Rendy melangkah maju, menembus kegelapan ruangan, seakan bayangan dirinya menyatu dengan suasana dingin di dalam markas Klan Topeng Emas. Jessy mengikutinya tanpa suara, gerakannya gesit dan penuh ketenangan. Kedua sosok ini nyaris tidak terlihat saat mereka mengintai di sudut ruangan, hanya beberapa meter dari meja tempat para pria bertopeng itu berkumpul.Rendy mengamati mereka satu per satu—lima orang bertopeng emas, tubuh mereka tegap dan berotot, jelas terlatih dalam pertempuran. Peta kota yang terbentang di atas meja dipenuhi titik-titik merah, yang menandai berbagai tempat strategis di Horizon City. Sesekali, salah satu dari mereka menunjuk ke peta, membahas rencana mereka dengan suara rendah dan terukur. Rendy menyadari bahwa mereka tidak sekadar merencanakan serangan kecil; ini adalah bagian dari operasi besar yang bisa mengacaukan kota."Dengar," salah satu dari mereka berbicara dengan suara berat, suaranya terdengar jelas di antara bisikan lainnya. "Serangan di Restoran Gal
"Sebentar Jess, hatiku tidak akan tenang sebelum benar-benar tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh Klan Topeng Emas dan Klan The Shadow dengan datang mengancamku ... kamu tolong awasi sekitar markas Klan Topeng Emas ini, kita tak tahu kekuatan apa lagi yang mereka miliki.""Apa Ketua hendak kembali legi menemui pemimpin Klan Topeng Emas? Bukankah kita telah meninggalkan jejak ancaman untuk mereka?" tanya Jessy yang terkadang tidak mengerti jalan pikiran Naga Perang."Aku tetap harus kembali, Jess ... kamu jaga dis ekitar sini ya?" ucap Naga Perang yang kemudian berbalik kembali ke tempat Bara Sena pingsan sebelumnya.Naga Perang yang telah pergi memutuskan untuk kembali dengan membawa pergi Bara Sena yang pingsan ke tempat yang lebih sepi, masih di dalam markas Klan Topeng Emas agar bisa menginterogasi pemimpin Klan Topeng Emas ini dengan lebih intensif, namun anehnya Rendy tidak mengikat tubuh Bara Sena sama sekali.Tak lama kemudian pria ini mulai sadar dari pingsannya.Rendy mel
Bara Sena menatap kepergian Naga Perang dan Jessy Liu, wajahnya mengeras, matanya memancarkan kebencian yang membara. Dadanya bergemuruh, bukan hanya karena rasa sakit dari luka yang masih terasa, tetapi juga karena penghinaan yang baru pertama kali ia rasakan—terlebih dari seseorang yang dulu ia anggap sepele. Naga Perang, yang pernah digosipkan kehilangan ingatan, hidup sebagai menantu tak berguna, bodoh, dan lemah. Tapi sekarang, pria itu begitu perkasa, begitu kuat. Bara Sena tak habis pikir."Ketua... maafkan kami, kami terlambat tiba!" suara wanita lembut namun tertekan tiba-tiba memecah lamunannya.Belasan wanita berparas elok, berbalut kain tradisional Negeri Andalas, segera bersimpuh di hadapannya. Mereka menunduk dalam, tubuh mereka hampir menyentuh tanah, sementara Bara Sena masih belum mampu bangkit dari tempatnya karena cedera yang menyengat tiap inci ototnya."Sudahlah!" Bara Sena mengibaskan tangannya lemah, meski matanya masih berkobar. "Ini bukan salah kalian. Aku yan
Di dalam dapur pantry yang mewah, wangi kopi segar memenuhi udara, bercampur dengan aroma kayu dari furnitur mahal di sekitar mereka. Renata menyandarkan diri di kursi, tangannya membelai cangkir kopi hangat. Dengan nada yang menggoda namun penuh arti, dia memandang Rendy. "Aku dengar Klan Topeng Emas dihancurkan oleh dua sosok misterius. Mereka berani sekali, memasuki markas tanpa bala bantuan. Itu tindakan yang gila, tapi luar biasa berani, bukan?"Rendy, sambil sibuk menuangkan cappuccino dari mesin espresso yang dia operasikan dengan cekatan, melirik Renata. Ia kemudian menyerahkan secangkir kopi kepadanya, aromanya kuat, sedikit pahit, tapi dengan sentuhan lembut yang membuatnya terasa hangat. "Luar biasa memang. Tapi, apa mungkin Klan Topeng Emas selemah itu hingga dua orang saja bisa menghabisi mereka?" Rendy bertanya, tersenyum tipis saat memberikan kopi itu kepada Renata. "Coba ini. Aku baru selesai meraciknya."Renata meraih cangkir itu dengan senyum kecil di bibirnya, mengh
Renata mengerutkan alis, matanya menyipit saat memperhatikan Naga Perang di hadapannya. Sosok itu selalu penuh teka-teki, sulit ditebak, seolah-olah dia selalu menyembunyikan sesuatu di balik tatapannya yang tenang.“Kak Rendy ingin mengunjungi Tania Industries?” Renata akhirnya bertanya, suaranya ragu. "Bukankah terlalu berisiko jika kita ke sana tanpa undangan resmi?”Naga Perang menatapnya, bibirnya melengkung tipis dalam senyuman yang setengah mengejek. "Kemana hilangnya Renata yang dulu?" tanyanya, suaranya berat namun memancing. "Renata yang berani menyerbu saingan, tanpa takut, hanya untuk menggali informasi dan memberikan intimidasi?"Renata mendengus, setengah kesal setengah terhibur. “Kak Rendy memang tidak pernah berubah—selalu memaksa dengan caranya. Baiklah, aku akan mengajakmu ke sana. Kantor Tania Industries di Horizon City, kalau kau benar-benar ingin menemui Clarissa.”Namun, jawaban Naga Perang membuatnya tertegun. "Siapa bilang aku akan menemui Clarissa di kantornya
Ketika mereka melangkah masuk ke gedung utama, pintu otomatis berbahan kaca tebal terbuka dengan suara mendesing halus. Di dalam, suasana modern dan canggih langsung menyergap indera mereka. Lantai marmer putih yang dingin memantulkan cahaya matahari pagi yang menembus dari jendela-jendela besar di dinding-dinding kaca. Di sepanjang dinding itu, layar holografik besar menampilkan proyek-proyek terbaru dari Tania Industries—senjata, perangkat teknologi, dan inovasi-inovasi futuristik yang mengundang kekaguman.Naga Perang berjalan dengan langkah tenang, tatapannya menyapu ruangan tanpa tergesa. Di sampingnya, Renata masih berusaha menjaga perasaannya tetap stabil, meski degup jantungnya terasa meningkat setiap kali mereka melangkah lebih dalam ke jantung fasilitas teknologi yang dijaga ketat ini. Aroma antiseptik bercampur logam memenuhi udara, memberikan nuansa steril dan penuh perhitungan.Clarissa memimpin mereka dengan sikap percaya diri. Sepatu hak tingginya berdenting lembut di l
Mahendra Tan, Direktur Teknologi Tania Industries, berjalan mendekat dengan langkah mantap, posturnya yang tegap memancarkan kekuatan dan dominasi. Matanya yang tajam tidak pernah lepas dari Naga Perang, seperti elang yang mengamati mangsa. Meski suasana di ruangan itu dingin dan penuh dengan kilatan teknologi mutakhir, atmosfer menjadi lebih tegang dengan kehadirannya."Clarissa," Mahendra menyebut nama adiknya dengan nada tegas, "kenapa kau izinkan mereka masuk ke fasilitas ini? Kau tahu betul bahwa orang luar tidak seharusnya ada di sini, terutama dia." Sorot matanya kembali tertuju pada Naga Perang, seolah dia adalah ancaman nyata.Clarissa tersenyum kecil, seolah sudah terbiasa dengan amarah tersembunyi kakaknya. "Mahendra, tenanglah. Ini hanya kunjungan biasa. Rendy—aku maksudkan Naga Perang—bukan orang luar yang tak bisa dipercaya. Dia hanya ingin melihat perkembangan terbaru kita."Rendy melihat sikapaneh Clarissa yang terus membelanya padahal mereka adalah musuh baik saat mas
Mahendra Tan langsung pergi meninggalkan Clarissa dan Rendy tanpa banyak bicara lagi. Wajahnya menyimpan amarah dan hawa pembunuh yang kejam, tapi sepanjang Mahendra tidak bertindak, ia juga akan diam saja."Kamu bisa bersikap wajar sekarang, Clarissa ... tidak perlu berpura-pura ramah dan baik terhadap kami!" ucap Rendy dengan wajah tak percayanya.Ketegangan semakin terasa di ruangan saat Clarissa berdiri di sana dengan senyum yang nyaris tak bisa ditebak. Di balik tatapan matanya yang dingin, ada sesuatu yang mengintai, seperti ular yang bersiap menyerang. Senyum itu mungkin tampak ramah bagi yang tidak mengenalnya, tapi Naga Perang dan Renata tahu lebih baik dari itu.“Jadi, kau benar-benar ingin melihat pusat teknologi kami, ya?” tanya Clarissa dengan nada halus, tapi penuh sindiran. Pandangannya menyapu Rendy seolah menembus kulitnya. "Siapa sangka, mantan menantu yang tak berguna kini ingin berlagak sebagai seorang pebisnis besar."Sikap Clarissa sudah kembali sebagai sosok yan
Dalam keheningan yang hanya diisi suara dengungan komputer, Jessy menatap layar dengan penuh konsentrasi. Cahaya biru dari monitor memantul di wajahnya yang tegang, memperlihatkan garis-garis kelelahan yang tersembunyi di balik sorot matanya yang tajam. Jari-jarinya menari di atas keyboard, sesekali berhenti untuk meneliti setiap baris kode dengan seksama. Rendy berdiri di belakangnya, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik kencang, matanya tak berkedip menatap layar holografik yang terus berubah di hadapan mereka."Aku menemukannya," bisik Jessy, suaranya bergetar oleh ketegangan yang nyaris tak tertahankan. "Ada lokasi yang tersembunyi dalam sistem mereka... Ini bukan sekadar markas biasa, Ketua. Ini pusat dari segalanya."Rendy mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ada api yang menyala di matanya, kemarahan yang selama ini ia pendam akhirnya menemukan bentuknya. "Di situlah ibuku disekap?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.Jessy menoleh padanya, menatap dalam-dal
Di balik kerlip lampu dan gemerlap modernitas Red Lotus Club and Resort, Rendy melangkah dengan penuh ketegasan, namun di balik mata dinginnya tersimpan segudang kenangan. Di tengah kekacauan hidupnya—konflik dengan Cindy dan keputusannya untuk mencari kebenaran tentang ibunya—hanya satu hal yang selalu ia rindukan yaitu kehadiran Jessy Liu.Jessy, wanita yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, kini duduk di sebuah ruangan rahasia di balik dinding resort yang mewah. Di sana, di antara deretan monitor dan kode-kode digital yang menari, ia mungkin bisa menyusun petunjuk-petunjuk yang akan membongkar rahasia Kekuatan Tertinggi. Setiap detik tanpa Rendy terasa begitu lama baginya. Rindu yang selama ini tersembunyi di balik ketenangan profesional kini terpancar jelas saat ia melihat pintu terbuka perlahan."Ketua," panggilnya dengan nada lembut penuh harap, suaranya seakan melunakkan segala kegamangan. Saat Rendy melangkah mendekat, hatinya sejenak luluh oleh kehadiran wanita yang ta
Rendy tidak lagi menghiraukan Vera Huang. Wanita itu baginya bukan lagi seorang mertua, melainkan hanya semut yang bisa ia injak kapan saja jika ia mau. Matanya menatap kosong ke depan, tapi pikirannya dipenuhi kemarahan yang mendidih. Hatinya telah beku. Jika Cindy lebih memilih ibunya, maka ia akan pergi—mereka akan bercerai. Sesederhana itu."Masih ada hal yang lebih penting daripada mengurusi seorang mertua yang tidak berarti!" gumamnya, suara rendahnya nyaris seperti geraman. "Aku harus mencari tahu di mana ibuku yang ditahan oleh Kekuatan Tertinggi."Ia melangkah menuju gudang garasi, membuka pintu dengan sedikit tenaga. Derit engsel yang berkarat memenuhi udara, menyambutnya dengan suasana yang muram. Di dalam, skuter bututnya masih berdiri dengan setia, lapisan debu tipis menyelimutinya. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin tua itu, suara bisingnya langsung menggema di seantero garasi.Baru saja ia hendak memutar gas, suara langkah kaki yang terburu-buru menghentikannya."Ren...!"
Vera menggertakkan giginya, rahangnya mengeras sementara napasnya memburu. Matanya menyala penuh kebencian, seperti bara api yang siap melalap habis apa pun di hadapannya. Dengan suara yang lebih tajam dari pisau belati, ia berdesis, "Aku tidak akan membiarkan ini terjadi! Huang Corporation tidak akan runtuh hanya karena seorang pria yang dulu kupandang sebelah mata! Kau bukan Naga Perang... Semua ini hanya kebetulan belaka."Rendy tetap berdiri dengan tenang, sikapnya tegap bagai gunung yang tak tergoyahkan oleh badai. Sorot matanya dingin, penuh ketegasan yang tak terbantahkan. "Sudah kubilang, Vera, ini baru permulaan. Kau pikir aku akan berhenti di sini? Tidak. Aku akan memastikan kau merasakan kehancuran yang lebih menyakitkan daripada sekadar kehilangan investasi. Kau telah mempermainkan hidupku, dan sekarang, aku yang akan menentukan nasibmu."Wajahnya yang dulu dikenal lemah lembut kini menampakkan ketegasan yang mengerikan. Rendy bukan lagi pria yang bisa diabaikan begitu saj
Di tengah ruangan yang remang, bayangan senja menari di dinding-dinding mewah, Vera mengeluarkan dengusan penuh ejekan. Matanya yang tajam dan dingin menembus kegelapan, seolah memancarkan bara amarah. Dengan suara yang menyeruak, ia mencaci,"Menolak? Hah! Kamu pikir dirimu siapa? Hanya seorang pecundang yang bahkan tidak mampu membeli dasi layak, berani menantangku!"Rendy, berdiri tegap bagaikan patung besi di tengah badai, menatap balik tanpa setitik ragu. Tatapannya yang tajam dan dingin menantang, seolah berkata bahwa ia telah lelah menjadi korban hinaan. Suaranya rendah namun menggema dengan kepastian, "Aku sudah muak dipandang rendah. Jika aku mengaku sebagai Naga Perang, maka aku memang Naga Perang! Dan jika kau memaksaku menceraikan Cindy demi keuntunganmu sendiri, kau akan merasakan penyesalan yang meendalam!"Rendy sudah habis kesabaran dengan sikap arogan Vera yang selalu menghinanya.Tawa sinis Vera pecah, melayang ke udara seperti asap pahit, "Oh, jadi sekarang kau meng
HA-HA-HA ...!!!Tawa itu meledak di udara, menggetarkan ruangan dengan gaungnya yang menusuk telinga. Vera Huang menepuk-nepuk pahanya, seolah ucapan yang baru didengarnya adalah lelucon paling konyol yang pernah ada."Ha-ha-ha! Astaga, Rendy! Aku tahu kamu ini miskin dan tidak berguna, tapi aku sungguh tidak menyangka kamu juga pintar membual!" katanya dengan nada mengejek, matanya menyipit penuh penghinaan.Rendy mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan penuh amarah. "Aku tidak berbohong! Aku memang Naga Perang yang akan menarik seluruh investasi Wang Industries dari Huang Corporation! Aku sudah muak hidup seperti ini, tanpa kejelasan dan tanpa harga diri!" suaranya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena tekad yang sudah tak bisa dibendung lagi"Mentang-mentang nama margamu sama dengan nama perusahaan Grade A, terus kamu klaim kalau itu perusahaanmu? Hah! Sungguh lucu dan tak masuk akal!" sind
Tanpa ragu, Rendy Wang melangkah maju, tubuhnya masih berlumuran debu pertempuran. Portal dimensi di hadapannya berputar liar, cahaya biru kehijauan berpendar seperti ombak liar. Setelah mengalahkan Zhang Wei dan menyelamatkan Negeri Langit dari kehancuran, ia tahu ini adalah satu-satunya jalan pulang. Dengan satu tarikan napas, ia melangkah masuk.Saat portal menutup di belakangnya, kegelapan langsung menyergap. Kesadarannya menghilang.Ketika membuka mata, aroma kayu tua dan udara dingin menyeruak ke hidungnya. Dia mengenali tempat ini—kamar sempit di rumah Keluarga Huang, Paradise Hill, Kota Buitenzorg. Dinding-dinding kayu masih sama, catnya mengelupas di beberapa tempat, dan kasur tipis di bawahnya berderit saat ia bangkit."Sepertinya kamar ini memang gerbang antar dimensi," gumamnya. "Setiap kali kembali ke Khatulistiwa, selalu melalui tempat ini."Sebelum sempat berpikir lebih jauh, suara nyaring menusuk telinganya."Untuk apa lagi pengangguran itu pulang ke rumah?" suara cemp
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai sutra jendela kamar, mengusap wajah Rendy Wang yang perlahan terbangun. Ia membuka matanya, mendapati ruangan yang begitu akrab—suasana mewah Resort Red Lotus Resort and Club yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Meski begitu, ada keanehan yang menyelinap ke dalam ingatannya, seolah waktu telah mengubah segalanya. Aroma lavender dan kayu manis yang lembut menyatu dengan semilir angin dari balkon, mengiringi kebingungan yang menggelayuti pikirannya.Saat tangannya meraba permukaan lembut sprei sutra, ia mendapati sosok di sampingnya. Punggung putih mulus Renata, istrinya kah? Benar-benar mengundang kehangatan sekaligus teka-teki. Dalam keheningan pagi itu, Renata terbangun dan menatap Rendy dengan tatapan penuh tanya."Kak Rendy, sudah bangun?" suaranya serak namun penuh keakraban, mengisi ruangan dengan nuansa kenangan.Rendy mengerutkan dahi, matanya menyusuri sosok Renata yang kini tampak lebih dewasa, lebih matang. "Renata... kenapa kita di sin
Langit masih bergetar hebat setelah kehancuran Zhang Wen. Namun, sebelum Rendy Wang sempat bernapas lega, Negeri Langit bergetar kembali. Dari reruntuhan medan perang, aura kegelapan yang lebih kelam muncul. Udara di sekeliling membeku, dan langit yang sebelumnya mulai cerah kembali diselimuti awan hitam pekat."Tidak... Ini tidak mungkin..." gumam Rendy, merasakan tekanan yang jauh lebih dahsyat dibandingkan yang ditimbulkan oleh Zhang Wen.Dari balik kabut hitam, muncul sosok berbalut jubah gelap dengan mata merah menyala. Energinya begitu besar hingga membuat tanah di sekelilingnya merekah. Sosok itu tertawa kecil, suaranya menggema seperti berasal dari dunia lain."Rendy Wang... kau mungkin telah mengalahkan Zhang Wen, tapi kegelapan sejati tak akan pernah bisa dihancurkan oleh cahaya sekecil milikmu. Aku adalah Kegelapan Abadi, pemilik sejati kegelapan di alam semesta ini!"Rendy menggertakkan giginya. Ia sudah mengerahkan seluruh kemampuannya dalam pertempuran melawan Zhang Wen,