Renata memimpin langkah ke arah bagian barat kompleks kediamannya, di mana pusat teknologi yang dia bangun berada. Rendy mengikuti dengan penuh rasa penasaran. Bangunan itu tidak seperti fasilitas teknologi biasa—strukturnya terlihat lebih futuristik, dengan dinding-dinding kaca tebal dan panel-panel logam mengilap yang memantulkan cahaya sore di Pegunungan Andesia. Di luar, tampak beberapa drone patroli melayang-layang secara diam-diam, menyatu dengan pemandangan.Ketika mereka memasuki pintu utama, suasana modern dan penuh teknologi segera menyergap Rendy. Cahaya biru lembut mengalir di sepanjang lantai dan dinding, memberi kesan bahwa tempat ini lebih dari sekadar laboratorium biasa. Monitor besar menampilkan berbagai data yang bergerak cepat, sementara tim kecil teknisi dan ilmuwan bekerja dengan tenang namun efisien."Selamat datang di pusat inovasiku," ucap Renata dengan nada bangga. "Di sinilah kami mengembangkan teknologi yang bisa membuat kita selangkah lebih maju dari musuh-
Di tengah suasana tegang yang melibatkan Klan Topeng Emas dan teknologi canggih yang sedang mereka diskusikan, tiba-tiba suasana berubah ketika Renata, dengan sedikit ragu, mencoba menagih janji yang pernah diucapkan Naga Perang. Wajahnya memerah, tak biasa terlihat begitu gugup, dan tangannya sedikit gemetar saat ia akhirnya memberanikan diri mengutarakan pertanyaan yang selama ini mengganggunya."Kamu masih ingat, kan, tentang janji itu?" ucap Renata pelan namun jelas. Suaranya bergetar, mencerminkan ketegangan yang ia coba sembunyikan di balik tatapan tajamnya.Rendy, yang tengah mengamati gadget canggih di tangannya, terdiam sejenak. Jelas, dia ingat betul janji yang dimaksud Renata. Namun, dalam situasi yang penuh tekanan dan ancaman dari musuh yang mengincarnya, dia tahu bahwa pertanyaan ini lebih rumit daripada sekadar memenuhi janji lama.Rendy menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum memberikan jawaban yang tidak melukai perasaan Renata. "Renata, aku tidak lup
Rendy duduk di salah satu kursi kulit yang nyaman di pusat teknologi Renata, tatapannya serius ketika dia mulai membuka topik yang sudah lama mengganggunya. “Renata, aku ingin mendengar pendapatmu soal Mata Dewa,” katanya, nada suaranya beralih dari pribadi ke profesional dalam sekejap.Renata mengangkat alis, penasaran. "Mata Dewa? Proyek dari Wang Industries?" tanyanya, menghentikan pekerjaannya di layar holografik yang sedang dia tinjau. Dia berbalik menghadap Rendy, menaruh perhatian penuh padanya.”Proyek yang ambisius sepertinya.”Rendy mengangguk. "Ya. Sistem pengawasan global itu. Kami mengklaim bisa memantau setiap pergerakan manusia di mana pun di dunia ini—semua di bawah kendali tunggal untuk mengurangi kejahatan. Tapi hasilnya… belum sesuai ekspektasiku. Ada banyak celah dalam teknologi itu yang belum tertutupi," ucapnya sambil menghela napas. Rasa frustrasi jelas tergambar di wajahnya. "Aku tahu sistem ini punya potensi besar, tapi aku butuh lebih dari sekadar klaim muluk
Cahaya lampu taman memantulkan kilauan lembut di atas air mancur yang berkilau, menciptakan suasana malam yang tenang di halaman villa Renata. Di bawah naungan pepohonan yang menghiasi taman, Naga Perang dan Renata duduk di meja makan yang elegan, dikelilingi oleh bunga-bunga harum yang mekar sempurna. Di hadapan mereka, seorang chef terkenal tengah menyiapkan hidangan istimewa ala Eropa, aroma mentega yang hangat dan rempah segar menggoda selera.Suara pisau yang lembut beradu dengan piring porselen saat steak dengan saus merah anggur disajikan dengan penuh kehati-hatian oleh sang chef. Angin malam yang sejuk membawa harum lavender dari kebun di seberang, berpadu dengan aroma anggur yang dituangkan ke dalam gelas kristal di hadapan mereka. Rendy mengangkat gelasnya, menatap Renata dengan senyum ringan, meskipun pikirannya masih terusik oleh peristiwa siang tadi.Setelah beberapa gigitan yang nikmat, Rendy mendesah pelan, meletakkan garpunya. "Sepertinya aku harus beristirahat lebih a
Rendy melangkah maju, menembus kegelapan ruangan, seakan bayangan dirinya menyatu dengan suasana dingin di dalam markas Klan Topeng Emas. Jessy mengikutinya tanpa suara, gerakannya gesit dan penuh ketenangan. Kedua sosok ini nyaris tidak terlihat saat mereka mengintai di sudut ruangan, hanya beberapa meter dari meja tempat para pria bertopeng itu berkumpul.Rendy mengamati mereka satu per satu—lima orang bertopeng emas, tubuh mereka tegap dan berotot, jelas terlatih dalam pertempuran. Peta kota yang terbentang di atas meja dipenuhi titik-titik merah, yang menandai berbagai tempat strategis di Horizon City. Sesekali, salah satu dari mereka menunjuk ke peta, membahas rencana mereka dengan suara rendah dan terukur. Rendy menyadari bahwa mereka tidak sekadar merencanakan serangan kecil; ini adalah bagian dari operasi besar yang bisa mengacaukan kota."Dengar," salah satu dari mereka berbicara dengan suara berat, suaranya terdengar jelas di antara bisikan lainnya. "Serangan di Restoran Gal
"Sebentar Jess, hatiku tidak akan tenang sebelum benar-benar tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh Klan Topeng Emas dan Klan The Shadow dengan datang mengancamku ... kamu tolong awasi sekitar markas Klan Topeng Emas ini, kita tak tahu kekuatan apa lagi yang mereka miliki.""Apa Ketua hendak kembali legi menemui pemimpin Klan Topeng Emas? Bukankah kita telah meninggalkan jejak ancaman untuk mereka?" tanya Jessy yang terkadang tidak mengerti jalan pikiran Naga Perang."Aku tetap harus kembali, Jess ... kamu jaga dis ekitar sini ya?" ucap Naga Perang yang kemudian berbalik kembali ke tempat Bara Sena pingsan sebelumnya.Naga Perang yang telah pergi memutuskan untuk kembali dengan membawa pergi Bara Sena yang pingsan ke tempat yang lebih sepi, masih di dalam markas Klan Topeng Emas agar bisa menginterogasi pemimpin Klan Topeng Emas ini dengan lebih intensif, namun anehnya Rendy tidak mengikat tubuh Bara Sena sama sekali.Tak lama kemudian pria ini mulai sadar dari pingsannya.Rendy mel
Bara Sena menatap kepergian Naga Perang dan Jessy Liu, wajahnya mengeras, matanya memancarkan kebencian yang membara. Dadanya bergemuruh, bukan hanya karena rasa sakit dari luka yang masih terasa, tetapi juga karena penghinaan yang baru pertama kali ia rasakan—terlebih dari seseorang yang dulu ia anggap sepele. Naga Perang, yang pernah digosipkan kehilangan ingatan, hidup sebagai menantu tak berguna, bodoh, dan lemah. Tapi sekarang, pria itu begitu perkasa, begitu kuat. Bara Sena tak habis pikir."Ketua... maafkan kami, kami terlambat tiba!" suara wanita lembut namun tertekan tiba-tiba memecah lamunannya.Belasan wanita berparas elok, berbalut kain tradisional Negeri Andalas, segera bersimpuh di hadapannya. Mereka menunduk dalam, tubuh mereka hampir menyentuh tanah, sementara Bara Sena masih belum mampu bangkit dari tempatnya karena cedera yang menyengat tiap inci ototnya."Sudahlah!" Bara Sena mengibaskan tangannya lemah, meski matanya masih berkobar. "Ini bukan salah kalian. Aku yan
Di dalam dapur pantry yang mewah, wangi kopi segar memenuhi udara, bercampur dengan aroma kayu dari furnitur mahal di sekitar mereka. Renata menyandarkan diri di kursi, tangannya membelai cangkir kopi hangat. Dengan nada yang menggoda namun penuh arti, dia memandang Rendy. "Aku dengar Klan Topeng Emas dihancurkan oleh dua sosok misterius. Mereka berani sekali, memasuki markas tanpa bala bantuan. Itu tindakan yang gila, tapi luar biasa berani, bukan?"Rendy, sambil sibuk menuangkan cappuccino dari mesin espresso yang dia operasikan dengan cekatan, melirik Renata. Ia kemudian menyerahkan secangkir kopi kepadanya, aromanya kuat, sedikit pahit, tapi dengan sentuhan lembut yang membuatnya terasa hangat. "Luar biasa memang. Tapi, apa mungkin Klan Topeng Emas selemah itu hingga dua orang saja bisa menghabisi mereka?" Rendy bertanya, tersenyum tipis saat memberikan kopi itu kepada Renata. "Coba ini. Aku baru selesai meraciknya."Renata meraih cangkir itu dengan senyum kecil di bibirnya, mengh
Di balik tirai salju tebal yang menutupi setiap sudut Pegunungan Es Abadi, dunia terlihat seperti lukisan sunyi yang menyimpan keindahan dan kematian sekaligus. Namun, Rendy, dengan tatapan waspada dan langkah yang terukur, tahu bahwa di balik pesona dingin itu tersimpan jebakan mematikan yang dirancang oleh Keluarga Besar Bai. Setiap langkah yang diambilnya terasa bagai melangkah di atas kristal pecah; dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang, diiringi oleh ketidakpastian medan yang licin dan berbahaya. Angin kencang menyusup lewat celah-celah antara puncak gunung, mendesis seperti bisikan kematian. Butiran es kecil yang tersapu angin menghantam wajahnya, meninggalkan rasa perih yang membakar, sementara jubah hitamnya menari liar di tengah pusaran salju, kontras dengan hamparan putih yang tak berujung. Rendy menatap sekeliling dengan mata tajam, menyusuri setiap bayangan dan jejak samar yang tertutup salju. Tiba-tiba, ia berhenti. Di bawah langkahnya, ada sebuah bekas jejak yang
Rendy melangkah mantap ke utara, angin dingin menerpa wajahnya, membawa serta butiran salju yang berkilauan di bawah cahaya rembulan. Hembusan napasnya mengepul, seiring dengan tekad yang semakin menguat di dalam dadanya. Ia harus menemui Keluarga Besar Bai secara langsung. Tiga kultivator Bai yang ia biarkan hidup telah menyampaikan pesannya, tetapi ia ragu pesan itu cukup kuat untuk menghentikan mereka."Aku harus memastikan mereka tidak menggangguku saat berhadapan dengan Zhang Wen," gumamnya, kedua matanya menatap lurus ke depan, penuh determinasi.Dalam perjalanannya, Rendy menyadari satu hal: ia telah melewatkan kesempatan menanyakan keberadaan ayahnya kepada Keluarga Xie dan Zhao. Pertarungan sengit dengan mereka telah menyita seluruh perhatiannya, dan kini, hanya Keluarga Besar Bai yang mungkin memiliki jawaban.Pegunungan Es Abadi membentang di hadapannya, rumah bagi Keluarga Besar Bai. Sebuah perkampungan luas tersembunyi di balik lapisan pertahanan berlapis, dengan formasi
Rendy Wang berdiri tegak di antara puing-puing kediaman keluarga Zhao. Angin malam berdesir, membawa aroma debu dan darah yang masih hangat. Kedua pedangnya—Pedang Kabut Darah dan Pedang Penakluk Iblis—berkilauan tajam di bawah cahaya bulan. Di hadapannya, Zhao Tiangxin menatap tajam, jubah patriarknya berkibar ditiup energi qi yang bergetar di sekelilingnya."Naga Perang!" suara Zhao Tiangxin bergema seperti guntur. "Aku akan menunjukkan padamu mengapa aku disebut sebagai Patriark Zhao!"Tangannya terangkat tinggi, telapak tangannya bersinar emas. Dengan satu gerakan sigil tangan, ia menarik energi langit dan bumi. "Formasi Penghancur Langit!"Awan di atas mereka bergolak, berputar membentuk pusaran yang menyedot kekuatan dari sekelilingnya. Udara bergetar, dan dalam sekejap, ratusan tombak qi berwarna emas terbentuk di langit, melayang dengan ujungnya mengarah lurus ke tubuh Rendy.Rendy mengangkat satu alis. "Begitu? Kau pikir formasi ini bisa menghentikanku?"Dengan satu hentakan
Dengan kecepatan yang tak terbayangkan, Rendy melesat ke depan seperti kilatan petir yang menyambar langit. Pedang Penakluk Iblis di tangannya bergetar, memancarkan cahaya merah menyala yang menebarkan hawa kematian di sekelilingnya. Dalam satu tebasan, gelombang energi memancar deras, menggetarkan udara dan menciptakan pusaran angin yang menghantam para praktisi keluarga Zhao dengan kekuatan dahsyat."Kalian yang mencari kematian kalian sendiri! Aku telah memberi kalian kesempatan untuk hidup! Kini, kesempatan itu telah hilang!" teriak Rendy yang bergerak dengan sangat cepat sehingga tidak kelihatan oleh mata biasa.Wuuusssh!Clash!Jeritan kesakitan menggema saat beberapa dari mereka terpental ke belakang, menghantam dinding dengan keras hingga retakan besar terbentuk di sekitarnya. Sementara itu, yang lain bahkan tak sempat menghindar—hanya ada kilatan merah yang membelah tubuh mereka, meninggalkan sisa-sisa tubuh yang jatuh dengan suara berdebum ke tanah."Apa ini? Dasar iblis! Ti
Malam itu, kediaman Keluarga Besar Zhao dipenuhi ketegangan yang merayap di setiap sudut benteng megah mereka. Cahaya lentera berkelap-kelip, memantulkan bayangan tajam dari para kultivator dan praktisi bela diri yang berjaga. Mata mereka tajam, napas tertahan, tangan menggenggam erat senjata seolah bersiap menghadapi bahaya yang sewaktu-waktu bisa menerjang.Di tengah ruang utama yang dipenuhi aroma dupa, seorang pria tua duduk di singgasananya dengan tenang. Rambut dan janggut putihnya tergerai panjang, namun tubuhnya yang bercahaya menunjukkan bahwa usia bukanlah batasan bagi kekuatannya. Zhao Tiangxin, pemimpin Keluarga Besar Zhao, menatap tajam ke arah seorang pengintai yang baru saja kembali dari misi penyelidikan."Siapa yang cukup kejam menghancurkan Keluarga Besar Xie?" Suaranya berat, penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan.Kultivator pengintai itu menelan ludah sebelum menjawab, tubuhnya sedikit gemetar. "Lapor, Tuan Besar! Pembunuh Patriark Xie adalah seorang pemuda yang
Rendy Wang berdiri tegap, tubuhnya dikelilingi aura merah dan emas yang berkobar liar, seolah mencerminkan amarah yang membakar dalam dirinya. Luka di bahunya menghangat, darah menetes perlahan, tetapi tatapannya tetap dingin, penuh determinasi.Xie Wu Jie, terhuyung di atas tanah yang retak, mencengkeram dadanya yang kini tercabik oleh tebasan Pedang Penakluk Iblis. Napasnya berat, tetapi di balik wajahnya yang penuh luka, senyum tipis terukir. "Kau pikir ini sudah berakhir?" suaranya parau, tapi penuh kepastian.Tiba-tiba, udara di sekitar mereka bergetar hebat. Gelombang energi hitam membuncah dari tubuh Xie Wu Jie, menyelimuti langit malam yang semakin kelam. Bayangan-bayangan pekat menjulur dari tanah, berputar-putar seperti tentakel yang mencari mangsa."Roh Pembalasan... Bangkitlah!"Teriakan Xie Wu Jie menggema, dan dari balik bayangan, sesosok entitas raksasa mulai terbentuk. Wujudnya menyerupai iblis bertaring dengan mata merah menyala dan tanduk berliku. Udara menjadi semak
Langit malam membentang kelam, hanya dihiasi bulan pucat yang menggantung dingin di antara gumpalan awan gelap. Udara terasa berat, dipenuhi ketegangan yang nyaris tak tertahankan. Energi bertabrakan di udara, menggetarkan tanah dan membuat dedaunan berdesir liar seakan gemetar ketakutan. Aroma besi yang samar tercium, bercampur dengan hawa panas dari pertarungan yang akan segera meletus.Rendy Wang berdiri dengan kedua kakinya tertanam kokoh di tanah yang mulai retak akibat tekanan kekuatan mereka. Kedua tangannya menggenggam senjata masing-masing—Pedang Kabut Darah yang memancarkan aura merah pekat di tangan kiri, dan Pedang Penakluk Iblis yang berpendar keemasan di tangan kanan. Matanya menyala tajam, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan.Di hadapannya, Xie Wu Jie melangkah maju, auranya semakin pekat, seperti kabut hitam yang siap melahap segala yang mendekat. Ia memegang tombak hitam dengan ukiran naga yang melilit sepanjang gagangnya, sementara tangan satunya menggenggam tong
Angin malam berembus liar, menggugurkan dedaunan kering yang beterbangan di antara dua sosok yang berdiri berhadapan. Mata Rendy Wang menyala tajam, kilatan emas berpendar di irisnya, sementara Xie Wu Jie berdiri tegap dengan senyum meremehkan. Tidak tampak rasa takut sedikit pun terhadap Naga Perang padahal Rendy telah berhasil menghancurkan segel kunonya yaitu Formasi Tujuh Dewa Iblis Langit yang membuat kediaman Keluarga Xie terbuka untuk umum.Tanpa aba-aba, Rendy mengayunkan Pedang Penakluk Iblisnya. Kilatan keemasan membelah udara, meledak ke arah lawannya seperti ombak yang mengamuk. Gelombang energi yang ia lepaskan begitu kuat hingga tanah di bawahnya retak, menciptakan pola pecahan yang berpusat di kakinya.Namun, Xie Wu Jie tetap bergeming. Dengan satu tangan, ia membentuk segel aneh di udara, menciptakan perisai energi transparan yang menyerap serangan itu seakan tidak berarti."Hah!" Xie Wu Jie terkekeh meremehkan. "Pedangmu memang legendaris, tapi kekuatanmu masih belum
Langkah Rendy menggema di sepanjang jalan berbatu menuju kediaman Keluarga Xie. Setiap derap kakinya terasa berat, namun tak ada keraguan dalam sorot matanya. Cahaya bulan menggantung pucat di langit, memantulkan bayangan tubuhnya yang berlumuran darah—bukan darahnya, melainkan darah para lawan yang telah ia tumbangkan. Aroma anyir masih melekat di bajunya yang terkoyak, namun itu tak menghambat langkahnya.Udara malam dipenuhi kesunyian yang menyesakkan, seolah alam pun menahan napas, menyaksikan kehadiran seorang lelaki yang datang membawa badai. Di halaman luas kediaman Xie, bayangan manusia mulai bergerak. Satu per satu, para praktisi bela diri Keluarga Xie bermunculan dari kegelapan, mengenakan jubah hitam bersulam lambang keluarga mereka. Mata mereka, penuh dengan kilatan kebencian yang telah mengendap bertahun-tahun, menatapnya tanpa sedikit pun rasa gentar.Seorang lelaki bertubuh tegap melangkah ke depan, wajahnya dipenuhi bekas luka yang menandakan pengalaman tempurnya. Suar