“Tuan Waata, sepertinya Pangeran Tibra salah bicara karena masih muda…” Ucap tetua Ajaran Api yang langsung disanggah oleh Tuan Data.“Apa itu bisa menjadi alasan yang cukup?!” sahut Tuan Waata dengan nada tinggi dan tatapan tajam yang menusuk.“Tuan Waata, apa anda akan menyerang kami?!” tanya Tibra dengan tatapan tidak bersahabat.Tuan Waata yang seakan mendapatkan ancaman yang tersirat, merasa jika dirinya dianggap bukan lawan yang sulit dihadapi. Membuat Tuan Waata semakin geram, dengan tangan yang mengepal kencang.“Tak ada yang tidak mungkin!” jawab Tuan Waata sambil mengeluarkan tenaga dalamnya.ZHIIIING!Seketika tempat itu dilingkupi dengan tenaga dalam dari Tuan Waata dan Pangeran Tibra secara bersamaan, membuat suasana menjadi mencekam. Mereka sama-sama menatap satu sama lain, dengan tatapan tajam seolah ingin melampiaskan kekesalan mereka pada satu sama lain.WHUUUUSH!ZHIIIING!Suasana semakin memanaskan, dengan semakin bertambahnya tekanan dari tenaga dalam yang mereka b
Semua orang menatap ke asal suara dengan tatapan takjub, bahkan Tibra dan Pandya yang sedang bertarung benar-benar langsung menghentikan pertarungan mereka. Mereka menatap seseorang yang baru saja berteriak, juga menatap Attaya secara bergantian.Wajah yang mereka lihat hampir sama, bahkan orang yang baru saja berteriak memiliki wajah yang sama persis seperti Atreya yang sebenarnya mereka semua kenal.Namun, dari sekian banyak orang yang terkejut, Pandya hanya tersenyum lega karena apa yang ditunggunya sejak tadi sudah datang. Bahkan, Tuan Waata dan Attaya tidak ada yang menyangka jika Atreya sudah sadar dan dapat berjalan sendiri.“Mohon maaf atas kelancaran saya, Pangeran!” ucap pria itu sambil membungkukkan badan memberi hormat.“Kau…?” tanya Tibra menggantungkan ucapannya.“Benar saya adalah Atreya yang asli, adik saya menggantikan selama ini karena tubuh saya yang kurang sehat,” jelas Atreya dengan nada menyesal.Tuan Waata yang tercekat sejak tadi, memandang sang anak dengan tat
"Pandya, kamu harus ingat kalau paman selalu ada di pihakmu. Jadi, berusahalah untuk tetap bertahan hidup."Remaja laki-laki yang baru bangun itu lantas menatap sang Paman dengan bingung. "Aku benar-benar tidak mengerti. Apa Paman akan pergi jauh?"Akandra terlihat enggan untuk menjelaskan. Namun, jika dia terus menundanya akan semakin banyak waktu yang akan terbuang. Pria itu segera mengarahkan Pandya untuk menuju dapur belakang. Di atas meja, tampak sebuah kain pembungkus yang di dalamnya sudah terisi penuh dengan perbekalan."Paman mendapat laporan bahwa ada pembunuh bayaran yang mengincarmu. Saat ini pasukan ajaran pedang sedang menghadang mereka. Jadi, lebih baik kamu segera kabur dari sanggar ini," ucap Akandra sambil mencengkeram kedua lengan Pandya."Apa maksud, Paman?" tanya Pandya menegang, "apa pasukan kita tidak bisa menghadapi mereka, seperti biasa?"Pandya merasa ucapan pamannya sedikit tidak masuk akal. Sebagai salah satu calon pewaris Padepokan Nagendra yang tidak memi
Remaja laki-laki itu berusaha mengintimidasi lawannya.Hanya saja, di hadapan Pandya saat ini, bukan hanya satu atau dua orang saja. Segerombolan orang-orang bertopeng itu jelas terlihat tidak takut sama sekali.Entah 'Ajaran' mana yang mengirimnya, tapi Pandya yakin itu ulah salah satu dari saudara tirinya. Ibu mereka berasal dari keluarga Ajaran terpandang, tidak seperti dirinya. Dengan kuasa dan uang, mereka memang sudah sering melakukan upaya pembunuhan pada Pandya. Hanya saja, kali ini, skalanya terlihat benar-benar mematikan."Hahahaha … entahlah,” tawa salah satu dari mereka, “yang jelas, kami sudah menunggu cukup lama, hingga merasa bosan dan mengantuk." Mendengar itu, Pandya semakin bingung dengan situasinya saat ini. Dia bahkan sudah tidak memiliki tenaga untuk kabur."Siapa?!" bentak Pandya--berusaha mengintimidasi lagi.Namun, tidak ada jawaban dari sosok-sosok itu. Pandya semakin marah dan frustasi. Semua sosok bertopeng itu memiliki topeng dan pedang yang sama– membua
Di kondisi itu pun, Pandya masih berusaha untuk bergerak. Melihat itu, para pembunuh bayaran tak senang. Salah satu dari mereka kembali menancapkan dan menarik pedangnya kembali dengan sangat cepat."Pelan-pelan. Matilah dengan menyakitkan, Pangeran!" ucap pembunuh itu sambil kembali menginjak perut Pandya."AARGH!!!!!" teriak Pandya kesakitan.Zing!Anehnya, dari kejauhan, tampak cahaya yang tiba-tiba semakin mendekat. Tanpa diduga, cahaya itu mengenai pembunuh bayaran yang melukai Pandya.BOM!Tubuh itu tiba-tiba meledak dengan hebat.Semua yang menyaksikan tampak menegang melihat kejadian yang terjadi dalam sekejap itu.Pemimpin gerombolan langsung mencari asal serangan. Tapi, mereka tidak dapat menemukan sosok yang menyerang.Situasi saat ini membuat mereka menyadari satu hal. Tanpa aba-aba, gerombolan pria bertopeng itu berusaha untuk melarikan diri. BOM! BOM! BOM!Hanya saja, baru beberapa langkah mereka melarikan diri, tubuh mereka mulai meledak satu per satu."ARRGH!!!!!!!!"
Sesampainya di sanggar, Akandra menidurkan Pandya pada salah satu ranjang di ruang kesehatan dalam sanggar.Tabib Suma langsung memeriksa kondisi Pandya. Namun, sedetik kemudian dia dibuat terkejut dengan apa yang dirasakannya."Apa yang sebenarnya terjadi pada Pangeran?" tanya sang tabib. Akandra hanya menjawab dengan gelengan kepala. Pria itu pun bingung dengan apa yang dia lihat, saat menemukan Pandya tadi.Tabib Suma lantas melanjutkan pemeriksaanya. 'Dia merasakan ada tenaga dalam yang cukup kuat di dalam tubuh Pandya. Bahkan, tampak lebih baik dari anak seusianya. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah mengetahui jika sang Pangeran memilikinya.Hanya saja, pemikiran itu disimpan oleh tabib Suma. Dia pikir kondisi sang Pangeran ada sangkut pautnya dengan pemimpin padepokan.Tabib Suma menganggap ini hal yang memang seharusnya seorang ayah lakukan kepada anaknya."Tuan tidak perlu khawatir," ucap Tabib Suma. "Pangeran Pandya kondisinya sudah lebih baik.""Benarkah?" tanya Akandra
"Angkat aku lebih dulu, baru bertanya!" protes suara asing itu. "Anak muda zaman sekarang, tidak punya sopan santun sama sekali."Pandya yang masih terkejut--langsung mengambil pedang yang dia jatuhkan tadi, dan meletakkannya di atas ranjang. Dia benar-benar tidak mengerti, dengan apa yang terjadi. Tapi, dia yakin suara yang dia dengar sama seperti orang yang membantunya semalam."Benar. Akulah yang membunuh semua musuh-musuhmu," ucap pedang itu, "Dan aku pula yang menyelamatkan nyawamu. Tapi, tidak perlu berterima kasih karena itu memang sudah tugasku."Mata Pandya mengerjap cepat. "Bagaimana sebuah pedang bisa melakukan itu semua?" "Lalu tugas apa yang kamu maksud?"Kebingungan Pandya menjadi hiburan bagi pedang itu. Dengan sombong, ia pun berkata, "Tentu aku bisa! "Aku relief langka yang memiliki kemampuan tinggi. Tenaga dalam yang aku berikan padamu bukan sekedar tenaga dalam biasa. Bahkan, itu bisa menyelamatkanmu yang hampir tewas karena mengandung elemen penyembuh yang akura
"Pemilikku sebelumnya merupakan pendekar legendaris Empu Catra Arkatama. Nama itu selalu di elu-elukan pada masanya," ucap Sakra mengenang masa lalu."Arkatama?" Pandya mengerutkan dahinya. "Jadi, beliau leluhur dari ibuku? Bukan ayahku?""Jika Arkatama adalah marga dari ibumu, berarti itu benar," jawab Sakra.Pandya cukup terkejut mendengar fakta itu. Bahkan, selama ini ibunya dihujat dengan sebutan rakyat jelata. Hanya karena beliau anak haram.Namun, ternyata leluhur ibunya adalah sang pendekar legenda. Dan, Pandya adalah penerus kekuatannya itu? Sepertinya, ada banyak hal yang perlu diselediki."Hei, Pandya!" teriak Sakra."Sssttttt...!" Pandya menyuruh Sakra diam dengan isyarat jari yang didekatkan ke mulutnya. "Kenapa kau teriak?" tanya Pandya panik, "Bagaimana jika orang lain juga mendengarnya?""Tidak akan ada yang mendengarku," jawab Sakra, "Hanya pemilikku yang dapat mendengarnya. Bahkan, kau tidak perlu berbicara secara langsung. Cukup pikirkan saja apa yang kau ingin katak