“Ternyata kau tau tentang ini?!” tanya Pandya yang tidak menyangka Sakra langsung mengetahuinya.“Aku juga sudah mempelajari banyak hal, saat kau juga mempelajarinya! Tentu aku tahu tentang tempat itu!” jawab Sakra sedikit tersinggung.“Kalau begitu, kau pasti sudah paham bukan apa yang akan aku lakukan?! Bagaimana menurutmu?” Pandya mencoba menanyakan pendapat.“Lakukanlah! Aku yakin kau sudah memperhitungkan semuanya!” jawab Sakra yakin.Pandya tersenyum mendengar jawaban Sakra. Jika Sakra sudah tidak berkomentar, itu berarti rencana yang sudah dibuat oleh Pandya jauh melebihi ekspektasinya.Pandya pergi meninggalkan ruang pelatihan, untuk segera bergabung dengan kelompok Dipta. Sedangkan kelompok lain sudah berangkat terlebih dulu, untuk menjalankan tugas mereka masing-masing.Dengan perbekalan yang sudah disiapkan Dipta dan kelompoknya, mereka berjalan meninggalkan akademi dan menuju tempat yang sudah ditentukan. Mereka tampak sangat bersemangat, mengingat ini pertama kalinya bagi
Pandya dan kelompok Dipta kembali melanjutkan perjalanan mereka, dengan jarak tempuh yang jauh lebih panjang dibanding sebelumnya. Sesuai rencana awal mereka, Pandya akan menyusul Atreya dan kelompoknya yang sudah terlebih dulu menuju Ajaran Angin.Mereka pun secara bertahap terus mendapat laporan-laporan dari kelompok lain, tentang kemajuan tugas mereka melalui sihir pemindah yang sudah dirancang Pandya sebelumnya. Pandya membuat sebuah pola dan dibagikan pada setiap kelompok, yang bisa digunakan untuk mengirimkan secarik kertas langsung kepada Pandya dimanapun dirinya berada.“Sepertinya kita sudah harus memilih nama untuk Klan kita, Pangeran!” ucap Dipta setelah melihat isi laporan dari kelompok lain yang diberikan padanya oleh Pandya.“Apa kalian memiliki ide?” tanya Pandya, saat mereka sedang beristirahat di pinggir jalan setapak yang mereka lewati.Tidak ada yang menjawab, mereka yakin jika nama Klan merupakan hal besar yang harus memiliki arti. Dan mereka tidak bisa memikirkan
“Maafkan saya, Pangeran! Ini semua untuk memastikan saya tidak salah memilih!” ucap Tuan Waata merasa bersalah.Namun, baru saja Tuan Waata memberi aba-aba pada seorang tabib yang sudah dipersiapkan di dekat sana, dirinya malah dikejutkan dengan respon yang diberikan oleh Pandya. Di hadapannya Pandya hanya bersikap santai, sambil mengusap bekas minum di sudut bibirnya.“Ba– bagaimana bisa?!” tanya Tuan Waata tercekat.“Tuan Waata tidak perlu meminta maaf! Racun yang Tuan Waata berikan masih tergolong lemah, dan saya yakin Tuan Waata tidak berniat untuk membunuh saya!” jawab Pandya dengan santai.Tuan Waata terlihat sedikit panik, karena tidak menyangka semua berjalan tidak sesuai dengan rencananya. Walaupun dengan demikian, dirinya bisa meyakini jika ucapan anaknya tentang perubahan Pandya memanglah benar.“Saya sungguh minta maaf! Namun, saya tidak menyesali perbuatan saya tadi! Bukan tanpa alasan saya melakukan hal itu, dan saya yakin Pangeran memahami hal itu sebagai pemimpin!” jel
“Justru karena aku anak rakyat jelata, jadi aku bisa mengatakan apapun yang aku mau! Bukankah kau harus menjaga martabat anak bangsawan? Kenapa kau bisa selancang itu?!” sahut Pandya dengan santai, tanpa memikirkan ucapan Tibra dengan serius. Sebenarnya Pandya sudah terbiasa dengan panggilan anak rakyat jelata dulu, dan kini dirinya kembali diingatkan dengan sebutan itu setelah hampir satu tahun dia tidak pernah mendengarnya lagi. Tapi, entah kenapa sudah tidak ada rasa sakit yang dia rasakan saat mendengar ejekan itu, yang dulu membuatnya merasa sangat frustasi. Pandya terkekeh kecil saat melihat ekspresi Tibra dengan wajah merahnya. Sedangkan Tibra berusaha menahan amarahnya, saat tubuhnya di tahan oleh tetua yang ada di sebelahnya. “Tertawalah sesukamu! Kita lihat sampai kapan kau bisa tertawa seperti itu!” ucap Tibra sambil menyeringai. Dengan isyarat mata, Tibra membuat sang tetua mengeluarkan sebuah perkamen dengan pita merah yang mengikatnya. Pandya dan Tuan Waata yang m
“Tuan Waata, sepertinya Pangeran Tibra salah bicara karena masih muda…” Ucap tetua Ajaran Api yang langsung disanggah oleh Tuan Data.“Apa itu bisa menjadi alasan yang cukup?!” sahut Tuan Waata dengan nada tinggi dan tatapan tajam yang menusuk.“Tuan Waata, apa anda akan menyerang kami?!” tanya Tibra dengan tatapan tidak bersahabat.Tuan Waata yang seakan mendapatkan ancaman yang tersirat, merasa jika dirinya dianggap bukan lawan yang sulit dihadapi. Membuat Tuan Waata semakin geram, dengan tangan yang mengepal kencang.“Tak ada yang tidak mungkin!” jawab Tuan Waata sambil mengeluarkan tenaga dalamnya.ZHIIIING!Seketika tempat itu dilingkupi dengan tenaga dalam dari Tuan Waata dan Pangeran Tibra secara bersamaan, membuat suasana menjadi mencekam. Mereka sama-sama menatap satu sama lain, dengan tatapan tajam seolah ingin melampiaskan kekesalan mereka pada satu sama lain.WHUUUUSH!ZHIIIING!Suasana semakin memanaskan, dengan semakin bertambahnya tekanan dari tenaga dalam yang mereka b
Semua orang menatap ke asal suara dengan tatapan takjub, bahkan Tibra dan Pandya yang sedang bertarung benar-benar langsung menghentikan pertarungan mereka. Mereka menatap seseorang yang baru saja berteriak, juga menatap Attaya secara bergantian.Wajah yang mereka lihat hampir sama, bahkan orang yang baru saja berteriak memiliki wajah yang sama persis seperti Atreya yang sebenarnya mereka semua kenal.Namun, dari sekian banyak orang yang terkejut, Pandya hanya tersenyum lega karena apa yang ditunggunya sejak tadi sudah datang. Bahkan, Tuan Waata dan Attaya tidak ada yang menyangka jika Atreya sudah sadar dan dapat berjalan sendiri.“Mohon maaf atas kelancaran saya, Pangeran!” ucap pria itu sambil membungkukkan badan memberi hormat.“Kau…?” tanya Tibra menggantungkan ucapannya.“Benar saya adalah Atreya yang asli, adik saya menggantikan selama ini karena tubuh saya yang kurang sehat,” jelas Atreya dengan nada menyesal.Tuan Waata yang tercekat sejak tadi, memandang sang anak dengan tat
"Pandya, kamu harus ingat kalau paman selalu ada di pihakmu. Jadi, berusahalah untuk tetap bertahan hidup."Remaja laki-laki yang baru bangun itu lantas menatap sang Paman dengan bingung. "Aku benar-benar tidak mengerti. Apa Paman akan pergi jauh?"Akandra terlihat enggan untuk menjelaskan. Namun, jika dia terus menundanya akan semakin banyak waktu yang akan terbuang. Pria itu segera mengarahkan Pandya untuk menuju dapur belakang. Di atas meja, tampak sebuah kain pembungkus yang di dalamnya sudah terisi penuh dengan perbekalan."Paman mendapat laporan bahwa ada pembunuh bayaran yang mengincarmu. Saat ini pasukan ajaran pedang sedang menghadang mereka. Jadi, lebih baik kamu segera kabur dari sanggar ini," ucap Akandra sambil mencengkeram kedua lengan Pandya."Apa maksud, Paman?" tanya Pandya menegang, "apa pasukan kita tidak bisa menghadapi mereka, seperti biasa?"Pandya merasa ucapan pamannya sedikit tidak masuk akal. Sebagai salah satu calon pewaris Padepokan Nagendra yang tidak memi
Remaja laki-laki itu berusaha mengintimidasi lawannya.Hanya saja, di hadapan Pandya saat ini, bukan hanya satu atau dua orang saja. Segerombolan orang-orang bertopeng itu jelas terlihat tidak takut sama sekali.Entah 'Ajaran' mana yang mengirimnya, tapi Pandya yakin itu ulah salah satu dari saudara tirinya. Ibu mereka berasal dari keluarga Ajaran terpandang, tidak seperti dirinya. Dengan kuasa dan uang, mereka memang sudah sering melakukan upaya pembunuhan pada Pandya. Hanya saja, kali ini, skalanya terlihat benar-benar mematikan."Hahahaha … entahlah,” tawa salah satu dari mereka, “yang jelas, kami sudah menunggu cukup lama, hingga merasa bosan dan mengantuk." Mendengar itu, Pandya semakin bingung dengan situasinya saat ini. Dia bahkan sudah tidak memiliki tenaga untuk kabur."Siapa?!" bentak Pandya--berusaha mengintimidasi lagi.Namun, tidak ada jawaban dari sosok-sosok itu. Pandya semakin marah dan frustasi. Semua sosok bertopeng itu memiliki topeng dan pedang yang sama– membua