Rendy melangkah keluar dari Red Lotus dengan langkah berat namun penuh tekad. Hawa malam yang dingin menggigit kulitnya, tapi rasa sakit yang ia rasakan tak mampu mengalahkan bara semangat dalam hatinya. Setiap ingatan tentang Jessy, setiap senyumnya, mengobarkan niat Rendy untuk mencari tahu kebenaran di balik sosok Bhadrika.Dia meraih teleponnya, menghubungi salah satu kontak kepercayaannya dalam organisasi—seseorang yang mahir melacak jejak tersembunyi.“Aku butuh informasi lengkap tentang Bhadrika. Gali semua yang bisa kau temukan tentang masa lalunya, koneksinya, asosiasi yang pernah ia ikuti, dan terutama—hubungannya dengan Jessy,” ujar Rendy, tegas.“Dimengerti, Bos,” jawab suara di seberang dengan nada serius. Rendy menutup telepon dan kembali menyimpan perangkat itu di saku. Malam semakin larut, dan seiring langkahnya yang membelah kegelapan, ia bertekad menguak misteri ini hingga tuntas.Setibanya di penthouse, Rendy menatap keluar jendela, menyaksikan kerlip lampu kota yan
Rendy dan Raka kembali ke tempat aman setelah berhasil mendengarkan percakapan Bhadrika di Red Lotus. Rendy merasa ada hal yang lebih besar yang tidak ia ketahui, sesuatu yang melibatkan Bhadrika, The Killer, dan bahkan mungkin orang-orang di luar jangkauan pengaruhnya. Tapi satu hal yang pasti—Jessy sedang dalam bahaya, dan kemungkinan besar berada di bawah kendali langsung The Killer.“Kita sudah cukup tahu bahwa Bhadrika hanya menjalankan perintah,” kata Rendy sambil menatap peta digital kota di layar tablet. “Tapi jika Jessy tidak ada di markas Red Lotus, itu berarti dia kemungkinan besar disembunyikan di lokasi yang lebih terpencil, jauh dari pengawasan biasa.”Raka berpikir sejenak, lalu mengarahkan jarinya ke titik-titik yang menurutnya bisa menjadi tempat persembunyian. “Ada beberapa tempat di pinggiran kota yang tidak terlalu diawasi, mungkin itu salah satunya. Tempat-tempat ini memiliki keamanan minim namun letaknya terpencil. Cocok untuk seseorang seperti The Killer yang ta
Dengan Jessy yang kini aman, Rendy membawa mereka menjauh dari vila itu, menuju tempat persembunyian sementara yang lebih aman di pinggiran kota. Di sana, Rendy dan Jessy akhirnya bisa beristirahat sejenak. Meski tubuhnya lelah, pikiran Rendy tetap berputar, mencoba merangkai semua informasi yang mereka peroleh.Jessy duduk di sofa, menatap ke arah Rendy. Wajahnya menyimpan kekhawatiran dan ketakutan yang jelas. “Ketua, kau tahu apa yang The Killer katakan… bahwa kau hanyalah bidak dalam rencana besarnya. Menurutku, ada sesuatu yang lebih besar dari ini semua.”Rendy mengangguk, merenung dalam-dalam. “Aku juga merasa begitu. Rasanya seperti aku berada di tengah permainan yang belum sepenuhnya aku mengerti. Tapi satu hal yang pasti—aku tidak akan membiarkan The Killer mengontrol hidup kita. Kemudian aku akan mencari tahu siapa sebenarnya yang ada di balik semua ini.”Jessy menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. “Selama aku di sana, aku mendengar sesuatu yang aneh. Bha
Rendy, Jessy, dan Raka mempersiapkan diri dengan matang sebelum melakukan serangan ke Benteng Kegelapan, markas besar The Immortality yang penuh misteri. Setelah mendapat informasi dari Informan Hantu mengenai benteng itu, mereka tahu bahwa tidak akan ada jalan mudah untuk masuk atau keluar.Setibanya di dekat benteng, mereka bergerak menyusuri terowongan bawah tanah yang disebutkan Informan Hantu. Suasananya mencekam, dan hanya cahaya redup dari senter kecil mereka yang menerangi jalur di bawah tanah yang lembab dan sempit. Sesekali, suara tetesan air dan gema langkah kaki mereka menciptakan ilusi bahwa mereka tidak sendirian.Jessy, yang sejak awal tampak lebih pendiam namun penuh tekad, sesekali menatap ke arah Rendy dan Raka. Dia tahu bahwa misi ini lebih dari sekadar menghancurkan organisasi; ini adalah upaya untuk mengakhiri ancaman yang terus menghantui mereka."Aku sudah siap. Tidak ada jalan mundur kali ini," katanya pelan, menguatkan diri.Rendy mengangguk, merasakan kekuata
The Killer tersenyum tipis. "The Immortality? Itu hanya tirai yang menutupi pemain sebenarnya. Di atas kami, ada The Infinity—sebuah organisasi yang tidak pernah tidur dan yang menentukan arah dunia ini. Kau bahkan tidak tahu seberapa dalam permainan ini berjalan."Mendengar itu, Rendy merasakan sesuatu bergetar dalam dirinya. Baru kali ini dia menyadari skala permainan yang sedang ia masuki. The Immortality, organisasi yang dia pikir adalah ancaman terbesar, ternyata hanyalah bidak dalam rencana yang lebih besar di bawah kendali The Infinity. Namun, sebelum kebingungan atau ketakutan menyelinap, Rendy menggenggam tekadnya lebih erat.“Kau hanya pion dalam permainan ini,” gumam Rendy. “Tak peduli siapa di belakangmu, ini akan berakhir sekarang.”Tanpa peringatan, Rendy meluncurkan serangan. Pertarungan berlangsung sengit, masing-masing menunjukkan teknik dan keahlian terbaik mereka. Pukulan dan tendangan dibalas dengan kelincahan, dan energi mereka memancar, hampir membakar udara di s
Rendy, yang telah memutuskan untuk mencari dukungan kuat melawan ancaman The Immortality, bergegas menghubungi Katrin. Ia tahu, satu-satunya cara untuk menghadapi serangan besar-besaran ini adalah meminta bantuan dari Klan Sembilan Naga Sakti, kumpulan tokoh terkuat dan terpandang di dunia bawah yang mengendalikan berbagai aspek kehidupan mulai dari bisnis hingga seni bertarung. Para anggota Klan ini, dengan kemampuan dan pengaruhnya masing-masing, memiliki kapasitas luar biasa untuk membantu Rendy mempertahankan Kartanesia."Halo Kat, tolong kamu hubungi anggota Sembilan Naga Sakti ... aku butuh bantuan mereka sekarang!" kata Rendy begitu tiba di Menara Naga Perang."Baik, Ketua!" ucap Katrin dengan penuh tanda tanya, tapi ia tahu sedikit bertanya lebih baik daripada membuat murka Naga Perang."Atur juga pertemuanku dengan mereka. Aku tahu, kamu masih bingung karena aku pernah mengatakan tidak akan menemui mereka lagi sejak kejadian di masa lalu itu, tapiaku butuh bantuan mereka seka
Setelah pertemuan yang intens di Underground City, Rendy mulai merasa harapan baru tumbuh dalam dirinya. Dengan kekuatan dan pengaruh dari Sembilan Naga Sakti yang kini bersatu, ia merasa lebih siap menghadapi serangan besar dari The Immortality. Namun, setiap langkah mereka harus direncanakan dengan hati-hati, karena ancaman The Immortality bukanlah hal yang bisa dianggap enteng.Rendy, yang kini lebih memahami besarnya skala permainan ini, memimpin diskusi lebih lanjut. Para anggota Klan Sembilan Naga Sakti memberikan berbagai perspektif dan solusi berdasarkan keahlian masing-masing.Naga Hitam Mei Xun memulai dengan memberikan gambaran tentang ancaman logistik yang mungkin terjadi. "The Immortality tidak hanya mengandalkan kekuatan pasukan," katanya. "Mereka memiliki kemampuan untuk merusak ekonomi dan memanipulasi pasar. Jika kita tak mempersiapkan pertahanan ekonomi, mereka bisa memotong suplai dan menguasai jalur perdagangan kita."Naga Emas Zhang Wei mengangguk. "Aku akan menyi
Di markas rahasia The Immortality, para petinggi organisasi yang misterius itu telah menerima laporan dari The Killer tentang perlawanan Rendy Wang dan kesiapannya untuk mempertahankan Kartanesia. Sambil memeriksa laporan-laporan intelijen, salah satu sosok bertopeng dan berjubah ungu, seorang petinggi yang hanya dikenal sebagai Shadow Elder, menghadap pemimpin tertinggi The Immortality, Grandmaster Veyron.“Rendy Wang telah menghubungi Klan Sembilan Naga Sakti,” lapor Shadow Elder dengan suara dingin yang bergetar dengan kebencian. “Pertempuran ini akan menjadi lebih sulit dari perkiraan kita. Wang Industries dan Kartanesia telah siap mempertahankan diri.”Grandmaster Veyron, yang berdiri di balik tirai bayangan, hanya tersenyum tipis. “Sembilan Naga Sakti hanyalah legenda usang. Mereka kuat, tetapi mereka bukan tandingan kekuatan The Infinity, organisasi yang bahkan lebih besar dari The Immortality. Kita hanya perlu menggunakan sedikit pengaruh untuk menghancurkan Rendy dan semua ya
Mata Sheila menyipit, bibirnya membentuk senyum penuh misteri. "Oh begitu? Jadi... kamu sudah tahu semua tentang tubuhku, ya?" Nadanya melengking manis, tapi ada sesuatu yang membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih panas. "Apa kita pernah... bercinta di sana?"Uhuk!Rendy tersedak kopi, buru-buru menahan batuknya dengan tisu. Wajahnya memerah, entah karena panas kopi atau pertanyaan lugas yang sama sekali tidak ia duga."Hihihi..." Sheila terkikik geli, menatapnya dengan tatapan jahil. Ia menyender santai di sofa, memperlihatkan leher jenjangnya dengan sangat disengaja. "Kenapa? Kaget mendengar pertanyaanku? Bukankah aku... kekasihmu?" godanya dengan suara manja, hampir berbisik."A-aku..." Rendy berusaha menguasai diri, tapi lidahnya terasa kelu. Matanya berusaha fokus ke cangkir di tangan, tidak berani menatap langsung ke mata Sheila yang berbinar penuh rasa ingin tahu.Melihat Rendy gugup justru membuat Sheila semakin bersemangat. Ia mendekat sedikit, memperkecil jarak
Gemuruh sorak-sorai membahana di seluruh penjuru Dark City. Malam itu, langit Negeri Malam seolah terbakar oleh kembang api yang menghujam ke udara, meledak dalam semburat warna merah darah dan biru keunguan. Udara dipenuhi aroma manis dari bunga-bunga yang dihiasi sepanjang jalan, bercampur dengan bau hangat makanan yang dibakar di setiap sudut festival.Kemenangan atas Azerith — Sang Pewaris Malam yang selama ini menjadi duri dalam upaya Sheila untuk membangun negeri ini — terasa seperti beban besar yang akhirnya terangkat dari dada semua orang. Negeri Malam, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, merasakan apa itu kebebasan.Renata dan Jessy berdiri di tengah kerumunan, senyum mereka merekah di bawah cahaya lentera. Kilatan kebahagiaan di mata mereka membuat keduanya tampak lebih muda dari biasanya. Rencana untuk kembali ke Negeri Khatulistiwa pun mereka tangguhkan tanpa ragu, terpikat oleh atmosfer penuh sukacita ini.“Aku rasa... kita memang harus tinggal lebih lama,” ujar Je
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo