“Aku ….” Radeva bingung sendiri.Dia tak mengira ucapannya akan menyulut emosi personal Feinata sampai sejauh itu. Apakah dia memang sudah terlalu jauh?“Udah, Fei … jangan berpikiran seperti itu.” Zafia menyentuh punggung tangan adiknya di atas meja. “Kakak ingin kamu jadi diri sendiri, nggak perlu meniru Kakak atau orang lain, siapa pun itu.”Feinata melirik Zafia dengan pandangan curiga, penuh antisipasi. Apakah kakaknya tak mau ditiru agar Zafia tak ada duanya?“Aku setuju.” Jay turun bicara. “Lebih baik kamu jadi dirimu apa adanya, itu justru lebih menarik dan genuine.”Namun, begitu Jay sudah bicara demikian, meski sama seperti Zafia, Feinata jauh lebih bisa menerimanya.Feinata menatap Jay dengan mata berbinar-binar senang. “Iya, Kak Jay. Aku juga lebih suka jadi diriku sendiri, ogah niru orang lain siapa pun itu!”Kekuatan idola hati memang dahsyat!“Nah, Radeva, nggak boleh lagi bicara begitu, yah! Apalagi ke cewek semanis adikku ini. Oke?” Zafia memberikan senyuman ke Radeva
“Ngapain ke kelab?” sahut Radeva ketika mendengar usulan Feinata.Dengan lirikan judes, Feinata berkata ke Radeva, “Kalau kamu nggak pengen ikut, juga nggak apa-apa. Justru bagus kalau nggak ada kamu! Huh!”Feinata terang-terangan mendengus untuk Radeva.“Radeva ikut aja, yuk!” ajak Zafia.Duhai, ingin sekali Jay menjerit untuk mencegah Zafia.…Atmosfer kelab malam langsung menerpa menyapa empat orang itu ketika mereka menjejakkan kaki di sana.“Fairy Dust.” Jay membaca pelan nama kelab malam itu dan melangkah lebih masuk ke dalamnya bersama tiga lainnya.Setelah mereka memilih meja, mereka mulai memesan minuman.“Fei, jangan pesan minuman beralkohol agar kamu nggak mabuk, yah!” saran Zafia.Namun, karena tak ingin diatur-atur kakaknya seperti bocah cilik, Feinata justru bertingkah sebaliknya.“Ah, Kakak. Aku ini udah gede. Udah 20 tahun lebih! Kakak nggak perlu ngatur aku kayak aku anak kecil lagi,” sahut Feinata.Kalimat pedas Feinata untuk Zafia ternyata cukup mengejutkan Jay dan
“Kalau kalian nggak berani, lebih baik kita lekas pulang saja, yuk!” imbuh Jay.Karena tak ingin kebersamaan dengan Jay berlalu terlalu singkat, Feinata lekas menyahut, “Aku! Aku berani!”Jay tersenyum, ide liciknya memang sudah diperhitungkan akan sukses menjerat Feinata.“Radeva? Fia? Ikut?” tanya Jay sambil menatap mereka berdua.Baru saja Radeva hendak mengatakan sesuatu, Jay sudah memotong lebih dulu, “Oke, aku dan Fei aja kalau gitu, yah!”Ini memang sudah diatur Jay. Permainan ini memang diatur untuk dia dan Feinata saja.“Aku ikut.” Mendadak Zafia malah bersuara.“Aku juga!” Radeva tak mau tinggal diam sebagai penonton.Jiwa lelaki yang suka tantangan membara di dada pemuda itu.Jay menarik napas panjang. Tak apa. Dia sudah memiliki tindakan cadangan jika rencana inti kurang berhasil.“Oke!” Jay mengangguk tegas dan tangannya menekan tombol di meja untuk memanggil pelayan. “Berikan kami Zombie! Ukuran double.”Pelayan mengangguk dan pergi. Sedangkan Jay menahan seruan puasnya
“Atau kamu takut nyoba Zombie?” tanya Jay dengan sikap provokatif ke Feinata.Menambahkan senyum liciknya, Jay masih tetap terlihat memesona di mata Feinata yang memujanya.Maka, tak butuh menit berganti, tangan Feinata langsung meraih gelas Tiki berisi koktail Zombie dan meneguk untuk pertama kalinya.“Urgh!” Feinata terkejut dengan sensasi keras yang mengalir di tenggorokannya.“Kurang dua lagi, Fei.” Jay memberikan semangat di balik kelicikannya.Akhirnya, Feinata menahan rasa di tenggorokannya dan meneguk dua tegukan berikutnya.“Argh!” Feinata menggeram keras setelah berhasil menghabiskan tiga tegukan sebagai hukumannya.Kemudian, botol kembali diputar oleh Jay.“Fei!” Jay kembali berseru ketika ujung mulut botol terarah ke Feinata.Wajah Feinata menjadi tak enak.“Kok aku lagi?” tanya Feinata dengan nada penolakan.Jay berlagak tak tahu menahu.“Yah, nggak tau, Fei. Botolnya bilang gitu, kan? Aku cuma memutarnya aja, dan bisa dilihat sendiri hasilnya.” kilah Jay sambil mengangka
“Hah? Seriusan, tuh?” Feinata ikut memekik heran.Dia dan Radeva sama-sama melongo heran bercampur bingung melihat ujung mulut botol yang kini terarah ke ….“Aku lagi?” Suara Feinata bergetar.Tadi botol sudah nyaris hendak berhenti di Zafia, tapi ternyata masih bisa bergerak sangat pelan ke arah Feinata.“Kok aku lagi, sih?” Feinata memekik kesal ke Radeva. “Kamu yang benar, dong! Putar botolnya tuh yang benar!”Feinata tak sungkan lagi untuk menepuk keras lengan Radeva.“Njir! Emangnya aku dewa yang bisa menentukan hasil akhir putaran botol?” Radeva mendelik ke Feinata karena lengannya ditabok cukup keras oleh gadis itu. “Aku udah putar kencang, kamu liat sendiri, nggak sih? Kok malah bertingkah anarkis? Aneh, lu!”Dua muda-mudi itu justru mulai bertengkar, saling menyalahkan.“Hei, udah, udah!” Jay melerai kedua muda-mudi itu sebelum pertengkaran semakin menjadi-jadi.Keduanya memang sama-sama berhenti bicara meski wajah masam mereka sama-sama tak enak dilihat. Bahkan dengusan kera
“Aku percayakan adikku ke kamu.” Zafia sempat mengatakan itu pada Radeva sebelum benar-benar pergi bersama Jay.Radeva mengangguk saja dan mulai memapah Feinata keluar dan pergi ke mobilnya sendiri.“Duduk yang manis. Aku nggak tanggung kalau kamu ntar kejedot, loh!” Radeva bicara seusai memakaikan sabuk pengaman ke Feinata di sampingnya.Sedangkan Feinata, matanya masih terbuka meski 50 persen saja, belum sepenuhnya mabuk berat.“Mau ke mana?” tanyanya lirih.Radeva menoleh ke samping sambil memutar kunci mobilnya agar mesin bisa menyala. “Ke rumahmu lah! Nggak mungkin ke rumah presiden, dong!”Terdengar nyinyir, tapi itu karena Radeva cukup kesal karena dia malah diberi tanggung jawab yang berkaitan dengan orang yang membuatnya kesal.Feinata terdiam dan tak banyak bicara seperti biasanya. Dia seperti merenung sembari mobil melaju mulus di jalanan malam Jatayu.“Nah, udah nyampe. Ini kan rumahmu? Udah sesuai sama map yang dikasi kakakmu.” Radeva menghentikan mobil di depan rumah kel
“Kenapa? Kamu nggak takut, kan?” tanya Jay setelah mobil dia hentikan di area bukit pinggir kota. “Tenang aja, ada aku, kok!”Tatapan mereka saling bertaut dalam keremangan malam, hanya mendapatkan sinar dari rembulan dan bias lampu kota di bawah.Zafia menampilkan senyumannya sambil kemudian berkata, “Aku nggak takut suasana sepinya. Aku lebih takut sama kamu.”Mendengar selorohan wanita pujaannya, Jay tertawa ringan.“Kenapa harus takut sama aku?” Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tak perlu ada jawabannya.Sekaligus tak perlu ditanyakan, tapi Jay suka bermain kata dengan Zafia.Sedikit memiringkan kepalanya tanpa memudarkan senyuman di wajah cantiknya, Zafia menjawab, “Aku patut takut, dong, ama orang yang bisa mengatur botol sedemikian rupa macam itu boneka marionette-nya.”Sebuah sindiran yang disampaikan secara halus dan sopan, berbalut pujian secara samar pula. Inilah yang disukai Jay dari Zafia. Wanita itu mampu menyampaikan kalimatnya dengan kesan misterius dan menaikkan adren
“Oh? Duit ‘pajak’, yah?” ejek Jay pelan sambil keluar dari mobil. “Tunggu dulu di sini, Fi.”Mana mungkin dia takut pada preman lokal yang hendak mengganggu acara kencannya?Apalagi dia baru saja mengajak Zafia jadian dan belum mendapatkan jawaban dari wanita itu.“Wah, wah ….” Salah satu preman cukup terkejut, tidak menyangka Jay mengatakan itu sambil keluar dari mobil.“Bos, dia nantangin, tuh! Bwa ha ha ha!” Preman lain menertawakan keberanian Jay.Sepertinya mereka kerap ‘beroperasi’ di area itu hanya karena lokasi tersebut sepi dan memiliki panorama indah ketika malam hari. Sangat cocok untuk pasangan yang ingin merasakan suasana romantis sekaligus dramatis.Preman lokal yang berjumlah 9 orang itu terlihat beringas. Untuk orang biasa, pasti menakutkan jika mereka mendekat dan meminta uang. Beda halnya jika itu Jay.“Bukannya menantang,” sah
* * *Ketika pesta yang dinantikan tiba, semua mata tertuju pada pasangan yang tengah menjadi pusat perhatian.Jay tampil memukau dalam setelan jas hitam klasik dengan aksen emas di bagian kerah, yang dirancang khusus oleh perancang busana ternama dunia. Rambutnya disisir rapi ke belakang, memancarkan aura karisma dan kekuasaan.Zafia, di sisi lain, terlihat seperti dewi. Gaun pengantinnya, rancangan desainer haute couture terkenal dari kota mode internasional, Parisiane, terbuat dari bahan sutra putih yang dihiasi kristal Swarovski.Sebuah jubah panjang dengan bordir emas mengalir di belakangnya, membuatnya tampak seperti ratu sejati. Tiara berlian bertengger di kepalanya, melengkapi penampilannya yang elegan dan memesona.“Astaga! Mereka keren banget!” seru salah satu tamu undangan.“Duhai! Aku yakin baju mereka bukan barang sepele.” Tamu lain berdesis saat melihat Jay dan Zafia.“Mana ada barang sepele di sekitar pengusaha muda dan sukses yang kekayaan bersihnya dikatakan mencapai
“Terima kasih, suamiku.” Di samping Jay, Zafia tersenyum ketika tatapan mereka saling bertaut mesra.“Hah? Jadi … selama ini Kak Fia udah menikah?” Tiba-tiba muncul Feinata di ruang tamu.Gadis itu mendekat dengan wajah terkejutnya.“Maaf kalau kamu baru tau ini sekarang, Fei.” Zafia meraih adiknya untuk dia rangkul.Saat Feinata hendak menyahut, terdengar bunyi bel pagar depan.“Ah! Itu pasti si bodoh itu!” Feinata melepaskan rangkulan kakaknya dan berlari ke depan untuk membukakan pagar.Tak berapa lama, Feinata kembali masuk ke dalam sambil membawa pria muda. Jay tersenyum karena sangat mengenali pemuda itu. Radeva.“Permisi, Tante dan Om.” Radeva menyapa pasangan Narendra. “Oh, Kak Fia dan Bang Jay juga.” Dia tidak melupakan pasangan muda di sana.“Heh, kamu tau,” Feinata menepuk keras lengan Radeva dan berkata, “Kak Fia dan Bang Jay udah menikah! Kamu kapan ngelamar aku?”“Fei!” Ibunya langsung menegur putri bungsunya yang terlalu frontal ketika bertutur. “Kamu ini perempuan, loh
“Fu fu fu ….” Jay terkekeh santai.Dia duduk di kursi kulit hitamnya yang megah, di ruang kerja yang memancarkan kemewahan modern.Sambil memegang cangkir teh herbal yang baru saja dituangkan oleh Atin, wajahnya tetap tenang, dengan sedikit senyum penuh keyakinan yang hanya dia tunjukkan pada orang-orang terdekatnya.“Aku tidak bermain, Pak,” kata Jay dengan suara datar namun penuh makna. “Aku hanya memastikan papan catur tetap di bawah kendaliku. Apa gunanya menjadi raja jika kamu tidak bisa mengontrol bidak-bidakmu?”Atin tersenyum tipis, mengakui kecerdikan bosnya. “Kamu bahkan mengalahkan mereka yang mencoba mengaitkanmu dengan PhantomClaw. Kini publik melihatmu sebagai pahlawan teknologi Astronesia.”Jay menyesap tehnya perlahan, matanya menatap jendela besar yang memperlihatkan pemandangan Jatayu yang gemerlap di malam hari.Kota itu, dengan segala kesibukannya, kini terasa seperti berada di telapak tangannya.Seiring waktu, NeoTech, perusahaan teknologi milik Jay, menjadi binta
Jonas mencoba mempertahankan argumennya. “Jenderal, saya yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Jay. Keberadaannya di Jorgandia bisa saja ....”“Cukup!” potong Hambali dengan nada keras, membuat Jonas terdiam. “Fakta menunjukkan bahwa Jay Mahawira berada di Jorgandia, bekerja sama dengan ilmuwan internasional untuk sesuatu yang sangat penting bagi masa depan dunia. Dan sementara itu, Anda menyebarkan tuduhan bahwa dia adalah seorang kriminal yang memimpin organisasi bawah tanah. Apa yang Anda harapkan? Bahwa publik akan percaya omong kosong ini tanpa bukti yang jelas?”Jonas berusaha keras menyusun pembelaan. “Saya memiliki informasi dari Bruno sebelum dia mati, dan saya yakin itu valid. Jay—”“Bruno adalah kriminal yang bermain di dua sisi!” bentak Hambali. “Dan sekarang Anda ingin membangun seluruh argumenmu berdasarkan kata-kata seorang pengkhianat?”“Pak Jonas,&rdqu
“Jangan harap kamu bisa sewenang-wenang, Jek Jon!” seru Jonas.Pertarungan semakin sengit. Jonas menggunakan teknik Cakar Garuda, sebuah gaya bertarung yang memadukan kekuatan fisik dengan gerakan cepat.Dengan teknik itu, dia berhasil meloloskan dirinya dari cengkeraman Jek Jon.Namun, Jek Jon memiliki keunggulan dalam pengalaman dan teknik kanuragan tingkat tinggi.Dengan gerakan Langkah Naga Terbang, dia mengelak dari setiap serangan Jonas sambil melancarkan pukulan dan tendangan presisi yang mulai melemahkan sang mayor jenderal.Jonas tidak gentar. Dia mengaktifkan teknik bela diri Harimau Lembah yang menjadi kebanggaan Kostrad.Membawa serangan cepat, dia melancarkan pukulan dan tendangan yang ditujukan ke titik vital Jek Jon.Namun, Jek Jon memblokir setiap serangan dengan mudah, menggunakan teknik Cengkraman Naga Hitam untuk menangkap pergelangan tangan Jonas dan memutarnya hingga terdengar bunyi retakan kecil.Jonas meringis kesakitan, tetapi dia tidak menyerah. Dengan lompata
"Rupanya sungguh Pak Mayjen Jonas Patulubi, salah satu orang kepercayaan Pak Jendral Hambali Sardi." Jek Jon terkekeh santai. Dia berdiri di depan pondok utama milik Bruno, sedangkan mayat pria itu masih di dalam sana. Di belakang Jonas, sekelompok pasukan Kostrad bersenjata lengkap berjaga dalam formasi disiplin. Jonas maju selangkah, tatapannya tajam mencoba memberikan perasaan superior ke Jek Jon. "Kamu tak perlu berpura-pura lagi, Jek Jon. Kami tau siapa kamu sebenarnya. Kamu pikir bisa menyembunyikan identitasmu selamanya? Bruno sudah memberiku cukup petunjuk." Jay dalam wujud Jek Jon, menyeringai kecil seraya berkata, "Bruno? Anda mengandalkan ucapan orang yang bahkan tak tau caranya melindungi diri sendiri? Saya berduka untuk Anda, Mayjen. Saya kira Anda lebih pintar dari itu." Kemudian Jek Jon memberikan gestur mengejek ke Jonas beserta ekspresi wajah yang tak berlebihan tapi menusuk ulu hati lawannya. Jonas menggeram pelan, menahan amarah. "Kami tau kamu adalah Jay M
"Tutup moncong busukmu, Jek! Aku tak butuh belas kasihanmu!" teriak Bruno. "Lebih baik kau lekas menyerah padaku, dan PhantomClaw milikmu akan baik-baik saja!" Jek Jon terkekeh sembari dia menerima pukulan demi pukulan Bruno. Kali ini dia tidak menghindari. "Memangnya apa yang dijanjikan majikanmu mengenai aku dan PhantomClaw?" Jek Jon bertanya dengan bahasa tersirat. Dia sudah paham bahwa di balik pergerakan organisasi milik Bruno yang mengganggu PhantomClaw, pasti ada orang dengan kedudukan tinggi yang ingin dia hancur. Hanya saja, dia belum bisa memastikan orangnya. Tapi dia yakin, tak lama lagi semua tabir akan terbuka untuknya. Bruno menyeringai. "Beliau hanya meminta aku untuk mengendalikan kamu yang mirip kuda liar! Maka dari itu, Jek. Kusarankan kamu lekas menyerah dan kalian akan tetap bisa bertahan. Patuhlah!"Seraya menyerukan kata terakhir, Bruno mengirimkan pukulan tenaga dalam dari jarak 15 meter ke Jek Jon di depannya. "Apakah kepalamu terbentur meja saat kamu m
"Oh, rupanya kau juga mampu menggunakan kekuatan semacam itu, he he!" Keluar seringaian dari Jek Jon. Bukannya gentar, dia justru terpacu untuk lekas menerjang ke Bruno. "Kemari kau, Jek Jon sampah!" teriak Bruno. Malam itu, di sebuah kedalaman wilayah yang jauh dari pemukiman penduduk di Pulau Gaharu, suasana tegang telah tercipta sejak awal. Jek Jon mengumpulkan tenaga murni, aliran chakra segera membanjiri tubuhnya, pergi ke titik-titik chakra untuk memaksimalkan potensi di setiap lini tubuhnya. "Hmph!" Jek Jon mendengus keras seraya meledakkan auranya sehingga debu di sekelilingnya mulai beterbangan. Setelahnya, dia melesat ke Bruno yang telah menanti dengan mata nyalang melotot. "Ayo! Kita tak perlu banyak basa-basi!" seru Bruno tanpa mengendurkan auranya sendiri. Jay yang sedang dalam mode Jek Jon si Raja Bengis, lekas menebaskan tangannya yang membentuk cakar. Angin energi keluar dari sana dan siap mencabik Bruno. "Apa itu basa-basi? Justru kamu yang te
“Dia adalah Jay, Pa.” Zafia menjawab Tistan.Zafia tidak ingin secara gamblang mengungkap mengenai jati diri suaminya.Tapi, Tristan tidak puas dan masih bertanya, “Iya, dia adalah Jay. Tapi apakah dia juga punya identitas lain sebagai Jek Jon?”Sembari memunculkan senyumannya, Zafia menyahut, “Dia Jay, Pa. Jay Mahawira.”Usai mengucapkan kalimat itu, tampaknya tak hanya Tristan yang gemas. Yoana pun demikian.“Fia, jawab yang benar!” Yoana kehilangan kesabaran.Yoana merasa putrinya sedang menutupi sesuatu dan hal tersebut berbahaya dan menakutkan.Bagaimana mungkin sesuatu yang berkaitan dengan organisasi mafia terbesar di Astronesia tidak menakutkan?“Dia suamiku, Ma, Pa. Dia Jay Mahawira. Tentunya jawaban ini sudah lebih dari cukup, kan?” Masih dengan ketenangan yang sama, Zafia menanggapi kedua orang tuanya.Tristan menghela napas, tak tau lagi bagaimana cara berpikir Zafia. Membela suaminya sedemikian kuat di depan orang tuanya sendiri ketika sang suami terindikasi memiliki kait