Matteo berdiri dengan percaya diri di hadapan Luca, Dante, dan Marco, yang kini terkepung oleh pengawal bersenjata keluarga Rosso. Musik keras dari klub malam terus berdentum, menciptakan kontras aneh dengan ketegangan yang membekukan di sudut ruangan VIP itu. Luca menyadari bahwa satu langkah salah bisa berarti kematian mereka.
“Lempar senjata kalian,” Matteo mengulang perintahnya, matanya menatap tajam seperti elang yang memandang mangsanya.Luca mengangkat tangannya perlahan, mencoba membaca situasi. “Matteo, kau menang malam ini,” katanya dengan nada tenang. “Tapi membunuh kami di sini akan membuat semua orang tahu siapa kau sebenarnya. Polisi, media, semuanya akan mengejarmu.”Matteo tertawa kecil. “Polisi? Media? Kau pikir mereka peduli? Kota ini sudah lama menjadi milik keluarga Rosso. Tidak ada yang berani menyentuhku.”Namun, di balik ketenangan wajahnya, Matteo terlihat sedikit terganggu. Luca tahu ia telah menyentuh titik lemah Matteo:Udara malam terasa dingin ketika tim kecil yang dipimpin oleh Dante mendekati gudang di sisi utara kota, tempat yang disebutkan Enzo. Gudang itu tampak biasa saja dari luar—bangunan tua dengan dinding beton kusam dan pintu logam besar. Namun, Luca tahu lebih baik daripada menganggap remeh tempat ini. Jika Enzo benar, gudang ini adalah pusat persenjataan terakhir Matteo Rosso, dan menghancurkannya akan memberikan pukulan besar bagi musuh mereka.Dante memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk menyebar. Mereka bergerak cepat namun senyap, seperti bayangan di malam gelap. Marco, yang meskipun masih terluka di bahu, bersikeras untuk ikut serta dalam misi ini. Ia bersembunyi di posisi pengawasan di atas gedung seberang jalan, menyiapkan senapan sniper untuk melindungi tim jika situasi memburuk.Sementara itu, Luca tetap di markas, memantau pergerakan mereka melalui komunikasi radio. Enzo berdiri di sisinya, terlihat gelisah, tetapi berusaha tetap tenang. Wajahnya puc
Malam terasa lebih sunyi dari biasanya di markas keluarga Ombra. Sejak kehancuran gudang senjata milik Matteo, suasana berubah menjadi mencekam. Meskipun kemenangan itu menjadi pukulan telak bagi keluarga Rosso, kehilangan Dante membuat semua orang di pihak Luca merasa kehilangan arah. Namun, kesedihan harus dikesampingkan—perang ini belum berakhir.Luca berdiri di ruang strateginya, memandangi peta besar yang menutupi hampir seluruh dinding. Lingkaran merah menandai tempat-tempat penting yang masih dikuasai keluarga Rosso. Matteo masih memiliki markas utama, sebuah vila besar di pinggiran kota yang dijaga ketat oleh anak buahnya yang tersisa.Enzo berdiri di sudut ruangan, merasa canggung. Meski ia telah membuktikan dirinya dengan informasi penting, kepercayaan dari tim Luca belum sepenuhnya ia dapatkan. Luca menatapnya, matanya penuh pertanyaan.“Enzo,” kata Luca akhirnya. “Kau bilang kau tahu setiap sudut vila Matteo. Jika itu benar, kita perlu informas
Kematian Matteo Rosso memberikan dampak yang lebih besar dari yang diantisipasi Luca. Dalam waktu singkat, kota yang selama ini dikuasai oleh keluarga Rosso mulai mengalami perubahan. Anak buah Matteo yang tersisa, yang sebelumnya setia tanpa pertanyaan, kini tercerai-berai tanpa pemimpin yang kuat untuk mengarahkan mereka. Namun, kekosongan kekuasaan yang diciptakan oleh kehancuran keluarga Rosso tidak hanya membawa harapan, tetapi juga ancaman baru.Di markas keluarga Ombra, Luca memimpin rapat bersama Marco, Enzo, dan beberapa anggota kepercayaannya. Peta besar masih tergantung di dinding, tetapi kini penuh dengan catatan baru—kelompok-kelompok kecil yang mencoba merebut kendali di berbagai sudut kota.“Setelah Rosso jatuh, kita seharusnya memiliki waktu untuk membangun kembali,” kata Marco, yang lengan kirinya kini dibalut perban akibat luka pertempuran di vila Matteo. “Tapi mereka semua ingin mengambil alih. Mereka seperti serigala lapar.”Luca menata
Gudang senjata keluarga Moretti telah hancur. Ledakan besar itu tidak hanya memusnahkan persediaan senjata Carlo, tetapi juga membuatnya kehilangan kepercayaan dari beberapa anak buahnya. Namun, Carlo Moretti bukan orang yang menyerah begitu saja. Luka di pihaknya justru membuatnya semakin berbahaya. Luca tahu ini bukan waktu untuk berpuas diri. Setelah kemenangan di gudang, ia mengumpulkan seluruh orang kepercayaannya untuk merancang langkah berikutnya. “Kita telah mengguncang Carlo,” kata Luca di hadapan timnya. “Tapi dia masih hidup. Selama dia bernapas, ancaman ini belum berakhir.” Marco, dengan lengan yang masih terbalut perban, angkat bicara. “Kau tahu Carlo. Dia akan membalas dendam. Dan kali ini, dia tidak akan main-main.” “Benar,” kata Luca. “Itulah sebabnya kita harus bergerak sebelum dia sempat merencanakan serangan balik.” Enzo, yang telah membuktikan keberaniannya dalam misi sebelumnya, maju ke depan. “Aku dengar Ca
Kejatuhan Carlo Moretti adalah awal dari fase baru bagi keluarga Ombra, tetapi bukan akhir dari konflik yang melanda kota. Meskipun Luca berhasil mempersatukan sebagian besar kelompok di bawah kepemimpinannya, ada beberapa pihak yang merasa tidak puas dengan pendekatan barunya. Beberapa pemimpin kecil, yang selama ini menikmati kebebasan berbuat semaunya, merasa bahwa aturan ketat Luca adalah ancaman bagi cara hidup mereka.Di antara mereka adalah Angelo Vito, seorang mantan letnan keluarga Rosso yang berhasil melarikan diri selama perang melawan Carlo. Angelo telah membangun aliansi baru di pinggiran kota, merekrut para pemberontak dan penjahat kecil yang tidak ingin tunduk pada kekuasaan Luca. Dalam waktu singkat, kelompoknya mulai menguasai beberapa wilayah kecil, menantang kekuasaan keluarga Ombra.**### Rapat DaruratDi markas besar keluarga Ombra, Luca mengadakan pertemuan dengan Marco, Enzo, dan beberapa penasihatnya. Di atas meja besar, s
Dengan Angelo Vito yang kini mendekam di penjara, keluarga Ombra telah mengamankan posisi mereka sebagai kekuatan utama di kota. Namun, Luca tidak membiarkan kemenangan ini membuatnya lengah. Ia tahu bahwa meskipun ancaman dari luar telah berkurang, musuh dari dalam masih bisa muncul kapan saja.Malam itu, Luca memanggil semua orang kepercayaannya untuk berkumpul di ruang pertemuan besar di markas mereka. Di atas meja, sebuah peta kota terbentang, dengan tanda-tanda wilayah yang kini berada di bawah kendali mereka.“Kita telah mencapai sesuatu yang luar biasa,” kata Luca, memulai pembicaraannya. “Tapi ini bukan akhir. Kota ini telah menderita terlalu lama di bawah kekuasaan mafia yang kejam dan korupsi. Aku ingin lebih dari sekadar kekuasaan. Aku ingin perubahan nyata.”Marco, yang duduk di sebelah Luca, mengangguk. “Kita punya kesempatan untuk membangun sesuatu yang berbeda. Tapi tidak semua orang akan setuju dengan caramu memimpin.”“Itulah seba
Meskipun ancaman Franco telah berhasil ditangani, Luca tahu bahwa perlawanan dari dalam hanya bagian kecil dari masalah yang akan dihadapinya. Di luar sana, bayangan yang lebih gelap sedang berkumpul—kelompok-kelompok kecil yang dulu bersekutu dengan Carlo Moretti kini mulai bangkit kembali, mencoba merebut bagian mereka dari kekuasaan yang telah direbut oleh keluarga Ombra.Malam itu, di sebuah gudang yang terletak jauh di pinggir kota, sekelompok orang berkumpul. Mereka adalah para loyalis Carlo yang selamat dari perang sebelumnya, dipimpin oleh seorang pria bernama Viktor Russo. Viktor adalah orang kepercayaan Carlo, yang berhasil melarikan diri saat Luca menghancurkan jaringan Moretti. Sekarang, ia kembali untuk mengklaim apa yang menurutnya adalah haknya.“Keluarga Ombra telah melemah,” kata Viktor kepada orang-orangnya. “Luca ingin bermain sebagai pahlawan, tapi dunia ini tidak punya tempat untuk orang seperti dia. Kita akan merebut kembali kota ini, sedikit
Setelah Viktor Russo tumbang dan ancaman penyelundup internasional berhasil ditekan, kota perlahan kembali tenang. Namun, Luca tahu bahwa kemenangan ini hanyalah permulaan dari perjalanan panjang yang harus ia tempuh. Keluarga Ombra kini berdiri di puncak kekuasaan, tetapi tanggung jawab yang menyertainya lebih besar daripada sebelumnya. Kemenangan atas Viktor Russo membawa perasaan lega bagi keluarga Ombra, tetapi Luca tahu bahwa kemenangan ini hanyalah awal dari tantangan yang lebih besar. Di balik ketenangan yang tampak, ada banyak hal yang perlu dibenahi. Kota mungkin telah berada di bawah kendali mereka, tetapi luka-luka yang ditinggalkan oleh konflik panjang masih membekas dalam kehidupan masyarakat. Luca berjalan keluar dari markas, merasakan angin malam yang dingin menerpa wajahnya. Di kejauhan, kota tampak seperti kanvas cahaya, dengan lampu-lampu jalan yang berkelap-kelip di antara bayangan gelap gedung-gedung tinggi. Namun, di balik keindahan itu, Lu
Lorong-lorong markas Bayangan Kedua kini bergema oleh suara tembakan dan teriakan perintah. Luca dan timnya, yang terjebak dalam posisi bertahan, memanfaatkan setiap detik untuk mencari celah di tengah kekacauan. Sirene yang meraung-raung membuat situasi semakin mencekam, seolah memberi tanda bahwa pertempuran ini akan menentukan segalanya. Marco, dengan tangannya yang cekatan, berhasil menemukan jalur alternatif di perangkatnya. “Ada tangga darurat di ujung lorong sebelah kiri,” katanya sambil tetap bersembunyi di balik dinding. “Itu akan membawa kita langsung ke lantai atas, tempat pusat komando berada.” “Kalau begitu kita bergerak sekarang!” ujar Luca tegas. Vittorio memberikan tembakan perlindungan sementara Marco, Elena, dan Lark mulai berlari ke arah tangga yang dimaksud. Tubuh mereka bergerak cepat, tetapi hati-hati, memastikan tidak ada celah bagi musuh untuk menyerang. Ketika mereka mencapai tangga, mereka menemukan bahwa pintu me
Langit gelap menyelimuti kota Budapest, tempat Luca dan timnya menetapkan langkah berikutnya. Serangan balasan dari Bayangan Kedua telah memaksa mereka bergerak lebih cepat, meninggalkan Zurich setelah tempat persembunyian mereka terbongkar. Dengan sumber daya yang semakin terbatas dan tekanan yang meningkat, mereka harus berani mengambil langkah yang lebih agresif. Di sebuah bangunan tua di pinggir kota, Luca berdiri di depan meja kayu yang penuh dengan dokumen dan peta. Daniel Lark, yang kini telah resmi bergabung dengan tim, berdiri di sampingnya. Marco sibuk dengan laptopnya di sudut ruangan, sementara Vittorio sedang membersihkan senjata di sisi lain. “Kita telah menghancurkan tiga pusat utama mereka dalam sebulan terakhir,” kata Luca. “Tapi setiap kali kita menyerang, mereka melawan dengan lebih brutal. Serangan di Zurich adalah bukti bahwa mereka tidak akan berhenti sampai kita dilumpuhkan.” “Kabar baiknya,” ujar Lark sambil menunjuk peta, “se
Ledakan dari helikopter yang jatuh mengguncang langit Praha, menarik perhatian warga dan pihak berwenang. Luca berdiri terengah-engah di lorong hotel, menatap tubuh Spectre yang terbaring tak bergerak di lantai. Tembakannya tepat di dada, memastikan bahwa ancaman terbesar dari Bayangan Kedua kini telah berakhir. Namun, Luca tidak merasa lega. Ia tahu, meskipun Spectre telah tiada, akar organisasi itu masih mencengkeram dunia bawah tanah dengan erat. Vittorio mendekat, napasnya juga terengah-engah. “Apakah dia benar-benar mati?” Luca mengangguk perlahan. “Ya. Tapi ini belum selesai. Bayangan Kedua adalah sistem, bukan hanya orang.” Marco berbicara melalui alat komunikasi di telinga mereka. “Kalian harus segera keluar dari sana. Polisi setempat mulai mengepung area. Aku sudah menyiapkan rute pelarian.” Vittorio menepuk bahu Luca. “Ayo, kita harus pergi. Kita tidak bisa tertangkap di sini.” Luca mengambil napas panjang, lalu berbal
Pagi di Istanbul disambut dengan kabut tebal yang menyelimuti kota. Luca berdiri di balkon apartemen mereka, memandangi Bosphorus yang tenang. Di pikirannya, gambaran helikopter yang membawa Spectre melayang jauh masih menghantui. Meskipun mereka berhasil menghentikan sebagian operasi Bayangan Kedua, kegagalan menangkap Spectre membuatnya merasa ada celah dalam perencanaan mereka. Marco bergabung di sampingnya, membawa dua cangkir kopi. “Kau sudah terjaga sejak subuh,” katanya sambil menyodorkan salah satu cangkir. “Aku tidak bisa tidur,” jawab Luca. “Dia terlalu dekat, Marco. Kita hampir menangkapnya, tapi dia selalu selangkah lebih maju.” “Kita sudah memukul mundur sebagian besar operasi mereka,” kata Marco mencoba menghibur. “Odessa mungkin memberikan kita petunjuk lebih banyak. Vittorio sedang dalam perjalanan kembali dengan laporan lengkapnya.” Luca mengangguk pelan. “Aku hanya khawatir. Spectre tidak akan tinggal diam. Serangan balik
Dini hari di Istanbul, Luca dan timnya berkumpul untuk menyusun strategi. Wajah-wajah mereka dipenuhi kelelahan, tetapi semangat juang mereka tetap membara. Informasi yang mereka dapatkan dari pertemuan sebelumnya menjadi dasar bagi rencana baru mereka. Namun, tekanan semakin terasa, mengingat mereka tahu Spectre kini menyadari keberadaan mereka. “Spectre tidak akan diam saja,” ujar Luca, memecah keheningan. “Dia tahu kita mendekatinya. Ini akan membuatnya lebih berbahaya.” Marco, yang duduk di sudut ruangan dengan laptopnya, mengetik dengan cepat. “Aku berhasil melacak beberapa transaksi terbaru dari rekening yang terkait dengan jaringan Spectre,” katanya. “Sepertinya dia sedang menggerakkan senjata ke pelabuhan di Odessa, Ukraina. Itu kemungkinan jalur utama mereka untuk menyuplai senjata ke Eropa Timur.” Vittorio menyela, “Tapi bagaimana kita bisa yakin itu bukan jebakan? Dia tahu kita memburunya. Bisa saja ini hanya pengalihan untuk menjauhkan ki
Kota Istanbul menyambut kedatangan Luca dan timnya dengan hiruk-pikuk khasnya. Suara klakson kendaraan, sorak pedagang di Grand Bazaar, dan deru kapal di Selat Bosphorus menciptakan irama kota yang tidak pernah tidur. Namun, di balik keramaian itu, bayangan kejahatan tetap mengintai, dan Luca tahu bahwa dia harus waspada setiap saat. Informasi dari Ricardo Alvarez membawa mereka ke kota ini, tempat pertemuan penting Bayangan Kedua akan berlangsung. Pertemuan ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk menghancurkan sisa-sisa organisasi Isabella sebelum penerusnya, *Spectre*, memegang kendali penuh. Di sebuah apartemen kecil yang disewa timnya, Luca berdiri di depan papan besar yang dipenuhi peta, foto, dan catatan. Marco, Vittorio, dan beberapa anggota tim lainnya duduk di sekeliling meja, mempelajari dokumen yang baru saja mereka dapatkan dari seorang informan lokal. “Jadi, di mana pertemuan itu akan diadakan?” tanya Marco, memecah keheningan.
Hari baru menyingsing di atas pelabuhan kecil di Italia. Ombak memukul lembut dermaga kayu, seolah mencoba menenangkan kegelisahan yang telah memenuhi hati Luca. Dia berdiri di atas dek kapal keluarga Ombra, memandangi cakrawala biru tanpa batas. Meski Isabella telah tenggelam bersama helikopternya, perasaan lega yang seharusnya datang belum menghampiri Luca. Sebaliknya, dadanya dipenuhi keraguan dan pertanyaan. Benarkah semuanya sudah berakhir? Atau, seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar hilang, Isabella masih hidup di suatu tempat, menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi? Marco mendekat dengan secangkir kopi di tangannya. “Kau sudah tidak tidur semalaman, Luca. Kau butuh istirahat.” “Aku tidak bisa,” jawab Luca, suaranya berat. “Aku terus memikirkan apa yang dikatakan Isabella. Tentang penerusnya. Tentang Bayangan Kedua yang tidak akan pernah benar-benar hilang.” Marco menyerahkan cangkir kopi itu padanya. “Dengar, kita te
Laut malam yang dingin dipenuhi oleh asap dan bau mesiu. Kapal utama Isabella yang tenggelam mulai lenyap di bawah permukaan air, menyisakan pecahan-pecahan kayu yang terombang-ambing. Luca berdiri di atas kapal keluarga Ombra, tubuhnya basah kuyup dan napasnya terengah-engah. Meskipun luka-luka yang diderita Isabella hampir pasti serius, dia merasa Isabella masih memiliki rencana cadangan. Marco mendekatinya dengan ekspresi khawatir. “Luca, kita sudah merusak sebagian besar jaringan Isabella. Ini adalah kemenangan besar.” “Tidak ada kemenangan selama dia masih hidup,” jawab Luca dengan suara datar. Matanya memandangi horison gelap. “Dia terluka, tapi dia tidak akan berhenti. Isabella adalah tipe orang yang akan merangkak keluar dari neraka untuk membalas dendam.” Vittorio, yang sedang mengatur anak buahnya untuk mengamankan wilayah sekitar, menimpali, “Kita harus memanfaatkan momentum ini. Dengan jaringan transportasinya hancur, Isabella akan kehila
Markas Isabella mulai hancur. Ledakan demi ledakan mengguncang pulau itu, membuat tanah bergetar dan api menyala di berbagai sudut. Luca berdiri di tengah kekacauan, memandangi lorong tempat Isabella menghilang. Marco dan Enzo menghampirinya. “Luca, kita harus pergi sekarang! Tempat ini akan meledak dalam beberapa menit!” teriak Marco, suaranya hampir tenggelam oleh deru ledakan. Namun Luca tidak bergerak. “Dia masih di sini. Aku harus menyelesaikan ini.” Enzo memegang bahunya. “Kau tidak bisa mengejar dia sendirian. Kita semua tahu ini jebakan.” Luca menatap Enzo dengan tajam, tapi kemudian mengangguk. “Kalian bawa tim keluar. Aku akan menyusul.” “Tidak, kau tidak bisa—” protes Marco, tapi Luca sudah berlari menuju lorong gelap, meninggalkan mereka. ### **Di Dalam Markas** Luca mengikuti jejak Isabella ke dalam ruangan utama yang tersembunyi di bawah tanah. Ruangan itu luas, penuh dengan peralatan canggih