Rendy duduk di salah satu kursi kulit yang nyaman di pusat teknologi Renata, tatapannya serius ketika dia mulai membuka topik yang sudah lama mengganggunya. “Renata, aku ingin mendengar pendapatmu soal Mata Dewa,” katanya, nada suaranya beralih dari pribadi ke profesional dalam sekejap.Renata mengangkat alis, penasaran. "Mata Dewa? Proyek dari Wang Industries?" tanyanya, menghentikan pekerjaannya di layar holografik yang sedang dia tinjau. Dia berbalik menghadap Rendy, menaruh perhatian penuh padanya.”Proyek yang ambisius sepertinya.”Rendy mengangguk. "Ya. Sistem pengawasan global itu. Kami mengklaim bisa memantau setiap pergerakan manusia di mana pun di dunia ini—semua di bawah kendali tunggal untuk mengurangi kejahatan. Tapi hasilnya… belum sesuai ekspektasiku. Ada banyak celah dalam teknologi itu yang belum tertutupi," ucapnya sambil menghela napas. Rasa frustrasi jelas tergambar di wajahnya. "Aku tahu sistem ini punya potensi besar, tapi aku butuh lebih dari sekadar klaim muluk
Cahaya lampu taman memantulkan kilauan lembut di atas air mancur yang berkilau, menciptakan suasana malam yang tenang di halaman villa Renata. Di bawah naungan pepohonan yang menghiasi taman, Naga Perang dan Renata duduk di meja makan yang elegan, dikelilingi oleh bunga-bunga harum yang mekar sempurna. Di hadapan mereka, seorang chef terkenal tengah menyiapkan hidangan istimewa ala Eropa, aroma mentega yang hangat dan rempah segar menggoda selera.Suara pisau yang lembut beradu dengan piring porselen saat steak dengan saus merah anggur disajikan dengan penuh kehati-hatian oleh sang chef. Angin malam yang sejuk membawa harum lavender dari kebun di seberang, berpadu dengan aroma anggur yang dituangkan ke dalam gelas kristal di hadapan mereka. Rendy mengangkat gelasnya, menatap Renata dengan senyum ringan, meskipun pikirannya masih terusik oleh peristiwa siang tadi.Setelah beberapa gigitan yang nikmat, Rendy mendesah pelan, meletakkan garpunya. "Sepertinya aku harus beristirahat lebih a
Rendy melangkah maju, menembus kegelapan ruangan, seakan bayangan dirinya menyatu dengan suasana dingin di dalam markas Klan Topeng Emas. Jessy mengikutinya tanpa suara, gerakannya gesit dan penuh ketenangan. Kedua sosok ini nyaris tidak terlihat saat mereka mengintai di sudut ruangan, hanya beberapa meter dari meja tempat para pria bertopeng itu berkumpul.Rendy mengamati mereka satu per satu—lima orang bertopeng emas, tubuh mereka tegap dan berotot, jelas terlatih dalam pertempuran. Peta kota yang terbentang di atas meja dipenuhi titik-titik merah, yang menandai berbagai tempat strategis di Horizon City. Sesekali, salah satu dari mereka menunjuk ke peta, membahas rencana mereka dengan suara rendah dan terukur. Rendy menyadari bahwa mereka tidak sekadar merencanakan serangan kecil; ini adalah bagian dari operasi besar yang bisa mengacaukan kota."Dengar," salah satu dari mereka berbicara dengan suara berat, suaranya terdengar jelas di antara bisikan lainnya. "Serangan di Restoran Gal
"Sebentar Jess, hatiku tidak akan tenang sebelum benar-benar tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh Klan Topeng Emas dan Klan The Shadow dengan datang mengancamku ... kamu tolong awasi sekitar markas Klan Topeng Emas ini, kita tak tahu kekuatan apa lagi yang mereka miliki.""Apa Ketua hendak kembali legi menemui pemimpin Klan Topeng Emas? Bukankah kita telah meninggalkan jejak ancaman untuk mereka?" tanya Jessy yang terkadang tidak mengerti jalan pikiran Naga Perang."Aku tetap harus kembali, Jess ... kamu jaga dis ekitar sini ya?" ucap Naga Perang yang kemudian berbalik kembali ke tempat Bara Sena pingsan sebelumnya.Naga Perang yang telah pergi memutuskan untuk kembali dengan membawa pergi Bara Sena yang pingsan ke tempat yang lebih sepi, masih di dalam markas Klan Topeng Emas agar bisa menginterogasi pemimpin Klan Topeng Emas ini dengan lebih intensif, namun anehnya Rendy tidak mengikat tubuh Bara Sena sama sekali.Tak lama kemudian pria ini mulai sadar dari pingsannya.Rendy mel
Bara Sena menatap kepergian Naga Perang dan Jessy Liu, wajahnya mengeras, matanya memancarkan kebencian yang membara. Dadanya bergemuruh, bukan hanya karena rasa sakit dari luka yang masih terasa, tetapi juga karena penghinaan yang baru pertama kali ia rasakan—terlebih dari seseorang yang dulu ia anggap sepele. Naga Perang, yang pernah digosipkan kehilangan ingatan, hidup sebagai menantu tak berguna, bodoh, dan lemah. Tapi sekarang, pria itu begitu perkasa, begitu kuat. Bara Sena tak habis pikir."Ketua... maafkan kami, kami terlambat tiba!" suara wanita lembut namun tertekan tiba-tiba memecah lamunannya.Belasan wanita berparas elok, berbalut kain tradisional Negeri Andalas, segera bersimpuh di hadapannya. Mereka menunduk dalam, tubuh mereka hampir menyentuh tanah, sementara Bara Sena masih belum mampu bangkit dari tempatnya karena cedera yang menyengat tiap inci ototnya."Sudahlah!" Bara Sena mengibaskan tangannya lemah, meski matanya masih berkobar. "Ini bukan salah kalian. Aku yan
Di dalam dapur pantry yang mewah, wangi kopi segar memenuhi udara, bercampur dengan aroma kayu dari furnitur mahal di sekitar mereka. Renata menyandarkan diri di kursi, tangannya membelai cangkir kopi hangat. Dengan nada yang menggoda namun penuh arti, dia memandang Rendy. "Aku dengar Klan Topeng Emas dihancurkan oleh dua sosok misterius. Mereka berani sekali, memasuki markas tanpa bala bantuan. Itu tindakan yang gila, tapi luar biasa berani, bukan?"Rendy, sambil sibuk menuangkan cappuccino dari mesin espresso yang dia operasikan dengan cekatan, melirik Renata. Ia kemudian menyerahkan secangkir kopi kepadanya, aromanya kuat, sedikit pahit, tapi dengan sentuhan lembut yang membuatnya terasa hangat. "Luar biasa memang. Tapi, apa mungkin Klan Topeng Emas selemah itu hingga dua orang saja bisa menghabisi mereka?" Rendy bertanya, tersenyum tipis saat memberikan kopi itu kepada Renata. "Coba ini. Aku baru selesai meraciknya."Renata meraih cangkir itu dengan senyum kecil di bibirnya, mengh
Renata mengerutkan alis, matanya menyipit saat memperhatikan Naga Perang di hadapannya. Sosok itu selalu penuh teka-teki, sulit ditebak, seolah-olah dia selalu menyembunyikan sesuatu di balik tatapannya yang tenang.“Kak Rendy ingin mengunjungi Tania Industries?” Renata akhirnya bertanya, suaranya ragu. "Bukankah terlalu berisiko jika kita ke sana tanpa undangan resmi?”Naga Perang menatapnya, bibirnya melengkung tipis dalam senyuman yang setengah mengejek. "Kemana hilangnya Renata yang dulu?" tanyanya, suaranya berat namun memancing. "Renata yang berani menyerbu saingan, tanpa takut, hanya untuk menggali informasi dan memberikan intimidasi?"Renata mendengus, setengah kesal setengah terhibur. “Kak Rendy memang tidak pernah berubah—selalu memaksa dengan caranya. Baiklah, aku akan mengajakmu ke sana. Kantor Tania Industries di Horizon City, kalau kau benar-benar ingin menemui Clarissa.”Namun, jawaban Naga Perang membuatnya tertegun. "Siapa bilang aku akan menemui Clarissa di kantornya
Ketika mereka melangkah masuk ke gedung utama, pintu otomatis berbahan kaca tebal terbuka dengan suara mendesing halus. Di dalam, suasana modern dan canggih langsung menyergap indera mereka. Lantai marmer putih yang dingin memantulkan cahaya matahari pagi yang menembus dari jendela-jendela besar di dinding-dinding kaca. Di sepanjang dinding itu, layar holografik besar menampilkan proyek-proyek terbaru dari Tania Industries—senjata, perangkat teknologi, dan inovasi-inovasi futuristik yang mengundang kekaguman.Naga Perang berjalan dengan langkah tenang, tatapannya menyapu ruangan tanpa tergesa. Di sampingnya, Renata masih berusaha menjaga perasaannya tetap stabil, meski degup jantungnya terasa meningkat setiap kali mereka melangkah lebih dalam ke jantung fasilitas teknologi yang dijaga ketat ini. Aroma antiseptik bercampur logam memenuhi udara, memberikan nuansa steril dan penuh perhitungan.Clarissa memimpin mereka dengan sikap percaya diri. Sepatu hak tingginya berdenting lembut di l
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba