tetapi berusaha tetap tenang. Wajahnya puc
Malam terasa lebih sunyi dari biasanya di markas keluarga Ombra. Sejak kehancuran gudang senjata milik Matteo, suasana berubah menjadi mencekam. Meskipun kemenangan itu menjadi pukulan telak bagi keluarga Rosso, kehilangan Dante membuat semua orang di pihak Luca merasa kehilangan arah. Namun, kesedihan harus dikesampingkan—perang ini belum berakhir.Luca berdiri di ruang strateginya, memandangi peta besar yang menutupi hampir seluruh dinding. Lingkaran merah menandai tempat-tempat penting yang masih dikuasai keluarga Rosso. Matteo masih memiliki markas utama, sebuah vila besar di pinggiran kota yang dijaga ketat oleh anak buahnya yang tersisa.Enzo berdiri di sudut ruangan, merasa canggung. Meski ia telah membuktikan dirinya dengan informasi penting, kepercayaan dari tim Luca belum sepenuhnya ia dapatkan. Luca menatapnya, matanya penuh pertanyaan.“Enzo,” kata Luca akhirnya. “Kau bilang kau tahu setiap sudut vila Matteo. Jika itu benar, kita perlu informas
Kematian Matteo Rosso memberikan dampak yang lebih besar dari yang diantisipasi Luca. Dalam waktu singkat, kota yang selama ini dikuasai oleh keluarga Rosso mulai mengalami perubahan. Anak buah Matteo yang tersisa, yang sebelumnya setia tanpa pertanyaan, kini tercerai-berai tanpa pemimpin yang kuat untuk mengarahkan mereka. Namun, kekosongan kekuasaan yang diciptakan oleh kehancuran keluarga Rosso tidak hanya membawa harapan, tetapi juga ancaman baru.Di markas keluarga Ombra, Luca memimpin rapat bersama Marco, Enzo, dan beberapa anggota kepercayaannya. Peta besar masih tergantung di dinding, tetapi kini penuh dengan catatan baru—kelompok-kelompok kecil yang mencoba merebut kendali di berbagai sudut kota.“Setelah Rosso jatuh, kita seharusnya memiliki waktu untuk membangun kembali,” kata Marco, yang lengan kirinya kini dibalut perban akibat luka pertempuran di vila Matteo. “Tapi mereka semua ingin mengambil alih. Mereka seperti serigala lapar.”Luca menata
Lorong-lorong markas Bayangan Kedua kini bergema oleh suara tembakan dan teriakan perintah. Luca dan timnya, yang terjebak dalam posisi bertahan, memanfaatkan setiap detik untuk mencari celah di tengah kekacauan. Sirene yang meraung-raung membuat situasi semakin mencekam, seolah memberi tanda bahwa pertempuran ini akan menentukan segalanya. Marco, dengan tangannya yang cekatan, berhasil menemukan jalur alternatif di perangkatnya. “Ada tangga darurat di ujung lorong sebelah kiri,” katanya sambil tetap bersembunyi di balik dinding. “Itu akan membawa kita langsung ke lantai atas, tempat pusat komando berada.” “Kalau begitu kita bergerak sekarang!” ujar Luca tegas. Vittorio memberikan tembakan perlindungan sementara Marco, Elena, dan Lark mulai berlari ke arah tangga yang dimaksud. Tubuh mereka bergerak cepat, tetapi hati-hati, memastikan tidak ada celah bagi musuh untuk menyerang. Ketika mereka mencapai tangga, mereka menemukan bahwa pintu me
Langit gelap menyelimuti kota Budapest, tempat Luca dan timnya menetapkan langkah berikutnya. Serangan balasan dari Bayangan Kedua telah memaksa mereka bergerak lebih cepat, meninggalkan Zurich setelah tempat persembunyian mereka terbongkar. Dengan sumber daya yang semakin terbatas dan tekanan yang meningkat, mereka harus berani mengambil langkah yang lebih agresif. Di sebuah bangunan tua di pinggir kota, Luca berdiri di depan meja kayu yang penuh dengan dokumen dan peta. Daniel Lark, yang kini telah resmi bergabung dengan tim, berdiri di sampingnya. Marco sibuk dengan laptopnya di sudut ruangan, sementara Vittorio sedang membersihkan senjata di sisi lain. “Kita telah menghancurkan tiga pusat utama mereka dalam sebulan terakhir,” kata Luca. “Tapi setiap kali kita menyerang, mereka melawan dengan lebih brutal. Serangan di Zurich adalah bukti bahwa mereka tidak akan berhenti sampai kita dilumpuhkan.” “Kabar baiknya,” ujar Lark sambil menunjuk peta, “se
Ledakan dari helikopter yang jatuh mengguncang langit Praha, menarik perhatian warga dan pihak berwenang. Luca berdiri terengah-engah di lorong hotel, menatap tubuh Spectre yang terbaring tak bergerak di lantai. Tembakannya tepat di dada, memastikan bahwa ancaman terbesar dari Bayangan Kedua kini telah berakhir. Namun, Luca tidak merasa lega. Ia tahu, meskipun Spectre telah tiada, akar organisasi itu masih mencengkeram dunia bawah tanah dengan erat. Vittorio mendekat, napasnya juga terengah-engah. “Apakah dia benar-benar mati?” Luca mengangguk perlahan. “Ya. Tapi ini belum selesai. Bayangan Kedua adalah sistem, bukan hanya orang.” Marco berbicara melalui alat komunikasi di telinga mereka. “Kalian harus segera keluar dari sana. Polisi setempat mulai mengepung area. Aku sudah menyiapkan rute pelarian.” Vittorio menepuk bahu Luca. “Ayo, kita harus pergi. Kita tidak bisa tertangkap di sini.” Luca mengambil napas panjang, lalu berbal
Pagi di Istanbul disambut dengan kabut tebal yang menyelimuti kota. Luca berdiri di balkon apartemen mereka, memandangi Bosphorus yang tenang. Di pikirannya, gambaran helikopter yang membawa Spectre melayang jauh masih menghantui. Meskipun mereka berhasil menghentikan sebagian operasi Bayangan Kedua, kegagalan menangkap Spectre membuatnya merasa ada celah dalam perencanaan mereka. Marco bergabung di sampingnya, membawa dua cangkir kopi. “Kau sudah terjaga sejak subuh,” katanya sambil menyodorkan salah satu cangkir. “Aku tidak bisa tidur,” jawab Luca. “Dia terlalu dekat, Marco. Kita hampir menangkapnya, tapi dia selalu selangkah lebih maju.” “Kita sudah memukul mundur sebagian besar operasi mereka,” kata Marco mencoba menghibur. “Odessa mungkin memberikan kita petunjuk lebih banyak. Vittorio sedang dalam perjalanan kembali dengan laporan lengkapnya.” Luca mengangguk pelan. “Aku hanya khawatir. Spectre tidak akan tinggal diam. Serangan balik
Dini hari di Istanbul, Luca dan timnya berkumpul untuk menyusun strategi. Wajah-wajah mereka dipenuhi kelelahan, tetapi semangat juang mereka tetap membara. Informasi yang mereka dapatkan dari pertemuan sebelumnya menjadi dasar bagi rencana baru mereka. Namun, tekanan semakin terasa, mengingat mereka tahu Spectre kini menyadari keberadaan mereka. “Spectre tidak akan diam saja,” ujar Luca, memecah keheningan. “Dia tahu kita mendekatinya. Ini akan membuatnya lebih berbahaya.” Marco, yang duduk di sudut ruangan dengan laptopnya, mengetik dengan cepat. “Aku berhasil melacak beberapa transaksi terbaru dari rekening yang terkait dengan jaringan Spectre,” katanya. “Sepertinya dia sedang menggerakkan senjata ke pelabuhan di Odessa, Ukraina. Itu kemungkinan jalur utama mereka untuk menyuplai senjata ke Eropa Timur.” Vittorio menyela, “Tapi bagaimana kita bisa yakin itu bukan jebakan? Dia tahu kita memburunya. Bisa saja ini hanya pengalihan untuk menjauhkan ki
Kota Istanbul menyambut kedatangan Luca dan timnya dengan hiruk-pikuk khasnya. Suara klakson kendaraan, sorak pedagang di Grand Bazaar, dan deru kapal di Selat Bosphorus menciptakan irama kota yang tidak pernah tidur. Namun, di balik keramaian itu, bayangan kejahatan tetap mengintai, dan Luca tahu bahwa dia harus waspada setiap saat. Informasi dari Ricardo Alvarez membawa mereka ke kota ini, tempat pertemuan penting Bayangan Kedua akan berlangsung. Pertemuan ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk menghancurkan sisa-sisa organisasi Isabella sebelum penerusnya, *Spectre*, memegang kendali penuh. Di sebuah apartemen kecil yang disewa timnya, Luca berdiri di depan papan besar yang dipenuhi peta, foto, dan catatan. Marco, Vittorio, dan beberapa anggota tim lainnya duduk di sekeliling meja, mempelajari dokumen yang baru saja mereka dapatkan dari seorang informan lokal. “Jadi, di mana pertemuan itu akan diadakan?” tanya Marco, memecah keheningan.
Hari baru menyingsing di atas pelabuhan kecil di Italia. Ombak memukul lembut dermaga kayu, seolah mencoba menenangkan kegelisahan yang telah memenuhi hati Luca. Dia berdiri di atas dek kapal keluarga Ombra, memandangi cakrawala biru tanpa batas. Meski Isabella telah tenggelam bersama helikopternya, perasaan lega yang seharusnya datang belum menghampiri Luca. Sebaliknya, dadanya dipenuhi keraguan dan pertanyaan. Benarkah semuanya sudah berakhir? Atau, seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar hilang, Isabella masih hidup di suatu tempat, menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi? Marco mendekat dengan secangkir kopi di tangannya. “Kau sudah tidak tidur semalaman, Luca. Kau butuh istirahat.” “Aku tidak bisa,” jawab Luca, suaranya berat. “Aku terus memikirkan apa yang dikatakan Isabella. Tentang penerusnya. Tentang Bayangan Kedua yang tidak akan pernah benar-benar hilang.” Marco menyerahkan cangkir kopi itu padanya. “Dengar, kita te
Laut malam yang dingin dipenuhi oleh asap dan bau mesiu. Kapal utama Isabella yang tenggelam mulai lenyap di bawah permukaan air, menyisakan pecahan-pecahan kayu yang terombang-ambing. Luca berdiri di atas kapal keluarga Ombra, tubuhnya basah kuyup dan napasnya terengah-engah. Meskipun luka-luka yang diderita Isabella hampir pasti serius, dia merasa Isabella masih memiliki rencana cadangan. Marco mendekatinya dengan ekspresi khawatir. “Luca, kita sudah merusak sebagian besar jaringan Isabella. Ini adalah kemenangan besar.” “Tidak ada kemenangan selama dia masih hidup,” jawab Luca dengan suara datar. Matanya memandangi horison gelap. “Dia terluka, tapi dia tidak akan berhenti. Isabella adalah tipe orang yang akan merangkak keluar dari neraka untuk membalas dendam.” Vittorio, yang sedang mengatur anak buahnya untuk mengamankan wilayah sekitar, menimpali, “Kita harus memanfaatkan momentum ini. Dengan jaringan transportasinya hancur, Isabella akan kehila
Markas Isabella mulai hancur. Ledakan demi ledakan mengguncang pulau itu, membuat tanah bergetar dan api menyala di berbagai sudut. Luca berdiri di tengah kekacauan, memandangi lorong tempat Isabella menghilang. Marco dan Enzo menghampirinya. “Luca, kita harus pergi sekarang! Tempat ini akan meledak dalam beberapa menit!” teriak Marco, suaranya hampir tenggelam oleh deru ledakan. Namun Luca tidak bergerak. “Dia masih di sini. Aku harus menyelesaikan ini.” Enzo memegang bahunya. “Kau tidak bisa mengejar dia sendirian. Kita semua tahu ini jebakan.” Luca menatap Enzo dengan tajam, tapi kemudian mengangguk. “Kalian bawa tim keluar. Aku akan menyusul.” “Tidak, kau tidak bisa—” protes Marco, tapi Luca sudah berlari menuju lorong gelap, meninggalkan mereka. ### **Di Dalam Markas** Luca mengikuti jejak Isabella ke dalam ruangan utama yang tersembunyi di bawah tanah. Ruangan itu luas, penuh dengan peralatan canggih