Pagi itu, Kota Isekai berdenyut penuh semangat. Langit masih berwarna keemasan saat ratusan peserta dari berbagai penjuru dunia—berpasangan atau sendiri—berkumpul, membentuk lautan wajah yang dipenuhi tekad. Masing-masing datang dengan satu tujuan yaitu menemukan Pedang Samurai Ninjitsu, artefak legendaris yang diyakini memberi pemiliknya keberuntungan dan kekuatan untuk menjadi pemimpin yang tak terkalahkan.Rendy dan Kristin berdiri di tengah kerumunan, bahu membahu, dikelilingi oleh para pesaing yang sama-sama penuh ambisi. Kristin menggenggam peta lokasi perburuan erat-erat, sementara Rendy memindai para peserta lain, mengamati tiap gerakan, tiap tatapan—mereka semua adalah calon musuh dalam pencarian ini. Namun, dia merasa anehnya tenang berada di sisi Kristin, yang menunjukkan ketegasan dan keseriusan dalam setiap langkahnya.Kristin melirik ke arah Rendy, senyumnya tipis namun berkilau semangat. “Kau siap, Ren? Perjalanan ini akan menguji batas kita.”Rendy balas tersenyum, ang
Ketika mereka berhasil melewati “Ladang Kematian” dan mencapai Hutan Cermin Tersembunyi, Rendy dan Kristin disambut oleh pohon-pohon raksasa yang permukaannya licin seperti cermin, memantulkan setiap gerakan mereka. Di dalam bayangannya sendiri, Rendy melihat sosoknya yang tampak lelah namun tegas, sementara bayangan Kristin terpantul dengan tatapan waspada.“Ini... menyeramkan,” bisik Kristin, menggenggam tangan Rendy. “Bayanganku seperti hidup. Seolah mengikuti setiap pikiran dan langkahku.”“Jangan biarkan bayangan itu membuat kita ragu,” jawab Rendy dengan tenang. “Mereka hanya ilusi, mencoba menyesatkan kita. Fokus ke arah yang sebenarnya.” Ia menuntunnya perlahan, mencoba mengabaikan pantulan yang terasa begitu nyata.Setelah berhasil melewati hutan penuh ilusi itu, mereka tiba di Lembah Bisikan. Suasana di sini begitu sunyi, namun bisikan-bisikan halus terdengar di telinga mereka, membuat suasana semakin meresahkan. Bisikan itu tak lain adalah suara yang terdengar mirip suara h
Plok!Plok!Plok!Suara tepukan keras tiba-tiba menggema, menghentikan langkah Kristin dan Rendy yang baru saja berhasil meraih Pedang Samurai Ninjitsu. Tepukan itu membuat peserta lain pun mendadak berhenti, menatap sosok yang melangkah ringan menuju Rendy dan Kristin.Rendy langsung mengenali pria itu—mengenakan kacamata hitam dengan setelan jas hitam sempurna, rambut hitamnya yang disisir rapi memantulkan cahaya pagi. Ia tak mungkin salah lagi.“Mister Sakamoto… ternyata kaulah dalang di balik semua kekacauan perlombaan ini!” Rendy berkata, matanya penuh tanya.Senyum tipis Mister Sakamoto mengembang, seolah menikmati momen ini. “Perlombaan berdarah? Siapa yang menyebutnya begitu?” Pria itu bertanya, matanya yang tajam dan misterius berkilat di balik kacamata hitamnya.Kristin bertukar pandang dengan Rendy, ekspresi bingung mereka tak bisa disembunyikan.“Bukankah kau yang mengizinkan peserta saling bertarung, saling bunuh, demi pedang ini?” Kristin bertanya tajam, tak memedulikan
Kristin merasakan dingin menusuk hingga ke tulang, seolah aura Mister Sakamoto masih membekas di sekitarnya. Bulu kuduknya berdiri, dan napasnya terasa berat. “Ren… kamu tahu dia dari mana?” tanyanya, suaranya bergetar.Rendy tertawa pendek, getir. “Dia itu legenda di dunia bayangan. Pembunuh profesional, salah satu yang terhebat. Dulu, saat aku pertama kali masuk ke dunia ini, aku hampir mengidolakan ketenangannya yang mematikan.” Sekilas, kilatan masa lalu melintas di wajah Rendy, membawa keremangan yang membuatnya terdiam. Kristin mengamati ekspresinya, lalu berkata dengan nada pelan, “Dia bahkan tahu semua tentangmu… seolah dia sudah lama mengikuti setiap langkahmu.” Rendy menghela napas panjang. “Aku sudah melupakannya, Kris. Sampai hari ini… sampai dia muncul kembali.” Kristin melirik pedang yang tergeletak di dekat mereka. Cahaya dingin memantul dari bilahnya, memancarkan bahaya yang mengintimidasi. “Mungkin kita tinggalkan saja Samurai Ninjitsu ini. Terlalu riskan untuk dib
Rendy dan Kristin melanjutkan langkah mereka dengan hati-hati. Di setiap langkah, angin lembut membawa serpihan kelopak bunga sakura yang berguguran, seperti pesan-pesan diam dari masa lalu yang teramat rahasia. Mata Rendy berkilat, penuh kecemasan namun juga rasa penasaran yang tak terelakkan."Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Ren?" Kristin bertanya, memecah keheningan di antara mereka.Rendy terdiam sesaat, seolah memilih kata yang tepat. "Samurai Ninjitsu ini… bukan sekadar pedang. Energinya… terhubung langsung dengan jiwaku, seperti bayangan yang tak bisa kulepaskan. Mister Sakamoto mungkin tahu apa yang dia lakukan saat memberikan ini padaku, tapi aku belum sepenuhnya paham apa yang dia inginkan.”Kristin menatapnya penuh perhatian. "Kamu yakin dia bukan hanya ingin melemahkanmu? Mungkin Samurai Ninjitsu itu membawa dampak yang lebih besar dari yang kamu bayangkan."Rendy mengangguk, bibirnya menyunggingkan senyum pahit. “Itulah yang aku khawatirkan, Kris. Kekuatan ini—sekuat ap
"Rendy!"Suara nyaring itu menikam keheningan, membuat Rendy tersentak dari tidurnya, tatapannya kabur sejenak sebelum kesadarannya kembali.Ia baru saja pulang dari Negeri Sakura, dan sekarang ia kembali mengenakan topengnya di Keluarga Huang. Musuh-musuhnya, terlalu banyak dan terlalu keji, mengintai dari berbagai sudut. Dalam bayang-bayang inilah Naga Perang yang ditakuti kini bersembunyi sebagai menantu yang dicemooh, menyelinap tanpa terlihat, sambil memetakan musuh-musuhnya dari balik identitas yang dianggap hina. Tiga tahun berlalu, dan belum ada yang curiga pada penyamaran sempurnanya—sosok yang tak lebih dari menantu 'tak berguna' bagi keluarga yang, dalam dunia bisnis Khatulistiwa, bahkan tak mampu menyentuh puncak."Ada apa, Ma?" ujarnya datar, memasang wajah tak berdosa yang sudah ia latih dengan sempurna.Vera Huang, berdiri di hadapannya dengan senyum dingin dan matanya penuh cemooh. "Dasar menantu sampah! Berapa kali aku harus bilang? Jangan panggil aku 'Ma'!" Suaranya
Kota Kartanesia sudah ramai dengan lalu lalang pekerja kantoran serta kendaraan yang merayap, suatu bukti tentang semrawutnya situasi di ibukota suatu negara yang sudah maju.Rendy melangkah masuk ke aula Menara Naga Perang, tempat yang berkilauan dengan kemewahan dingin dan teknologi paling mutakhir yang bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Suara sepatunya menggema di sepanjang lorong marmer hitam yang memandu langkahnya menuju ruang kendali utama. Di sana, berdiri Katrin—dengan wajah sedikit masam, matanya penuh dengan sorot tak terbaca.“Lama tak jumpa,” sapa Rendy santai, tanpa menyadari nada tajam dalam pandangan Katrin.Katrin menyilangkan tangan di dadanya. "Bagaimana perjalananmu dengan Kristin?" tanyanya, sengaja melontarkan nama itu dengan nada yang dingin.Rendy menaikkan alis, bingung. "Oh, Kristin? Dia hanya membantuku dalam urusan kecil. Kau tahu, tidak ada yang istimewa."Tapi Katrin hanya mendengus, masih tak puas. Sebetulnya ia merasa cemburu, tak bisa mengabaikan d
Rendy memutar pandangannya ke arah Katrin, ekspresi wajahnya tak tersentuh oleh kehangatan atau kemarahan, hanya tatapan yang dingin dan terukur. Sejenak, dia seperti mempertimbangkan ajakan Katrin, tapi kemudian ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh teka-teki, sulit ditebak artinya.“Perjalanan ke Chung Kuo, ya?” tanyanya, menekankan kata-kata itu. “Tawaran yang menarik, Katrin. Tapi saat ini, ada lebih banyak hal yang perlu aku urus di sini.”Katrin menghela napas pelan, kecewa namun tak ingin memperlihatkannya. Senyum dingin itu, meski tampak ramah, menyiratkan sesuatu yang lebih dalam, mungkin sebuah penolakan halus yang membuat hatinya teriris. Namun ia tak mau menyerah begitu saja.“Kalau begitu, bagaimana dengan rencana pembangunan Megastruktur yang sedang dikerjakan oleh perusahaan Dragon War?” tanyanya, mencari topik lain. “Apa kita perlu mencari investor dan kemitraan untuk pengembangan teknologi? Aku lihat Jessy terlalu memaksakan diri dengan menggunakan dana perusaha
Mata Sheila menyipit, bibirnya membentuk senyum penuh misteri. "Oh begitu? Jadi... kamu sudah tahu semua tentang tubuhku, ya?" Nadanya melengking manis, tapi ada sesuatu yang membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih panas. "Apa kita pernah... bercinta di sana?"Uhuk!Rendy tersedak kopi, buru-buru menahan batuknya dengan tisu. Wajahnya memerah, entah karena panas kopi atau pertanyaan lugas yang sama sekali tidak ia duga."Hihihi..." Sheila terkikik geli, menatapnya dengan tatapan jahil. Ia menyender santai di sofa, memperlihatkan leher jenjangnya dengan sangat disengaja. "Kenapa? Kaget mendengar pertanyaanku? Bukankah aku... kekasihmu?" godanya dengan suara manja, hampir berbisik."A-aku..." Rendy berusaha menguasai diri, tapi lidahnya terasa kelu. Matanya berusaha fokus ke cangkir di tangan, tidak berani menatap langsung ke mata Sheila yang berbinar penuh rasa ingin tahu.Melihat Rendy gugup justru membuat Sheila semakin bersemangat. Ia mendekat sedikit, memperkecil jarak
Gemuruh sorak-sorai membahana di seluruh penjuru Dark City. Malam itu, langit Negeri Malam seolah terbakar oleh kembang api yang menghujam ke udara, meledak dalam semburat warna merah darah dan biru keunguan. Udara dipenuhi aroma manis dari bunga-bunga yang dihiasi sepanjang jalan, bercampur dengan bau hangat makanan yang dibakar di setiap sudut festival.Kemenangan atas Azerith — Sang Pewaris Malam yang selama ini menjadi duri dalam upaya Sheila untuk membangun negeri ini — terasa seperti beban besar yang akhirnya terangkat dari dada semua orang. Negeri Malam, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, merasakan apa itu kebebasan.Renata dan Jessy berdiri di tengah kerumunan, senyum mereka merekah di bawah cahaya lentera. Kilatan kebahagiaan di mata mereka membuat keduanya tampak lebih muda dari biasanya. Rencana untuk kembali ke Negeri Khatulistiwa pun mereka tangguhkan tanpa ragu, terpikat oleh atmosfer penuh sukacita ini.“Aku rasa... kita memang harus tinggal lebih lama,” ujar Je
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo