The Killer tertawa rendah, suara dingin dan sinisnya memenuhi udara yang pekat dengan ketegangan. Ia berdiri dan memandangi Rendy yang masih terbaring, lalu melangkah mundur sejenak, seolah memberi kesempatan terakhir. "Aku kagum dengan keberanianmu, Rendy. Namun, keberanian tanpa batas hanya akan membuatmu hancur," katanya dengan nada penuh kepastian. "Kau tahu, dunia ini hanya milik mereka yang memahami kapan harus berhenti dan kapan harus menyerang. Tapi kau... kau tidak pernah belajar." Rendy menahan sakit yang mencengkeram tubuhnya, dengan susah payah bangkit hingga berlutut. Tatapannya tajam, penuh perlawanan, meski napasnya terengah dan wajahnya penuh luka. Dengan segenap tenaga, ia berusaha berdiri tegak, tak membiarkan rasa sakit atau ancaman membuatnya gentar. "Kalau itu yang kau pikirkan... kau salah menilaiku," desis Rendy sambil menahan batuk yang membuat darah keluar dari bibirnya. "Aku sudah terlalu jauh untuk mundur." Mata The Killer menyipit, senyumnya memudar. "Su
Baca lanjutan POV Jessy dari Bab 153. Tiga Artefak Suci***Jessy tersenyum puas sambil menatap Golok Penghancur Naga di tangannya. Bayangan wajah Rendy berkelebat di pikirannya, memancing desir hangat yang membuat kewaspadaannya goyah, meski sesaat lagi ia akan menyerahkan artefak itu pada Naga Perang.Namun, dalam ketenangan yang mengecoh itu, ancaman datang dari arah tak terduga. Dua sosok yang tak pernah ia curigai, Septian Long dari Klan Naga Emas dan Lilian Shang dari Klan Merak Putih, saling berpandangan, seolah sepakat dalam kebisuan yang menegangkan. Tanpa peringatan, mereka menyerangnya bersamaan, dari kiri dan kanan. Sepintas saja, mereka telah berada cukup dekat hingga Jessy tak sempat menghindar—terlalu dalam ia mempercayai mereka.Darah hangat merembes dari sudut bibirnya saat Jessy terdorong ke belakang, napasnya terengah, tubuhnya terguncang oleh luka dalam yang parah. Dengan suara serak, ia berbisik, “Kenapa?”"Hahaha ... ia tanya kenapa, Lilian?" ucap Septian yang la
Jessy menyaksikan ketiga sosok itu bertukar ancaman dalam ketegangan yang terasa begitu nyata, seakan ruangan menjadi lebih sempit, udara terasa sesak. The Killer berdiri di tengah mereka, posturnya kokoh, wajahnya tertutup bayangan gelap, namun matanya memancarkan kepercayaan diri seorang pemburu yang sedang bermain-main dengan mangsanya.Lilian memajukan langkahnya dengan tatapan penuh kebencian. "Kau seharusnya tahu diri, pecundang. Tak ada tempat bagi seorang seperti dirimu dalam perebutan kekuatan ini."Namun, The Killer hanya memiringkan kepalanya, seolah-olah perkataan itu hanyalah bisikan angin. Dengan gerakan cepat, tanpa sedikit pun peringatan, ia mengayunkan tangannya ke depan, melepaskan semburan energi berwarna kelam yang langsung menghantam Lilian. Sinar pekat itu meluncur dengan kecepatan kilat, mendarat tepat di depannya dan menghentikannya seketika. Lilian terhuyung, wajahnya memucat.“Jangan terlalu percaya diri,” ujar The Killer dengan suara rendah, tajam seperti bi
Jessy hanya bisa menghela napas putus asa saat sosok The Killer mendekat dan mencengkeram lengannya, menariknya keluar dari gedung tanpa perlawanan. Tubuhnya lemah, pergerakannya terbatas. Sepanjang perjalanan, ia merasakan aura dingin yang mengelilingi pria itu—terlalu sempurna, terlalu terukur dalam setiap gerakan. Ia pernah merasakan kehadiran The Killer yang asli, dan kali ini, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak sepenuhnya hidup dalam genggaman ini.Perjalanan menuju distrik timur Kota Javali terasa semakin mencekam, dengan jalan-jalan yang gelap dan kosong serta bangunan terbengkalai yang menambah kesan terlarang. Jessy merasa dadanya menegang saat tiba di sebuah bangunan besar dan gelap, terkesan tidak terawat namun memancarkan aura aneh yang membuat bulu kuduknya meremang. Begitu sosok The Killer ini membawanya masuk, pandangan Jessy disambut oleh sekelompok orang yang diam tanpa ekspresi, berdiri berbaris rapi. Wajah-wajah mereka terlihat mirip satu sama lain—terutama,
Rendy melangkah keluar dari Red Lotus dengan langkah berat namun penuh tekad. Hawa malam yang dingin menggigit kulitnya, tapi rasa sakit yang ia rasakan tak mampu mengalahkan bara semangat dalam hatinya. Setiap ingatan tentang Jessy, setiap senyumnya, mengobarkan niat Rendy untuk mencari tahu kebenaran di balik sosok Bhadrika.Dia meraih teleponnya, menghubungi salah satu kontak kepercayaannya dalam organisasi—seseorang yang mahir melacak jejak tersembunyi.“Aku butuh informasi lengkap tentang Bhadrika. Gali semua yang bisa kau temukan tentang masa lalunya, koneksinya, asosiasi yang pernah ia ikuti, dan terutama—hubungannya dengan Jessy,” ujar Rendy, tegas.“Dimengerti, Bos,” jawab suara di seberang dengan nada serius. Rendy menutup telepon dan kembali menyimpan perangkat itu di saku. Malam semakin larut, dan seiring langkahnya yang membelah kegelapan, ia bertekad menguak misteri ini hingga tuntas.Setibanya di penthouse, Rendy menatap keluar jendela, menyaksikan kerlip lampu kota yan
Rendy dan Raka kembali ke tempat aman setelah berhasil mendengarkan percakapan Bhadrika di Red Lotus. Rendy merasa ada hal yang lebih besar yang tidak ia ketahui, sesuatu yang melibatkan Bhadrika, The Killer, dan bahkan mungkin orang-orang di luar jangkauan pengaruhnya. Tapi satu hal yang pasti—Jessy sedang dalam bahaya, dan kemungkinan besar berada di bawah kendali langsung The Killer.“Kita sudah cukup tahu bahwa Bhadrika hanya menjalankan perintah,” kata Rendy sambil menatap peta digital kota di layar tablet. “Tapi jika Jessy tidak ada di markas Red Lotus, itu berarti dia kemungkinan besar disembunyikan di lokasi yang lebih terpencil, jauh dari pengawasan biasa.”Raka berpikir sejenak, lalu mengarahkan jarinya ke titik-titik yang menurutnya bisa menjadi tempat persembunyian. “Ada beberapa tempat di pinggiran kota yang tidak terlalu diawasi, mungkin itu salah satunya. Tempat-tempat ini memiliki keamanan minim namun letaknya terpencil. Cocok untuk seseorang seperti The Killer yang ta
Dengan Jessy yang kini aman, Rendy membawa mereka menjauh dari vila itu, menuju tempat persembunyian sementara yang lebih aman di pinggiran kota. Di sana, Rendy dan Jessy akhirnya bisa beristirahat sejenak. Meski tubuhnya lelah, pikiran Rendy tetap berputar, mencoba merangkai semua informasi yang mereka peroleh.Jessy duduk di sofa, menatap ke arah Rendy. Wajahnya menyimpan kekhawatiran dan ketakutan yang jelas. “Ketua, kau tahu apa yang The Killer katakan… bahwa kau hanyalah bidak dalam rencana besarnya. Menurutku, ada sesuatu yang lebih besar dari ini semua.”Rendy mengangguk, merenung dalam-dalam. “Aku juga merasa begitu. Rasanya seperti aku berada di tengah permainan yang belum sepenuhnya aku mengerti. Tapi satu hal yang pasti—aku tidak akan membiarkan The Killer mengontrol hidup kita. Kemudian aku akan mencari tahu siapa sebenarnya yang ada di balik semua ini.”Jessy menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. “Selama aku di sana, aku mendengar sesuatu yang aneh. Bha
Rendy, Jessy, dan Raka mempersiapkan diri dengan matang sebelum melakukan serangan ke Benteng Kegelapan, markas besar The Immortality yang penuh misteri. Setelah mendapat informasi dari Informan Hantu mengenai benteng itu, mereka tahu bahwa tidak akan ada jalan mudah untuk masuk atau keluar.Setibanya di dekat benteng, mereka bergerak menyusuri terowongan bawah tanah yang disebutkan Informan Hantu. Suasananya mencekam, dan hanya cahaya redup dari senter kecil mereka yang menerangi jalur di bawah tanah yang lembab dan sempit. Sesekali, suara tetesan air dan gema langkah kaki mereka menciptakan ilusi bahwa mereka tidak sendirian.Jessy, yang sejak awal tampak lebih pendiam namun penuh tekad, sesekali menatap ke arah Rendy dan Raka. Dia tahu bahwa misi ini lebih dari sekadar menghancurkan organisasi; ini adalah upaya untuk mengakhiri ancaman yang terus menghantui mereka."Aku sudah siap. Tidak ada jalan mundur kali ini," katanya pelan, menguatkan diri.Rendy mengangguk, merasakan kekuata