"Rendy!"Suara nyaring itu menikam keheningan, membuat Rendy tersentak dari tidurnya, tatapannya kabur sejenak sebelum kesadarannya kembali.Ia baru saja pulang dari Negeri Sakura, dan sekarang ia kembali mengenakan topengnya di Keluarga Huang. Musuh-musuhnya, terlalu banyak dan terlalu keji, mengintai dari berbagai sudut. Dalam bayang-bayang inilah Naga Perang yang ditakuti kini bersembunyi sebagai menantu yang dicemooh, menyelinap tanpa terlihat, sambil memetakan musuh-musuhnya dari balik identitas yang dianggap hina. Tiga tahun berlalu, dan belum ada yang curiga pada penyamaran sempurnanya—sosok yang tak lebih dari menantu 'tak berguna' bagi keluarga yang, dalam dunia bisnis Khatulistiwa, bahkan tak mampu menyentuh puncak."Ada apa, Ma?" ujarnya datar, memasang wajah tak berdosa yang sudah ia latih dengan sempurna.Vera Huang, berdiri di hadapannya dengan senyum dingin dan matanya penuh cemooh. "Dasar menantu sampah! Berapa kali aku harus bilang? Jangan panggil aku 'Ma'!" Suaranya
Kota Kartanesia sudah ramai dengan lalu lalang pekerja kantoran serta kendaraan yang merayap, suatu bukti tentang semrawutnya situasi di ibukota suatu negara yang sudah maju.Rendy melangkah masuk ke aula Menara Naga Perang, tempat yang berkilauan dengan kemewahan dingin dan teknologi paling mutakhir yang bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Suara sepatunya menggema di sepanjang lorong marmer hitam yang memandu langkahnya menuju ruang kendali utama. Di sana, berdiri Katrin—dengan wajah sedikit masam, matanya penuh dengan sorot tak terbaca.“Lama tak jumpa,” sapa Rendy santai, tanpa menyadari nada tajam dalam pandangan Katrin.Katrin menyilangkan tangan di dadanya. "Bagaimana perjalananmu dengan Kristin?" tanyanya, sengaja melontarkan nama itu dengan nada yang dingin.Rendy menaikkan alis, bingung. "Oh, Kristin? Dia hanya membantuku dalam urusan kecil. Kau tahu, tidak ada yang istimewa."Tapi Katrin hanya mendengus, masih tak puas. Sebetulnya ia merasa cemburu, tak bisa mengabaikan d
Rendy memutar pandangannya ke arah Katrin, ekspresi wajahnya tak tersentuh oleh kehangatan atau kemarahan, hanya tatapan yang dingin dan terukur. Sejenak, dia seperti mempertimbangkan ajakan Katrin, tapi kemudian ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh teka-teki, sulit ditebak artinya.“Perjalanan ke Chung Kuo, ya?” tanyanya, menekankan kata-kata itu. “Tawaran yang menarik, Katrin. Tapi saat ini, ada lebih banyak hal yang perlu aku urus di sini.”Katrin menghela napas pelan, kecewa namun tak ingin memperlihatkannya. Senyum dingin itu, meski tampak ramah, menyiratkan sesuatu yang lebih dalam, mungkin sebuah penolakan halus yang membuat hatinya teriris. Namun ia tak mau menyerah begitu saja.“Kalau begitu, bagaimana dengan rencana pembangunan Megastruktur yang sedang dikerjakan oleh perusahaan Dragon War?” tanyanya, mencari topik lain. “Apa kita perlu mencari investor dan kemitraan untuk pengembangan teknologi? Aku lihat Jessy terlalu memaksakan diri dengan menggunakan dana perusaha
Rendy melangkah masuk ke Red Lotus dengan ketenangan yang dingin, sorot matanya menyapu seluruh ruangan yang dipenuhi cahaya temaram dan wangi khas campuran dupa dan parfum mahal. Tempat ini memancarkan atmosfer eksklusif, namun baginya, malam itu ada yang terasa ganjil. Ia mencari-cari sosok Jessy, namun yang ia temukan hanyalah petugas keamanan yang mendekatinya dengan wajah tegang."Bos Jessy sudah lama tidak muncul di sini," kata petugas itu dengan suara nyaris berbisik. Rendy mendengar nada ketakutan dalam ucapannya, seolah pria itu menyadari betapa besar ancaman yang bisa datang darinya.Rendy memperhatikan pria itu dengan tatapan tajam, lalu memerintahkan, "Panggil asisten Jessy sekarang juga." Rasa curiga mulai menggerogoti dirinya, terutama karena Jessy yang seharusnya bertanggung jawab justru tak ada di tempatnya.Setelah beberapa saat, pria lain muncul, wajahnya berseri namun licik—terlalu tenang untuk orang yang seharusnya berada di bawah komando Jessy. Pria ini menatap Re
Langit mulai gelap ketika Rendy berjalan menjauh dari Red Lotus. Aroma malam yang dipenuhi kabut tipis bercampur dengan sisa adrenalin yang masih mengalir di nadinya. Benaknya berputar cepat, mencoba merangkai setiap potongan yang tersebar, namun semuanya terasa kabur, terbungkus dalam misteri yang pekat.Rendy merogoh ponselnya dan menatap layar yang kosong dari pesan Jessy. Sejak kepergiannya untuk mencari Artefak Kuno, gadis itu seolah menghilang tanpa jejak. Kini, Bhadrika yang muncul seolah menggantikan posisinya di Red Lotus, sosok yang sangat mencurigakan dan tak bisa dianggap remeh. Rasa tidak tenang terus menghantuinya—bayangan Jessy yang tak diketahui keberadaannya dan kehadiran pria yang tak jelas identitasnya.Langkah Rendy terhenti di tepi trotoar, pikirannya diselimuti kecemasan yang samar. Dalam remang lampu jalan, ia menelusuri kembali wajah Bhadrika, menilai senyum licik pria itu yang seakan menyimpan ratusan rahasia. Kenangan pertemuannya dengan The Killer tiba-tiba
Rendy menahan napas sejenak, mencoba memahami situasinya. Dia dikepung, tidak ada jalan keluar yang terlihat, hanya sosok-sosok berwajah dingin dan asing, menatapnya seperti serigala menunggu mangsa. Hatinya menggelora, tetapi dia tahu bahwa kepanikan hanya akan membuatnya semakin rentan. Dalam sekejap, sosok-sosok itu semakin mendekat, mengepungnya dalam jarak yang semakin sempit. Kabut tebal melingkar di sekitar mereka, memperkuat aura ancaman yang menggantung di udara.“Jadi, inikah cara kalian menyambut tamu?” ucap Rendy dengan nada tenang yang berbahaya, meski matanya tak lepas dari Bhadrika.Bhadrika tersenyum tipis, seakan menikmati ketegangan yang ia ciptakan. “Kau harus tahu, Bos, kau adalah tamu istimewa. Tentu saja untukmu, kami menyiapkan sesuatu yang… berbeda.” Dia melangkah lebih dekat, menatap Rendy dengan tatapan yang penuh kebencian yang tak tersamarkan lagi. “Kau pikir bisa masuk ke Red Lotus, memerintah seenaknya, tanpa konsekuensi?”Rendy mengepalkan tinjunya, mema
Rendy tertegun sejenak, napasnya seolah terhenti saat sosok The Killer melangkah maju, menembus kabut dengan langkah yang mantap dan penuh kepercayaan diri. Pria itu terlihat nyaris tak tersentuh oleh waktu ... tatapan matanya yang tajam menyorotkan aura dingin yang mematikan, bibirnya menyunggingkan senyum tipis, seolah menikmati ketakutan yang ia bawa bersamanya. Bhadrika mundur selangkah, wajahnya berubah cemas. Tampaknya kehadiran The Killer bukan bagian dari rencananya. Namun, dia mencoba menutupinya dengan senyuman yang dipaksakan. "Selamat datang, Bos. Saya tidak tahu Anda akan hadir di sini malam ini," ujarnya dengan nada sopan yang terdengar kaku. The Killer hanya mengangkat sebelah alis, tidak sedikit pun memedulikan Bhadrika. Tatapannya terkunci pada Rendy, seperti elang yang sudah mengincar mangsanya sejak lama. “Rendy,” suaranya dalam dan menggema di antara bayang-bayang. “Kau membuatku harus mencarimu sendiri. Itu tindakan yang sangat ceroboh.” Rendy berusaha tetap
The Killer tertawa rendah, suara dingin dan sinisnya memenuhi udara yang pekat dengan ketegangan. Ia berdiri dan memandangi Rendy yang masih terbaring, lalu melangkah mundur sejenak, seolah memberi kesempatan terakhir. "Aku kagum dengan keberanianmu, Rendy. Namun, keberanian tanpa batas hanya akan membuatmu hancur," katanya dengan nada penuh kepastian. "Kau tahu, dunia ini hanya milik mereka yang memahami kapan harus berhenti dan kapan harus menyerang. Tapi kau... kau tidak pernah belajar." Rendy menahan sakit yang mencengkeram tubuhnya, dengan susah payah bangkit hingga berlutut. Tatapannya tajam, penuh perlawanan, meski napasnya terengah dan wajahnya penuh luka. Dengan segenap tenaga, ia berusaha berdiri tegak, tak membiarkan rasa sakit atau ancaman membuatnya gentar. "Kalau itu yang kau pikirkan... kau salah menilaiku," desis Rendy sambil menahan batuk yang membuat darah keluar dari bibirnya. "Aku sudah terlalu jauh untuk mundur." Mata The Killer menyipit, senyumnya memudar. "Su