Mahendra Tan, Direktur Teknologi Tania Industries, berjalan mendekat dengan langkah mantap, posturnya yang tegap memancarkan kekuatan dan dominasi. Matanya yang tajam tidak pernah lepas dari Naga Perang, seperti elang yang mengamati mangsa. Meski suasana di ruangan itu dingin dan penuh dengan kilatan teknologi mutakhir, atmosfer menjadi lebih tegang dengan kehadirannya."Clarissa," Mahendra menyebut nama adiknya dengan nada tegas, "kenapa kau izinkan mereka masuk ke fasilitas ini? Kau tahu betul bahwa orang luar tidak seharusnya ada di sini, terutama dia." Sorot matanya kembali tertuju pada Naga Perang, seolah dia adalah ancaman nyata.Clarissa tersenyum kecil, seolah sudah terbiasa dengan amarah tersembunyi kakaknya. "Mahendra, tenanglah. Ini hanya kunjungan biasa. Rendy—aku maksudkan Naga Perang—bukan orang luar yang tak bisa dipercaya. Dia hanya ingin melihat perkembangan terbaru kita."Rendy melihat sikapaneh Clarissa yang terus membelanya padahal mereka adalah musuh baik saat mas
Mahendra Tan langsung pergi meninggalkan Clarissa dan Rendy tanpa banyak bicara lagi. Wajahnya menyimpan amarah dan hawa pembunuh yang kejam, tapi sepanjang Mahendra tidak bertindak, ia juga akan diam saja."Kamu bisa bersikap wajar sekarang, Clarissa ... tidak perlu berpura-pura ramah dan baik terhadap kami!" ucap Rendy dengan wajah tak percayanya.Ketegangan semakin terasa di ruangan saat Clarissa berdiri di sana dengan senyum yang nyaris tak bisa ditebak. Di balik tatapan matanya yang dingin, ada sesuatu yang mengintai, seperti ular yang bersiap menyerang. Senyum itu mungkin tampak ramah bagi yang tidak mengenalnya, tapi Naga Perang dan Renata tahu lebih baik dari itu.“Jadi, kau benar-benar ingin melihat pusat teknologi kami, ya?” tanya Clarissa dengan nada halus, tapi penuh sindiran. Pandangannya menyapu Rendy seolah menembus kulitnya. "Siapa sangka, mantan menantu yang tak berguna kini ingin berlagak sebagai seorang pebisnis besar."Sikap Clarissa sudah kembali sebagai sosok yan
Ruangan semakin mencekam ketika Mahendra Tan berdiri tegap di tengah pusat teknologi itu, matanya yang tajam menatap Rendy Wang dengan penuh kecurigaan. Di sampingnya, Clarissa berdiri sedikit lebih santai, namun Renata bisa merasakan hawa penuh manipulasi yang tersembunyi di balik senyum angkuhnya.“Kau benar-benar nekat, Rendy, untuk muncul di sini tanpa undangan,” ucap Mahendra, nada suaranya penuh ketegangan yang nyaris bergetar. Ia tak menyukai kehadiran Naga Perang, apalagi di markas besar Tania Industries, tempat semua rahasia teknologi persenjataan tersimpan. Bagi Mahendra, kedatangan Rendy hanya berarti satu hal yaitu ancaman.Naga Perang menatap balik dengan tenang, tidak sedikit pun goyah oleh intimidasi Mahendra. "Aku datang bukan untuk mencari masalah, Mahendra. Hanya melihat apa yang bisa kau tawarkan—karena rumor tentang Tania Industries cukup menggugah minatku."Mahendra menyipitkan mata, seolah ingin menelusuri maksud tersembunyi di balik kata-kata Rendy. Ia tak perca
Rendy memperhatikan setiap gerak-gerik Clarissa dengan waspada. Tatapan matanya yang tenang menyembunyikan ketegangan yang ada di balik permukaan, namun di dalam dirinya, ia tahu betul bahwa Clarissa tidak pernah melakukan sesuatu tanpa maksud terselubung. Mahendra mungkin terang-terangan memusuhi, tetapi Clarissa, dengan segala senyum sinisnya, adalah musuh yang lebih berbahaya. Di balik penampilannya yang anggun dan profesional, Clarissa masihlah mantan pembunuh bayaran yang memiliki dendam pribadi terhadap Rendy Wang.“Jadi, apa rencanamu, Clarissa?” Rendy akhirnya angkat bicara, suaranya rendah dan dingin. “Kau pasti tidak mengundang kami ke sini hanya untuk memamerkan mainan-mainan barumu. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.”Clarissa, yang sedang berdiri di samping hologram senjata canggihnya, hanya tersenyum penuh tipu daya. "Tentu saja, Rendy. Kau terlalu pintar untuk tidak menyadari itu." Suaranya lembut, namun ada nada licik yang menyelinap di dalamnya. “Aku han
Clarissa mundur selangkah, membiarkan senyumnya melebar. Aura dingin yang menyelimutinya semakin terasa. Rendy tetap berdiri tegak, matanya mengamati setiap gerakan Clarissa dan Mahendra. Pikirannya berputar cepat, menimbang-nimbang langkah berikutnya."Kau tahu," Clarissa mulai lagi, nadanya kini lebih ringan tapi tetap tajam, "Aku selalu menikmati permainan ini. Menyusupkan sedikit informasi palsu, mengawasi reaksimu, dan membiarkanmu bermain dalam ilusi bahwa kau mengendalikan keadaan." Ia melirik Renata sekilas. "Tapi kau terlalu percaya diri, Rendy. Sejak dulu, kau selalu menganggap dirimu satu langkah di depan, padahal kau sudah jauh tertinggal."Mahendra yang sedari tadi hanya mengawasi kini maju ke depan, suaranya penuh kepuasan. "Kami sudah memikirkan semuanya, Rendy. Dari bisnis sampai jaringan informasimu. Semua celahmu kami temukan. Kau mungkin hebat di Horizon City dan Kartanesia, tapi di Shadow Islands? Ini adalah wilayah kami."Renata mengepalkan tangan di sisinya, mera
Saat helikopter yang membawa Rendy dan Renata mendarat dengan mulus di Pegunungan Andesia, Jessy menatap pemandangan gunung bersalju dengan mata penuh tekad. Dia mengangguk singkat ke arah Rendy sebelum berbalik, bersiap untuk menjalankan misinya yang jauh lebih berbahaya. Tidak ada waktu untuk bersantai. Informasi yang dia peroleh tentang Kitab Kultivasi tidak bisa dianggap remeh, dan lawan utamanya, Sheila, sudah satu langkah di depan.Begitu Jessy masuk kembali ke helikopter, dia bertukar pandang dengan Ketua Klan Naga Emas, Septian Long, yang duduk di sebelahnya, dan Ketua Merak Putih, Lilian Shang. Keduanya adalah sekutu tangguh, namun Jessy tahu bahwa mereka semua punya agenda masing-masing. Meski tujuan mereka sejalan untuk sementara waktu, kecurigaan tidak pernah sepenuhnya hilang.Helikopter meluncur di udara malam, menuju Kota Angker di Negeri Malam. Suasana di dalam kabin semakin berat seiring perjalanan mendekati titik krusial. Lilian memandang Jessy dengan tatapan dingin
Sheila melancarkan serangan pertama, melesatkan pisau belati ke arah Jessy yang hanya menghindar dengan satu gerakan gesit. Pisau itu terbang membelah udara, nyaris mengenai Jessy yang sudah berdiri tegak dengan sorot mata tajam. Mereka saling mengukur, ketegangan begitu terasa di udara.Dengan sekali hentakan kaki, Sheila kembali melompat maju, melepaskan pukulan yang begitu cepat hingga hanya bayangannya yang tertinggal. Jessy, dengan ketangkasan yang hampir melampaui kemampuan manusia biasa, menepis serangan Sheila. Kilatan senjata logam mereka beradu, mengisi ruangan dengan suara dentingan yang memekakkan telinga. Sheila terus menerjang, dengan gerakan-gerakan liar dan agresif yang seolah-olah tak mengenal batas.“Sudah selesai, Jessy!” Sheila berseru, memutar tubuhnya dengan lincah, dan berhasil menebas ujung lengan baju Jessy, membuat darah mulai merembes keluar. Namun, Jessy tak goyah. Alih-alih gentar, dia menatap Sheila dengan senyum penuh ketenangan.“Jangan terlalu yakin,”
Jessy menatap Septian dan Lilian dengan tatapan tegas saat mereka berada dalam perjalanan kembali. "Kalian harus bertemu Naga Perang," katanya, menekankan perintah itu. Meskipun secara operasional ia yang mengatur misi, Jessy tahu, begitu pula mereka, bahwa pada akhirnya, Rendy Wang—si Naga Perang—tetaplah pemimpin tertinggi mereka, sosok di balik semua strategi yang berjalan di dalam Klan Naga Emas.Saat mereka akhirnya tiba, Jessy maju terlebih dahulu menemui Rendy. Dengan hati yang berdebar, ia menyerahkan Kitab Kultivasi itu, kitab yang begitu langka dan berharga hingga mampu mengantarkan seseorang menembus Alam Dewa. Dalam pandangannya, momen ini lebih dari sekadar misi—ini adalah upaya membuktikan diri, bahwa semua keberaniannya adalah untuk mendapatkan pengakuan dan kebanggaan dari sosok pemimpin yang ia hormati lebih dari siapa pun.Rendy menerima kitab itu dengan tatapan tenang, mengangguk singkat tanpa ekspresi berlebihan. Ia meletakkan kitab tersebut di mejanya dengan gerak