Mendengar pertanyaan Vincen yang tiba-tiba, Sebastian langsung menundukkan kepala, wajahnya penuh kesedihan.
"Tuan muda, di otak sosok tersebut kami menemukan jimat pengendalian pikiran; seseorang mengendalikannya, dan tak disangka, dia dari Klan Ritsu," kata Sebastian, suaranya bergetar karena pilu atas realitas pahit itu.Vincen memegang dokumen di tangannya dengan erat. Dia selama ini tidak menyangka keluarga Ibunya mengalami perlakuan keji sedemikian rupa.Saat itu, pemahamannya tentang pertentangan di antara Ayah dan Kakeknya terhadap pernikahan orang tuanya menjadi sedikit lebih jelas—mungkin Kakeknya berusaha menjauhi keluarga tersembunyi itu agar tidak terlibat dengan pertikaian mereka."Tuan muda, ada satu lagi, dari Master Rondon," lanjut Sebastian, suaranya lebih tenang, mencoba menawarkan sedikit pengetahuan. "Beliau mulai mengungkap sesuatu tentang keluarga Ibu Anda, jika beliau berasal dari Jevas, tempat yang menjadi sanctuary bagVeronica perlahan membuka kelopak matanya, mencoba mengendapkan cahaya yang menerpa ruang serba putih itu. Plafon rumah sakit terlihat samar, membangkitkan rasa tak nyaman di hati."Kamu sudah bangun?" suara lembut Vincen memecah keheningan. Dia duduk di samping ranjangnya, matanya penuh perhatian dan tangan siap menopang bila diperlukan.Veronica berpaling pelan, menatap Vincen dengan mata sayu. "Apakah kamu menjagaku dari semalam?" suaranya parau terbata-bata.Vincen mengangguk perlahan, senyum tulus menghiasi wajahnya yang penat. Dengan lembut, ia meraih bahu Veronica, menuntunnya untuk duduk tegak. Kedua tangan mereka bertaut, mencari kekuatan dalam kesenyapan dan ketulusan.Veronica merasakan sakit ringan di seluruh tubuhnya saat ia mencoba untuk duduk tegak di ranjang rumah sakit.Ruangan itu dipenuhi dengan cahaya matahari pagi yang menyelinap masuk melalui jendela besar, menambah kehangatan di ruang steril tersebut."Ya, aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian," jawab Vincen
Setelah mendengar perintah dari Vincen dan menerima berkas yang sudah ditandangani tuan mudanya, Noel pamit undur diri dari ruang perawatan dengan sopan.Noel, dengan langkah mantap dan tatapan yang terlihat sedikit berat, akhirnya mengucapkan selamat tinggal dan meninggalkan ruangan itu. Veronica, dengan pandangan yang mengikuti Noel hingga pintu tertutup, kembali memusatkan perhatiannya pada Vincen yang masih duduk di samping tempat tidurnya."Kamu mau pergi?" tanyanya dengan suara yang lemah, pandangan matanya mencari jawaban dalam raut wajah Vincen.Vincen, dengan senyum yang menenangkan, mengulurkan tangannya menggenggam tangan Veronica. "Kenapa? Apa aku harus menemani kamu terus di sini?" tanyanya dengan nada penuh perhatian yang membuat hati Veronica bergetar.Veronica merasakan kehangatan dari genggaman tangan Vincen dan dalam keraguan, dia mengangguk perlahan. Matanya tak bisa menyembunyikan keinginan agar Vincen tidak pergi dan
Vincen berulang kali memanggil nama Selena lewat telepon, namun tak ada jawaban sama sekali. Alisnya mengerut, kebingungan membanjiri pikirannya.Tiba-tiba Veronica merasakan ada yang aneh, dengan keheranan tergambar jelas di wajahnya, dia bertanya. "Ada apa, Vin? Kamu terus-menerus memanggil Selena."Vincen hanya mampu menghela napas, "Entahlah..." katanya, namun sebelum ia bisa melanjutkan, suara lain terdengar dari ujung telepon."Bos, kita akan membawanya kemana untuk memancing dia?" suara itu terdengar, membuat Vincen semakin mengernyit.Kerisauan semakin mencekik dada Vincen. Keningnya berkerut, bibirnya terkatup ketika ia memandang Veronica dengan mata yang berharap ada jawaban di sana."Veronica, sepertinya ada yang tidak beres," suaranya bergetar, jelas mencerminkan ketakutan yang menggema dalam dirinya.Veronica membalas tatapan itu dengan anggukan pelan, isyarat bahwa dia memahami apa yang menghantui pikiran Vincen.Kembali ke telepon, Vincen berusaha meredam gelombang pani
Keempat pria berkulit hitam itu dengan cepat merasakan ketegangan semakin memuncak seiring dengan kemunculan beberapa mobil yang mengikuti mereka dari belakang.Dahi mereka mengernyit, bertanya-tanya kenapa ada rombongan mobil yang mengikuti mereka."Cih, apa mereka polisi?" keluh pria dengan tindikan di telinganya, matanya terus mengawasi melalui spion mobil."Sepertinya bukan," jawab pria berkepala botak dengan nada rendah, matanya tetap fokus pada jalan di depannya, mencoba untuk tidak fokus menyetir."Apa mungkin pengawal wanita ini?" suara anggota mereka paling muda, dia duduk disebelah Selena yang masih tak sadarkan diri, terdengar ragu-ragu. Ia melirik sekilas ke arah Selena yang terbaring lemah, kemudian kembali menatap ke luar jendela, mencoba menganalisa situasi."Ruud, hentikan mobilnya!" perintah sang pemimpin mereka, suaranya tegas dan berwibawa.Ruud, yang merupakan pria berkepala botak, langsung menekan pedal rem d
Vincen bersiap menerjang ke arah kelompok pria hitam, tatapan tajamnya mencerminkan kesediaan untuk melawan. Namun, sebelum langkahnya sempurna, Solomon dengan sigap menarik lengan Vincen, menariknya kembali ke posisi semula."Tuan muda, berhati-hatilah. Orang-orang ini bukan lawan sembarangan, " ucap Solomon dengan suara rendah namun tegas. "Master, tapi baimana dengan nasib temanku?!" balas Vincen, suaranya mengandung ketakutan yang nyata. "Tenang, tuan muda. Kita perlu strategi yang lebih matang untuk membebaskan teman Anda," jawab Solomon, matanya tidak beranjak dari kelompok pria itu, seolah sedang memetakan langkah berikutnya. Mendengar itu, Vincen menghela napas, berusaha meredam gejolak dalam dadanya. Dia mengangguk pelan, memercayai kebijaksanaan Solomon. Dengan napas yang teratur, dia mulai mengamati setiap gerak pria hitam itu, mencari setiap celah yang mungkin ada untuk dimanfaatkan.Solomon, dengan pengalaman bertahun-tahun di medan pertempuran, berdiri tegap di sampin
Solomon, yang biasanya tenang dan terkendali, terlihat pucat pasi. Tubuhnya yang tadinya tegap kini terguncang hebat, berusaha keras untuk tetap berdiri meskipun lututnya gemetar. Darah segar meleleh dari sudut bibirnya, mencerminkan kekerasan pukulan yang baru saja dia terima."Hahaha... kalian para pengguna teknik Pernapasan Alam hanya bisa sekedar menempa sampai batas tertentu, berbeda dengan kami yang memiliki teknik turun temurun, bisa membuatnya lebih kuat lagi!" Geld, dengan suara lantang, berteriak sambil tertawa mengejek.Tubuh Geld yang hitam legam mulai berubah warna menjadi kemerahan, sebuah tanda bahwa kekuatan teknik Tubuh Baja yang dia miliki sedang meningkat ke tahap yang lebih tinggi.Mata Solomon menyala dengan semangat yang tak kunjung padam, meski tubuhnya berada di ambang kekalahan. Dengan nafas yang tersengal, dia mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, menyiapkan diri untuk serangan balasan. Solomon tidak pernah menduga kalau t
SwuzzPral!Suara tajam mengiris udara terdengar. Saat sebuah kekuatan tak terduga memotong tangan Geld yang menjambak rambut Vincen."Argh!" Teriak Geld kesakitan, darah menyembur dari lengan yang terputus, memercik ke tanah dan mengalir deras. Tiga bawahan Geld yang menyaksikan kejadian itu dengan mata terbelalak, tak percaya bahwa tubuh baja sang bos bisa dipotong begitu mudah."Bos, Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu dari mereka, suaranya gemetar. Mereka tahu, jika bos mereka yang selama ini tak terkalahkan bisa terluka, maka ada sesuatu yang sangat salah.Geld, dengan wajah pucat pasi, memegangi sisa lengan yang masih berdarah. Dia mencari keberadaan Vincen yang tidak ada ditempatnya dengan mata yang terbakar amarah.Mata Geld terpaku pada seorang pria berpakaian serba putih, tampak terkejut, ketika sosok itu mendekatkan diri dan merebahkan Vincen yang tak sadarkan diri di samping Solomon. Solomon, yang terkapar dengan darah mengalir di tubuhnya, meraih tubuh Vincen dengan ta
Sebastian memimpin rombongannya bergegas ke tempat pertarungan. Mereka terkejut saat menyaksikan para pengawal bayangan keluarga Clark semuanya tergeletak tak berdaya ditanah.Hati Sebastian mencelos saat matanya tertuju pada Vincen dan Solomon yang terkapar dengan luka memprihatinkan."Tuan muda! Master Solomon!" teriaknya, suara bergetar mencerminkan kekhawatiran mendalam. Saat matanya menyapu ke sekeliling, kekejaman tambahan terungkap. Tiga mayat tanpa kepala, dan seorang pria dengan dada yang berlubang menandakan adanya pertarungan sengit tambahan."Bawa semuanya yang terluka ke rumah sakit, segera!" perintah Sebastian, suara tegasnya memecah kebisuan. "Sebagian dari kalian, bersihkan sisa kekacauan ini!" Bawahan-bawahannya mengangguk serempak, tiap gerak cepat dan tegas sesuai instruksi, mencerminkan seriusnya situasi yang mengerikan ini.Sebastian sendiri merasa tanggung jawab berat terpikul di bahunya; hatinya masih ber