Bara Sena menatap kepergian Naga Perang dan Jessy Liu, wajahnya mengeras, matanya memancarkan kebencian yang membara. Dadanya bergemuruh, bukan hanya karena rasa sakit dari luka yang masih terasa, tetapi juga karena penghinaan yang baru pertama kali ia rasakan—terlebih dari seseorang yang dulu ia anggap sepele. Naga Perang, yang pernah digosipkan kehilangan ingatan, hidup sebagai menantu tak berguna, bodoh, dan lemah. Tapi sekarang, pria itu begitu perkasa, begitu kuat. Bara Sena tak habis pikir."Ketua... maafkan kami, kami terlambat tiba!" suara wanita lembut namun tertekan tiba-tiba memecah lamunannya.Belasan wanita berparas elok, berbalut kain tradisional Negeri Andalas, segera bersimpuh di hadapannya. Mereka menunduk dalam, tubuh mereka hampir menyentuh tanah, sementara Bara Sena masih belum mampu bangkit dari tempatnya karena cedera yang menyengat tiap inci ototnya."Sudahlah!" Bara Sena mengibaskan tangannya lemah, meski matanya masih berkobar. "Ini bukan salah kalian. Aku yan
Di dalam dapur pantry yang mewah, wangi kopi segar memenuhi udara, bercampur dengan aroma kayu dari furnitur mahal di sekitar mereka. Renata menyandarkan diri di kursi, tangannya membelai cangkir kopi hangat. Dengan nada yang menggoda namun penuh arti, dia memandang Rendy. "Aku dengar Klan Topeng Emas dihancurkan oleh dua sosok misterius. Mereka berani sekali, memasuki markas tanpa bala bantuan. Itu tindakan yang gila, tapi luar biasa berani, bukan?"Rendy, sambil sibuk menuangkan cappuccino dari mesin espresso yang dia operasikan dengan cekatan, melirik Renata. Ia kemudian menyerahkan secangkir kopi kepadanya, aromanya kuat, sedikit pahit, tapi dengan sentuhan lembut yang membuatnya terasa hangat. "Luar biasa memang. Tapi, apa mungkin Klan Topeng Emas selemah itu hingga dua orang saja bisa menghabisi mereka?" Rendy bertanya, tersenyum tipis saat memberikan kopi itu kepada Renata. "Coba ini. Aku baru selesai meraciknya."Renata meraih cangkir itu dengan senyum kecil di bibirnya, mengh
Renata mengerutkan alis, matanya menyipit saat memperhatikan Naga Perang di hadapannya. Sosok itu selalu penuh teka-teki, sulit ditebak, seolah-olah dia selalu menyembunyikan sesuatu di balik tatapannya yang tenang.“Kak Rendy ingin mengunjungi Tania Industries?” Renata akhirnya bertanya, suaranya ragu. "Bukankah terlalu berisiko jika kita ke sana tanpa undangan resmi?”Naga Perang menatapnya, bibirnya melengkung tipis dalam senyuman yang setengah mengejek. "Kemana hilangnya Renata yang dulu?" tanyanya, suaranya berat namun memancing. "Renata yang berani menyerbu saingan, tanpa takut, hanya untuk menggali informasi dan memberikan intimidasi?"Renata mendengus, setengah kesal setengah terhibur. “Kak Rendy memang tidak pernah berubah—selalu memaksa dengan caranya. Baiklah, aku akan mengajakmu ke sana. Kantor Tania Industries di Horizon City, kalau kau benar-benar ingin menemui Clarissa.”Namun, jawaban Naga Perang membuatnya tertegun. "Siapa bilang aku akan menemui Clarissa di kantornya
Ketika mereka melangkah masuk ke gedung utama, pintu otomatis berbahan kaca tebal terbuka dengan suara mendesing halus. Di dalam, suasana modern dan canggih langsung menyergap indera mereka. Lantai marmer putih yang dingin memantulkan cahaya matahari pagi yang menembus dari jendela-jendela besar di dinding-dinding kaca. Di sepanjang dinding itu, layar holografik besar menampilkan proyek-proyek terbaru dari Tania Industries—senjata, perangkat teknologi, dan inovasi-inovasi futuristik yang mengundang kekaguman.Naga Perang berjalan dengan langkah tenang, tatapannya menyapu ruangan tanpa tergesa. Di sampingnya, Renata masih berusaha menjaga perasaannya tetap stabil, meski degup jantungnya terasa meningkat setiap kali mereka melangkah lebih dalam ke jantung fasilitas teknologi yang dijaga ketat ini. Aroma antiseptik bercampur logam memenuhi udara, memberikan nuansa steril dan penuh perhitungan.Clarissa memimpin mereka dengan sikap percaya diri. Sepatu hak tingginya berdenting lembut di l
Mahendra Tan, Direktur Teknologi Tania Industries, berjalan mendekat dengan langkah mantap, posturnya yang tegap memancarkan kekuatan dan dominasi. Matanya yang tajam tidak pernah lepas dari Naga Perang, seperti elang yang mengamati mangsa. Meski suasana di ruangan itu dingin dan penuh dengan kilatan teknologi mutakhir, atmosfer menjadi lebih tegang dengan kehadirannya."Clarissa," Mahendra menyebut nama adiknya dengan nada tegas, "kenapa kau izinkan mereka masuk ke fasilitas ini? Kau tahu betul bahwa orang luar tidak seharusnya ada di sini, terutama dia." Sorot matanya kembali tertuju pada Naga Perang, seolah dia adalah ancaman nyata.Clarissa tersenyum kecil, seolah sudah terbiasa dengan amarah tersembunyi kakaknya. "Mahendra, tenanglah. Ini hanya kunjungan biasa. Rendy—aku maksudkan Naga Perang—bukan orang luar yang tak bisa dipercaya. Dia hanya ingin melihat perkembangan terbaru kita."Rendy melihat sikapaneh Clarissa yang terus membelanya padahal mereka adalah musuh baik saat mas
Mahendra Tan langsung pergi meninggalkan Clarissa dan Rendy tanpa banyak bicara lagi. Wajahnya menyimpan amarah dan hawa pembunuh yang kejam, tapi sepanjang Mahendra tidak bertindak, ia juga akan diam saja."Kamu bisa bersikap wajar sekarang, Clarissa ... tidak perlu berpura-pura ramah dan baik terhadap kami!" ucap Rendy dengan wajah tak percayanya.Ketegangan semakin terasa di ruangan saat Clarissa berdiri di sana dengan senyum yang nyaris tak bisa ditebak. Di balik tatapan matanya yang dingin, ada sesuatu yang mengintai, seperti ular yang bersiap menyerang. Senyum itu mungkin tampak ramah bagi yang tidak mengenalnya, tapi Naga Perang dan Renata tahu lebih baik dari itu.“Jadi, kau benar-benar ingin melihat pusat teknologi kami, ya?” tanya Clarissa dengan nada halus, tapi penuh sindiran. Pandangannya menyapu Rendy seolah menembus kulitnya. "Siapa sangka, mantan menantu yang tak berguna kini ingin berlagak sebagai seorang pebisnis besar."Sikap Clarissa sudah kembali sebagai sosok yan
Ruangan semakin mencekam ketika Mahendra Tan berdiri tegap di tengah pusat teknologi itu, matanya yang tajam menatap Rendy Wang dengan penuh kecurigaan. Di sampingnya, Clarissa berdiri sedikit lebih santai, namun Renata bisa merasakan hawa penuh manipulasi yang tersembunyi di balik senyum angkuhnya.“Kau benar-benar nekat, Rendy, untuk muncul di sini tanpa undangan,” ucap Mahendra, nada suaranya penuh ketegangan yang nyaris bergetar. Ia tak menyukai kehadiran Naga Perang, apalagi di markas besar Tania Industries, tempat semua rahasia teknologi persenjataan tersimpan. Bagi Mahendra, kedatangan Rendy hanya berarti satu hal yaitu ancaman.Naga Perang menatap balik dengan tenang, tidak sedikit pun goyah oleh intimidasi Mahendra. "Aku datang bukan untuk mencari masalah, Mahendra. Hanya melihat apa yang bisa kau tawarkan—karena rumor tentang Tania Industries cukup menggugah minatku."Mahendra menyipitkan mata, seolah ingin menelusuri maksud tersembunyi di balik kata-kata Rendy. Ia tak perca
Rendy memperhatikan setiap gerak-gerik Clarissa dengan waspada. Tatapan matanya yang tenang menyembunyikan ketegangan yang ada di balik permukaan, namun di dalam dirinya, ia tahu betul bahwa Clarissa tidak pernah melakukan sesuatu tanpa maksud terselubung. Mahendra mungkin terang-terangan memusuhi, tetapi Clarissa, dengan segala senyum sinisnya, adalah musuh yang lebih berbahaya. Di balik penampilannya yang anggun dan profesional, Clarissa masihlah mantan pembunuh bayaran yang memiliki dendam pribadi terhadap Rendy Wang.“Jadi, apa rencanamu, Clarissa?” Rendy akhirnya angkat bicara, suaranya rendah dan dingin. “Kau pasti tidak mengundang kami ke sini hanya untuk memamerkan mainan-mainan barumu. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.”Clarissa, yang sedang berdiri di samping hologram senjata canggihnya, hanya tersenyum penuh tipu daya. "Tentu saja, Rendy. Kau terlalu pintar untuk tidak menyadari itu." Suaranya lembut, namun ada nada licik yang menyelinap di dalamnya. “Aku han
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba
Dua malam telah berlalu sejak aliansi antara Rendy dan Sheila terbentuk—sebuah kesepakatan rapuh yang ditandai dengan percikan api kebencian masa lalu dan bara tekad akan pembalasan. Malam ini, langit Negeri Malam tampak lebih kelam dari biasanya, seolah bintang pun enggan menatap apa yang akan terjadi.Delapan sosok berdiri tegak di pelataran batu obsidian di depan Menara Tanpa Bayangan—bangunan menjulang dengan dinding berkilau hitam pekat yang tampak hidup, berdenyut halus seperti nadi monster kuno yang sedang tertidur. Cahaya bulan pun lenyap begitu menyentuh permukaannya, seakan tertelan oleh lapisan spiritual yang tak mengenal pantulan.Rendy berdiri paling depan. Nafasnya terlihat dalam kepulan dingin malam, tapi keringat hangat membasahi tengkuknya. Di sisinya, Sheila tampak tenang, namun sorot matanya tajam seperti bilah belati yang disembunyikan di balik senyuman.Empat Penjuru Angin mengitari mereka dalam formasi setengah lingkaran, menjaga dua orang di belakang: para saksi