Beranda / Urban / Kebangkitan Naga Perang / 129. Pagi di Ruang Tunggu Bandara

Share

129. Pagi di Ruang Tunggu Bandara

Penulis: Zhu Phi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-15 18:21:42

Di ruang tunggu bandara, suasana terasa tenang meski hiruk-pikuk di luar terus mengalir. Rendy duduk santai di sofa kulit lembut, sesekali melirik jam tangannya, tapi tidak tampak terburu-buru. Di sebelahnya, Ardi berdiri dengan postur siaga, seolah-olah siap melompat untuk melakukan apa pun yang diperlukan. Cahaya redup dari lampu gantung di atas kepala mereka menciptakan bayangan lembut di wajah keduanya, sementara aroma kopi yang baru diseduh menimbulkan sensasi nikmat yang berasal dari sudut lounge mewah, yang hanya diperuntukkan bagi penumpang kelas satu seperti Rendy.

“Apa Ketua baik-baik saja berangkat sendirian ke Negeri Aurora?” tanya Ardi dengan nada cemas. Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, mungkin karena kesunyian ruangan yang mengisolasi mereka dari dunia luar. “Dengan semua musuh yang mengincar Ketua, bukankah lebih baik kalau ada pengawalan?”

Rendy terkekeh pelan, suaranya berat dan penuh keyakinan, seolah pertanyaan Ardi tak lebih dari kekhawatiran yang
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Kebangkitan Naga Perang   130. Layanan First Class

    Begitu Rendy masuk ke dalam kabin First Class Khatulistiwa Air di pagi yang masih segar, ia langsung merasakan kenyamanan mewah yang dirancang untuk penumpang istimewa. Cahaya matahari pagi yang lembut menembus jendela pesawat, memandikan ruang dengan sinar keemasan. Kursinya yang lebar terasa seperti mini-suite pribadi, dilengkapi dinding pembatas untuk menjaga privasi. Bahan kulit premium yang membalut kursi terasa halus di bawah sentuhannya, memberikan kenyamanan yang membuatnya segera rileks.Pramugari dengan seragam rapi dan senyum ramah menghampiri. "Selamat pagi, Tuan Rendy. Apakah ada yang bisa kami siapkan sebelum lepas landas?" sapanya lembut, penuh perhatian.Rendy tersenyum tipis dan menjawab, “Kopi hitam, tolong.”Tak butuh waktu lama sebelum pramugari itu kembali dengan secangkir kopi hitam yang masih mengeluarkan uap. Aromanya segera memenuhi udara di sekitarnya—wangi kopi yang pekat dan hangat, pas untuk memulai hari. Ia mengangkat cangkir itu, menyesap perlahan, membi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-15
  • Kebangkitan Naga Perang   131. Negeri Aurora Yang Indah

    Pesawat Khatulistiwa Air mendarat mulus di Bandara Horizon, menandai akhir perjalanan udara Rendy ke Negeri Aurora. Horizon City, ibu kota Negara Aurora, terlihat indah dari udara, dengan pemandangan pegunungan yang megah di kejauhan dan gedung-gedung modern yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Rendy merasa lega ketika roda pesawat menyentuh landasan pacu tanpa getaran, sebuah bukti dari profesionalisme maskapai ini.Begitu pesawat berhenti, pramugari First Class segera mendatangi Rendy, memastikan bahwa setiap kebutuhannya terpenuhi. "Tuan Rendy, kami harap Anda menikmati penerbangan Anda. Kami sudah menyiapkan layanan VIP untuk Anda saat turun dari pesawat," ujar salah satu pramugari dengan senyum ramah.Rendy mengangguk dengan tenang, mengambil jasnya yang sudah dilipat rapi di kursi samping. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti pramugari menuju pintu keluar. Di ujung pintu, seorang petugas bandara dengan seragam rapi menyambutnya dan mengarahkan ke jalur

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Kebangkitan Naga Perang   132. Kemewahan Dalam Makanan dan Minuman

    Renata menghela napas, sambil menyandarkan diri sedikit ke kursi. "Hidupku tak seberat itu dibandingkan denganmu. Aku masih menjalankan bisnis kecilku, dan tentu saja, proyek medis kita masih berjalan sempurna. Tapi yang paling aku khawatirkan saat ini adalah keluargaku. Ada beberapa masalah di rumah yang... yah, kau tahu, selalu ada drama yang tak pernah habis."Rendy mendengarkan dengan seksama, mengamati wajah Renata yang, meskipun tersenyum, menyimpan keletihan yang sulit disembunyikan. "Keluarga memang selalu rumit," katanya sambil memutar gelas anggurnya di atas meja. "Tapi kau selalu berhasil menyeimbangkan semuanya, Renata. Kau punya bakat untuk tetap tenang di tengah kekacauan."Renata tertawa kecil. "Kau terlalu baik. Kau sendiri bagaimana, Kak Rendy? Kudengar ada banyak pergerakan di sekitar lingkaranmu. Terutama setelah pertemuan itu, banyak yang mulai bertanya-tanya tentang langkah-langkahmu selanjutnya."Rendy tersenyum samar, lalu menghela napas. "Ya, kau benar. Setelah

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Kebangkitan Naga Perang   133. Ancaman Klan Topeng Emas

    Suasana elegan dan damai di Restoran Galaksi berubah seketika. Belasan pria bertopeng emas, mengenakan jas hitam yang rapi dan memancarkan aura dingin, muncul dari berbagai sudut restoran. Gerakan mereka cepat, terkoordinasi, dan tanpa suara, hingga tiba-tiba mereka sudah mengepung meja Rendy dan Renata.Rendy dengan tenang menaruh gelas anggurnya di meja, menatap ke sekeliling. Sorot matanya berubah dari yang tadinya santai menjadi tajam, menyelidik. Di hadapannya, Renata tampak terkejut sesaat, namun ia segera menyamarkan keterkejutannya dengan menegakkan punggung, menunjukkan ketenangan yang mungkin tidak sepenuhnya ia rasakan.Salah satu pria bertopeng emas maju selangkah, membuka jasnya sedikit untuk memperlihatkan gagang senjata yang tersembunyi di dalamnya. "Tuan Rendy Wang," suara pria itu berat dan tegas. "Kami punya pesan untuk Anda."Renata menoleh sedikit ke arah Rendy, suaranya nyaris berbisik. "Apa kau tahu siapa mereka?"Rendy menggeleng pelan, ekspresinya tak berubah.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Kebangkitan Naga Perang   134. Benteng Pegunungan Andesia

    Rendy dan Renata mempercepat makan siang mereka di Restoran Galaksi. Sumpit-sumpit bergerak cepat, mengangkat potongan makanan mewah yang hanya sekadar disentuh lidah sebelum ditelan tanpa banyak menikmati rasa. Mereka tahu waktu adalah musuh saat ini, dan ancaman dari Klan Topeng Emas bisa datang kapan saja. Dalam waktu singkat, mereka sudah siap bergegas keluar dari restoran.Setibanya di luar, sebuah mobil SUV hitam sudah menunggu mereka, lengkap dengan pengemudi dan pengawalan bersenjata. Perjalanan mereka menuju Pegunungan Andesia dimulai tanpa suara, dan suasana di dalam mobil terasa tegang, meski tidak ada satu pun dari mereka yang menunjukkannya secara terbuka. Rendy tetap fokus pada pemandangan di luar, sementara Renata sibuk memeriksa gadgetnya, sesekali mengetuk layar dengan cekatan.Sesampainya di gerbang pertama di kaki Pegunungan Andesia, Rendy melihat barisan pengawal bersenjata lengkap berjaga. Wajah-wajah mereka kaku, fokus, tanpa sedikit pun lengah. Gerbang besi raks

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Kebangkitan Naga Perang   135. Pusat Teknologi

    Renata memimpin langkah ke arah bagian barat kompleks kediamannya, di mana pusat teknologi yang dia bangun berada. Rendy mengikuti dengan penuh rasa penasaran. Bangunan itu tidak seperti fasilitas teknologi biasa—strukturnya terlihat lebih futuristik, dengan dinding-dinding kaca tebal dan panel-panel logam mengilap yang memantulkan cahaya sore di Pegunungan Andesia. Di luar, tampak beberapa drone patroli melayang-layang secara diam-diam, menyatu dengan pemandangan.Ketika mereka memasuki pintu utama, suasana modern dan penuh teknologi segera menyergap Rendy. Cahaya biru lembut mengalir di sepanjang lantai dan dinding, memberi kesan bahwa tempat ini lebih dari sekadar laboratorium biasa. Monitor besar menampilkan berbagai data yang bergerak cepat, sementara tim kecil teknisi dan ilmuwan bekerja dengan tenang namun efisien."Selamat datang di pusat inovasiku," ucap Renata dengan nada bangga. "Di sinilah kami mengembangkan teknologi yang bisa membuat kita selangkah lebih maju dari musuh-

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Kebangkitan Naga Perang   136. Menagih Janji Naga Perang

    Di tengah suasana tegang yang melibatkan Klan Topeng Emas dan teknologi canggih yang sedang mereka diskusikan, tiba-tiba suasana berubah ketika Renata, dengan sedikit ragu, mencoba menagih janji yang pernah diucapkan Naga Perang. Wajahnya memerah, tak biasa terlihat begitu gugup, dan tangannya sedikit gemetar saat ia akhirnya memberanikan diri mengutarakan pertanyaan yang selama ini mengganggunya."Kamu masih ingat, kan, tentang janji itu?" ucap Renata pelan namun jelas. Suaranya bergetar, mencerminkan ketegangan yang ia coba sembunyikan di balik tatapan tajamnya.Rendy, yang tengah mengamati gadget canggih di tangannya, terdiam sejenak. Jelas, dia ingat betul janji yang dimaksud Renata. Namun, dalam situasi yang penuh tekanan dan ancaman dari musuh yang mengincarnya, dia tahu bahwa pertanyaan ini lebih rumit daripada sekadar memenuhi janji lama.Rendy menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum memberikan jawaban yang tidak melukai perasaan Renata. "Renata, aku tidak lup

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Kebangkitan Naga Perang   137. Jenius Teknologi

    Rendy duduk di salah satu kursi kulit yang nyaman di pusat teknologi Renata, tatapannya serius ketika dia mulai membuka topik yang sudah lama mengganggunya. “Renata, aku ingin mendengar pendapatmu soal Mata Dewa,” katanya, nada suaranya beralih dari pribadi ke profesional dalam sekejap.Renata mengangkat alis, penasaran. "Mata Dewa? Proyek dari Wang Industries?" tanyanya, menghentikan pekerjaannya di layar holografik yang sedang dia tinjau. Dia berbalik menghadap Rendy, menaruh perhatian penuh padanya.”Proyek yang ambisius sepertinya.”Rendy mengangguk. "Ya. Sistem pengawasan global itu. Kami mengklaim bisa memantau setiap pergerakan manusia di mana pun di dunia ini—semua di bawah kendali tunggal untuk mengurangi kejahatan. Tapi hasilnya… belum sesuai ekspektasiku. Ada banyak celah dalam teknologi itu yang belum tertutupi," ucapnya sambil menghela napas. Rasa frustrasi jelas tergambar di wajahnya. "Aku tahu sistem ini punya potensi besar, tapi aku butuh lebih dari sekadar klaim muluk

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17

Bab terbaru

  • Kebangkitan Naga Perang   514. Penyergapan The Killer

    Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa

  • Kebangkitan Naga Perang   513. Segel Jiwa

    Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu

  • Kebangkitan Naga Perang   512. Pedang Iblis Merah Azerith

    Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti

  • Kebangkitan Naga Perang   511. Pertarungan Negeri Malam - II

    “Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert

  • Kebangkitan Naga Perang   510. Pertarungan Negeri Malam

    Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata

  • Kebangkitan Naga Perang   509. Kehebatan Empat Penjuru Angin

    Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo

  • Kebangkitan Naga Perang   508. Kekuatan Naga Perang

    Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di

  • Kebangkitan Naga Perang   507. Rahasia Keluarga Tanoto

    Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata

  • Kebangkitan Naga Perang   506. Satria Tanpa Jiwa

    Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status